Anda di halaman 1dari 11

KITAB HUKUM KANONIK: PERKAWINAN

posted Dec 22, 2015, 11:52 AM by DJ KUPANG

I. Pengantar

         Perkawinan merupakan sebuah panggilan dari Tuhan. Allah berfirman, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan takl
hukum Gereja dan negara. Gereja Katolik melihat perjanjian nikah itu sebagai perjanjian cinta kasih yang teguh, yang tidak boleh dicabut kembal

         Gereja Katolik memiliki sebuah hukum atau “undang-undang” yang mengatur tentang perkawinan. Perkawinan dalam Gereja Katolik lebih
keuskupan. Dalam karya tulis ini akan dipaparkan tentang perkawinan katolik yang termuat dalam KHK 1983.

II.    Pengertian

Perkawinan adalah sebuah istilah yang tidak jarang kita dengar ataupun dibaca dalam berbagai media massa. Berikut beberapa sumber dan

Menurut Purwadarminta (1976) kawin = penjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami-isteri; nikah; perkawinan = pernikahan. Men
Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang no. 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai s

Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK)1983, yaitu dalam kanon 1055 § 1 menyebutkan secara mendasar dan ringkas mengenai perkawinan

Ҥ 1. Dengan perjanjian nikah pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjan
sakramen”.[2]

III.  Dasar Biblis

Pandangan Gereja Katolik tentang perkawinan berdasarkan pada ajaran Yesus Kristus dan ajaran para Rasul. Berikut akan kita lihat perikop

A.     Perjanjian Lama

Dasar biblis yang terdapat dalam Perjanjian Lama duraikan sebagai berikut:[4]

      Kejadian 1:26-28: “Berfirmanlah Allah: baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkua
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28 Allah m
burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan “menurut gambar-Nya”. Adanya laki-laki dan perempuan, berarti adanya seksualitas
bukanlah suatu kebetulan atau ulah manusia sendiri, melainkan kenyataan yang dikehendaki oleh Allah sendiri. Maka seksualitas itu adalah

Dalam ayat 28 dikatakan bahwa Allah kemudian memberkati mereka. Sorang laki-laki dan perempuan diberkati bersama-sama oleh

Laki-laki dan perempuan yang telah diberkati itu kemudian diberi tugas untuk beranak cucu dan menguasai bumi. Maka “pemberkat
generasi manusia serta memelihara dunia.

      Kejadian 2:18-25

Ayat 18, dikatakan bahwa, “Tuhan Allah berfirman: tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penol
penolong yang sepadan dengan dia (ayat 19-20).

Ayat 21, menceritakan bahwa perempuan diciptakan dari “tulang rusuk” laki-laki. Secara kodrati manusia laki-laki dan perempuan
ini mau menunjukkan bahwa pertemuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan terjadi karena dorongan dari Allah sendiri. Maka d

   Ayat 21, penulis menambahkan, “sebab itu seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehi
tidak mengherankan bahwa seorang laki-laki tertarik oleh apa yang diambil darinya. Karena ketertarikan dan persatuan yang erat itu, “Mer

      Tobit 6 – 8

Kitab Tobit bab enam mengisahkan bagaimana malaikat Raphael mendorong Tobias untuk mengambil Sarah, putri Raguel,  men
menunjukkan bahwa Allah sendirilah yang menggerakan hati sorang pria untuk menikahi seorang wanita. Allah juga yang mendorong supa
suami Sarah mati karena “sejak semula” Sarah telah ditentukan Allah untuk menjadi isteri Tobias. Hal ini mau menunjukkan bahwa su
menetapkan Tobias untuk menjadi suami Sarah. Rguel menambahkan bahwa dengan demikian Tobias akan menjadi “saudara” Sarah dan
suami. Perkawinan dilaksanakan bukan berdasarkan hawa nafsu, melainkan berdasarkan ketulusan hati.
      Maleakhi 2

Dalam Maleakhi 2:10-16 ditegaskan bahwa Allah tidak menghendaki praktek kawin campur agama dan perceraian yang dilangga
perkawinan antara suami-isteri. Perkawinan tidak hanya melibatkan suami-isteri, tetapi juga melibatkan Allah, sebab Allah yang menjadi sa

B.     Perjanjian Baru

Dasar biblis tentang perkawinan Kristen dalam Perjanjian Baru diuraikan sebagai berikut:[6]

      1 Korintus 7

Pandangan Rasul Paulus tentang perkawinan dalam seluruh perikop 1 Kor 7 dikatakan bahwa perkawinan merupakan persatuan er

