Anda di halaman 1dari 3

PURGATORIUM

“Apasih yang membedakan surga, neraka, dan api penyucian? Ngapain ada neraka kalo sudah
ada api penyucian?”

Istilah bahasa Latin purgatorium atau dalam bahasa Inggris purgatory diterjemahkan
dengan api penyucian. Istilah tersebut memperlihatkan situasi manusia sesudah kematian,
suatu keadaan ketika seseorang berada di antara surga dan neraka. Kesamaan dengan neraka
terungkap dengan kata “Api”, namun perbedaan dengan neraka adalah purgatorium bukan
dalam arti hukuman abadi melainkan persiapan untuk masuk surga. Di satu pihak, jiwa-jiwa
dalam api penyucian mati dalam rahmat karena itu mereka termasuk anggota surga. Tetapi di
lain pihak, masih ada dosa-dosa ringan tertentu yang menghalangi mereka masuk ke dalam
surga (Dister, 2004: 599-600). Itulah sebabnya Gereja mengajarkan: “Siapa yang mati dalam
rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang
sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan suatu penyucian
untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga”
(KGK, 1030).
Gereja mengakui adanya purgatorium sebelum kematian. Yang dimaksud dengan purgatorium
sebelum kematian adalah suatu keadaan ketika seseorang telah mengalami pemurnian yang
mendalam selama hidupnya di dunia sehingga ia tidak perlu lagi menjalani purgatorium
sesudah kematian, yaitu api penyucian. Sekalipun ia masih mengalami api penyucian sesudah
kematian, biasanya tidak berlangsung lama. Jiwa-jiwa yang suci dan saleh sesudah
kematiannya langsung masuk ke dalam kebahagiaan surga (bdk. S. Yohanes dari Salib, Malam
Gelap, buku II, bab VI, no. 6).
Dalam Ensiklik Spe Salvi (dalam pengharapan kita diselamatkan), Bapa Suci Benediktus XVI
dengan mengutip ajaran S. Agustinus mengajarkan: “Manusia diciptakan bagi keagungan - bagi
Allah, dia diciptakan untuk dipenuhi oleh Allah” (no. 33). Betapa luhur dan mulia panggilan
manusia ini. Namun, akibat dosa asal, yakni kecenderungan yang tak teratur terhadap dosa dan
kejahatan, dia kerapkali jatuh ke dalam dosa-dosa dan hal ini merupakan hambatan serta
rintangan untuk mengalami kasih Allah. Akan tetapi,kita meyakini kebenaran iman yang
diajarkan oleh S. Yohanes Rasul: “Betapa besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Di dalam Kristus, manusia menerima
pengampunan atas dosa-dosanya dan keselamatan yang kekal dari Allah Bapa surgawi.
Allah menanamkan kerinduan di kedalaman hati manusia sehingga jiwa mencari, mengejar, dan
mengasihi Dia di atas segala sesuatu (bdk. Garrigou-Lagrange, 1991: 30-36). Pada saat itu jiwa
mulai mengalami pertobatan, meninggalkan dosa-dosa kendati ia masih jatuh bangun dalam
kelemahan, dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang membawanya pada dosa ini.
Keadaan ini disebut dengan pemurnian pasif inderawi. Dalam pemurnian ini, Allah membawa
jiwa untuk menanggalkan penghiburan rohani, maupun kesenangan-kesenangan pada bidang
inderawi (panca indera) serta kenikmatan-kenikmatan fantasi dan imajinasi.
Pemurnian ini disebut dengan istilah pemurnian pasif rohani, suatu pemurnian yang dikenal
dengan purgatorium sebelum kematian. Pemurnian ini hanya dialami beberapa orang saja,
karena memang sesuai dengan panggilan yang khusus dari Allah dan Allah sendiri secara
istimewa membawa orang pada pemurnian ini agar dia mencapai persatuan yang mesra
dengan Allah. Pemurnian ini ditandai dengan pencobaan yang amat berat,misalnya ditinggalkan
oleh orang yang dikasihinya atau bahkan oleh Allah sendiri tanpa tahu sebabnya, mengalami
fitnah serta kesulitan besar karena sesama,dan penderitaan besar lainnya.
Dalam keadaan ini, Tuhan menganugerahkan rahmat yang besar bagi jiwa-jiwa yang
mengalaminya, sebuah“Kematian mistik”, yaitu kematian atas dirinya, kematian atas egoisme
dan cinta dirinya, penyembuhan atas kesombongan dan kerakusan khususnya pada bidang
rohani yang menjadi akar dan penyebab cacat cela, dan kelemahan yang lain. Pada saat itu
juga jiwa menerima anugerah “Teologi mistik”, suatu pengenalan akan Allah yang melampaui
segala pengertian karena Allah menganugerahkan cinta kasih dan kebijaksanaan-Nya yang
melampaui apa yang dapat dipikirkan manusia (Malam Gelap, buku II, bab 5, no. 1).
Kitab Suci memang tidak menyebutkan secara eksplisit ajaran tentang purgatorium, namun
secara implisit baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru menunjukkan ajaran
tersebut (Garrigou-Lagrange, 1991: 150-153). Perjanjian Lama menyebutkan bahwa menurut
iman bangsa Israel, Yudas Makabe mengumpulkan orang-orang Israel untuk
mempersembahkan kurban penebus salah untuk semua orang yang telah mati, supaya mereka
