Anda di halaman 1dari 15

ILLUMINATE

Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani


Vol 4, No 1, Juni 2021 (35-49)
ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) http://www.sttbaptis-medan.ac.id/e-journal/index.php/illuminate

Dampak Konversi Agama Pra-Pernikahan Terhadap Eksistensi


Keluarga Kristen

Saronisa Ginting
Sekolah Tinggi Teologi Baptis Medan
saronisaginting@gmail.com

Abstract
The background of the problem in this study is the phenomenon of pre-marriage religious
conversion as a solution for a couple to be able to continue their married life, while the purpose
of this study is to describe the effectiveness of a couple who performs religious conversion,
possible problems that occur after religious conversion and how the couple maintains the
existence of their family. The contents of this article include: an explanation of religious
conversion in general, the background of pre-marriage religious conversion, the meaning of
Christian marriage, the possible problems that arise in couples with religious conversion,
efforts to maintain the existence of the family. In conclusion, religious conversion is not the best
way to choose a life status, for someone who wants to take this action needs a serious decision
and commitment, because changing beliefs means changing the identity, lifestyle, concepts and
fundamental principles that have been owned by previous religions.

Keywords: religious conversion; married; Christian

Abstrak
Latar belakang masalah kajian ini adalah terjadinya fenomena konversi agama pra-pernikahan
sebagai solusi pada sebuah pasangan untuk dapat melanjutkan kehidupan pernikahan, adapun
tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui gambaran tingkat keefektivan sebuah pasangan
yang melakukan konversi agama, kemungkinan masalah yang terjadi pasca konversi agama dan
bagaimana pasangan mempertahankan eksistensi keluarganya. Bagian isi daripada artikel ini
antara lain: penjelasan konversi agama secara umum, latar belakang konversi agama pra-
pernikahan, arti pernikahan kristen, kemungkinan permasalahan yang muncul pada pasangan
dengan konversi agama, upaya dalam menjaga eksistensi keluarga. Kesimpulannya konversi
agama bukanlah jalan terbaik untuk memilih status hidup, bagi seseorang yang ingin mengambil
tindakan ini perlu keputusan dan komitmen yang serius, karena mengubah keyakinan berarti
mengubah jati diri, pola hidup, konsep, dan prinsip-prinsip fundamental yang pernah dimiliki
dari agama sebelumnya.

Kata Kunci: konversi agama; pernikahan; keluarga; Kristen

I. Pendahuluan
Pernikahan merupakan sebuah pilihan dan kebebasan memilih pasangan hidup adalah
hak dasar setiap individu. Berangkat dari fenomena yang terjadi, tampaknya kebanyakan
pasangan memilih menikah karena dasar cinta atau asmara (eros) yang sifatnya berpusat pada
diri sendiri.1 Dan ketika diperhadapkan kepada situasi dimana pasangan akan menikah, maka

1
K. Kartono, Psikologi Wanita: Wanita Sebagai Ibu Dan Nenek (Bandung: Alumni, 2016).

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 35
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 4, No 1, Juni 2021

muncullah situasi yang kompleks/rumit ketika agama pasangannya berbeda atau berlawanan
dengannya.2
Di Indonesia, sekalipun memiliki penduduk pluralistik, namun tidak ada undang-
undang yang melegalkan pernikahan pasangan berbeda agama. Akhirnya, setiap pasangan
harus memutuskan untuk memeluk satu agama, maka sah secara hukum. Walaupun masih ada
kasus-kasus tertentu dimana dalam sebuah keluarga terdapat lebih dari satu agama.
Sedangkan disisi lain pilihan untuk berpindah kepercayaan harus melalui pertimbangan dan
kemungkinan resiko yang berat. Tentunya keputusan untuk melakukan konversi agama adalah
sulit karena menyangkut prinsip dan bagian-bagian fundamental individu. Maka, banyak
orang akhirnya membatalkan pernikahannya dan memilih jalan yang sesuai.
Fenomena konversi agama pra-pernikahan menjadi hal menarik untuk dikaji lebih
lanjut, karena masalah ini menyangkut batin yang mendasar oleh individu atau kelompok
yang bersangkutan, konversi agama akan mengubah hidup orang selama-lamanya, dan pada
dasarnya perubahan tersebut akan menata ulang identitas diri, makna dan tujuan hidup, serta
keyakinan terhadap iman untuk kehidupan setelah kematian dari kepercayaan asal.
Diharapkan, individu harus mampu meninggalkan sebagian atau seluruh sistem kepercayaan
asal, memulai kembali tata nilai, perilaku untuk menyesuaikan dengan keyakinan yang baru.3
Konversi agama (religious conversion) merupakan tindakan seseorang atau kelompok
untuk berpindah kepada suatu sistem kepercayaan yang berbeda dari sistem kepercayaan
sebelumnya.4
Fenomena konversi agama pada masyarakat majemuk tampaknya sudah menjadi hal
biasa, dengan adanya proses asimilasi khususnya melalui pernikahan. Kebebasan beragama
juga dijamin oleh undang-undang, walaupun akhirnya salah seorang harus meninggalkan
keyakinannya. Bahkan terdapat beberapa kasus dimana konversi agama pra-pernikahan
menjadi salah satu program penginjilan, seperti diikutip dari Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman,
dalam penelitian tersebut, ada program pemberitaan injil dan melakukan pernikahan kepada
masyarakat beragama Islam di suku Minangkabau sejak tahun 1950.5
Setiap individu yang ingin memasuki kehidupan pernikahan tentunya disertai dengan
harapan dan keinginan untuk memiliki keluarga yang harmonis dimasa mendatang, sedangkan
kehidupan pernikahan memerlukan kesesuaian, Hurlock berpendapat bahwa adaptasi atau
penyesuaian diri wajib dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik atau proses
menyelesaikan konflik, terkhusus bagi pasangan yang melakukan konversi agama.6
Menurut Maylinda pasangan yang telah melakukan konversi agama akhirnya akan
sering disertai perasaan bersalah, penyesalan, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan
bahkan mengalami tekanan batin. Masalah ini lebih besar lagi pada pasangan yang mengalami

2
Moerika, “Proses Pengambilan Keputusan Pada Individu Dewasa Muda Yang Melakukan Konversi
Agama Karena Pernikahan” (Universitas Indonesia, 2018). diakses 5 Februari 2021, pukul 17:43 WIB
3
Jenny Lukito Setiawan Rani Dwisaptini, “Konversi Agama Dalam Kehidupan Pernikahan,”
Humaniora 20, no. 3 (2008): 327–339.
4
Jalaludin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
5
Kurnial Ilahi, Jamaluddin Rabain, and Suja’i Sarifandi, “Dari Islam Ke Kristen Konversi Agama Pada
Masyarakat Suku Minangkabau,” Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 8, no. 2 (2019): 201. 212
6
A. Christina, D & Matulessy, “Penyesuaian Perkawinan, Subjective Well Being, Dan Konflik
Perkawinan.,” Jurnal Psikologi Indonesia (2016): 1–15.