      Efesus 5: 2-23

Rasul Paulus menegaskan bahwa hubungan suami-isteri harus dilaksanakan menurut teladan hubungan antara Kristus dengan Ger

      Perkawinan menurut Injil-injil

Dalam Injil Matius dan Markus, Yesus menilai perkawinan sebagai suatu realitas duniawi. Dikatakan: pada waktu kebangkitan o
cukup berbeda dan menarik perhatian. Menurut Lukas ucapan Yesus, “Orang-orang zaman ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yan
kawin” terjadi pada akhir zaman, sedangkan menurut Lukas orang yang nanti ikut dalam kebangkitan itu adalah saat ini, di dunia ini, t
Korintus: sebaiknya tidak kawin.

IV.        Sejarah Singkat[8]

Pandangan Gereja Katolik tentang perkawinan berakar dan bersumber dari Kitab Suci. Pandangan tentang perkawinan mulai berkemba
perkawinan pada masa ini mengalami tantangan yang berat, terutama pandangan-pandangan dari kalangan Kristen sendiri, maupun dari mereka

Di kalangan Kristen sendiri, ada dua kelompok besar yang memiliki pandangan ekstrim terhadap perkawinan yaitu yang pertama kelomp
diwakili oleh Elvidius, Yovinianus dan Vigilantius yang menjunjung tinnggi perkawinan. Mereka mengganggap perkawinan lebih luhur daripad

Bapa-bapa Gereja mencoba menjawab persoalan tersebut dengan menegaskan kembali martabat kesucian perkawinan dan sekaligus men
lambang yang lebih jelas dari hubungan cinta antara Kristus dengan Gereja-Nya. Kerena itu, hidup tidak menikah lebih luhur dan lebih “sakram

Walaupun demikian, Bapa-bapa Gereja menegaskan bahwa orang yang menghayati perkawinan dengan baik tidaklah lebih rendah dari
menyatakan bahwa hidup selibat yang murni merupakan kharisma, demikian juga perkawinan yang diteguhkan oleh Sabda Tuhan adalah kharis

Pada awal Abad Petengahan (abad V - X) perlahan-lahan mulai berpindah dari tangan pemerintah sipil ke tangan pimpinan Gereja. Kare
mengikuti pandangan Bapa-bapa Gereja yakni menegaskan makna sakramental dari perkawinan. Hal ini tampak dalam peneguhan perkawinan

Pada abad XI – XII (menjelang Zaman Skolastik), telah ditetapkan suatu peraturan bahwa perkawinan berada di bawah wewenang huku
“consensus” atau kesepakatan atara kedua mempelai.

Pada abad XII – XI (Zaman Skolastik) ditetapkan bahwa paraktek dan ajaran Gereja tentang peneguhan perkawinan menjadi sah dengan
(1159-1181), Paus Innocentius III (1198-1216) dan Paus Gregorius IX (awal abad XIII).

Pada abad XVI (Gereja Roformasi) ada pertentangan antara para perintis Gereja Reformasi dengan para Paus dan para teolog katolik. P
melebihi hidup selibat.

Pada Konsili Trente (1547-1563) Gereja katolik menanggapi para perintis Gereja Reformasi dengan menegaskan kembali keluhuran dan

·         Perkawinan merupakan suatu ikatan pria-wanita yang dipersatukan oleh Allah sendiri, seperti dinyatakan oleh Adam dengan do

·         Yesus Kristus, pendiri dan pembaharu sakramen-sakramen, menganugerahkan melalui sakramen perkawinan rahmat yang meny

·         Perkawinan Kristen benar-benar merupakan sakramen seperti ditegaskan oleh Bapa-bapa Gereja, Konsili-Konsili, dan tradis Ge

·         Perkawinan Kristen merupakan sakramen; sakramen itu didirikan oleh Yesus Kristus, bukan oleh Gereja, dan membuahkan rahm
·         Gereja mempunyai wewenang hukum atas perkawinan Kristen, maka juga mempunyai wewenang untuk menentukan halangan-

·         Hidup selibat demi Kerajaan Allah lebih luhur daripada perkawinan, seperti telah diterima oleh umat beriman.

·         Konsili membela bentuk-bentuk tradisional dari perayaan perkawinan dan menentukan bahwa perkawinan yang akan datang pe
sekurang-kurangnya dua saksi.

