SILABUS
BOBOT : 2 SKS
SEMESTER : V (LIMA)
STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memiliki pemahaman tentang prinsip dan strategi PAK dalam masyarakat majemuk,
menghayati pentingnya, serta mengembangkan model PAK multikultur yang inklusif.
KOMPETENSI DASAR :
STANDAR PENILAIAN :
1. Pengamatan dosen : 10 %
2. Laporan / tes kecil : 10 %
3. Tugas – tugas : 15 %
4. TTS : 25 %
5. TAS : 40 %
TEKNIK : Tertulis
BENTUK SOAL : Tes tertulis, tes sikap, porto folio, proyek unjuk kerja
MEDIA : Laptop
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 3
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
SUMBER BELAJAR :
1. Keluarga
2. Media eletronik (internet)
3. Narasumber
4. Lingkungan Alam
5. Lingkungan sosial
6. Teman dikampus
7. Teman dimasyarakat setempat
8. Komunitas gereja
9. Para guru / dosen
LITERATUR :
1. Pendidikan Agama Kristen oleh dosen Agama Kristen Trisakti, penerbit Univ. Trisakti Jakarta,
2000
2. Theologi abu-abu pluralisme Agama oleh Pdt.Dr.Lumintang, Stevri
3. Teologi politik : Agama – agama kekuasaan oleh Einar M. Sitompul et all
4. Kompilasi peraturan perundang-undangan kerukunan hidup umat beragama edisi kelima,
Jakarta Balitbang Agama Proyek peningkatan kerukunan hidup beragama 1996/1997
5. Iman agama dan masyarakat dalam Negara pancasila oleh A.A. Yewangoe, BPK gunug Mulia
6. Perundang-undangan pendidikan, oleh Nawawi H. Hadari 1978, Jakarta BPK Gunung Mulia
7. Dialog antar umat beragama olehWeinata Sairin
8. Agama-agama dan rekonsiliasi oleh Einar M. Sitompul et all
9. Agama-agama, kekerasan dan perdamaian, editor Einar et all, Jakarta bidang Marturia PGI
10. Agama-agama dan wawasan kebangsaan, editor einar sitompul et all, Jakarta balitbang PGI
Mission
11. Agama dan masyarakat : suati pengantar sosiologi agama, Elizabeth K. Nottingham, penerbit
CV. Rajawali Jakarta
12. PAK Majemuk, Daniel stefanus bina media informasi, bandung
13. Agama demokrasi dan informasi social oleh Amin, mansyur dan najib Muhammad, Jakarta :
LPSM NU DIY
14. Iman, Pendidikan dan perubahan social oleh Banawiratma J.B. Yogyakarta, Kanisius
15. Psikologi social oleh H.Abu at all, Jakarta. Rineka Cipta
16. Ajarkanlah mereka melakukannya, oleh Ismail Andar, Jakarta BPK Gunung Mulia
17. Isa dalam Quran dan Muhammad dalam Bible oleh Hasbullah Bakry, Jakarta. CV Firdaus
18. Allah dalam dunia postmodern oleh hipolitas, K.Kewuel, Malang:Dioma
19. Satu bumi banyak Agama dialog Multi agama dan tanggung jawab global, oleh Knitter F. Paul,
Jakarta; BPK Gunung Mulia
20. Agama dalam dialog,pencerahan, perdamaian dan masa depan oleh Schuman, Olaf Herbert,
at all, Jakarta; BPK Gunung Mulia
21. Pembelajaran moral berpijak pada karateristik siswa dan budayanya oleh budiningsih, Asri C.
Jakarta; PT Rineka Cipta
22. Globalisasi, kebangsaan dan kebangsaan dan agama-agama di Indonesia editor Einar
Sitompul, M.PGI dan Mission
23. Pendidikan multikultur, oleh Chairul, Mahfud, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
24. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan
nasional oleh Tilaar H.A.R, Jakarta;PT Gramedia Widiasarana Indonesia
25. Gagasan strategi atas misi transformasi gereja dalam masa reformasi di Indonesia, oleh
Titaley Jhon, Salatiga ; Fak.Teologia UKSW
26. PAK berwawasan multikultur oleh Zakiyuddin Baidhaway Jakarta; Erlangga
27. Antone Hope, PAK Kontekstual, BPK Gunung Mulia. 2009
Sebenarnya berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah
konsep kemajemukan atau keberagaman, dimana jika kita kembali pada arti pluralisme itu
sendiri bahwa pluralisme itu merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk.
Kemajemukan disini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. Namun
yang sering menjadi isu terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada prinsipnya,
konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu
mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu.
Dalam konsep pluralisme-lah bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai dari suku,
agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu dan utuh.
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran,
agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada
sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap menjadi
pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta
penindasan atas nama agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna
jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Lahirnya
gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah factor:
Masyarakat majemuk yaitu masyarakat Indonesia yang ditandai dengan kenyataan adanya
keragaman kesatuan sosial yang berdasarkan ras, suku, adat istiadat, budaya dan agama.
Kriteria klasifikasi suatu ras digunakan berdasarkan ciri-ciri biologis atau fisik. Secara garis
besar tanda-tanda fisik yang digunakan adalah bentuk badan, bentuk kepala, raut muka,
bentuk hidung, warna kulit dan bentuk rambut. Ras ditandai dengan adanya ciri-ciri fisik, dapat
dibedakan empat kelompok ras yaitu papua melanesoid, negroid, weddoid, dan melayu
mongoloid.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dikatakan masyarakat yang majemuk. Namun,
masyarakat Indonesia tetap memilki satu status dan kedudukan yang sama yakni sebagai
masyarakat Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara
Indonesia, yang dituntut untuk selalu bersatu tanpa mempedulikan berbagai perbedaan yang
ada demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat majemuk atas dasar pengertian tersebut dibedakan atas tiga kategori yaitu:
1) Kemajemukan sturuktural, dominasi politik dipegang oleh suatu kelompok tertentu.
