Anda di halaman 1dari 12

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia termasuk sebuah negara yang memiliki nilai ketuhanan,
seperti yang tertulis pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang maha esa.
“Religious and ethnic differences may be related. Indonesia has the largest
Muslim population of any country, and many ethnic are exclusively Muslim.”
Menurut Cunningham, perbedaan keagamaan dan etnik bisa jadi berhubungan.
Indonesia merupakan negara dengan pemeluk agama Muslim terbanyak, dan
banyak etnik yang ekslusif Muslim (Culture of Indonesia,
www.everyculture.com/Ge-It/Indonesia.html). Menurut James Martineau
dalam buku Victoria S. Harrison (2006: 135), “Religion is the belief in an ever
living God.” Atau bila diterjemahkan, agama merupakan kepercayaan mengenai
Tuhan yang hidup selamanya. Data dari Pew Research Center Global Attitude
Survey, Spring 2015 (www.pewresearch.org) menunjukkan bahwa 95%
penduduk Indonesia menyatakan agama merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam hidup.
Kepercayaan atau agama diturunkan turun-temurun dalam keluarga,
dari orang tua kepada anaknya, demikian juga seterusnya, begitu juga fenomena
yang terjadi di Indonesia. “Sociologists have long exhibited interest in the
connections between religion and the family. A large and growing body of
theory and research indicates that religious communities and belief systems
help to shape a variety of attitudes and behaviors germane to family life.” Dapat
diartikan, sosiolog memiliki ketertarikan yang diperlihatkan pada koneksi
antara agama dan keluarga. Banyak sekali perkembangan dalam teori dan riset
yang mengindikasikan komunitas beragama dan sistem kepercayaan membantu
membentuk berbagai macam sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan
kehidupan berkeluarga (Ellison & Sherkat, 2012: 313).
Agama yang diakui di Indonesia sejauh ini ada 6, yakni agama Islam,
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu dari keseluruhan
sekitar 4200 agama yang pernah ada di dunia (National & World Religion

1
Universitas Kristen Petra
Statistics, www.adherents.com). Salah satu agama yang paling banyak dipeluk
di Indonesia adalah agama Islam, yakni dengan pemeluknya sebanyak 87, 18%
dari keseluruhan penduduk Indonesia menurut BPS (Badan Pusat Statistik,
2010) Indonesia. Menurut penelitian, perempuan lebih religius daripada laki-
laki (Britt, 2009, www.livescience.com), hal ini merupakan salah satu faktor
pemilihan penelitian antara komunikasi interpersonal anak perempuan dengan
ibunya, di mana anak perempuan yang menjadi seorang agnostik. Istilah
agnostik mulai dikenal di Indonesia, agnostik menurut Encyclopedia of
Philosophy (Brochert, 2005) “In most general use of the term, agnosticism is
the view that we do not know whether there is a God or not.” Atau dalam bahasa
Indonesia, “Dalam artian yang paling umum, agnostisisme adalah sebuah
pandangan yang mana kita tidak mengetahui apakah Tuhan itu ada atau tidak.”

Gambar 1.1 Simbol-simbol Agama


Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agama

Pola pikir manusia berkembang dari jaman ke jaman. Mulai dari


pemikiran orang-orang Yunani kuno mengenai keberadaan Zeus yang
menyebabkan adanya petir kala hujan, hingga pada akhirnya penjelasan sains
mengenai bagaimana petir itu bisa terjadi. Tentu penemuan-penemuan seperti
ini mengubah pola pikir manusia, mana yang ditinggalkan dan mana yang terus
dipegang hingga sekarang. Seiring dengan perkembangan jaman, informasi

2
Universitas Kristen Petra
semakin mudah untuk didapat. Terjadi pergerakan pemikiran (paradigm shift)
antar generasi.

Gambar 1.2 Perbedaan Kepentingan Dalam Beragama Antar Generasi


Sumber: Liu, J. Religion Among the Millennials (2010).