Pada abad XX yakni tepatnya pada tahun 1917 Tahkta Suci mengeluarkan Kitab Hukum Gereja dan mulai dipakai atau dilaksanakan pa
perkawinan. Pandangan Codex Iuris Canonici (CIC) 1917 tentang hakikat perkawinan hanya disimpulkan secara tidak langsung.

Pada tanggal 25 Januari 1959 mengumumkan Konsili Vatikan II dan sekaligus pembaharuan Kitab Hukum Kanonik yang berlaku seja
Januari 1983.[9]

V.     Karakter Sakramental

a. Perjanjian dan Sakramen

Hakikat atau inti dari perkawinan Katolik yakni, “persekutuan seluruh hidup antara seorang pria dan wanita yang berdasarkan pada perja

1.      Perkawinan sebagai perjanjian

Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal-balik antara seorang pria dan wanita. Perjanjian ini pertama-tama digerakkan oleh cinta. Ka
di dalam persekutuan cinta-kasih Tritunggal, demikian juga Allah menaruh dalam hati laki-laki dan perempuan daya dan panggilan untuk me
perempuan mempersatukan jiwa dan raganya secara tak terpisahkan di dalam perkawinan.[11]

Perkawinan sebagai perjanjian juga berdasar dan bersumber dari hakikat sosial manusia sendiri. Pada dasarnya ialah adalah pribadi “un
hidup sebagai pribadi manusia. Karena itu, Gereja menggolongkan sakramen perkawinan sebagai sakramen sosial dan eklesial, karena berkaitan

Gagasan mengenai perkawinan sebagai perjanjian termuat dalam Kan. 1055 §1.[13] “Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seora
coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Dalam
konstitutif perkawinan.

Menurut ajaran Gereja, perkawinan dalam dimensi yuridisnya adalah suatu perbuatan yuridis (hukum). Dengan pertukaran kesepakatan p
dan bersepakat untuk saling memberi dan menerima. Kesepakatan perkawinan ini selalu merupakan satu perbuatan yang berasal dari dalam diri
perkawinan di hadapan petugas Gereja dan dua saksi (forma canonica).

Kesepakatan perkawinan sebagai perbuatan kehendak ialah suatu keputusan untuk saling menyerahkan diri dan saling menerima se
(kan. 1057 §1“). Kesepakatan perkawinan menjadi kunci utama dan pertama agar perkawinan secara yuridis menjadi ada atau lahir sebagai pers
menurut hukum ilahi positif dan hukum Gerejawi semata-mata) untuk melakukan perjanjian perkawinan. Juga harus disertai dengan Form
mengandaikan suatu “perbuatan akal budi” yang matang. Karena consensus adalah perbuatan kehendak manusia maka sifatnya adalah deliberat

2.      Perkawinan sebagai Sakramen

Kitab Hukum Kanonik 1983, dalam bagian akhir kan. 1055 §1 menyatakan: “..., oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
dan manusia dijadikan. Hal baru yang dibawa dan dianugerahkan oleh Kristus kepada dunia dan manusia ialah menebus dan mengangkat lemba

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “persekutuan hidup dan kasih suami- istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan
telah ditetapkan oleh Allah, menjadi asal mula dan dasar masyarakat manusia (Ef 5: 32).[16] Perkawinan orang Kristen adalah suatu pernyataa
bangsa Israel.[17] Perkawinan sebagai persekutuan hidup dan cinta suami-istri didasarkan pada perbuatan atau tindakan manusiawi yaitu kesepa

Dalam Perjanjian Baru, Allah meradikalkan cintan-Nya kepada umat manusia sehingga Ia sendiri berkenan datang dalam diri Pu
kembali. Dalam relasi radikal antara Allah dan manusia inilah cinta kasih insani memperoleh rangcangannya yang definitif. Relasi itu menjadi
bahwa Yesus sendiri adalah mempelai pria dari umat Perjanjian Baru. Dalam kematian dan kebangkitan-Nya Yesus telah memberikan diri-Nya

Para suami-istri Kristiani dengan sakramen perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus da
warga baru masyarakat yang berkat rahmat Roh Kudus karena baptis diangkat menjadi anak-anak Allah, untuk melestarikan umat Allah dari a
para imam kewajiban ini sangat ditekankan karena mereka bertugas untuk membimbing dan mengajar umat, terutama mereka yang hendak kaw
Gereja yakin bahwa perkawinan adalah sebuah “sakramen “ apabila dilangsungkan di antara dua orang yang dibaptis secara sah
perkawinan sakramental. Perkawinan mereka otomatis menjadi perkawinan sakrmental pada saat mereka yang belum dibaptis itu mau menerim