2) Kemajemukan sosial, suatu keadaan dimana hak dan kewajiban tersebar secara merata
diantara kelompok sosial yang ada.
3) Kemajemukan budaya, seluruh warga masyarakat merupan bagian dari publik tanpa
memperhatikan identifikasi yang ideal maupun yang nyata.
a) Agama Islam. Di Indonesia Agama Islam terbagi kedalam beberapa kelompok, yaitu
Nahdatul Ulama, Muhamadyah, Persis, dan lain-lain.
b) Kristen, yaitu Katolik, Protestan dengan beberapa aliran yaitu Protestan arus Lutheran,
Calvinis (Reformed, Presbyterian), Anglikan (Episkopal), Mennonit, Baptis, Metodis,
Pentakostal, Kharismatik, Injili (Evangelical), Bala Keselamatan, Adventis, dan beberapan
aliran yang masih dihubungkan dengan Kristen yaitu Saksi Jehova (Menara Pengawal),
Mormon (tidak ada di Indonesia), Christian Science, Scientology, Gerakan zaman baru.
c) Hindu, Budha.
d) Kong Fu Cu, dan Agama-agama suku yang beraneka ragam.
3) Budaya, terdapat beragam budaya di Indonesia. Pola kebudayaan yang berlandaskan
penanganan penanaman padi dengan system irigasi (sawah), pola kebudayaan yang
didasarkan pada penanganan penanaman padi dengan system perladangan. Selain dua
kebudayaan ini, ada pengaruh kebudayaan dari luar seperti pengaruh kebudayaan Hindu
dan Budha, kebudayaan yang dipengaruhi Islam, Kristen dan Kong Fu Cu.
4) Bahasa, di Indonesia terdapat 250 bahasa, dan 30 kelompok etnis.
5) Pulau, di Indonesia terdapat kurang lebih 13.667 pulau. Ada pulau-pulau besar dan kecil.
6) Ekonomi yaitu adanya beragam variasi mulai dari system pertanian sampai industri
modern, lembaga keuangan juga bervariasi mulai dari system permodalan bank keliling
(rentenir, tengkulak) sampai bank modern, juga akhir-akhir ini bank syariah, sosial yaitu
dari segi demografi, penduduk Indonesia tersebar di desa terpencil yang homogeni sampai
kota yang heterogen dengan tingkat status sosial yang berbeda (yang kaya bertambah kaya,
yang miskin dimiskinkan) maupun politik.
Dalam konteks demikian bagaimana melaksanakan Pendidikan Agama Kristen. Salah satu
solusinya adalah melalui mata kuliah “PAK dalam Masyarakat Majemuk”. Dengan kata lain,
bagaimana melaksanakan Pendidikan Agama Kristen dalam hubungannya dengan sesama
manusia yang tidak seiman namun tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bersama dalam
sebuah Negara yang dikenal dengan masyarakat majemuk (masyarakat pluralis).1
Dasar teologis tentang masyarakat majemuk dalam uraian ini tidak bersifat biblika yaitu
mencari refrensi ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan masyakat majemuk, kemudian
dicari makna aslinya (eksegesis). Usaha eksegesis itu sangat penting. Akan tetapi dalam usaha
memahami dasar teologis tentang masyarakat Pluralisme Indonesia, penulis menggunakan
pendekatan teologis. Yang di maksudkan dengan pendekatan teologis yaitu pembicaraan
topik-topik tertentu secara lintas teks Alkitab, usaha memahami lintas teks ini bermaksud
merangkum pemahaman tentang masyarakat majemuk.
1
http://yannyhya.blogspot.com/2014/05/pak-dalam-masyarakat-majemuk.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 10
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) Pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah
membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak mampu secara mandiri
menyelesaikan tugas hidupnya. Pedagogik adalah ilmu pendidikan anak.
secara formal (Sekolah). Dalam masyarakat majemuk pendidikan (mendidik) atau paedagogik
yaitu kesediaan orang dewasa menuntun orang belum dewasa, atau tuntunan kepada anak
dapat berlangsung.
Jadi dasar paedagogi masyarakat majemuk adalah bahwa tuntunan kepada anggota
masyarakat majemuk yang masih belum dewasa (anak) mesti dilakukan oleh yang telah
dewasa (orang tua, guru dll). Butuh orang dewasa dalam masyarakat majemuk untuk
melaksanakan tuntunan/bimbingan/arahan kepada anak. Dalam konteks pemahaman
demikian maka penting kehadiran seorang Guru Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat
majemuk untuk melaksanakan tugas paedagogik itu. Bagaimana Guru Pendidikan Agama
Kristen melaksanakan tugas paedagogik terhadap peserta didik dalam masyarakat majemuk,
khususnya kemajemukan dalam agama, peserta didik Kristen akan berinteraksi dengan
peserta didik yang berasal dari agama lain. Sikap seperti apakah yang dapat dipakai untuk
bersikap terhadap saudara-saudara yang beragama non Kristen. Paedagogik di Sekolah, di
Gereja, dan di Keluarga/rumah. Misalnya bagaimana Guru Pendidikan Agama Kristen
mendidik anak-anak di rumah ketika anak sedang menonton acara TV dari agama non Kristen?