Dalam teori developmental stake hypothesis menjelaskan perbedaan


persepsi antar generasi. Perubahan persepsi ini terjadi pada berbagai macam
topik seperti agama, politik, hingga berpacaran. Hal ini menimbulkan
permasalahan dikarenakan orang tua mempertaruhkan investasi mereka kepada
anak-anak baik nilai-nilai yang ditanamkan (meliputi agama) maupun secara
finansial tidak dapat diturunkan dengan baik kepada anak mereka (Lynott &
Robert, 1997). Akibat dari perbedaan persepsi juga berdampak pada
komunikasi dalam keluarga. Umumnya dalam keluarga yang memiliki
kepercayaan yang sama dapat beribadah bersama, berkomunikasi dan
membahas mengenai kepercayaan yang dianut. Tetapi, ketika terjadi perbedaan

3
Universitas Kristen Petra
kepercayaan, hambatan komunikasi interpersonal terjadi, dalam keluarga.
Menurut Setiawan dalam artikel Konflik dalam Keluarga, Penyebab dan Cara
Menyelesaikannya (www.keluarga.com) “Tak jarang di dalam sebuah keluarga
terdiri dari anggota keluarga yang memiliki keyakinan yang berbeda, perbedaan
keyakinan tersebut mampu menjadi pemicu terjadinya sebuah konflik jika
masing-masing orang tidak memiliki toleransi satu sama lain. Memeluk sebuah
agama yang diyakini adalah hak asasi tiap-tiap orang, kita tidak boleh
memaksakan kehendak kita terhadap orang lain, namun dalam prakteknya
memang tidaklah mudah.”
Dalam jurnal berjudul “When Faith Divides Family: Religious Discord
and Adolescent Reports of Parent—Child Relations” Stokes & Regnerus
menuliskan, “When parents value religion more than their children do,
adolescents tend to report poorer relations with parents. Relationship quality
is not lower, however, when it is the adolescent who values religion more highly.
We also find that religious discord is more aggravating in families where parent
and child share religious affiliation.” Saat orang tua menjunjung tinggi agama
lebih dari anaknya, maka sang anak cenderung memiliki hubungan yang lebih
buruk dengan orang tuanya. Kualitas dari relasi tidak lebih rendah, saat seorang
anak yang menghargai agamanya lebih. Kami juga menemukan pertentangan
yang lebih buruk dalam keluarga di mana sang orang tua dan anak memiliki
agama yang berbeda dengan orang tuanya (2009: 155).
Mengutip Ellison and Sherkat (1993) dalam jurnal Regnerus & Burdette
(2006: 175), “Religious institutions not only foster social support and provide
opportunities for family interaction, but also encourage parents to be highly
committed to both their children and their spouse. More subtly, children are
urged to honor and obey their parents.” Dapat diartikan, institusi agama tidak
hanya untuk menguatkan dukungan sosial dan memberikan kesempatan untuk
keluarga dalam berinteraksi, tapi juga mendukung orang tua menjadi lebih
berkomitmen dalam keluarga. Terlebih lagi, anak-anak diharuskan untuk
menghormati dan menaati orang tua mereka. Dalam lingkungan yang beragama,
anak-anak yang memutuskan untuk meninggalkan kepercayaan orang tuanya
tidak bisa dengan bebas mengutarakan kepercayaannya yang baru. Di keluarga