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 36
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

penolakan dari keluarga dan merasa tersingkir. Dan keadaan ini dapat mempengaruhi
keharmonisan rumah tangga pasangan tersebut.7
Disisi lain pada kehidupan manusia jaman sekarang, sering kali pernikahan bukan
menjadi sesuatu yang dianggap suci atau sakral bahkan tak berdasar pada Firman Tuhan.
Seperti yang diketahui bahwa pernikahan adalah gagasan Allah, seturut kemauan-Nya,
termasuk dalam proses pernikahan tentu terdapat unsur keterlibatan Allah, untuk
membimbing setiap individu dalam memilih pasangannya, sehingga dalam mencari pasangan
hidup seharusnya didasari oleh pemahaman orang Kristen mengenai kehendak dan
perkenanan Tuhan dalam memilih pasangan hidup yang sepadan, memiliki keyakinan yang
sama, sehingga kesepadanan yang dimaksud terpenuhi. Maka dalam hal ini individu yang
menikah dengan pasangan tidak seiman berarti berlawanan dengan kehendak dan gagasan
Allah.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gerhard Sipayung berjudul Elohim
YHWH Sebagai Dasar Pernikahan Kristen Menyikapi Pro Dan Kontra Pemberkatan
Pernikahan Beda Agama / Iman (Tinjauan Teologis Pernikahan Menurut Kejadian Pasal 1-
6).8 Dimana ia menyoroti trend pernikahan beda agama dikalangan orang Kristen, ia
membahas pandangan Teologi Kristen terhadap pernikahan beda agama yang tidak
membenarkan praktek tersebut dan mengkritisi pandangan-pandangan yang membenarkan
pernikahan beda agama. Beranjak dari hal ini pada penelitian ini, peneliti akan membahas
tentang konversi agama (pergantian agama) pra atau sebelum pernikahan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) Menjelaskan tentang hakikat
pernikahan Kristen?; 2) Menemukan jawaban dari pertanyaan “Apakah konversi agama
adalah jalan keluar yang efektif dan dapat dikatakan sebagai pernikahan yang sah dalam
ajaran Kristen?”; 3) Menggambarkan kemungkinan masalah-masalah yang terjadi pada
pasangan pasca konversi agama; 4) Menggambarkan kiat atau tindakan yang diambil untuk
mempertahankan eksistensi pernikahan ditengah-tengah masalah pasca konversi agama.

II. Metode Penelitian


Dalam menulis karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan melakukan pendekatan studi literatur. Cresswel mengatakan bahwa Studi literatur
adalah kajian yang tertulis secara ringkas mengenai artikel dan buku serta dokumen
lain dengan mendeskripsikan informasi dan teori tersebut secara lengkap.9 Beberapa
langkah yang ditempuh penulis dalam mencapai hal itu yakni, pertama, membaca beberapa
artikel jurnal, buku terkait dengan topik.

7
Risky Nurlita Maylinda, “Keharmonisan Keluarga Pada Pelaku Konversi Agama” (Universitas
Sumatera Utara, 2020). 42
8
Gerhard Eliasman Sipayung, “Elohim YHWH Sebagai Dasar Pernikahan Kristen Menyikapi Pro Dan
Kontra Pemberkatan Pernikahan Beda Agama,” Illuminate 3, no. 2 (2020): 119–139.
9
Cresswel J.W, Reseach Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014).

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 37
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 4, No 1, Juni 2021

III. Pembahasan
Konversi Agama dalam Kajian Umum
Konversi "conversio" berarti berubah atau pindah, dalam bahasa Inggris istilah yang
digunakan ialah ‘conversion’ yang berarti berubah. Agama ialah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan). Maka konversi agama berarti berubahnya agama seseorang dari
sistem kepercayaan yang satu kepada sistem kepercayaan lain. Ahli sosiologi Robert Thouless
yang dikutip oleh Akamal Hawi berpendapat, bahwa konversi agama adalah tindakan suatu
individu atau kelompok untuk berpindah kepada sistem kepercayaan atau perilaku yang
berlawanan dari sebelumnya.10 Sedangkan ahli Psikologi Agama, Jalaluddin berpendapat
bahwa konversi agama berarti bertobat, menjadi seorang yang lebih taat, berubah, dan
berbalik pendirian.11 Lebih lanjut lagi proses individu melakukan konversi agama pun
berbeda-beda, dapat terjadi secara bertahap ataupun tiba-tiba. Secara bertahap (volitional)
terjadi dengan proses perubahan pelan-pelan hingga akhirnya membentuk seperangkat aspek
dan kebiasaan rohani yang baru, sedangan konversi tiba-tiba (self-surrender) merupakan
perubahan mendadak yang terjadi kepada individu.12
Selanjutnya, Menurut Max Heinrich, pada kasus-kasus konversi agama, banyak
menyangkut masalah kejiwaan yang memuat beberapa ciri-ciri seperti berikut: 1) Perubahan
arah pandangan/ keyakinan individu terhadap kepercayaan yang dianutnya; 2) Kondisi
kejiwaan yang berproses secara mendadak; 3) faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan dan
dianggap sebagai petunjuk dari yang Maha Kuasa.13
Ditinjau dari perspektif sosiologis, konversi agama dipandang sebagai perjalanan atau
proses bertahap oleh pengaruh sosial dan budaya masarakat.14 dengan tipe-tipe: Pertama, tipe
sudden conversion, yaitu perpindahan agama yang terjadi melalui proses singkat; kedua, tipe
gradual conversion, yaitu proses perkembangan kepercayaan (belief) seseorang secara
bertahap dari hari kehari, bahkan bisa dalam waktu bertahun-tahun. Konversi pada tipe
pertama dan kedua diatas sering melewati proses rumit yaitu dimulai dari menolak kemudian
menjadi menerima doktrin-doktrin yang baru. Namun pada tipe Ketiga, tipe religious
socialization, dimana individu tidak menyadari bahwa perlahan ia telah menerima doktrin-
doktrin dari agama lain dan telah mengalami suatu perpindahan agama seiring
perkembangannya dari masa kanak-kanak.15
Fenomena konversi agama juga sering dibahas oleh para ahli psikologi, mereka
meninjau dari segi faktor penyebab yaitu berkaitan dengan kondisi psikis (psike) seperti batin,
kepribadian, dan pembawaan yang berpadu dengan faktor keluarga, lingkungan, tempat
tinggal, perubahan status dan kemiskinan.16

10
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005). 49
11
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010). 260
12
James dalam Jalaludin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi. 245
13
Max Heinrich, “Change Of Heart: A Test of Some Widely Theories about Religious Conversion,”
American Journal Of Sociologi Volume 83, no. 3 (n.d.).667
14
Pamela Chandler Lee, “Christian Conversion Stories of African American Women: A Qualitative
Analysis,” Journal of Psychology and Christianity 27, no. 3 (2018): 238-252.
15
Crystal L. P Paloutzian, R. F., Religious Conversion and Spiritual Transformation: A Meaning-
System Analysis Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality (London: The Guilford Press, 2015).
331-344
16
Syamsul Bambang Arifin, Psikologi Agama (Bandung: CV Pustaka Setia, 2018).