Ketika dikumandangkan azan di TV, dll.2
2
http://masyarakatmajemuk.blogspot.com/2013/01/dasar-teologis-dan-paedagogis.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 12
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
4) Kemajemukan Agama: PAK mesti dilaksanakan secara pluralis, inklusif (terbuka) tetapi
tetap mempertahankan nilai-nilai atau identitas Kristen, tetap melaksanakan misi TUHAN
(missio dey) ;
a) Setiap orang dalam agama lain adalah ciptaan Tuhan
b) PAK mempersiapkan generasi yang membangun sikap dialog
c) PAK mempersiapkan generasi saling menghargai agama
d) PAK mempersiapkan peserta didik untuk mampu hidup diantara lalang dan gandum
e) PAK mampu mempersiapkan generasi yang mengakui kebaikan dan kebenaran pada
agama lain tetapi itu tidak cukup untuk keselamatan kekal. Keselamatan kekal
membutuhkan logi TUHAN yang menjadi manusia. Memang benar bahwa pikiran adalah
pemberian Tuhan, melalui pikiran yang terus dipakai akan menghasilkan kebaikan dan
kebenaran tetapi masih kurang sehingga butuh kesempurnaan yaitu dalam Induk Logi
dari Yerusalem.3
Hidup ditengah orang yang berbeda agama membuat kita untuk lebih peka dengan sikap
hidup sehari-hari. Supaya tidak merasa di asingkan maka sikap yang perlu dihindari adalah:
1) Fanatisme
2) Suka membeda-bedakan
3) Egois
4) Memutar lagu rohani dengan volume yang sangat besar
5) Mengejek agama lain
6) Tidak menerima pemberian orang lain
7) Sensitivisme
Toleransi adalah kesiapan dan kemampuan batin untuk kerasan bersama dengan oranglain
yang berbeda secara hakiki,meskipun dalam cara hidup dan keyakinan terdapat konflik dalam
hidup tentang apa yang baik dan buruk. Toleransi memerlukan dialog untuk
mengkomunasikan dan menjelaskan perbedaan, menuntut keterbukaan, dan menerima
3
http://masyarakatmajemuk.blogspot.com/2013/01/prinsip-prinsip-pak-dalam-masyarakat.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 13
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
Membangun saling percaya adalah modal penting dalam membangun suatu masyarakat yang
heterogenitas. Jika tidak maka akan terjadi berbagai konlik dalam masyarakat.Pembangunan
hidup masyarakat suatu bangsa yang heterogenitas seperti Indonesia tidak akan terjadi tanpa
ada saling percaya diantara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda dalam agama
maupun suku.Perbedaan tidak dapat dijadikan menjadi potensi atau kekuatan bangsa,
melainkan dapat menjadi malapetaka yang mengakibatkan kehancuran suatu bangsa. Modal
utama social adalah memberikan sumbangan social dari masing-masing kelompok untuk
kebaikan bersama,menyampaikan kebaikan-kebaikan dan kebenaran,mempertemukan apa
yangmenjadi kewajiban dan beban social bersama.Bahwa pergumulan yang terdapat di
lingkungan masyarakat adalah merupakan tanggungjawab bersama,mengatasi bersama-sama
tanpa membicarakan apa latar belakang kita masing-masing.
Saling pengertian bukan berarti menyetujui perbedaan.Banyak orang tidak mau memahami
atau mengerti penganut keyakinan lain, sebab ia dapat dituduh sebagai orang yang
menyetujui keyakinan lain tersebut atau bersifat kompromi terhadap perbedaan yang
ada.Saling pengertian adalah kesadaran bahwa nilai-nilai yang di anut oleh orang lain memang
berbeda,tetapi mungkin dapat saling melengkapi dengan nilai-nilai yang kita anut serta
member kontribusi terhadap hubungan yang harmonis. Saling pengertian dapat saling
melengkapi dan memungkinkan dibangunnya kerjasama yang baik.Kawan sejati adalah lawan
dialog yang senantiasa setia untuk menerima perbedaan dan siap pada segala kemungkinan
untuk menjumpai titik temu didalamnya,serta memahami bahwa dalam perbedaan dan
persamaan dan dibangun hubungan yang harmonis. Membangun saling pengertian
memerlukan kedewasaan berpikir dan kedewasaan emosional.Saling pengertian adalah rasa
percaya bahwa penganut agama lain tidak akan melakukan usaha-uasaha yang tidak
baik,untuk mempengaruhi,mengajak atau member dorongan agar ia berpindah pada apa yang
kita yakini. Pendidikan agama mempunyai tanggungjawab membangun landasan etis
kepedulian terhadap sesame dan menghindari kesalahpahaman.
Sikap saling menghargai adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat kesetaraan.
Menghargai sesama manusia adalah sifat dasar yang diajarkan semua agama. Menjaga
kehormatan diri bukan berarti harus mengorbankan atau mengalahkan harga diri orang lain.
Saling menghargai adalah sifat dasariah manusia. Setiap manusia haruslah dihargai
sebagaimana ia ada.Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghargai orang lain. Yesus
4
http://masyarakatmajemuk.blogspot.com/2013/02/sikap-sikap-orang-kristen-peserta-didik.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 14
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
memberikan Teladan bagi kita bagaimana Ia sebagai Tuhan dan Juruselamat member
penghargaan yang tulus kepada kita. Ia menerima kita sebagaimana kita ada.Yesus tidak
pernah mempersoalkan latarbelakang golongan kita,atau warna kulit kita.Ia mengasihi semua
orang dan mengorbankan diri-Nya untuk semua orang. Yesus menghargai Zakheus pemungut
cukai dan menghargai perempuan pelacur yang dianggap hina oleh masyarakat. Yesus
menghargai orang lumpuh di kolam Bethesda dan menghargai perempuan Samaria yang
bertemu dengannya di sumur Yakub. Ia juga menghargai anak-anak kecil dan menghargai
orang-orang tua yang sudah tidak berdaya.