4
Universitas Kristen Petra
Indonesia yang mayoritas beragama, orang tua mungkin terganggu dan tidak
bisa menerima bila anaknya berpindah agama, apa lagi menjadi agnostik.
Anak-anak yang mempertanyakan agamanya, perlahan tidak
menjalankan aturan-aturan yang diperlukan dalam agamanya. Ada berbagai
alasan kenapa seseorang menjadi tidak beragama, salah satunya menurut Walter
(2010: 14) “Non-believers claim they doubt or reject the existence of God
because they possess generally skeptical temperaments.” Diartikan, orang yang
tidak percaya, mengklaim mereka meragukan atau tidak percaya pada
keberadaan Tuhan karena secara general memiliki sifat yang skeptis.
Perubahan-perubahan yang kasat mata ini juga mempengaruhi komunikasi
dalam keluarga. Begitu juga yang terjadi kepada dua informan ini, mereka
mempertanyakan mengenai kebenaran dari agama mereka. Mereka meragukan
kepercayaan mereka, lalu kemudian perlahan meninggalkan kebiasaan-
kebiasaan dan doktrin agama yang telah ditanamkan semenjak lama.
Di satu sisi mereka merasa terbeban dengan tidak bisa
mengkomunikasikan kepada orang tua mereka mengenai status kepercayaan
mereka, di sisi yang lain mereka tidak mau menyatakan kepercayaan mereka
karena tidak mau bila hal ini akan mengganggu komunikasi yang terjadi dalam
keluarga, takut bahwa diri mereka sebagai individu tidak lagi diterima. Hal
tersebut yang dialami oleh kedua informan.
Mereka mengalami dilema antara memberitahu atau tidak memberitahu
kepada orang tua mereka. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk
mengatakannya kepada orang tua mereka. Smith (2011) dalam jurnal
Zimmerman, Smith, Simonson, & Myers, “When individuals come out to their
religiously observant parents or caregivers about their nonbelief, it can be an
uncomfortable or even painful experience.” Bila diartikan, saat seorang individu
menyatakan kepada orang tua relijius atau peduli terhadap agama mengenai
ketidakpercayaan mereka, hal ini bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan
(2015: 2). Setelah mengungkapkan, ketakutan itu yang terjadi pada kedua
informan. Upaya keterbukaan mereka kepada orang tua tidak diterima dengan
baik oleh orang tua mereka. Setelah menyatakan posisi kepercayaannya kepada
orang tua, mereka tidak mendapat respon yang positif dari orang tuanya.

5
Universitas Kristen Petra
Selain dari dalam keluarga, edukasi di Indonesia juga melibatkan agama.
Selain itu dalam edukasi “Private Muslim and Christian elementary and
secondary school, universities, and institute, which are found in major cities
and the countryside, combine secular subjects and religious education.”
Diartikan, sekolah swasta SD, SMP, universitas, dan institusi Muslim dan
Kristen dapat ditemukan di kota besar, kota pinggiran, mencampurkan antara
pelajaran sekuler dengan edukasi agama (Cunningham,
www.everyculture.com/Ge-It/Indonesia.html). Indonesia termasuk negara yang
kurang dalam hal edukasi. Menurut sebuah artikel dari independent.co.uk, hal
ini dikorelasikan dengan agama. Negara-negara religius atau beragama
(termasuk Indonesia) cenderungnya memiliki performa yang lebih buruk dalam
sains dan matematika (Walker, P. 2017, Maret 21), dan gerakan radikal agama
di Indonesia banyak ditemui melalui portal berita. Namun meski begitu, tenyata
ada juga anak-anak generasi milenial yang menjadi sekuler dan skeptis terhadap
agama. Meski tidak terekspos oleh media, di Indonesia memiliki kelompok-
kelompok yang mendukung Indonesia sekuler, salah satunya bernama
“Agnostik Indonesia”. Richard Dawkins, seorang biologis juga memiliki
kelompok yang menampung dan mendukung gerakan sekuler, hal ini dilakukan
agar orang-orang berani membuka jati diri mereka sebagai orang yang sekuler
dan agnostik/ateis dan mereka tidak sendiri (What We Do, Richard Dawkins
Foundation for Reason & Science, 2017, 23 Januari).
Kedua informan dipertemukan dalam sebuah kelompok jejaring sosial
bernama “Agnostik Surabaya”—salah satu cabang kelompok dari “Agnostik
Indonesia”—di mana mereka saling kenal dan mengadakan pertemuan-
pertemuan dan membahas mengenai fenomena baik alam mau pun sosial yang
terjadi di Indonesia. Keduanya memiliki latar belakang keagamaan yang
berbeda, namun memiliki kesamaan dalam meragukan agama. Dalam
kelompok ini mereka berbagi cerita mengenai pengalaman agnostik masing-
masing.
Informan pertama adalah seorang agnostik ateis yang diharuskan untuk
berhijab oleh orang tuanya, serta mengikuti aturan-aturan yang diajarkan.
Sementara informan kedua adalah seorang agnostik ateis dengan orang tua