Perkawinan juga disebut “Kanonik” apabila dilangsungkan menurut norma-norma hukum Kanonik. Gereja menghendaki agar sakr
terwujud dalam diri suami-istri. Harapan ini akan mudah terwujud apabila para calon mempelai dalam Gereja secara sah, benar, halal, dan dip
akan mengakibatkan ketidakbahagiaan keluarga.

b. Tujuan Perkawinan

Gereja menyatakan bahwa perkawinan, baik sebagai perjanjian (foedus) maupun sebagai sakramen memiliki tujuan yang telah ditentuk
“Dengan perjanjian perkawinan, pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah kepada kes

Dalam kanon ini terdapat dua tujuan perkawinan yaitu pertama kesejahteraan suami-istri, dan yang kedua ialah kelahiran dan pendid
memberikan janji perkawinan. Dalam praksis orang menikah bukan karena alasan diatas tetapi karena alasan lain seperti karena wanita itu canti

Rasa cinta sering menjadi motif yang mendorong seseorang untuk melakukan perkawinan. Motif seperti ini memang baik tetapi janga
dalam perdebatannya muncul permasalahan tentang “cinta suami-istri”  dan “saling melengkapi”. Pada akhirnya Gadium et Spes memberikan a

Saling menyempurnakan dianggap bukan hanya sebagai nilai-nilai di dalam dirinya, tetapi juga dalam bobotnya untuk tujuan perk
perkawinan. Kanon ini berbicara tentang cinta suami-istri (amor coniugalis), tetapi juga memberi peneguhan bahwa perjanjian perkawinan, dar

Tujuan perkawinan yang paling utama dalam Gereja Katolik adalah sebagai berikut:[22]

a.       Pengembangan cinta kasih menuju kebahagiaan dan kesejahteraan bersama suami-isteri.

b.      Kelahiran dan pendidikan anak.

c.       Pemenuhan kebutuhan seksual.

c. Sifat-sifat hakikat perkawinan[23]

Perkawinan Katolik memiliki sifat-sifat yang hakiki yakni tak terceraikan dan monogam (unitas). Kitab Hukum Kanonik 1983, dalam
ini terdapat dalam semua perkawinan. Kedua sifat hakiki ini memberikan suatu stabilitas tersebut yang khusus pada perkawinan kristiani berka
sendirinya terbuka untuk kelahiran dan pendidikan anak. Berdasarkan hal ini perkawinan memiliki sifat perkawinan yang tak terceraikan oleh
yang lebih dalam yaitu perjuangan untuk memupuk kesetiaan terhadap pasangan dalam segala aspek kehidupan (bdk. Mat 5: 31-32; 19:1-12, M

Ajaran resmi Gereja yang menegaskan bahwa perkawinan bersifat “monogam” dan “tak terceraikan” berdasar pada tuntutan hukum i
kodrati yaitu perkawinan dua orang yang tidak dibaptis, tidak mungkin diceraikan, baik melalui suatu hukum perceraian (Pengadilan Gerejawi)

Sifat monogam ini bertentangan dengan poligami. Poligami ada dalam dua cara yaitu poligami dalam arti suami memiliki istri dan seb

·         Seseorang dilarang, di bawah klausul “batal” atau “gagal” (nulitas) untuk melangsungkan perkawinan baru, sambil mempertah

·         Seseorang yang berzinah dianggap terkena delik yang dihukum dengan menerapkan hukum pidana.

·         Perzinahan yang dilakukan oleh seorang menjadi motif yang cukup untuk melakukan perpisahan resmi, sekurang-kurangnya ap

Penolakan atau pengecualian terhadap sifat monogam tetapi ia melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu tidak sah (kan.
perkawinan kristiani memiliki stabilitas khusus dan jauh lebih kuat karena perkawinan kristiani yang sekali telah dilangsungkan secara sah tida

VI.        Forma dan Materi Sakramen Perkawinan[24]

a. Materi

Materi adalah benda material yang dapat dipersepsi menjadi tindakan yang konkret, seperti air (bukannya anggur) dalam pembapti
proxima. Materia remota adalah unsur-unsur tanda yang berasal dari alam ciptaan. Materia proxima adalah unsur-unsur tanda berupa tindaka

Bila struktur di atas diterapkan pada perkawinan maka materia remota dari Sakramen Perkawinan adalah pribadi fisik dan konkret da
remota membutuhkan materia proxima, yakni perbuatan kemauan untuk saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk pe
saling memberikan kesepakatan nikah.

b. Forma

Forma adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi atau sarana untuk menyatakan perjanjian secara lahiriah dan ekster
kesepakatan harus dilakukan menurut tata peneguhan kanonik yang diatur dalam kan. 1108-1123. Kanon 1119 menegaskan bahwa, di luar k
kebiasaan yang legitim (Kanon 846 § 1).