Sikap saling menghargai antar penganut agama-agama, dan memungkinkan kita dapat dan
siap mendengarkan sura agama lain yang berbeda, menghargai martabat setiap individu dan
kelompok keagamaan yang beragam. Saling menghargai akan membawa pada sikap saling
berbagi di antara semua individu.5
Jadi, Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan supaya orang yang berbeda dengan kita bisa
menerima perbedaan dan membuat kita nyaman adalah sebagai berikut:
1) Saling terbuka
2) Menerima perbedaan
3) Saling mengingatkan untuk kebaikan
4) Menerima teguran
5) Saling berbagi
6) Suka memberi
7) Tegur sapa
8) Saling membantu
5
http://mextedi.blogspot.com/2012/06/arah-pak-dalam-masyarakat-majemuk.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 15
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
V. PENDEKATAN PAK
Pendekatan yang cocok kepada orang yang berbeda agama adalah pendekatan dialogis. Dialog
beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai tuntutan mutlak yang tidak dapat
dipungkiri. Pendekatan dialog bukan berarti penyelarasan semua keyakinan melainkan
pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak. Selain
itu, keyakinan-keyakinan itu berbeda. Dalam berdialog dengan orang yang berbeda,
dibutuhkan kematangan ego yang memadai supaya lawan bicara tidak merasa kalau mereka
di sesuaikan.
Barangkali inilah suatu tantangan yang harus dihadapai. PAK bukan hanya mengajarkan
tentang doktrin/dogma semata, tetapi juga memiliki tujuan dalam pelaksanaannya dalam
konteks Asia ini. Education for peace perlu menjadi tujuan dalam pelaksanaan PAK di Asia yang
majemuk, karena dari kemajemukan tersebut sering terjadi juga banyak konflik.6
Berbagai jenis pendekatan :
1) Eksklusisivisme
Eksklusivisme berarti mengeluarkan semua hal (di sekelilingnya) dari dirinya, sesuatu yang
sendirinya dalam posisinya, terpisah dari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau
sering disebut juga suatu kekhususan dibandingkan dengan yang lainnya. Biasanya posisi
eksklusivisme dari kekristenan dikalimatkan dengan “tidak ada agama yang
menyelematkan dan diterima Allah selain agama Kristen” atau “semua agama yang ada
adalah tidak benar dan tidak dapat menyelamatkan manusia di hadapan Allah”. Karl Barth
menganggap agama-agama (termasuk agama Kristen) sebagai ketidakpercayaan ata
keprihatinan manusia tanpa Tuhan. Agama Kristen dianggap sebagai agama sejati, bukan
karena sesuatu yang intrinsik dari dalam dirinya, tetapi karena Allah telah menciptakan,
memilih, membenarkan, dan menguduskannya. Barth menegaskan prinsipnya, agama-
agama itu sendiri adalah suatu usaha yang sia-sia untuk mengenal Allah, hanya melalui
wahyu, Allah dapat dikenal dan melalui Yesus Kristus manusia diperdamaikan dengan Allah.
6
http://www.rudyfanggidae.com/2015/03/pendidikan-agama-kristen-dalam.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 16
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
Dengan ini pula Barth berusaha menekankan pentingnya pemberitaan Injil untuk
memperdamaikan manusia kepada Allah melalui Yesus Kristus yang dikatakannya sebagai
kemenangan anugerah. Posisi ini diwakili oleh Perjanjian Lausanne (Lausanne Covenan),
tahun 1974, kemudian dilanjutkan dengan Pernyataan Amsterdam (Amsterdam
Statement) tahun 1983. Terakhir, dinyatakan kembali dalam Perjanjian Lausanne II di
Manila (1987) yang dikenal dengan Manila Declaration – The Unique Christ in our Pluralistic
World – atau deklarasi tentang keunikan Kristus yang eksklusif dalam dunia yang pluralistik
ini. Secara khusus, eksklusivisme yang dipegang oleh Konsili Latheran IV (1215) dan
dilanjutkan dengan Konsili Florence (1442), ke-eksklusifan-nya bukan berdasarkan Kristus
dan penyataan Allah, tetapi berdasarkan kegerejaan. Pernyataan Konsili Latherannn Extra
Ecclesia Nulla Salus atau “di luar gereja tidak ada keselamatan”, yang maksudnya gereja
adalah Katolik Roma, terlihat hanya sebagai eksklusivitas yang sektarian.
Gerakan Jansenisme menolak pernyataan Extra Ecclesia Nullam Sanctam atau “di luar
gereja tidak ada pengampunan”, tetapi disambut dengan suatu cetusan baru “gereja tidak
mungkin salah” lalu “Paus tidak mungkin salah” oleh gereja Roma. A. G. Honig, dalam
bukunya Ilmu Agama mengajukan suatu pendekatan yang disebut “elentik” atau
“Konfrontasi”. Kata elentik berasal dari kata Yunanai elencho yang berarti “membantah”
atau “meyakinkan tentang kesalahan”. Dalam hal ini kemungkinan besar kesalahan yang
dicari-cari untuk dibeberkan adalah dari agama-agama lain.