6
Universitas Kristen Petra
Katoliknya, yang juga menolak kepercayaan anaknya. Setelah menyampaikan
kepercayaan barunya, kedua informan mengalami perubahan dalam komunikasi.
Hubungan antara anak dan orang tua menjadi renggang, mereka jarang
berkomunikasi satu sama lain, bahkan setelah penyampaian, seorang informan
tidak berbicara dengan orang tuanya selama lebih dari 2 minggu. Komunikasi
interpersonal meliputi hambatannya antara anak dan orang tua setelah anak
telah menyampaikan dengan terbuka kepercayaannya kepada orang tua (ibu),
proses komunikasi ini, yang ingin diketahui oleh peneliti.
Dalam kelompok “Agnostik Surabaya” tidak banyak anggota yang
berani mengutarakan mengenai ke-agnostik-annya kepada orang tua.
Berdasarkan survei yang peneliti lakukan pada kelompok ini, sebagian besar
menjawab bahwa mereka tidak akan menyatakan hal ini kepada orang tuanya.
Hanya segelintir (20% dari keanggotaan) yang sudah menyatakan kepada orang
tuanya. Hal ini yang menjadikan masing-masing informan unik. Peneliti juga
melihat penelitian lain banyaknya meneliti antara komunikasi yang berbeda
agama, namun belum ada yang meneliti komunikasi antara orang tidak
beragama dengan yang beragama.
Menurut Le Poire (2006: 11-12) “Communication is central to the
family and to its functioning. Communication is unique.” Komunikasi
merupakan inti untuk keluarga dan fungsinya, komunikasi dalam keluarga
adalah unik. “All family forms (biological, legal, or marriage-like commitment)
include some forms of nurturing behaviors. Nurturing behaviors include all
attempts to encourage the development (e.g., physical, socioemotional,
intellectual) of the other family members. In other words, growth is encouraged
(and sometimes discouraged) within the family.” Atau dapat diterjemahkan,
semua bentuk keluarga (baik secara biologis, hukum, atau komitmen seperti
pernikahan), meliputi beberapa bentuk dari pemeliharaan/pengasuhan. Sikap
pemeliharaan ini termasuk semua percobaan untuk mendukung perkembangan
(contohnya: fisik, sosioemosional, dan intelektual) dari anggota keluarga yang
lain. Atau bisa disimpulkan, pertumbuhan itu didukung (dan terkadang tidak
didukung) dalam keluarga (Le Poire 2006: 10).