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 38
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

1. Faktor Penyebab Konversi Agama Secara Umum


Dari berbagai penelitian lima tahun terakhir yang dilakukan oleh para sarjana1718192021
dari beragam subyek penelitian. Penulis akhirnya mencakup secara umum faktor penyebab
konversi agama. Berikut diidentifikasi kedalam tiga kelompok faktor penyebab: 1) faktor
primer seperti pengaruh sosial yang ditandai dengan perubahan secara bertahap, pengalaman
supernatural yang dinilai sebagai panggilan atau hidayah dari Tuhan (perubahan drastis atau
self-surrender), dan pengaruh pendidikan; 2) faktor sekunder, yaitu faktor intern dan ekstern.
Faktor intern individu (berkaitan dengan kepribadian, psikologi, dan pembawaan), dan faktor
ekstern (faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan status, dan kemiskinan); 3)
Tersier, faktor ketiga yaitu bukan dari dalam diri atau lingkungan melainkan faktor terluar
seperti Kegiatan penginjilan atau misi yang juga menjadi salah satu pendorong utama
banyaknya masyarakat atau suku tertentu melakukan konversi agama seperti fenomena
konversi agama Hindu ke Kristen di Bali, Mingkabau, dan hampir diseluruh suku-suku di
Indonesia, fenomena ini sudah memang sudah menjadi hal biasa di Indonesia.22 Berikutnya,
konversi agama juga dapat terjadi karena ingin menikah dengan pasangan yang berbeda
agama, hal ini dapat terjadi dikalangan pria namun lebih sering terjadi dikalangan wanita,
fenomena inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Berikut penulis
mengulas fenomena ini.

2. Latar Belakang Konversi Agama Pra-Pernikahan


Pertama, Aturan adat marga, marga merupakan ikatan dan simbol dalam sistem
kekeluargaan beberapa suku di Indonesia. Sesuai tata adat maka setiap orang yang bergabung
dengan keluarga dengan sistem ikatan marga tentu dianggap ikut terikat dengan simbol
tersebut, namun konteks ini hal ini bukanlah mutlak, setiap masyarakat dan keluarga tentu
berbeda-beda namun pada umumnya terjadi demikian. Selain itu berdasarkan sebuah
penelitian pada Studi Fenomenologi Konversi Agama Pra pernikahan di Sidikalang23
menjelaskan bahwa lebih dari sebuah agama, marga telah menjadi ikatan kekeluargaan paling
kuat pada suku-suku di Sumatera Utara, sebab hal ini menyangkut kewibawaan dan identitas
keluarga. Sehingga perbedaan agama sering bukan menjadi permasalahan utama dalam
sebuah pernikahan, karena pihak laki-laki akan mendominasi untuk diikuti oleh perempuan,
sehingga konversi agama terjadi sebelum pernikahan dilaksanakan.

17
K E Kristen, Protestan Di, and Desa Sumbersari, “Komparatif Faktor Penyebab Konversi Agama
Dari Hindu Comparative Causes of Religion Conversion From Hindu To Christian Protestant in Sumbersari
Village and Teak Balinggi Village” 8, no. 1 (2017): 49–60.
18
Nurhadi, “Analisis Problematika Konversi Agama Dalam Pernikahan Di Kecamatan Semarang
Selatan,” Sereal Untuk 51, no. 1 (2018): 51.
19
I Ketut Raka, I Nyoman; Sudarsana, Konversi Agama: Dampak Dan Makna Bagi Masyarakat
Pakuseba, Jayapura Press, vol. 53 (Denpasar: Jayabagus Press, 2018).
20
Ni Made Ratini, “Konversi Agama Dari Agama Hindu Kaharingan Ke Agama Kristen,” Belom
Bahadat 8, no. 2 (2019): 1–15.
21
Program Studi et al., “Faktor Penyebab Konversi Agama Dan Persepsi Pelaku Konversi Agama
Tentang Ajaran Agama Sebelumnya Di Kecamatan Berbah Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta” (2019).
22
N I Kadek Surpi, “Hindu Ke Kristen Protestan” 19 (2012): 159–170. 9
23
Alamsyah Taher et al., “Volume 3 No 1 : 776-789 Fisip Pernikahan Antar Agama ( Studi
Fenomenologi Pada Konversi Agama Karena Menikah” 3, no. 1 (n.d.).

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 39
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 4, No 1, Juni 2021

Kedua, Toleransi dan kerukunan beragama yang tinggi juga dapat meleburkan seseorang
untuk menjadi seorang yang inklusif tetapi memiliki kebiasaan yang tidak memelihara
keyakinannya sendiri. Terdapat beberapa golongan orang dalam menganut kepercayaannya
saat diperhadapkan dengan agama lain yaitu: pertama, memiliki prinsip keyakinan eksklusif
serta sulit berbaur dengan orang beragama lain; kedua, bersifat eksklusif dengan keyakinanya
tetapi juga toleran, serta dapat berbaur tanpa sikap antisosial; sedangkan yang ketiga,
memiliki anggapan bahwa semua agama adalah sama, sehingga tidak terlalu memiliki prinsip-
prinsip fundamental untuk mengkonfrontasi agama lain. Memang kajian mengenai golongan-
golongan sifat keragaman lebih kompleks daripada penjelasan ini. Namun berdasarkan
beberapa penelitian yang dilakukan konversi agama sering terjadi pada individu yang
memiliki pemahaman sedikit tentang agamanya, sehingga sering tidak terlalu memperdulikan
status pasangan ketika sedang memulai sebuah hubungan/ berpacaran.
Ketiga, Kondisi hamil diluar pernikahan, sesuatu yang sulit untuk menolak konversi
agama juga dapat terjadi ketika sebuah pasangan telah memiliki hubungan yang melebihi
tindakan-tindakan wajar contohnya berhubungan intim, dan hamil diluar nikah. Pada tahap ini
sulit bagi pasangan untuk tidak melanjutkan kehidupan pernikahannya, sehingga salah
seorang akan mengalah mengikut kepercayaan pasangannya. Dalam beberapa kasus, pihak
yang akan mengalah ditandai dengan salah satu pihak keluarga yang paling mendominasi.
Keempat, Perasaan saling tertarik atau mencintai pada pasangan kekasih juga menjadi
alasan utama, sekalipun memiliki keyakinan yang berbeda. Keadaan ini terjadi kepada mereka
yang tidak menyadari konsep bahwa cinta berasal dari mereka dan bukan dari Allah atau
kurang memahami arti pernikahan Kristen. Slogan 'cinta itu buta' dapat menjadi perhatian
menarik, pasalanya kebanyakan remaja memilih pasangan bukan dengan dasar pengajaran
Firman Tuhan. Namun sepasang kekasih biasanya akan sulit untuk mengambil keputusan
ketika hendak menjalin hubungan kedalam ikatan pernikahan, bahkan bagi mereka yang tidak
mendapat dukungan dari keluarga harus merelakan perasaannya untuk meninggalkan
pasangannya.24 Pada akirnya, mereka akan memutuskan untuk melakukan konversi agama.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maylinda25. Bahwa larangan untuk menikah
sering terjadi akibat tingkat dan status sosial, serta perbedaan agama, dan pada akhirnya
keputusan untuk pindah agama menjadi jalan yang diambil.
Kelima, Kurangnya pendidikan agama individu disertai dengan latar belakang keluarga
yang kurang memberi perhatian kepada hal-hal yang bersifat rohani, dan pengajaran-
pengajaran yang prinsip dan fundamental yang seharusnya ditanam pada diri anak, dan tentu
hal ini tidak akan membangun pondasi yang kokoh bagi pandangan agamanya. Beban ini
merupakan tanggung jawab lembaga keluarga. Dalam Ulangan 6:7-15 dijelaskan bahwa
pengajaran firman harus dilakukan terus-menerus dimulai masa kanak-kanak, masa
pertumbuhan, dewasa, bahkan hingga memiliki keturunan. Hal ini dilakukan dalam upaya
untuk mencegah seorang anak meninggal imannya. Setiap agama tentu memiliki prinsip kuat
seperti ini.26