2) Inklusivisme (sinkritisme)
Inklusivisme adalah keterbukaan yang ekstrim terhadap sesuatu dari luar atau yang
berlainan dan mempersilahkan yang berlawanan mendapat bagian dalam dirinya. Konsep
ini berarti ada bagian kekristenan yang dibagikan kepada agama-agama lain mendapat
keselamatan dari kebenaran Kristus yang ada di dalam kekristenan. Posisi ini bersifat
sinkritisme karena toleransi radikal, sehingga sering dikalimatkan dengan pandangan yang
“komprmistik”.
Karl Rahner (bukunya Christianity and Non Christian Religions) mencoba menjelaskan
keeklusifan kekristenan sekaligus keuniversalan Kristus dan sifat Allah sebagai suatu
paradoks yang menghasilkan pemahaman, “sesungguhnya setiap manusia terbuka
terhadap pengaruh rahmat ilahi yang adi-kodrati”. Rahner membentuk pendiriannya
dalam kaitannya dengan keempat tesis berikut: (1) Agama Kristen memahami dirinya
sebagai agama mutlak yang ditujukan kepada semua orang dan oleh karena itu tidak
boleh mengakui agama lain sama dengan dirinya. (2) Hingga Injil masuk ke dalam sejarah
seorang individu, sebuah agama non Kristen dapat mengisi individu yang bersangkutan
tidak saja dengan pengetahuan alamiah mengenai Allah, tetapi juga dengan unsur-unsur
yang adi-duniawi pemberian sukarela Allah dalam Kristus. (3) Oleh karena itu agama
Kristen tidak melulu menghadapi agama lain sebagai agama bukan Kristen belaka
melainkan seorang kristen anonim . (4) Gereja tidak akan terlalu menganggap dirinya
sebagai komunitas eksklusif, orang-orang yang memiliki keselamatan.
Raimundo Panikkar mengungkapkan keterbukaan yang sama dalam konteks hubungan
dengan agama Hindu di India. Melalui dialog, suatu kebenaran harus diakui oleh kedua
pihak agama tersebut, sehingga kebenaran dimiliki oleh kedua belah pihak dengan
wadah dan tradisi khusus yang berbeda. Tanpa disadari oleh pemeluk agama non-
Kristen, Kristus berada di dalam agama-agama tersebut, sekaligus mengerjakan
keselamatan.
Paul Tillich ingin mendamaikan ketegangan-ketegangan yang biasa ada di dalam suatu
agama, yaitu penilaian terhadap agama lain dan penilaian dari agama lain, sambil
bermaksud tetap mempertahankan kekhususan kekristenan.
Leslie Newbegin, adalah seorang Protestan yang tetap dalam mempertahankan
keunikan finalitas Kristus sebagai suatu kebenaran dan jalan kepada Allah. Namun sikap
ini diperlunak dengan pendekatan inklusifnya.
S.J. Samartha adalah seorang teolog yang dapat dikatakan berposisi inklusif juga.
Samartha sangat menekankan pentingnya kekristenan tetapi juga secara bersamaan
mementingkan agama-agama lain di dalam hubungannya dengan kekristenan.
7
https://fedrichsolla.wordpress.com/2014/03/19/metode-pendekatan-terhadap-agama-agama-dunia/
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 20
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
5) Ramah tamah
6) Terbuka8
b. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multicultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang
keanekaragaman cultural, hak-hak asasi manusia, serta pengurangan atau penghapusan
berbagai jenis prasangka untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.
Pendidikan multicultural juga dapat diartikan strategi/perencanaan untuk mengembangkan
kesadaran akan kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Di Indonesia pendidikan
multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang hetrogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi
yang diberlakukan sejak 1999.
Pertentangan etnis yang terjadi di negeri ini mengajarkan betapa pentingnya pendidikan
multicultural bagi masyarakat. Pada sentra-sentra kebudayaan, seperti kota-kota besar, di
mana hidup berbagai macam etnis di dalamnya, pertemuan antar kebudayaan merupakan
persoalan yang menarik. Pada prinsipnya, pendidikan multicultural adalah pendidikan yang
menghargai perbedaan. Untuk mendisain Pendidikan multicultural secara praktis memang s
tidak mudah. Akan tetapi untuk mewujudkan pendidikan multicultural maka perlu
diperhatikan dua hal:
8
http://yannyhya.blogspot.com/2014/05/pak-dalam-masyarakat-majemuk.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 21
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
Melihat kemajemukan yang ada di Indonesia maka pendidikan agama yang cocok adalah
pendidikan agama yang inklusif. Pendidikan inklusif adalah para murid diajak untuk
merefleksikan realitas kemajemukan. Pendidikan inklusif berarti pengajaran agama harus
lebih menekankan nilai-nilai pluralisme dan kebersamaan. PAK harus membebaskan murid
9
http://masyarakatmajemuk.blogspot.com/2013/03/model-pak-yang-multicultur-dan-inklusif.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 22
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
dari sekat-sekat primordial. Jangan sampai PAK melemahkan kemampuan bertoleransi dan
menguatkan fanatisme.
Pendidikan multikultural harus dimulai dari keluarga, sekolah, gereja, dll. Contoh
penerapan pendidikan multikultural dalam keluarga adalah mengajar anak menonton
mimbar agama lain. Dari situ anak diajak untuk memahami nilai-nilai yang sama atau yang
berbeda dan memberikan pengertian kepada anak tersebut supaya dia bisa menerima
perbedaan dan persamaan tersebut.
Contoh penerapan pendidikan multikultural di sekolah adalah peserta didik diajak untuk
melihat nilai budaya lain sehingga peserta didik mengerti dan bisa menghargai yang
berbeda budaya. Kelas di dekorasi dengan nuansa yang multikultur sehingga anak didik
yang berbeda budaya tidak merasa di tolak.
Contoh PAK yang inklusif di sekolah yaitu murid dibiasakan pertanyaan “Bagaimana menjadi
sesama bagi orang lain?”, bukan selalu bertanya “Siapakah sesamaku?”. Dalam hal ini, Kitab
Suci dan tradisi religius kaya dalam memberikan motivasi bagaimana hidup sebagai sesama
dan menjadi sesama bagi orang lain.
PAK di sekolah harus di kembangkan guna menghasilkan insan muda yang tahu mengharigai
perbedaan dan peka akan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pendidikan agama harus memberi
wawasan tentang kehidupan secara utuh. Murid juga harus menyadari bahwa tujuan hidup
tertinggi adalah mengabdi kepada sesama.10
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek
kebhinekaan yang manunggal dalam ke ekaan mulai menjadi mesalah yang tak pernah
kunjung selesai. Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik sepatutkan
dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya (multi culturalme) yang mencakup tidak
hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di Indonesia, sekaligus harus
dibarengi oleh kebijakan politik Nasional yang meletakkan berbagai kebudayaan itu dalam
kesetaraan derajad.
Tranformasi budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat dipandu secara
perlahan lewat jalu media massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta arus informasi, memerlukan berbagai penyesuaian, baik dalam struktur
pekerjaan, tuntutan keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan
tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan identitas diri, dan terbawa
10
http://yannyhya.blogspot.com/2014/05/pak-dalam-masyarakat-majemuk.html
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 24
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang
mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat. Nilai
budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan
tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa
secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan
setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf
pembentukan. Dengan berpijak pada pemahaman tersebut, nampak bahwa kebijakan
pendidikan yang sentralistik menjadi tidak relevan.
Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis
adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga
manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya
perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik
di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di
sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi
pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi.
Secara singkat inti permasalahan yang mempunyai potensi disintegrasi bangsa Indonesia
adalah:
1) Corak bhineka tunggal ika sebagai lambang negara yang menekankan komposisinya pada
keanekaragaman sukubangsa dan kesukubangsaan, dan bukannya pada kebudayaan
sebagai fokus keanekaragamannya dan keanekaragaman sukubangsa sebagai produk dari
acuan keanekaragaman kebudayaan tersebut.
2) Sistem nasional yang otoriter-militeristik dan yang korup dalam segala aspek, sehingga
berbagai bentuk pemanipulasian hukum dan SARA bagi berbagai kepentingan dan
keuntungan oknum telah terjadi, yang menyebabkan rasa ketidak adilan hanya dapat
diatasi dengan dalam perlindungan sukubangsa dan kesukubangsaan.
3) Corak masyarakat yang tidak demokratis walaupun mengaku sebagai demokratis. Dalam
pemerintahan Suharto konsep demokrasi diberi embel-embel, seperti demokrasi
Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan karena tidak operasional, dan yang karena
itu tidak menjadi ideologi dalam pengertian yang sebenarnya karena hanya lip-service
atau buah bibir saja. Demokrasi Pancasila dalam konteks filsafat dan ideologi menjadi
absolute (Suparlan 1992), karena tidak universal dan tidak didukung oleh berbagai filsafat
dan ideologi lainnya, serta tidak menjadi bagian dari kebudayaan dan pranata-pranata
demokrasi tetapi menjadi inti dari kebudayaan otoriter yang militeristik yang pada waktu
itu berlaku. Produk dari penerapan demokrasi Pancasila selama tiga puluh tahun, yang
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung
dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Dalam artinya yang lengkap kebudayaan adalah keseluruhan pikiran, karya dan hasil karya
manusia sebagai anggota masyarakatnya yang tidak berakar pada nalurinya dan hanya dapat
dikuasai atau dihasilkannya dalam suatu proses belajar. Dalam arti ini kebudayaan adalah
ungkapan kehidupan manusia dan masyarakatnya yang mengolah alam lingkungannya untuk
mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya dan mencakup segala perbuatan
manusia. Dengan demikian kebudayaan bukanlah semata-mata sekumpulan barang dan karya
kesenian, buku, bangunan dan lain sebagainya, melainkan juga dan pertama-tama kegiatan
11
http://etnobudaya.net/2014/09/11/bhinneka-tunggal-ika-keanekaragaman-sukubangsa-atau-kebudayaan/
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 26
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
manusian membuat alat-alat dan benda-benda tersebut, adat-istiadat, tata cara, cara
mengasuh anak, sistem-sistem sosial, pranata-pranata sosial dan lain sebagainya. Termasuk
pula kegiatan manusia mengadakan pembaruan-pembaruan di segala bidang guna
meningkatkan mutu hidupnya. Ciri khasnya ialah kemampuan manusia untuk belajar dan
menemukan sesuatu baru demi perbaikan hidupnya. Oleh sebab itu kebudayaan dapat
dibatasi sebagai keseluruhan penemuan manusia demi perbaikan hidup manusiawi.
Kebudayan harus selalu mempunyai nilai hidup, artinya harus selalu mengabdi kepada
kehidupan manusiawi. Dalam rangka meningkatkan mutu hidup itu, manusia menciptakan
teknik-teknik dan organisasi-organisasi termasuk negara untuk meningkatkan efisiensi kerja
guna mencapai hasil sebanyak mungkin dengan tenaga yang tersedia. Manusia selalu
berusaha memperbaiki keduanya itu dalam pembaruan-pembaruan dan penemuan-
penemuan baru.
Setiap kebudayaan terdiri atas banyak unsur yang biasa dibagi dalam tujuh kelompok yang
disebut universalia budaya (cultural universals) karena bersifat universal, yaitu peralatan dan
perlengkapan hidup manusia atau teknologi, mata pencarian dan sistem-sistem
ekonomi,sistem-sistem sosial, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi termasuk
moralnya. Berkat semuanya itu manusia dapat hidup aman dan mengembangkan dirinya serta
mewujudkan kesejahteraan lahir batinnya.