7
Universitas Kristen Petra
Menurut DeVito (2015: 2), komunikasi interpersonal adalah komunikasi
yang akrab/pribadi yang berlanjut (daripada sebentar dan tidak pribadi), dengan
sifat ini merupakan komunikasi antar pribadi, atau mereka yang tergabung
dalam hubungan dekat seperti dalam keluarga. Komunikasi interpersonal
meliputi “verbal and nonverbal interaction between two (or sometimes more
than two) interdependent people.” (DeVito, 2013: 5). Komunikasi interpersonal
meliputi interaksi baik secara verbal maupun non-verbal antara 2 orang atau
lebih, yang memiliki ketergantungan. Namun, tidak semua percakapan dapat
diutarakan dengan mudah, terutama bila pesan tersebut dapat mengganggu
hubungan harmonis dalam keluarga, hal ini membuat pesan tersebut mengalami
hambatan antara komunikator untuk mengirim pesan kepada komunikan.
Seringnya komunikasi dalam keluarga terjadi dalam tatap muka.
“Interpersonal communication often occurs in face-to-face interactions. Face-
to-face interaction allows partners to communicate both verbally and
nonverbally–with words, with gestures, and with body language.” (Solomon,
2013: 6). Komunikasi interpersonal seringnya terjadi dalam interaksi tatap
muka. Interaksi tatap muka, membuat pasangan komunikasi dapat
berkomunikasi baik secara verbal dan non-verbal—seperti dengan bahasa tubuh,
atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini juga terjadi dalam komunikasi keluarga,
umumnya keluarga berkomunikasi bersama saat makan malam bersama
sepulang kerja, atau sejenisnya.
Keluarga dalam definisi sosiologi merupakan “sebuah kelompok
domestik yang karib, memiliki keterdekatan, yang dibuat oleh orang yang
memiliki hubungan darah, keturunan, maupun hubungan secara hukum”
(Gordon Marshal, 1998). Keluarga merupakan interaksi primer bagi anak-anak
(Ferrante, 2008: 144). Menurut Cooley (1909) dalam buku Ferrante (2008: 144),
“Primary groups are fundamental in forming the social nature and ideals of the
individual and fuse members into a common whole.” Kelompok primer
sangatlah penting dalam membentuk sifat alami sosial dan apa yang ideal dalam
individu menyatukan menjadi keseluruhan, termasuk juga dalam hal agama.
Terdapat dua penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan
penelitian peneliti. Pertama berjudul “Family Relationship Outcomes of

8
Universitas Kristen Petra
Coming Out as an Atheist” yang dilakukan oleh Kevin J. Zimmerman, Jesse M.
Smith, Kevin Simonsons, dan Benjamin W. Myers, yang dipublikasikan oleh
Ubiquity Press tahun 2015. Penelitian ini membahas dari segi sosiologi dan
menggunakan metode fenomenologi untuk menjawab pertanyaan mengenai
“Bagaimana efek hubungan kekeluargaan secara general setelah ada yang
menyatakan mengenai keateisannya?” Penelitian ini bersifat kualitatif dengan
wawancara.
Penelitian kedua berjudul “Atheists and Agnostics Negotiate Religion
and Family” yang ditulis oleh Elaine Howard dan Kristen Schultz Lee, oleh
Journal for the Scientific Study of Religion tahun 2011. Penelitian ini mengenai
bagaimana cara orang tua agnostik atau ateis menanggapi hal-hal keagamaan
dan menjalankan perannya pada lingkungan yang religius. Penelitian ini
berorientasi kepada sosiologi, dan dilakukan dengan sampling dan wawancara
kepada partisipan.
Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan peneliti adalah, peneliti
meneliti mengenai proses komunikasi interpersonal serta hambatannya antara
anak agnostik dengan orang tua yang beragama. Berbeda dengan penelitian
pertama yang berorientasi pada sosiologi dan hubungan keluarga setelah ada
yang menyatakan mengenai keateisannya. Atau penelitian kedua mengenai
orang tua agnostik atau ateis dalam membina keluarga. Peneliti berorientasi
kepada interaksi komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak. Penelitian
kualitatif dengan in-depth interview dengan anak perempuan dan orang tua—
lebih tepatnya kepada ibu, karena perempuan cenderung lebih relijius daripada
laki-laki; mengingatkan anak untuk beribadah, mengurus anak, dan lain
sebagainya, sementara ayah cenderung pasif.
Dikutip dari Noller & Bagi (1985) dalam buku Fitzpatrick & Vangelisti
(1995: 98) “In one study, we found that late adolescents reported
communicating more frequently and disclosing more deeply to mothers than to
fathers across a range of top topics.” Dapat diartikan, dalam sebuah studi, kami
menemukan bahwa anak-anak berkomunikasi lebih sering dan dekat lebih
mendalam dengan ibu daripada dengan ayah dari berbagai macam topik, “and
as recognizing and accepting the adolescents’ opinions more than fathers.”