dilepaskan dari dosa-dosa mereka. Inilah suatu perbuatan yang saleh dan baik untuk
mendoakan orang-orang yang mati (bdk. II Mak. 12:45). S. Thomas Aquinas meneguhkan
ajaran ini bahwa orang Kristen tidak diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang berada di
surga maupun yang berada di neraka, tetapi kami percaya bahwa jiwa-jiwa dalam purgatorium
dimurnikan untuk menebus dosa-dosanya karena mereka tidak menebusnya selama masih
hidup di dunia.
Kemudian dalam Perjanjian Baru diajarkan bahwa “dosa melawan Roh Kudus tidak akan
diampuni baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang” (bdk. Mat. 12:32). Kebenaran
iman ini menegaskan bahwa adanya dosa-dosa tertentu yang diampuni sesudah kematian,
tetapi bukan dosa maut. Ini berarti menunjuk pada dosa-dosa ringan, atau dosa-dosa maut
yang telah diampuni tetapi belum sepenuhnya ditebus. Ajaran ini semakin jelas jika mengikuti
tulisan S. Paulus: “Kamu adalah bangunan Allah . . . dasarnya . . . adalah Kristus Yesus.
Sekarang, bila seorang membangun dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput
kering atau jerami, pekerjaan setiap orang akan nampak. Dan api akan menguji pekerjaan
setiap orang.” (bdk. 1 Kor 3:10 - 15). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa setiap
orang yang bekerja membangun di atas dasar Yesus Kristus akan menerima ganjaran, yaitu
keselamatan namun hanya melalui api.
Para Bapa Gereja memandang teks ini sebagai ajaran purgatorium, yaitu Origenes, Basilius, S.
Sirilus dari Yerusalem, S. Hieronimus, S. Ambrosius, S. Agustinus dan S. Gregorius Agung.
Ayat 14 dan 15 merujuk pada api penganiayaan dan pengadilan terakhir. Bagi S. Thomas
Aquinas teks ini menunjukkan suatu bangunan yang didirikan di atas dasar, yaitu
Kristus.Adapun pekerjaan-pekerjaan baik dibandingkan dengan emas, perak, dan batu
permata. Sedangkan dosa-dosa ringan dibandingkan dengan kayu, rumput kering, dan jerami.
Pada Hari Tuhan Allah menyatakan pengadilan-Nya, yaitu atas semua penganiayaan di dunia,
pengadilan khusus sesudah kematian, dan pengadilan terakhir. Maksudnya ialah api akan
menguji dan memurnikan seluruh penderitaan di bumi, kemudian dalam purgatorium,dan
terakhir pada saat pengadilan terakhir.
Dalam Tradisi Gereja perkembangan ajaran purgatorium terbagi atas dua periode, yaitu abad I -
IV dan sesudah abad IV. Pada abad I - IV ajaran tentang purgatorium telah diteguhkan atau
paling sedikit secara implisit, misalnya melalui praktik doa umum dan kurban bagi orang yang
telah meninggal dunia. Kenyataan konkret ini dapat dijumpai dalam ajaran dan kehidupan
Tertulianus, S. Efrem, S. Sirilus dari Aleksandria, S. Epifanius, dan S. Yohanes Krisostomus.
Demikian juga dalam liturgi kuno menunjukkan adanya praktik doa dan kurban bagi orang yang
telah meninggal dunia. Selain itu baik Gereja Timur maupun Barat mengakui keberadaan
sebuah tempat atau keadaan dimana jiwa-jiwa yang belum cukup dimurnikan mengalami
penghukuman atas dosa-dosa mereka. Tentu saja doa, kurban, dan Misa bagi orang yang telah
meninggal dunia tidak pernah ditujukan bagi mereka yang telah dikutuk dalam neraka ataupun
jiwa-jiwa yang sudah bahagia di surga.
Ada empat kebenaran yang dirumuskan para Bapa Gereja mengenai purgatorium.
Pertama, sesudah kematian tidak ada kemungkinan dari pihak manusia untuk menebus dosa
dan kesalahan mereka. Kedua, purgatorium adalah suatu tempat dimana jiwa-jiwa
mengalami berbagai penderitaan sementara karena dosa-dosa mereka. Ketiga, jiwa-jiwa ini
dapat ditolong melalui doa-doa manusia yang masih hidup di dunia, khususnya melalui kurban
Ekaristi. Keempat, purgatorium akan berakhir pada saat pengadilan terakhir pada akhir zaman.
Pada abad-abad berikutnya, ajaran purgatorium dan liturgi bagi orang yang telah meninggal
dunia semakin dikembangkan dan disempurnakan mulai dari Konsili Kedua Lyons,
Florence, dan Trente. Yang menarik dari pernyataan Konsili Trente adalah purgatorium tidak
digambarkan sebagai hukuman. Sebaliknya tekanan ada pada bantuan yang dapat diberikan
kepada jiwa-jiwa yang sedang berada dalam purgatorium. Oleh sebab itu, purgatorium terutama
dimaksudkan sebagai pembersihan (pemurnian) dan penyembuhan. Ini berarti orang yang
beriman dan mati dalam rahmat belum seratus persen “Orang benar” karena itu masih
membutuhkan pemurnian dalam purgatorium. Purgatorium berkaitan dengan proses
pembenaran dan pembersihan manusia secara keseluruhan, khususnya dalam kebebasan dan
tanggung jawabnya sebagai manusia dalam hidupnya di dunia ini (Dister, 2004: 600).

Referensi : Carmelia, dan Buku Iman Katolik

Anda mungkin juga menyukai