24
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kebahagiaan (Jakarta: Noura Books, 2015).
25
Maylinda, “Keharmonisan Keluarga Pada Pelaku Konversi Agama.”
26
Candra Gunawan Marisi, Go Heeng, and Masran P Hutagalung, “Konsep Memilih Pasangan Hidup
Menurut 2 Korintus 6 : 14 - 15 Dan Aplikasinya Terhadap Pencegahan Perkawinan Beda Agama” 5, no. 1
(2020): 14–15.

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 40
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

Meninjau Kembali Arti Pernikahan Kristen

Pertama: Ide dan Rancangan Allah


Pernikahan dalam pandangan ke-Kristenan dipahami sebagai ide atau gagasan Allah,
pemahaman ini menjadi dasar utamanya, sebab Allah sendiri yang merencanakan dan
mengesahkan pernikahan manusia mulai sejak pertama kali di taman Eden (Kej 2:24).
Pernikahan mengandung mandat culture yaitu perintah untuk beranak cucu, bertambah
banyak, memenuhi bumi. Tuhan Allah menjadikan manusia pertama (Adam dan Hawa),
diikat kedalam lembaga pernikahan, dan menjadi satu keluarga.27 Pada pemahaman umum,
pernikahan diartikan sebagai kesepakatan seorang laki-laki dan perempuan yang mengadakan
untuk hidup bersama secara sah. Sah berarti pernikahan tersebut diakui oleh keluarga, kerabat,
masyarakat, atau hukum yang mengatur sesuai budaya pada lingkungan sekitar.28 Namun
Berbeda dengan pernikahan kristen, pernikahan kristen adalah komitmen total sepasang
kekasih dan mempertanggungjawabkannya dihadapan Yesus Kristus dan telah
mempertimbangkannya dalam segala hal tanpa unsur-unsur yang bersifat sembarangan.
Maksud kata ‘sembarangan’ diutarakan oleh Verkuyl dalam Pernikahan dan Keluarga
Kristen yaitu:
"Orang kristen wajib memahami bahwa pernikahan merupakan suatu tahap kehidupan,
dipersatukan oleh Allah, dan diijinkan secara sah oleh ikatan kasih, hukum,
perlindungan untuk menikmati kehidupan seksual, dan hubungan suami isteri seumur
hidup dan suatu bentuk persekutuan hidup untuk mem-pertahankan-nya sampai
kematian."29
Maka seorang yang ingin menikah perlu memperhatikan segala aspek sebelum melaksanakan
pernikahan.

Kedua: Ikatan Pasangan yang Sepadan


Beberapa kisah pernikahan dalam Perjanjian Lama telah memberi gambaran bagi
orang Kristen yang menceritakan tentang pelarangan Allah untuk menikah dengan pasangan
diluar keyakinanya. Konteks tersebut bercerita tentang umat Israel tidak diperolehkan Allah
menikah dengan orang diluar bangsanya seperti (Kej. 24:4 tentang keputusan memilih isteri
Ishak; Kel. 6:22 tentang Harun dan Eliseba anak Aminadab; Hak. 14:3 tentang Simson
menikahi gadis Filistin (orang tidak bersunat).30 Sedangkan dalam Perjanjian Baru pernikahan
menggambarkan hubungan Kristus dengan Gereja yang dianalogikan sebagai hubungan
Pengantin pria dan wanita. Ini disebut sebagai pernikahan yang sehat, yang berarti pernikahan
tersebut mencerminkan Kristus dan cerminan itu terlihat dalam kehidupan bermasyarakat.
Pernikahan yang sehat dibangun pada dasar Kristus sebagai kepala dalam keluarga dan gereja.
Pembahasan Perjanjian Baru justru lebih kompleks lagi bukan hanya mengenai
pernikahan yang tidak didasarkan kepada suku atau bangsa melainkan dasar iman dan

27
Jusuf Roni, Keluarga Kristen Bahagia (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011). 26
28
Jean Paath, Yuniria Zega, and Ferdinan Pasaribu, “Konstruksi Pernikahan Kristen Alkitabiah,”
SCRIPTA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kontekstual 8, no. 2 (2020): 181–202.
29
Verkuyl, Etika Kristen Seksuil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1957).
30
Munroe Myles, The Purpose And Power Of Love & Marriage (Jakarta: Immanuel, 2016). 13

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 41
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 4, No 1, Juni 2021

kepercayaan terhadap Kristus. Secara teologis makna pernikahan Perjanjian Baru


mengajarkan bahwa pernikahan merupakan sebuah “fondasi”, diatas fondasi inilah Allah akan
membangun masyarakat, serta turut menjadi fondasi bagi gereja, ini disebut sebagai
komunitas orang percaya dan umat Allah. Menurut Howard Gering dalam kepercayaan
Kristen, pernikahan merupakan ikatan lahir batin laki-laki dan perempuan dengan pernikahan
yang berpusat pada Yesus Kristus.31
Selanjutnya Paulus dalam 2 Kor. 6:14 mengatakan "janganlah kamu merupakan
pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan
apakah yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat
bersatu dengan gelap?. Kata "pasangan tidak seimbang" yang digunakan untuk manusia hanya
terdapat dalam Perjanjian Baru, sedangkan dalam Perjanjian Lama, konteks perkataan ini
digunakan untuk pelarangan mengawikan ternak yang berbeda jenis (Im 19:19). Paulus
menyatakan Im. 19:18 dan Ul 22:9-10 hanyalah sebagai kiasan, ditambah lagi dengan
pendapat Wesley bahwa manusia dalam Perjanjian Baru dibagi kedalam dua golongan yakni
orang yang beriman kepada Kristus dan orang yang tidak beriman kepada Kristus, Wesley
menjelaskan bahwa kedua golongan ini bertentangan satu sama lain (1 Kor 5:10-11), inipun
dapat disebut sebagai tidak seimbang untuk konteks Perjanjian Baru.32 Kesepadanan pria dan
wanita dimaksudkan Allah supaya secara bersama-sama mereka melaksanakan rencana Allah
dengan dasar kesetaraan, ketaatan, bahkan memiliki visi dan tujuan yang sama.33

Ketiga: Konsep Cinta yang Terpusat pada Allah


Konsep sesungguhnya dalam pernikahan Kristen ialah menempatkan Allah sebagai
sumber kasih untuk mencitai orang lain atau pasangan. Mengenai hal ini Dr. Stephen Tong
membagi pernikahan kedalam dua jenis yaitu pernikahan Kristen dan non-Kristen yang
dibedakan secara kualitatif, pertama, cinta orang Kristen didasarkan kepada pemahaman
bahwa Allah sebagai sumber cinta, mereka menjalankan sesuatu dengan meneladani Kristus
dan memiliki pola hidup yang berdasar kepada pengajaran Alkitab, meskipun mengatakan
cinta kepada pada orang lain. Sedangkan non-kristen mencintai seseorang atau sesuatu karena
memiliki alasan atau sebab. Sebab tersebut bukan terletak pada luar diri yang kecil. Artinya
orang non-kristen menyukai sesuatu karena menarik baginya. Maka objek adalah sebab
mencintai seseorang.34
Masih dari pendapat Dr. Stephen Tong, cinta orang non-kristen berasal dari dirinya
sendiri, ketika pria mencintai wanita, maka pria adalah sumber cinta, begitupun dengan
wanita ketika ia mencintai seorang pria, ialah sumber cinta. Berbeda dengan orang kristen
bahwa ia bukanlah sumber cinta, tetapi Allahlah yang memberikan cinta itu kepadanya. Inilah
yang disebut sebagai campur tangan Tuhan, bukan inisiatif.35 Paul Gunadi juga berkata bahwa
prinsip dalam sebuah hubungan adalah segala hal dilakukan haruslah untuk memuliakan

31
Howard Gering, Kamus Alkitab (Jakarta: Persekutuan Injil Indonesia, 2010). 67
32
Victoria Woen, “Pandangan Alkitab Mengenai Pernikahan Tidak Seiman,” Excelcis Deo (Jurnal
Teologi, Misiologi dan Pendidikan), no. 3 (2020): 51–60. 55
33
Seri Antonius, Istitut Agama, and Keristen Negeri, “Pernikahan Kristen Dalam Perspektif Firman
Tuhan” 6, no. 2 (2020): 229–238.
34
Stephen Tong, Hati Yang Terbakar (Surabaya: Momentum, 2007). 78
35
Ibid.

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 42
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

Tuhan, maka dalam membangun hubungan, laki-laki dan perempuan harus saling menolong
untuk bertumbuh dan makin dekat dengan Tuhan.

Keempat: Lambang Hubungan Kristus dengan Gereja


Pernikahan yang baik adalah komitmen total (totality) oleh dua orang dihadapan
Tuhan dan sesamanya berdasarkan kesadaran bahwa pernikahan tersebut merupakan
kemitraan mutual serta melibatkan Tuhan secara proaktif dalam mengambil setiap keputusan.
Dengan demikian pernikahan harus tetap dijaga. Hakikat pernikahan menurut Kej 2:24; Ef
5:31-32 dijelaskan bahwa pernikahan adalah kesatuan antara suami dan isteri yang berdasar
pada kasih. Kesatuan ini menjadi lambang dari Hubungan Kristus dengan jemaat, maka pada
akhirnya kualitas dari sebuah perkawinan dapat dilihat dari bagaimana hakikat pernikahan
kristen terpenuhi, dan hal ini tentu akan mempengaruhi keturunan dimasa mendatang.
Kemudian sama seperti Kristus memimpin gereja demikian juga suami harus memperhatikan
dan merawat isteri seperti tubuhnya sendiri (Ef. 5:22-29).

Hasil Temuan

Kemungkinan Permasalahan yang Muncul pada Pasangan dengan Konversi Agama


Dari beberapa hasil penelitian para peneliti konversi agama dapat memberi dampak
yang besar terhadap kehidupan kekeluargaan. Apabila keluarga tanpa konversi agama masih
memiliki masalah-masalah maka dalam keluarga dengan konversi agama akan muncul
masalah-masalah baru. Hal ini dikarenakan seseorang harus memulai kembali pola hidup baru
dan itu bersinggungan dengan kehidupan batin. Hal ini terjadi terutama pada seseorang yang
melakukan konversi agama bukan melalui pertobatan, petunjuk ilahi atau panggilan, namun
keterpaksaan. Berikut dijelaskan.

1. Konflik Personal
Pertama, penulis meninjau dari segi psikologis. Sumber penelitian ilmiah menuliskan
adanya gejala-gejala baru yang tampak seperti, perasaan yang serba tidak sempurna, adanya
penyesalan dalam diri, rasa berdosa, cemas,serta timbulnya tekanan batin dalam diri secara
pribadi. Menurut James dan Rambo suatu konflik terjadi bukan saja karena penerimaan ide
yang baru, tetapi juga karena kebimbangan, ketidaknyamanan, dan rasa bersalah karena
meninggalkan keyakinan yang lama, serta perasaan tidak pasti tentang agama baru yang
dianut. Kondisi demikian, dapat mengakibatkan batin seperti kosong ada rasa tidak berdaya,
dan sering ditanggulangi dengan mencari perlindungan lain yang mampu memberi jiwa yang
tentang dan tentram.36 Setelah pergantian status kepada agama yang baru, proses konversi
agama tetap berjalan, karena seseorang harus sampai kepada pemahaman dan kebiasaan yang
sesuai dengan agama yang baru. Nah, ini semua tak akan terlepas dari gelaja-gejala batin
seseorang.37

36
Jalaludin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip
Psikologi.
37
Maylinda, “Keharmonisan Keluarga Pada Pelaku Konversi Agama.” 26

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 43
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 4, No 1, Juni 2021

2. Konflik dalam Kehidupan Kerohanian


Perubahan kepercayaan atau pandangan terhadap sesuatu hal yang religus akan
memberi pengaruh besar terhadap sikap keagamaan. Hal ini dapat dipahami sebagai attitudes
have readies to respond yaitu sikap individu terhadap sesuatu, ini adalah wujud dari kesiapan
seseorang untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap sebuah objek. Berdasarkan teori
konsistensi perubahan sikap individu dapat terjadi melalui faktor intern sebab tujuannya
adalah untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan, esensi dari teori ini adalah
perubahan sikap individu terjadi karena proses dalam upaya untuk mendapatkan
keseimbangan antara sikap dan perbuatan.38 Secara sederhana sikap seseorang terhadap
agama yang dianut sebelumnya perlahan akan berubah. Bukan hanya itu, individu dalam
konteks konversi agama memiliki sumber konflik dari dalam dirinya sendiri, pada tingkat
tertentu konflik tersebut akan menimbulkan kegelisahan batin yang harus diselesaikan serta
didalam proses penyesuaian akan timbul kemudian berbagai masalah yang berkenaan dengan
pertimbangan, keputusan dalam menganggapi sesuatu yang baru dalam kehidupan barunya
untuk menuju kepada keadaan yang harmonis dan bahagia. Namun banyak pula kasus yang
memiliki konversi agama kepada kepercayaan Kristen justru mendapat jawaban dari
pertanyaan dan pencarian tujuan hidup ketika ia menganut agama lain. Hal ini lebih sering
terjadi kepada mereka yang mengalami konversi agama dari Hindu ke agama Kristen.39

3. Konflik dalam Hubungan Persaudaraan


Pihak keluarga dari seseorang yang melakukan konversi agama biasanya cenderung
untuk memberikan tanggapan negatif, karena sebagian besar orang menganggap bahwa agama
merupakan prinsip dan jati diri yang seharusnya dibawa secara konsisten. Pertentangan
hubungan antara orang tua dengan pelaku konversi agama menjadi konflik interpersonal,
karena adanya tanggapan cemas, kecewa, dan khawatir dari orang tuanya setelah melihat
anaknya berpindah agama. Terutama kepada pihak keluarga yang memiliki persepsi negatif
terhadap agama lain seperti dianggap sesat berdasarkan doktrin dan konstruk budaya mereka,
mereka akan menganggap berpindah kepada agama Kristen adalah sebuah penyimpangan atau
kemurtadan.40 Stereotipe negatif dari orang tua dapat mempengaruhi hubungan interpersonal
kepada anggota keluarga, karena pengaruh cara berpikir yang cenderung dogmatis. Keadaan
ini tentu menjadi perang dan masalah bagi individu pelaku konversi agama, apabila kondisi
psikologis yang tidak kuat dapat menimbulkan dampak kurang baik terhadap kehidupan
keluarganya sendiri. Bahkan ada beberapa kasus yang berujung kepada pemutusan hubungan
dengan keluarga.

4. Konflik dalam Hubungan Sosial


Konversi agama juga sering berdampak terhadap kehidupan sosial, hal ini terjadi karena
bergesernya cara pandang orang lain terhadap pelaku konversi agama, kondisi ini dapat
berupa perlakukan yang tidak adil, diskriminatif, hingga tindakan buruk dari respon negatif

38
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Atas Problem-Problem Psikologi (Yogayakarta: Pustaka
Belajar, 2014). 50
39
Ratini, “Konversi Agama Dari Agama Hindu Kaharingan Ke Agama Kristen.”
40
U I N Sunan and Kalijaga Yogyakarta, “Pasca Konversi di Kalangan Mualaf Arafat Noor Pengaruh
Mobilitas Agama Yang Berupa Pendidikan Keagamaan Keluarga , Ajakan Atau” (n.d.): 36–48.

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 44
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

terhadap individu pelaku konversi agama.41 Namun, konflik seperti ini sudah menjadi
konsekuensi yang lebih mudah diterima oleh sebagian orang, karena masalah perbedaan
sering tidak menjadi masalah serius dizaman ini, terutama bagi masyarakat golongan
menengah keatas.42

5. Masalah dalam Kehidupan Keluarga


Timbulnya masalah kepada kehidupan keluarga tidak terjadi begitu saja, namun
kemungkinan masalah terjadi adalah penyebab dari konflik-konflik diatas dimulai dari konflik
batin, konflik persaudaraan, konflik dalam penyesuaian keyakinan, serta konflik dalam
kehidupan sosial. Beberapa konflik inilah yang menjadi pemicu seseorang dapat mengalami
masalah pada keluarganya. Biasanya ditandai dengan perbedaan pendapat dengan pasangan
mengenai hal-hal yang bersifat prinsip, serta gesekan-gesekan lainnya tentang masalah
doktrinal. Kemudian munculnya pertengkaran ditengah-tengah keluarga terjadi apabila pelaku
konversi agama tidak dapat memilih langkah terbaik untuk dilakukan atau ucapkan kepada
keluarganya karena emosional yang kacau menanggapi konflik pribadi, saudara, dan sosial
yang menyebabkan diri sensitif, ditandai dengan menangis dan mudah marah. 43 Hal ini dapat
memicu perkelahian. Kemungkinan ada kasus pada keluarga dengan tingkat ketegangan yang
tinggi dimana pelaku konversi agama kurang serius mengikuti pola hidup baru dan kembali
kepada agama lama, bahkan sampai meminta perceraian.44 Namun kasus seperti ini jarang
terjadi, biasanya pada konflik dari masalah-masalah saat proses penyesuaian pola hidup, nilai
dan keyakinan kepada diri dan dukungan psikologi yang kuat dalam mengubah banyak sisi
kehidupannya.

Upaya dalam Menjaga Eksistensi Keluarga


1. Menerapkan strategi Coping
konflik personal pada individu dengan konversi agama dapat memicu stres, sehingga
perlu dilakukan strategi coping untuk mengurangi gejala ini. Secara sederhana coping
merupakan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan keregangan psikologi dalam
kondisi stress,45 kemudian menetralisir atau mengurangi stres yang terjadi.46 Sedangkan
menurut Haber dan Runyon coping merupakan semua bentuk perilaku/pikiran baik negatif
atau positif untuk mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan
stress.47
Strategi coping yang cocok dilakukan pada masalah seseorang dengan konteks konversi
agama yaitu mekanisma coping yang berpusat pada masalah (problem focused form of coping
mechanism).48 1) Konfrontasi, usaha untuk mengubah keadaan atau menyelesaikan masalah

41
Khadirotul Khasanah, Skripsi pengaruh konversi agama terhadap keharmonisan keluarga
(Yogyakarta: UINSUKA, 2008), 45
42
Marchus Hakim, “Dampak Sosial Konversi Agama” (UINS, 2017). 68
43
David Maggs Paul Miller Ron Ofri, “Konversi Agama,” Journal of Chemical Information and
Modeling 53, no. 9 (2008): 287.
44
Misbah Zulfa Elizabeth, “Pola Penanganan Konflik Akibat Konversi Agama Di Kalangan Keluarga
Cina Muslim,” Walisongo 21, no. 1 (2013): 171–190.
45
Yani, Analisis Konsep Koping: Suatu Pengantar, Jurnal Keperawatan Indonesia (Jakarta, 1997).
46
J. Rodin and P. Salovey, Health Psychology, Annual Review of Psychology, vol. 40 (England, 2019).
47
R.P Haber, A. & Runyon, Psychology of Adjustment (Homewood, Illinois: The Dorsey Press, 2014).
48
Stuart and Sundeen, Pocket Guide to Psyhiatric Nursing, 1991.