Ø  Isi Janji Mempelai Pria:

Di hadapan (peneguh perkawinan: uskup, pastor, diakon) dan para saksi, saya (nama mempelai pria) menyatakan dengan tulus i
menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya, demi Allah dan demi Injil Suci ini.

Ø  Isi Janji Mempelai Wanita

Di hadapan (peneguh perkawinan: uskup, pastor, diakon) dan para saksi, saya (nama mempelai wanita) menyatakan dengan tulu
menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya, demi Allah dan demi Injil Suci ini.

VII.     Pelayan Sakramen

Sakramen Perkawinan berbeda dari sakramen lainnya dalam hal pelayan dan penerima. Dalam Sakramen Perkawinan pelayan dan pen
rahmat ilahi, yang mengangkat cinta kasih manusiawi mereka ke dalam cinta kasih ilahi seumur hidup.[25]

Ordinaris Wilayah, pastor paroki atau diakon adalah pelayan liturgi atau ritus perkawinan dan berfungsi sebagai peneguh janji nikah k
komunitas umat beriman. Karena itu, tanpa kehadiran salah satu pelayan liturgi suami istri dapat melangsungkan pernikahan yang sah dan halal

VII. Calon Penerima Sakramen

Setiap orang memiliki hak fundamental untuk menikah. Kanon 1058 dalam Kitab Hukum Kanonik menetapkan dan menegaskan bah
implikasi religius, moral, dan sosial yang besar sehingga perlu diatur oleh hukum, baik hukum positif maupun hukum kodrat.

Hukum kodrat adalah hukum yang ditanamkan Allah dalam natura dan martabat manusia ketika Ia menciptakannya.[26] Hukum ini buk

Hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh otoritas manusiawi baik dari komunitas politis maupun komunitas gerejawi. Hukum posit
dan daya wajibnya kepada manusia karena menghalangi manusia untuk mencapai tujuan natural hidupnya sebagai pribadi manusia yang dicipta

Dalam doktrin hukum Gereja terdapat beberapa prinsip normtif yang bersumber pada hukum kodrati adalah sebagai berikut:

Ø  Perkawinan terjadi hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Kan. 1055, §1)

Ø  Perjanjian perkawinan terarah kepada terwujudnya kesejahteraan suami-istri, kelahiran, dan pendidikan anak (kan. 1055, §1).

Ø  Perkawinan memiliki sifat-sifat hakiki, monogami, dan tak terceraikan (Kan. 1056).

Ø  Perkawinan tercipta melalui perjanjian pernikahan atau kesepakatan nikah yang tidak dapat ditarik kembali. (Kan. 1057).

Ø  Setiap orang dapat menikah (Kan. 1058).

Ø  Perkawinan yang sah mendapat perlindungan hukum (Kan. 1060).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan orang-orang  Katolik, atau salah antara salah satu pihak dari Katoli

Konsili Vatikan II mengajarkan dan menegaskan bahwa perkawinan merupakan sebuah jalan menuju kekudusan (Bdk. Lumen Gentium
jiwa wajib mengusahakan dan memberikan pendampingan kepada umat beriman khususnya para calon suami-isrti agar status perkawinan m
komunikasi sosial lain yang mampu mengajarkan makna perkawinan kepada umat beriman kristiani (Kanon 1063§ 1)

Setiap calon penerimaan sakramen perkawinan harus melakukan persiapan yang matang. Dalam persiapan perkawinan para calon pe
memperkenalkan iman dan menanamkan dalam hati setiap orang ajaran Gereja tentang perkawinan kristiani. Persiapan perkawinan adalah suat
sakramen perkawinan merupakan suatu katekese yang dilaksanakan secara bertahap dan intensif. Dalam persiapan perkawinan ada tiga tahap
pendek, tahap persiapan langsung.
Tahap persiapan jangka panjang dimulai dari masa kanak-kanak yang berpusat pada pendidikan dan pembinaan dalam keluarga. Topik p

Tahap kedua yakni persiapan jangka pendek. Persiapan pada tahap ini dilakukan untuk kaum muda dalam usia remaja. Dalam tahap ini p
keluarga.