Nilai-nilai moral yang tekandung dalam Pancasila adalah bagian inti kebudayan nasional
Indonesia itu. Moral Pancasila bukanlah semata-mata satu bagian di samping bagian-bagian
lain kebudayaan kita, melainkan bagian inti dan jiwanya. Moral Pancasila mengarahkan
kebudayaan kita pada tujuannya dan memberikan dimensi manusiawi kepadanya. “Bentuk-
bentuk kebudayaan sebagai pengejawantahan Pribadi Manusia Indonesia harus benar-benar
menunjukkan nilai hidup dan makna kesusilaan yang dijiwai Pancasila,” demikian ditetapkan
dalam GBHN 1978 tersebut. Berkat peranan Pancasila itu kebudayaan nasional Indonesia akan
dapat memegang peranan yang diharapkan, yaitu sebagai panglima kehidupan bangsa
Indonesia. Dalam arti ini kebudayaan nasional dapat berfungsi sebagai strategi kehidupan
masyarakat dan negara Indonesia dan secara demikian menjamin tercapainya tujuan-tujuan
nasional kita.
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai – nilai Pancasila itu memenuhi kriteria puncak – puncak
kebudayaan dengan segala fungsinya. Nilai pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas sangat
luas persebarannya di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk dengan
keanekaragaman kebudayaannya. Dapat dikatakan bahwa tidak satupun suku bangsa ataupun
golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab juga merupakan nilai budaya yang
dijunjung tinggi oleh segenap warga negara Indonesia tanpa membedakan asal – usul
kesukubangsaan, kedaerahan maupun golongannya.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia juga merupakan salah satu puncak kebudayaan yang
mencerminkan nilap budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di
kepulauan Nusantara untuk mempersatukan diri mereka sebagai satu bangsa yang berdaulat.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan menceminkan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia yang menghargai tinggi kedaulatan rakyat untuk melakukan kesepakatan
dalam mencari kebijaksanaan lewat musyawarah. Nilai-nilai budaya yang menghargai
kepentingan kolektif lebih tinggi daripada kepentingan individu itu merupakan gejala yang
universal dan relevan sebagai kendali dalam menghadapi perkembangan nilai-nilai budaya
yang mendahulukan kepentingan perorangan.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia tidak perlu dijelaskan lagi, betapa
sesungguhnya nilai-nilai keadilan itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat
perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan,
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.
Dengan demikian jelaslah bahwa Pancasia itu.harus diperlukan bukan sekedar sebagai
ideologi politik, melainkan sebagai nilai budaya inti (core value) yang menjiwai kehidupan dan
berfungsi sebagai motor serta symbol pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk
Indonesia yang sedang mengalami perkembangan. Sebagai perangkat nilai inti, Pancasila tidak
hanya akan berfungsi sebagai kerangka acuan bagi segenap warga negara dalam menghadapi
tantangan, melainkan juga sebagai kendali yang mengikat arah perkembangan kebudayaan
agar tidak terlepas dari akarnya. Sementara itu sebagai simbol pengikat persatuan, Pancasila
yang terwujud sebagai konfigurasi perangkat nilai budaya inti yang diyakini kebenarannya
sebagai acuan bersama, mempunyai kekuatan integratif dalam masyarakat majemuk yang
mempunyai aneka ragam latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu ia harus diwujudkan
secara nyata dalan pengembangan kebudayaan bangsa yang akan berfungsi sebagai acuan
bagi masyarakat dalam menyelanggarakan kehidupan sehari-hari maupun dalam menggapai
tantangan kemajuan.
Mengingat arti pentingnya Pancasila sebagai kerangka acuan yang memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa, ia harus “dilestarikan” secara aktif melalui proses pendidikan dalam arti
luas. Nilai – nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh (integrated value) harus
diutamakan dan dikukuhkan dalam kehidupan masyarakat sehari – hari dan bukannya untuk
dihafalkan unsure – unsurnya secara lepas, apabila dipuja – puja sebagai sesuatu yang sakti.
Perlakuan nilai – nilai inti Pancasila secara lepas hanya akan memicu fanatisme dan
memancing konflik sosial, politik dan kebudayaan yang semakin tajam dikalangan masyarakat
majemuk yang cenderung memilih pengutamaan salah satu nila inti sebagai simbol integratif
kelompok sosial masing – masing. Sementara itu pemuja Pancasila sebagai rumusan etos
budaya bangsa yang sakti atau sacral, hanya akan menambah jauh nilai – nilai budaya inti dari
kehidupan nyata para pendukungnya. Oleh karena itu Pancasila harus diterjemahkan sebagai
kerangka acuan bagi perkembangan pranata sosial dan pengembangan sikap serta pola
tingkah laku masyarakat dalam menghadapi tantangan hidup yang penuh dinamika.
C. Konflik yang Muncul Akibat Adanya Keanekaragaman Budaya Indonesia dan Solusi yang
Diberikan Pancasila Dalam Mengatasi Konflik
Konflik adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat.
Selama masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak, serta cita-cita konflik senantiasa
“mengikuti mereka”. Konflik antarbudaya ataupun multidimensional yang sering muncul dan
mencuat dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini bukanlah konflik yang
muncul begitu saja. Akan tetapi, merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam
menempatkan hak dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik. Konflik
merupakan gesekan yang terjadi antara dua kubu atau lebih yang disebabkan adanya
perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumber daya, serta distribusi yang tidak
merata, yang dapat menimbulkan deprifasi relative1 di masyarakat.