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 45
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 4, No 1, Juni 2021

secara agresif dengan menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko, 2)


Isolasi, usaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan masalah yang
dihadapi, 3) Kompromi, mengubah keadaan secara hati-hati, meminta bantuan kepada
keluarga dekat dan teman sebaya atau bahkan meminta pendapat serta bekerja sama dengan
mereka.
Dari langkah ini individu pelaku konversi agama mengambil langkah sendiri untuk
menetraliris konflik pribadi atau orang lain. Mau tidak mau ia harus melakukan konfrontasi
dengan konflik yang ia alami, misalnya ketika sedang stress ia berhak untuk mengendalikan
secara mandiri, dalam istilah psikologi ini disebut sebagai coping. Berikutnya, ketika ia
mengalami konflik secara sosial ia berhak menarik diri dari spekulasi orang lain yang tidak
mengerti masalahnya, dengan cara kompromi, penyelesaian masalah dapat dengan diskusi
atau dengan pertolongan keluarga yang bersedia menolong

2. Mengambil Langkah Konseling


Menurut Helen Wijaya, untuk mempertahankan eksistensi keluarga diperlukan sebuah
hubungan yang harmonis, untuk memperoleh keadaan tersebut keluarga Kristen
membutuhkan ajaran, motivasi, dorongan, nasehat, bahkan teguran dari seorang konselor.
Konseling Kristen merupakan suatu perundingan yang diadakan bersama dengan konselor
dengan tujuan mencari jalan keluar atau keputusan yang membebaskan seseorang dari beban
pikirannya. Bagaimanapun setia keluarga yang memiliki masalah membutuhkan konseling.49
Konsep daripada konseling kristen ialah berakar pada trilogi Allah, Konselor dan Klien. Jadi
konseling Kristen melibatkan Tuhan dalam pelayanan ini.50 Gintings berkata bahwa dalam
konseling Kristen dikenal dengan istilah 'harus bergantung kepada Allah', ada Allah pribadi
yang berpikir, merasakan, dan memilih. Dengan langkah konseling yang Alkitabiah, hal ini
akan sangat menolong seseorang yang sedang mengalami kebingungan dalam proses
penyesuaian diri kedalam cara hidup orang Kristen untuk mendapatkan komitmen dan
menghindari rasa bersalah.

3. Belajar Menerima Keadaan dan Komitmen


Sikap menerima tanpa syarat adalah maksud utama pada poin ini, penerimaan tanpa
syarat mewakili pengorbanan diri seseorang untuk memberikan hidupnya kepada sesuatu hal,
artinya keputusan dalam menikah hingga melakukan konversi agama merupakan sebuah
komitmen bagi seseorang yang memilih jalan hidupnya. Menurut Marjorie komitmen dalam
pernikahan adalah siap dalam kondisi apapun, siap dalam segala resiko dan kemungkinan
masalah yang akan mengikuti, mewujudkan sifat saling mendukung, dan berani menerima
segala resiko apapun yang terjadi dalam kehidupan pernikahan.51 Artinya segala konsekuensi
adalah bagian dari komitmen yang akan dihadapi seseorang yang melakukan konversi agama.

49
Universitas Kristen Petra et al., “Penerimaan Pasangan Suami-Istri Terhadap Konflik Interpersonal
Dalam Film ‘ Fireproof ,’” Jurnal E-Komunikasi 2, no. 1 (2010): 118–119.
50
E. P. Gintings, Konseling Pastoral (Bandung: Jurnal Info Media, 2009).
51
Marjorie L. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
58

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 46
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

4. Komunikasi, Kejujuran, dan Keterbukaan


Dalam kehidupan ini segala sesuatu dapat dikomunikasikan untuk mencari jalan keluar,
komunikasi yang efektif dalam kehidupan pernikahan adalah komunikasi interpersonal,
komunikasi penting seperti ini membutuhkan kejujuran dan keterbukaan atas masalah-
masalah yang terjadi, atau sesuatu yang ingin dibicarakan terkhususnya perihal tentang gejala-
gejala yang terjadi pasca konversi agama. Menurut Vivian dalam Bimbingan Pranikah,
Komunikasi yang tepat adalah komukasi dua arah, laki-laki menerima masukan isteri, dan
sebaliknya wanita menerima masukan suami.52 Suparman berkata komunikasi yang baik
adalah adanya pengertian tentang perbedaan pendapat baik secara emosional, mental, serta
jasmani, antara suami dan isteri, membangun suasana persahabatan melalui percakapan, atau
disksi baik dalam tingkat intelektual ataupun tingkat emosional.53

IV. Kesimpulan
Konversi agama bukanlah jalan terbaik untuk memilih status hidup, bagi seseorang
yang ingin mengambil tindakan ini perlu keputusan dan komitmen yang serius, karena
mengubah keyakinan berarti mengubah jati diri, pola hidup, konsep, dan prinsip-prinsip
fundamental yang pernah dimiliki dari agama sebelumnya. Konversi agama memberi dampak
dan masalah-masalah baru lebih dari permasalahan kehidupan pernikahan pada umumnya,
sehingga diperlukan tindakan-tindakan lebih serius untuk menangangi permasalahan yang
terjadi pada pasangan pasca konversi agama.
Bagi orang kristen, pilihan untuk menikah dengan pasangan yang diajak untuk
melakukan konversi agama segera sebelum pernikahan dilaksanakan juga bukanlah tindakan
yang benar, karena secara umum pasangan tersebut belum mengenal ajaran dan arti
pernikahan kristen yang sesungguhnya, pernikahan kristen adalah rancangan Allah, dan
Kristus harus terlibat didalamnya, kemudian cinta sepasang kekasih berasal dari Allah bukan
dari diri sendiri. Apabila hal ini terjadi pernikahan tersebut sama sekali bukanlah pernikahan
yang sesuai dengan ajaran Kristen.
Namun konversi agama tidak dapat dihindari dari bangsa yang bersifat plural, sering
sekali masalah terjadi ditengah-tengah keluarga. Maka keluarga yang mengalami kasus ini
perlu berjuang untuk menyelesaikan masalah- masalah psikologi pada proses penyesuaian diri
dengan menerapkan strategi coping, melakukan tindakan konseling Alkitabiah, belajar
menerima dan komitmen terhadap keputusan yang dilakukan, serta menjaga komunikasi dua
arah, keterbukaan dan kejujuran. Untuk kasus-kasus khusus perlu dilakukan penelitian secara
objektif mengenai masalah-masalah ini.