Tahap ketiga yakni tahap persiapan langsung. Tahap ini merupakan persiapan yang diadakan untuk calon pasangan suami istri yang dala
perkawinan, serta pemastian status bebas dari halangan-halangan nikah. Tujuan persiapan ini adalah untuk memastikan bahwa perkawinan itu n

Untuk mengetahui dan memastikan apakah suatu perkawinan bebas dari segala halangan maka maka para petugas pastoral perlu menga
pun yang bertentangan dan menghalangi “kesahan” (validitas), “kehalalan”, dan terwujudnya “faedah atau buah” perkawinan.

Dalam penyelidikan para calon mempelai, seorang petugas harus mencari bukti yang pasti akan hal-hal berikut: apakah pengambilan kep
untuk melaksanakan perkawinan? Adakah status bebas kedua mempelai dari ikatan perkawinan sebelumnya? Yang terikat dengan penyelidikan
dalam keanggotaan Gereja Katolik serta tidak meninggalkannya secara resmi. Dalam penyelidikan kanonik tersebut, juga diminta pendapat prib

VIII. Persyaratan  Penerimaan Sakramen

Persyaratan-persyaratan pokok yang ditetapkan untuk kesepakatan nikah antara lain:

Ø  Pihak yang bertunangan atau akan melangsungkan perkawinan harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menghendaki perkawinan (Kan

Ø  Hendaknya pihak-pihak yang bersangkutan tidak mengalami kelainan psikis (Kan. 1095, § 3);

Ø  Hendaknya janji untuk menikah tidak diwarnai kekeliruan substansial (Kan. 1097), ketakutan berat (Kan. 1103), penipuan (Kan. 1098) atau paks

Ø  Hendaknya janji dilakukan setelah ysng bersangkutan melakukan pertimbangan yang natang, yakni mengenal secupnya hakikat perkawinan dan

Tindakan yuridis seseorang dikatakan sah apabila memenuhi syarat berikut:

1.      Orang tersebut memiliki kemempuan untuk melakukan suatu perbuatan yuridis. Kemampuan itu dimiliki oleh setiap orang
yang dilakukan secara tahu dan mau atau bertanggungjawab. Contoh seorang yang belum bisa memakai akal budinya atau belum
Kemampuan dari hukum ilahi positif maksudnya ialah seorang harus dapat bertindak secara kristen, maka ia perlu dibabtis. Con
berarti ia haruss menjadi subyek hak dan kewajiban dalam Gereja Katolik.

2.      Orang tersebut harus memenuhi syarat dalam melaksanakan suatu tindakan yuridis. Syarat-syarat itu antara lain; memiliki k
saling memberi dan menerima dalam suka dan duka. Oleh sebab itu kedua pasangan calon pernikahan harus hadir saat perjanjian d

3.      Orang tersebut harus memenuhi formalitas yang dituntut demi sahnya suatu tindakan yuridis (forma sollemnitatis). Misalnya

Untuk memastikan manakah yang sah, halal, dan diperbolehkan melaksanakan perkawinan dalam Gereja Katolik maka harus diadakan p
mempelai. Hukum Gereja menentukan norma-norma pernikahan dan dijabarkan dalam kan. 1083-1094. Halangan-halangan itu dapat menggaga
kanonik;

Ø  Umur atau tempat tanggal lahir

Pastor Paroki menanyakan secara lisan mengenai umur dan tempat tanggal lahir, kemudian mencocokan dengan dokumen otentik sepert
paragraf pertama menegaskan bahwa laki-laki sebelum berumur enam belas tahun, dan perempuan yang belum berumur empat belas tahun
berpikir  dan bertingkah laku dalam hidup setiap hari. jika kedewasaan belum ditampakkan dalam hidup maka perkawinan tersebut perlu dike
1083 paragraf 2 dan undang-undang no.12 tahun 2012).

Ø  Agama atau Gereja

Pastor Paroki akan menanyakan tempat dan tanggal pembabtisan yang telah diterima. Hal itu untuk menegaskan apakah perkawi
seorang babtis non katolik, larangan perkawinan tersebut dapat dicabut dengan Ordinaris wilayah setelah Pastor paroki melakukan perlindu

Ø  Hubungan darah dengan pasangannya.

Pastor Paroki akan menanyakan pertanyaan dan jawabannya akan disesuaikan dengan biodata orangtua  pasangannya, surat babtis, dan akte

Ø  Ikatan perkawinan sebelumnya.


Pada kesempatan ini juga akan ditanyakan kepada yang bersangkutan, apakah ia sudah pernah menikah atau belum. Perlu ditanyakan pernika
sebelumnya sehingga terhalang untuk menikah lagi (Kan. 1085).

Ø  Hubungan semenda atau hubungan persaudaraan karena perkawinan sah

Calon nikah akan ditanyakan apakah memiliki hubungan semenda dengan calon pasangannya (mertua, anak tiri, cucu tiri, dan sebagainya).

Ø  Anak adopsi

Pastor Paroki menanyakan apakah yang bersangkutan adalah anak adopsi dari calon pasangannya. Hal ini bisa dilihat dari surat bu

Ø  Halangan-Halangan lain.

Halangan-halangan lain yang yang perlu ditanyakan oleh Pastor Paroki antara lain impotensi (Kan. 1084), tahbisan suci (Kan. 1087),
lurus (Kan. 1093).

IX.        Penyelidikan kanonik, pencatatan pada buku dan berkas arsip[28]

·         Penyelidikan Kanonik

v  Sebelum mengijinkan para calon mempelai melangsungkan pernikahan, pastor hendaknya melakukan penyelidikan kanonik dengan me

v  Penyelidikan mengenai status bebas para calon mempelai dilakukan oleh pastor dari pihak wanita sebagai prioritas, jika kedua calon m
kediaman mempelai, meskipun pernikahan dilangsungkan di tempat lain. Untuk menghindarkan kesulitan yang sering timbul, hendaknya p
tempat ia sedang berada. Pastor itu kemudian hendaknya selekas mungkin memberitahukan hasil penyelidikan itu dengan suatu dokum
diberitahukan kepada Ordinaris wilayah. Untuk menjamin kebebasan dalam menjawab, biasanya kedua calon mempelai ditanya secara terp

v  Pastor yang melakukan penyelidikan mengenai status bebas calon mempelai hendaknya memperhatikan apakah mereka cukup tahu te
sendiri instruksi perkawinan yang ditunjuk kan. 1062, no. 2.

·         Pencatatan Nikah

v  Jika mempelai melangsungkan nikah tidak di paroki di mana ia dibabtis, pastor yang meneguhkan nikah hendaknya segera mengirim be

v  Pastor tempat permandian wajib mencatat berita nikah yang diterimanya sesuai ketentuan kan. 1122 dalam buku permandiannya, dan m
yang telah dilangsungkan.

v  Berikut ini akan diberikan beberapa contoh formulir;

Ø  Mohon dispensasi dari halangan nikah (Formulir 1);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Paroki asal

o   Permohonan dispensasi

o   Alasan permohonan dispensasi

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

Ø  Mohon dispensasi dari halangan beda agama (Formulir 2);


o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Paroki asal (bagi calon yang beragama katolik)

o   Sebab-sebab agar dikabulkannya dispensasi

o   Alasan-alasan dari pemohon

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

o   Lampiran (Surat Perjanjian dan keterangan dua saksi di bawah sumpah tentang status bebas pihak non-katolik)

Ø  Mohon ijin untuk melangsungkan nikah Beda Gereja (Formulir 3);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Paroki asal (bagi calon yang beragama katolik)

o   Sebab-sebab agar dikabulkannya dispensasi

o   Alasan-alasan dari pemohon

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

o   Lampiran (Surat Perjanjian, keterangan dua saksi di bawah sumpah tentang status bebas pihak non-katolik dan keterangan perm

Ø  Surat Perjanjian: Perjanjian Pihak Katolik (Formulir 4);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Tempat dan Tanggal

Ø  Keterangan status bebas: Surat Keterangan (Formulir 5);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Tempat / Tanggal Lahir

o   Jabatan

o   Alamat

o   Saksi (saksi pertama dan saksi kedua)

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor yang memberi

Ø  Mohon “Nihil obstat” untuk menggunakan privilegi paulinum (Formulir 6);


o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

Ø  Mohon dispensasi dari halangan Beda Agama dalam penggunaan privilegi paulinum (Formulir 7);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Tanggal lahir

o   Tanggal Babtis

o   Tanggal dan nama pasangan (perkawinan pertama)

o   Tanggal perceraian

o   Alasan dispensasi

o   Daerah asal

o   Paroki asal

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

o   Lampiran (Surat Perjanjian, keterangan status bebas pihak non-katolik dan Interpelasi/mohon dispensasi dari interpelasi)