Konflik perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan masyarakat.
Keterbukaan dan keseriusan dalam mengurai akar permasalahan konflik dan komunikasi yang
baik dan terbuka antarpihak yang berkepentingan merupakan cara penanganan konflik yang
perlu dikedepankan. Adanya data dan informasi yang jujur dan dapat dipahami oleh semua
pihak yang berkepentingan merupakan syarat bagi terjalinnya komunikasi di atas. Keragaman
budaya yang ada bisa juga berarti keragaman nilai-nilai. Keragaman nilai bangsa kita
seharusnya dipandang sebagai modal bangsa, bukan sebagai sumber konflik.
Masyarakat Ambon misalnya, umumnya mereka adalah kelompok masyarakat yang statis.
Mereka lebih suka menjadi pegawai negeri, menguasai lahan tempat kelahirannya, juga
memiliki ladang dan pengolahan sagu. Berbeda dengan masyarakat Bugis. Sebagai kaum
pendatang yang tidak memiliki lahan, mereka sangat dinamis dan mampu menangkap peluang
dengan cepat. Pada umumnya mereka adalah pedagang. Keadaan ini menyebabkan
masyarakat Bugis banyak menguasai bidang ekonomi di Ambon, lama kelamaan kemampuan
finansial mereka lebih besar yaitu lebih kaya. Sedangkan warga lokal (Ambon) hanya bisa
menyaksikan tanpa mampu berbuat banyak. Akibatnya, kesenjangan ini kian hari kian
bertambah dan menjadi bom waktu yang siap meledak, bahkan sudah meledak. Sepertinya
konflik Poso pun berlatar belakang hampir sama dengan konflik Ambon. Hal sama juga terjadi
di Timor-Timor. Ketika Tim-Tim masih dikuasai di Indonesia, masyarakat Tim-Tim yang statis
tidak bisa berkembang. Sedangkan warga pendatang, yang umumnya bersuku Batak, Minang,
Jawa, penguasa ini berbagai bidang ekonomi, sehingga terjadi kecemburuan sosial. Kondisi
serupa terjadi di Sambas. Konflik yang terjadi karena suku Madura yang menguasai sebagian
besar kehidupan ekonomi setempat.
Untuk mengantisipasi konflik-konflik di masa yang akan datang, masyarakat yang berpotensi
tunggal seperti itu harus didorong untuk ikut beradaptasi dengan masyarakat dinamis. Jadi,
penyelesaian konflik-konflik perlu cara yang spesifik bukan dengan cara kekerasan.
Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah pendekatan budaya- politik. Pendekatan budaya
dapat dilakukan dengan menyerap dan memahami sari-sari budaya kelomok-kelompok
masyarakat yang berupa nilai-nilai yang mereka yakini, pelihara dan pertahakan, termasuk
keinginan-keinginan yang paling dasar.
Untuk menanamkan nilai-nilai budaya nasional pada generasi penerus bangsa, instansi-
instansi hendaknya menyusun kurikulum tentang pendidikan karakter dan budi pekerti bangsa
di sekolah-sekolah. Tujuannya, untuk menjaga nilai-nilai budaya nasional dan penangkal
masuknya arus globalisasi. Pendidikan budi pekerti juga diharapkan mampu mencegah
timbulnya konflik antar suku bangsa di Indonesia melalui ketahanan budaya.
Pancasila yang digali dan dirumuskan para pendiri bangsa ini adalah sebuah rasionalitas kita
sebagai bangsa majemuk, multi agama, multi bahasa, multi budaya, dan multi ras, yang
bergambar dalam Bhineka Tunggal Ika. Kebinekaan Indonesia harus dijaga sebaik mungkin.
Kebhinekaan yang kita inginkan adalah kebhinekaan yang bermartabat. Untuk menjaga
kebhinekaan yang bermartabat itulah, maka berbagai hal yang mengancam kebinekaan harus
ditolak. Namun dengan kebhinekaan tersebut hingga saat ini bangsa Indonesia belum memiliki
identitas kebudayaan yang jelas. Selama ini Indonesia hanya memiliki identitas semu yang
belum mantap tetapi dipaksakan seolah-olah menjadi ciri khas kebudayaan. Hal inilah yang
mengakibatkan peselisihan dan menimbulkan konflik.
Didalam pancasila terdapat nilai-nilai yang digunakan bangsa Indonesia sebagai landasan serta
motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
EKO PAULUS A. KALE 2015
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 31
PAK Dalam Masyarakat Majemuk
kenegaraan. Nilai-nilai tersebut selalu dapat memberikan solusi atas masalah yang terjadi
dalam negara Indonesia kususnya masalah kemajemukan. Nilai-nilai luhur pancasila tersebut
tertuang dalam setiap butir-butir pancasila.12
KESIMPULAN
Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama
(konsistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Hidup di tengah kemajemukan ini mengajak manusia untuk senantiasa bertoleransi dengan
orang yang berbeda. Solidaritas sangat di junjung tinggi sehingga tujuan bersama bisa tercapai
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai seorang guru PAK, harus lebih teliti dalam melakukan setiap pengajaran di sekolah
sehingga anak didik dilatih untuk tidak membeda-bedakan. Pendidikan multikultur sangat
penting diterapkan sejak dini, dan cara belajar yang inklusif adalah salah satu cara yang sesuai
untuk kemajemukan saat ini.
12
http://farahzhaqia.blogspot.com/2012/10/pancasila-sebagai-paradigma.html
EKO PAULUS A. KALE 2015