52
Vivian A. Soesilo, Bimbingan Pranikah (Malang: Literatur SAAT, 1998). 26
53
Suparman, “Tinjauan Tentang Konsep Keharmonisan Keluarga,” Osf (2020): 1–39. 29

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 47
Referensi

Antonius, Seri, Istitut Agama, and Keristen Negeri. “Pernikahan Kristen Dalam Perspektif
Firman Tuhan” 6, no. 2 (2020): 229–238.
Arifin, Syamsul Bambang. Psikologi Agama. Bandung: CV Pustaka Setia, 2018.
Christina, D & Matulessy, A. “Penyesuaian Perkawinan, Ssubjective Well Being, Dan
Konflik Perkawinan.” Jurnal Psikologi Indonesia (2016): 1–15.
E. P. Gintings. Konseling Pastoral. Bandung: Jurnal Info Media, 2009.
Elizabeth, Misbah Zulfa. “Pola Penanganan Konflik Akibat Konversi Agama Di Kalangan
Keluarga Cina Muslim.” Walisongo 21, no. 1 (2013): 171–190.
Gering, Howard. Kamus Alkitab. Jakarta: Persekutuan Injil Indonesia, 2010.
Haber, A. & Runyon, R.P. Psychology of Adjustment. Homewood, Illinois: The Dorsey Press,
2014.
Hakim, Marchus. “Dampak Sosial Konversi Agama.” UINS, 2017.
Hawi, Akmal. Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama. Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005.
Heinrich, Max. “Change Of Heart: A Test of Some Widely Theories about Religious
Conversion.” American Journal Of Sociologi Volume 83, no. 3 (n.d.).
Hidayat, Komaruddin. Psikologi Kebahagiaan. Jakarta: Noura Books, 2015.
Ilahi, Kurnial, Jamaluddin Rabain, and Suja’i Sarifandi. “DARI ISLAM KE KRISTEN
Konversi Agama Pada Masyarakat Suku Minangkabau.” Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman 8, no. 2 (2019): 201.
J.W, Cresswel. Reseach Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Jalaludin. Psikologi Agama: Memahami Perilaku Dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip
Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Kartono, K. Psikologi Wanita: Wanita Sebagai Ibu Dan Nenek. Bandung: Alumni, 2016.
Kristen, K E, Protestan Di, and Desa Sumbersari. “Komparatif Faktor Penyebab Konversi
Agama Dari Hindu Comparative Causes of Religion Conversion From Hindu To
Christian Protestant in Sumbersari Village and Teak Balinggi Village” 8, no. 1 (2017):
49–60.
Lee, Pamela Chandler. “Christian Conversion Stories of African American Women: A
Qualitative Analysis.” Journal of Psychology and Christianity 27, no. 3 (2008): 238.
Marisi, Candra Gunawan, Go Heeng, and Masran P Hutagalung. “Konsep Memilih Pasangan
Hidup Menurut 2 Korintus 6 : 14 - 15 Dan Aplikasinya Terhadap Pencegahan
Perkawinan Beda Agama” 5, no. 1 (2020): 14–15.
Maylinda, Risky Nurlita. “Keharmonisan Keluarga Pada Pelaku Konversi Agama.”
Universitas Sumatera Utara, 2020.
Moerika. “Proses Pengambilan Keputusan Pada Individu Dewasa Muda Yang Melakukan
Konversi Agama Karena Pernikahan.” Universitas Indonesia, 2018.
Myles, Munroe. The Purpose And Power Of Love & Marriage. Jakarta: Immanuel, 2016.
Nurhadi. “Analisis Problematika Konversi Agama Dalam Pernikahan Di Kecamatan
Semarang Selatan.” Sereal Untuk 51, no. 1 (2018): 51.
Ofri, David Maggs Paul Miller Ron. “Konversi Agama.” Journal of Chemical Information
and Modeling 53, no. 9 (2008): 287.
Paath, Jean, Yuniria Zega, and Ferdinan Pasaribu. “Konstruksi Pernikahan Kristen
Alkitabiah.” SCRIPTA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kontekstual 8, no. 2 (2020): 181–
202.
Paloutzian, R. F., Crystal L. P. Religious Conversion and Spiritual Transformation: A

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 48
Saronisa Ginting: Dampak Konversi Agama....

Meaning- System Analysis Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality.


London: The Guilford Press, 2015.
Petra, Universitas Kristen, Helen Christiana Wijaya, Prodi Ilmu Komunikasi, and Universitas
Kristen Petra. “Penerimaan Pasangan Suami-Istri Terhadap Konflik Interpersonal Dalam
Film ‘ Fireproof .’” Jurnal E-Komunikasi 2, no. 1 (2010): 118–119.
Raka, I Nyoman; Sudarsana, I Ketut. Konversi Agama: Dampak Dan Makna Bagi
Masyarakat Pakuseba. Jayapura Press. Vol. 53. Denpasar: Jayabagus Press, 2018.
Rani Dwisaptini, Jenny Lukito Setiawan. “Konversi Agama Dalam Kehidupan Pernikahan.”
Humaniora 20, no. 3 (2008): 327–339.
Ratini, Ni Made. “Konversi Agama Dari Agama Hindu Kaharingan Ke Agama Kristen.”
Belom Bahadat 8, no. 2 (2019): 1–15.
Rodin, J., and P. Salovey. Health Psychology. Annual Review of Psychology. Vol. 40.
England, 2019.
Roni, Jusuf. Keluarga Kristen Bahagia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011.
Sipayung, Gerhard Eliasman. “Elohim YHWH Sebagai Dasar Pernikahan Kristen Menyikapi
Pro Dan Kontra Pemberkatan Pernikahan Beda Agama.” Illuminate 3, no. 2 (2020): 119–
139.
Soesilo, Vivian A. Bimbingan Pranikah. Malang: Literatur SAAT, 1998.
Stuart, and Sundeen. Pocket Guide to Psyhiatric Nursing, 1991.
Studi, Program, Pendidikan Agama, Jurusan Studi, Islam Fakultas, Ilmu Agama, and
Universitas Islam Indonesia. “Faktor Penyebab Konversi Agama Dan Persepsi Pelaku
Konversi Agama Tentang Ajaran Agama Sebelumnya Di Kecamatan Berbah Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta” (2019).
Sunan, U I N, and Kalijaga Yogyakarta. “PASCA KONVERSI DI KALANGAN MUALAF
Arafat Noor Pengaruh Mobilitas Agama Yang Berupa Pendidikan Keagamaan Keluarga
, Ajakan Atau” (n.d.): 36–48.
Suparman. “Tinjauan Tentang Konsep Keharmonisan Keluarga.” Osf (2020): 1–39.
Suroso, Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori. Atas Problem-Problem Psikologi. Yogayakarta:
Pustaka Belajar, 2014.
Surpi, N I Kadek. “Hindu Ke Kristen Protestan” 19 (2012): 159–170.
Taher, Alamsyah, Program Studi Sosiologi, Fakultas Isip, Universitas Syiah, Kuala Email,
Kecamatan Sidikalang, Alfred Schutz, et al. “Volume 3 No 1 : 776-789 FISIP
PERNIKAHAN ANTAR AGAMA ( STUDI FENOMENOLOGI PADA KONVERSI
AGAMA KARENA MENIKAH DI” 3, no. 1 (n.d.).
Thompson, Marjorie L. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012.
Tong, Stephen. Hati Yang Terbakar. Surabaya: Momentum, 2007.
Verkuyl. Etika Kristen Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1957.
Woen, Victoria. “Pandangan Alkitab Mengenai Pernikahan Tidak Seiman.” Excelcis Deo
(Jurnal Teologi, Misiologi dan Pendidikan), no. 3 (2020): 51–60.
Yani. Analisis Konsep Koping: Suatu Pengantar. Jurnal Keperawatan Indonesia. Jakarta,
1997.

Copyright 2021, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 49

Anda mungkin juga menyukai