Ø  Mohon ijin untuk melangsungkan nikah Beda Gereja dalam penggunaan privilegi paulinum (Formulir 8);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Tanggal lahir

o   Tanggal Babtis

o   Agama (katolik / bukan katolik)

o   Tanggal dan nama pasangan (perkawinan pertama)

o   Tanggal perceraian

o   Tempat dan Tanggal pengesahan

o   Nama pastor dan alamat paroki

o   Lampiran (Surat Perjanjian, keterangan status bebas pihak non-katolik, keterangan babtis  pihak non-katolik dan Interpelasi/mo

Ø  Mohon “Nihil obstat” untuk menggunakan privilegi iman Kan. 1148 §1 (Formulir 9);
o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Paroki asal

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

o   Lampiran (Turunan surat nikah / keterangan nikah dari pihak pria dan wanita)

Ø  Mohon “Nihil obstat” untuk menggunakan privilegi iman Kan. 1148 §2 (Formulir 10);

o   Nama pria

o   Nama wanita

o   Paroki asal

o   Tempat dan Tanggal

o   Nama pastor dan alamat paroki

o   Lampiran (Turunan surat nikah / keterangan nikah dari pihak pria dan wanita, Surat Perjanjian dan Keterangan status bebas da

·         Berkas Arsip

Berkas arsip perkawinan yang telah dilangsungkan harus mencakup dokumen-dokumen berikut:

a)      Formulir penyelidikan kanonik yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

b)      Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan urusan pernikahan atau pencatatan sipil.

c)      Kesaksian bahwa perkawinan telah dicatat dalam buku babtis.

d)      Surat Perjanjian berhubungan dengan perkawinan campur.

e)      Surat dispensasi atau ijin yang diberikan.

f)       Sumpah dua orang saksi tentang status bebas atau babtis dari calon mempelai.

g)      Surat keterangan babtis dari pihak kristen non-katolik.

h)      Surat “Nihil obstat” dari Ordinaris wilayah atau Vikaris.

i)        Ijin tertulis untuk melangsungkan nikah di luar paroki mempelai.

j)        Delegasi untuk pastor dari luar keuskupan.

Catatan: untuk bagian d, e, f, g, h, i,dan j hanya berlaku sejauh diperlukan.

X. Penutup

            Penerapan hukum secara tepat merupakan sarana bantuan dan bukan tujuan dalam persiapan dan penyelidikan suatu perkawinan. Dalam p
dengan mewartakan ajaran Gereja mengenai perkawinan yang baik dan benar menurut hukum.

            Kebijakan pastoral dan penerapan norma-norma kanonik yang tepat dan benar akan sangat membantu demi kelangsungan sebuah perkaw
mempersiapkan diri menuju ke jenjang perkawinan.
[1] Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada,

[2] Timotius I. Ketut Adi Hardana, Kursus Persiapan Perkawinan (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 10.

[4] Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius 1998), hlm. 12-17.

[5] C. Groenen, Perkawinan Sakramental: Anthropologi dan sejarah teologi, sistematik, spiritualitas, pastoral (Yogyakarta: Knisius, 1993

[6]  Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan …, hlm. 24-26.

[7] C. Groenen, Perkawinan …, hlm. 106.

[8] Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan …, hlm. 28-55.

[9] Kitab Hukum Kanonik  (KHK) 1983 (Jakarta: Obor 1991), hlm. 4.

[10]  T. I. K. Adi Hardana, Kursus …, hlm. 10.

[11] Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik (Malang: Dialoma, 2006), hlm. 19.

[12] Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan …, hlm. 20-21.

[13] Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan ..., hlm 27.

[14] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan ..., hlm. 49.

[15] Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan ..., hlm 63-64.

[16] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan ..., hlm. 54-55.

[17] Bernard Cooke (ed.), Perkawinan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 53.

[18] Bernard Cooke (ed.), Perkawinan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 53.

[19] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan ..., hlm. 56.

[20] Catur Raharso, Paham Perkawinan …, hlm. 65.

[21] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan ..., hlm. 57-58.

[22] T. I. K. Adi Hardana, Kursus …, hlm. 12-13.

[23] Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan ..., hlm. 59-62.

[24] Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan …, hlm. 69-70.

[25] Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan dalam …, hlm. 70.

[26] Alf. Catur Raharso,  Paham Perkawinan …, hlm. 151.

[27]  Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan ..., hlm. 62.

[28] Para Waligereja Regio Jawa, Hukum Perkawinan Kanonik: Teks Kitab Hukum Kanonik dan Terjemahannya dan Statuta Keuskupan ([

Anda mungkin juga menyukai