9
Universitas Kristen Petra
Artinya, ibu mengerti dan menerima opini dari anak lebih dari ayah (Fitzpatrick
& Vangelisti 1995: 98). Namun, tidak dalam kasus yang menyangkut perbedaan
agama.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah rumusan masalah
sebagai berikut: “Bagaimana proses komunikasi interpersonal antara anak
agnostik dengan orang tua yang beragama setelah anak menyatakan mengenai
ke-agnostik-annya?”

1.3 Tujuan Penelitian


Ada pun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui komunikasi
interpersonal antara anak agnostik dengan orang tua yang beragama. Pada
komunikasi interpersonal setelah penyampaian mengenai kepercayaan
(agnostik) anak kepada orang tua di keluarga yang beragama.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat akademis:
Diharapkan melalui penelitian ini variasi dalam kajian komunikasi
interpersonal bisa bertambah. Teori yang digunakan adalah 7
elemen komunikasi interpersonal baik secara verbal maupun non-
verbal. Konsep yang dihasilkan dari penelitian ini bisa dijadikan
acuan untuk penelitian-penelitian serupa kedepannya.
2. Manfaat praktis:
Penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah wawasan
mengenai komunikasi interpersonal yang terjadi di antara keluarga
yang memiliki perbedaan kepercayaan. Bisa juga digunakan sebagai
referensi bagi pihak-pihak yang mengalami kasus serupa dalam
komunikasi interpersonal meliputi hambatannya dalam keluarga
yang memiliki perbedaan kepercayaan.

10
Universitas Kristen Petra
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada proses komunikasi interpersonal antara anak
agnostik dengan orang tua yang beragama. Lebih tepatnya komunikasi yang
terjadi setelah subjek menyatakan kepercayaannya kepada orang tua,
bagaimana komunikasi interpersonal antara orang tua (ibu) dan anak
(perempuan) setelah memberitahukan mengenai ke-agnostik-annya. Dengan
konteks komunikasi dari penelitian ini adalah mengenai sosial budaya (meliputi
komunikasi sehari-hari) dan agama dalam keluarga. Subjek dalam penelitian ini
adalah dua orang informan. Di mana informan pertama berlatar belakang agama
Katolik, dan informan kedua berlatar belakang agama Islam. Kedua informan
memiliki orang tua yang beragama, dan sama-sama telah membuka diri kepada
orang tua masing-masing mengenai kepercayaan yang kini mereka peluk,
namun keduanya mengalami penolakan dan perselisihan.

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada penelitian mengenai proses komunikasi
interpersonal meliputi hambatannya antara anak agnostik dengan orang tua
beragama adalah sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN
Pada pendahuluan bab 1, berisi mengenai uraian latar belakang
masalah yang mendasari penelitian, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, serta batasan-batasan penelitian, dan sistematika
penulisannya.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka bab 2, menjabarkan mengenai teori-teori yang
menjadi dasar untuk digunakan sebagai landasan dalam menganalisa
komunikasi interpersonal meliputi elemen komunikasi interpersonal
dan komunikasi non-verbal antara anak agnostik dengan orang tua
beragama.

11
Universitas Kristen Petra
3. METODE PENELITIAN
Pada metode penelitian bab 3, berisi uraian tentang metode-metode
yang digunakan dalam penelitian ini. Mulai dari definisi konseptual,
jenis penelitian, metode dan sasaran penelitian, unit analisis, metode
pengumpulan data, teknik analisis data, serta triangulasi data.

4. ANALISIS DATA
Pada analisis data bab 4, berisi tentang uraian profil dari ke-empat
informan yakni 2 pasang ibu dan anak perempuannya. Kemudian
dilanjutkan dengan hasil temuan data yang didapat dari metode
pengumpulan data yang digunakan, lalu dilanjutkan dengan analisa
data terhadap temuan baik dari wawancara maupun observasi. Yang
kemudian dilanjutkan dengan triangulasi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Pada kesimpulan dan saran bab 5, berisi tentang kesimpulan yang
telah dianalisa berdasarkan temuan data dan teori. Dilanjutkan
dengan saran dan refleksi bagi peneliti.

12
Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai