Anda di halaman 1dari 22

KONVERSI AGAMA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama
Program Studi Pendidikan Agama Islam Semester 3 (Tiga)
Program Pascasarjana IAIN Bone

Oleh

HARDIANTI
NIM : 861082019009

DOSEN

Prof. Dr. H. M. Amir HM., M.Ag

Dr. Wardana, M.Pd.I

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Agama merupakan objek pembahasan yang tidak akan pernah kering
untuk dikaji dan dibahas. Ibarat samudra yang tidak akan pernah habis meskipun
diminum oleh seluruh manusia yang ada di dunia ini. Para peminumnya ada yang
merasa terpuaskan, dan ada yang malah kering dahaga hingga menistakan. Akan
tetapi, bagaimanapun samudra itu akan tetap ada.
Manusia hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari berbagai masalah
kehidupan. Ada yang bahagia, ada yang menderita, ada yang miskin dan adapula
yang kaya. Apalagi hidup di zaman yang serba modern ini, apabila kita amati
dampak yang paling menonjol dari modernitas adalah keterasingan (alienasi) yang
dialami oleh manusia. Alienasi muncul dari cara pandang dualisme, yaitu: jiwa
badan, makhluk Tuhan, aku yang lain, kapitalis proletar, dll. Akhirnya terjadilah
gejala reifikasi atau pembedaan antar sisi dari dualitas tersebut. Ini disebut pula
objektivikasi, yaitu manusia memandang dirinya sebagai objek, seperti layaknya
sebuah benda.
Dalam filsafat kita mengenal dengan aliran materialisme. Semakin kuat
pengaruh materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi (keterasingan) diderita
umat manusia. Anda pasti tidak menghendaki filosofi akan berdampak sedemikian
menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang paling menderita karena
materialisme yang sudah berkembang biak sangat subur di sana. Jika Anda
membayangkan bahwa Anda terasing dengan orang-orang di sekitar Anda,
mungkin Anda bisa mengalihkannya dengan sibuk dengan diri sendiri. Tetapi,
bagaimana jika Anda terasing dengan diri Anda sendiri? Degradasi moral sering
terjadi karena manusia tidak mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini.
Dari berbagai masalah yang dihadapi tersebut tidak jarang menyebabkan
seseorang mengalami goncangan batin, bahkan terkadang merasa putus asa. Untuk
itu manusia akan mencoba atau berusaha untuk mencari pegangan atau ide baru,
dimana disitu dia bisa merasakan ketenangan jiwa. Suatu keyakinan yang akan
membuat hidupnya terasa lebih berarti, hidup yang bertujuan, yaitu kembali
kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah, atau konversi. Maka dapat kita
lihat yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis
yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
Ketenangan jiwa, itulah yang kemudian yang menjadikan pembahasan
tentang agama menjadi sangat menarik. Terlebih jika pada kenyataannya tahap
“ketenangan jiwa” merupakan kondisi kejiwaan yang berhubungan dengan
psikologi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pernyataan sebelumnya bahwa
“tidak ada manusia yang dapat hidup tenang tanpa tuntunan sebuah agama” harus
dibedah secara lebih dalam. Mengingat ternyata banyak manusia yang sudah
memeluk sebuah agama, tetapi tidak mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan,
bukan materil, tetapi jiwa.
Fenomena yang terjadi bukan hanya saat ini, banyak orang yang
mengganti agamanya. Alasannya ada yang karena tidak merasa tenang, aman,
damai, atau apa pun itu, sampai pada alasan yang paling sederhana, ekonomi.
Untuk itulah istilah konversi agama muncul.
B. Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dipecahkan pada makalah ini adalah Konversi
Agama, dari masalah pokok ini dijabarkan sub masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian Konversi Agama?


2. Apa Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama?
3. Bagaimana Proses Konversi Agama?

C. Tujuan Masalah

Dari hasil rumusun di atas, tujuan yang ingin dicapai Penulis sebagai
berikut:

1. Untuk menguraikan pengertian Konversi Agama.


2. Untuk Menguraikan factor yang menyebabkan terjadinya Konversi
Agama.
3. Untuk Menguraikan Proses Konversi Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konversi Agama

Tidak mudah memang membuat atau menentukan arti sebuah kata.


Terlebih jika kata tersebut akan menjadi sebuah istilah untuk menunjukkan
kepada peristiwa, kecenderungan, atau kondisi sesuatu yang abstrak. Setidaknya,
pengertian apa pun yang telah ada akan menimbulkan debatable.
Dalam ranah psikologi, pembahasan mengenai konversi agama selalu
menjadi pembahasan yang menarik. Pasalnya, mempelajari apa dan bagaimana
proses terjadinya perpindahan agama (religious convertion) dan transformasi
spiritual (spiritual transformation) merupakan tujuan utama dan inti dari disiplin
psikologi agama (goal central to the heart and soul of the discipline of
psychology). Hal ini terkait dengan adanya perubahan dari individu yang
mengalami proses terjadinya konversi tersebut.1
Konversi berasal dari kata conversion yang berarti, tobat, pindah,
berubah. Sehingga converstion berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu
agama ke agama lain (change from one state, or from one religius to another).
Sedang kata religion yang biasa dialih bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya
lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan
atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.2 Menurut Jalaluddin,
konversi Agama (Religious Conversion) dapat diartikan dengan berubah agama
ataupun masuk agama,3 atau konversi agama berarti terjadinya suatu perubahan
keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula.4

1
Raymond F. Paloutzian, “Religious Conversion and Spiritual Transformation A
Meaning-System Analysis”, dalam Raymond F. Paloutzian and Crystal L. Park (eds.), “Handbook
of The Psychology of Religion and Spirituality”, (Cet. IX; New York, London: The Guilford
Press: 2005), h. 331.
2
Atang ABD. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung:PT
Remaja Rosdakarya), h.3
3
Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Pinsip-
prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cet.16, h.379
4
Zakiyah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 137.
Konversi Agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk
proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan; proses itu bisa
terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba5 Secara umum, konversi
agama dapat diartikan berubah agama atau masuk ke dalam sebuah agama.
Mungkin saja diferensiasi dari berubah agama atau masuk ke dalam agama,
bertitik tolak dari kondisi keberagamaan sebelumnya. Jika seseorang pada
awalnya telah menetapkan sebuah agama kemudian mengganti agamanya itu,
maka masuk dalam pengertian berubah agama. Namun jika sebelumnya orang
tersebut tidak beragama kemudian memutuskan untuk beragama, maka orang
tersebut masuk ke dalam agama. Adapun kenversi agama secara etimologi dan
terminologi dapat kita pahami sebagai berikut:6
1. Pengertian Konversi Agama Secara Etimologi
Konversi dalam tinjauan etimologi berasal dari bahasa Latin “conversio”
yang berarti taubat, pindah, atau berubah. Dalam penggunaan bahasa inggris, kata
tersebut lebih sering dikenal dengan “conversion” yang memiliki beberapa
pengertian:
a. The process of changing or causing something to change from one form to
another.” (proses perubahan atau menyebabkan sesuatu berubah dari satu
bentuk ke bentuk yang lain).
b. “The fact of changing one’s religion or beliefs or the action of persuading
someone else to change theirs.” (oxforddictionaries.com) (sebuah fakta
dari perubahan sebuah agama atau keyakinan, atau tindakan untuk
mempengaruhi orang lain untuk merubah mereka).
Dari beberapa pengertian tersebut, kata konversi dapat juga diartikan
berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, satu agama kepada agama
yang lain.7
Kendati demikian, beberapa tahun belakangan, mungkin hingga saat ini
beberapa pihak memandang bahwa penggunaan kata konversi kurang tepat jika
merujuk pada orang yang memeluk Islam. Sebut saja, prof. Dr. Deddy Mulyana,
5
Jalaluddin, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Rajawali Pers. 1996), h.245
6
Ramayulis, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), cet. 9, h. 79-80
7
Ramayulis, “Psikologi Agama”, h. 79-80
M.A dalam pengantar bukunya menyatakan bahwa “proses reversion (kembali
menjadi muslim) adalah proses yang kini lazim terjadi di negara-negara Barat.”8
Dalam kutipan tersebut, alih-alih konversi, beliau lebih cenderung
menggunakan kata reversion untuk menggambarkan perbedaan antara masuk ke
dalam agama lain dengan masuk ke dalam agama islam. Hal ini merujuk pada
sebuah pandangan bahwa sejatinya setiap umat manusia dilahirkan dalam keadaan
Islam. Yang menyebabkan kemudian manusia tersebut memilih atau menjadi
beragama lain, adalah faktor orang tua dan lingkungannya. Ketika manusia
tersebut kembali kepangkuan Islam, maka tidak cocok jika disebut sebagai
konversi. Karena sejatinya mereka tidak berubah, tetapi kembali kepada asal.
Menanggapi penggunaan istilah revert itulah, Idris Tawfiq menulis dalam
sebuah situs onislam.net yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang isinya sedikit menggugat. Menurutnya, orang yang pertama kali
menggunakan istilah revert untuk merujuk pada orang yang baru masuk islam
disebut tidak akrab dengan bahasa inggris. Karena baginya, revert to berarti
mengambil langkah mundur (kembali) dalam kehidupan, dan penggunakan kata
revert memiliki konotasi yang negatif.9
Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi
agama mengandung pengertian: Bertobat, berubah agama, berbalik pendirian
terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
2. Pengertian Konversi Agama Secara terminology
a. Menurut Max Heirich bahwa konversi agama adalah suatu tindakan
dimana seseorang atau sekelompol orang masuk atau pindah ke suatu
sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan
sebelumnya.
b. Menurut Thouless (1992), konversi agama adalah istilah yang pada
umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu

8
Deddy Mulyana, “Santri-santri Bule: Kesaksian Muslim Amerika, Eropa, dan
Australia”. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. III, h.25
9
Tawfiq, Idris. Artikel. Terjemah. “Berhenti Memanggil Saya ‘a Revert“. 2013,
http://www.antiliberal.net/2013/10/berhenti-memanggil-saya-revert.html/
sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau
secara tiba-tiba.
c. William James mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: “to
be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to
gain an assurance, are so many phrases which denote to the process,
gradual or sudden, by which a self hitherro devide, and consciously wrong
inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and
happy, in consequence of its firmer hold upon religious
realities”. “berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk
menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah
banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-
tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kuran bahagia
dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan
beragama”.
d. Walter Houston Clork dalam The Psychology of Religion memberikan
pengertian konversi sebagai pertumbuhan atau perkembangan spiritual
yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti dalam sikap
terhadap ajaran dan tindakan agama.
e. Clark , memberikan definisi konversi sebagai berikut: konversi agama
sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang
mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap
ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi
agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah
mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang
mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi
perubahan tersebut secara berangsur-angsur.10
Dengan pengertian konversi agama di atas, secara jelas menekankan pada
peristiwa perpindahan atau perubahan pemahaman, loyalitas keyakinan yang
ditinggalkan dinilai salah dan yang baru merupakan yang benar. Namun, pada
dasarnya tindakan konversi agama sama halnya dengan fakta-fakta psikis lainnya

Zakiah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Penerbit Bulan Bintang 1970), h.1
10
dan tidak dapat diteliti secara langsung proses terjadinya konversi agama tersebut,
dan keyakinan-secara mendadak itu yang diawali oleh konflik batin dan
perhelatan jiwa yang sangat panjang dalam perjalanan hidupnya.
Istilah konversi agama ada dua madzhab. Pertama, makna konversi sesuai
asal bahasa yakni perubahan. Semua perubahan disebut konversi, baik itu
perubahan keyakinan dari Islam ke non Islam ataupun dari non Islam ke Islam
yang jelas mengalami perubahan agama. Kedua, konversi agama juga banyak
menyangkut masalah psikologi (kejiwaan) manusia dan pengaruh lingkungan
dimana manusia berada.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh
lingkungan. Dari beberapa uraian di atas memuat beberapa pengertian tentang
konversi agama dengan ciri-ciri sebagai berikut11:
1) Perubahan arah pandang atau keyakinan seseorang terhadap agama dan
kepercayaan yang dianutnya selama ini.
2) Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan
dapat terjadi karena berproses atau secara mendadak.
3) Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan
dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan
terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4) Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun
disebabkan faktor petunjuk (hidayah) dari Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, setidaknya dapat dipahami,
bahwa konversi agama menunjukan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah
mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja
sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut
secara berangsur-angsur.
B. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Pada tahap ini, para ahli berbeda pandangan mengenai faktor apa yang
menyebabkan seseorang mengkonversi agamanya. Perbedaan pandangan ini, tentu

Ramayulis, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), cet. 9, h. 79-80


11
saja dipengeruhi oleh sudut pandang, displin ilmu, dan background masing-
masing.
1. Para tokoh agama, berpandangan bahwa penyebab utama dari
berpindahnya agama seseorang adalah kehendak Tuhan. Sebuah dorongan
dari luar yang memiliki kehendak luar biasa pada dalam diri manusia. Hal
tersebut tidak bisa dikontrol secara penuh oleh manusia. Karena pada
hakikatnya hidayah, atau petunjuk merupakan milik Tuhan.
Dalam tradisi keilmuan serta kepercayaan Islam misalnya, Allah
memegang peranan sentral bagi keislaman seseorang. Seseorang yang beragama
dan memilih agama Islam sebagai agamanya, merupakan bentuk hidayah Allah.
Tidak ada satu faktor pun yang dapat memaksakan hidayah. Seseorang tidak bisa
memberi hidayah kepada orang lain, meskipun dia adalah seorang nabi. Firman
Allah yang artinya:
“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi
hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah lah yang
memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakiNya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. al-
Qoshosh: 56)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman yang artinya:
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu
tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi
petunjuk kepadanya." (QS. al-Kahfi: 17)

2. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya


konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong
terjadinya konversi itu sendiri terdiri dari adanya berbagai faktor yang
mendukung antara lain :
a. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan
maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan ataupun bidang
kebudayaan yang lain).
b. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Maksudnya pengaruh ini dapat mendorong
seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan secara
rutin hingga ia menjadi terbiasa.
c. Pengaruh anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat. Misalnya:
keluarga, famili, karib dan sebagainya.
d. Pengaruh yang berasal dari pemimpin keagamaan. Ini bisa disebabkan
karena terjalinnya hubungan yang baik dengan pemimpin agama. Ini pun
bisa menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya konversi agama.
e. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang
dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong
terjadinya konversi agama.
f. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yaitu pengaruh kekuasaan pemimpin
berdasarkan kekuatan hukum. Masyarakat umumnya cenderung menganut
agama yang dianut oleh kepala negara atau raja mereka (Culus Regio Illius
est Religio).
Dari sekian banyak pengaruh-pengeruh tersebut, setidaknya dapat dibagi
menjadi dua garis besar, yaitu pengaruh yang mendorong secara persuasif berupa
himbauan, ajakah, maupun anjuran. Dan pengaruh yang bersifat koersif yang
cenderung lebih memaksa, mengancam, bahkan dengan kekerasan.
Meskipun pengaruh-pengaruh di atas memang memegang peranan, tetapi
semua akan kembali pada bawaan atau kondisi kejiwaan orang tersebut. Faktanya,
meskipun dipimpin oleh pemimpin keras dan ototoriter, mendapat tekanan baik
verbal hingga fisik, dan lain sebagainya, tetapi jika orang tersebut telah mantap
dalam keimanan dan memiliki jiwa yang kuat, maka hal tersebut tidak akan
memberi pengaruh bagi dirinya untuk berpindah agama, justru pada kasus-kasus
tertentu membuat dirinya semakin kuat memegang teguh agamanya.
3. Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya
konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor
intern (gejala batin) maupun ekstern (lingkungan social)
Dalam teori meaning system yang dikembangkan oleh Paloutzian
berkaitan dengan konversi agama seseorang, beliau menyatakan bahwa konversi
agama dan spiritual yang terjadi pada seseorang akibat perbedaan yang terjadi
dalam kehidupan dan ada keraguan di dalam diri seseorang baik mengenai nilai-
nilai, atau ajaran dalam agama yang dianutnya. Hal tersebut membuatnya
membangun sistem makna baru. Yang kemudian mengarahkan pada perubahan-
perubahan dalam hal-hal yang terhubung kepada sistem makna yang diragukannya
itu. Dari sinilah proses perpindahan agama itu terjadi.12
William James (dalam Ramayulis, 2002) yang berhasil meneliti
pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan
sebagai berikut:
a. Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat
kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam
bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.
b. Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara
mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu menjadi
beberapa tipe:
1) Tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara
berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat
aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu
terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri
dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.
2) Tipe Self-Surrender (perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah
konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu
proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang
dianutnya. Pada konversi agama tipe kedua ini James mengakui adanya
pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena
gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga

12
James M. Nelson,. “Psychology, Religion, and Spirituality”. (USA: Departmentof
Psychology. 2009), h.136
ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-
penuhnya.
Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut
berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antara
lain:
1) Faktor Intern meliputi:
a. Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan
mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James
menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis
memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung
seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam
keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam
dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
b. Faktor pembawaan. Menurut Sawanson ada semacam kecenderungan
urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak
bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak
yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa,
karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian
orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak
mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2) Faktor Ekstern meliputi:
a. Faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama,
kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat
dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan
mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam
usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya.
b. Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan
tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa
dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan
seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk
bergantung hinggakegelisahan batinnya hilang.
c. Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara
mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama,
misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan
pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya.
d. Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor
yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
4. Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi
oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan
argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi
agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang
pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama namun berdirinya
sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya
mempunyai tujuan keagamaan pula.

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat, faktor-faktor konversi agama


meliputi:

1. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang


yang gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-
kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu
mudah mengalami konversi agama. Di samping itu sering pula terasa
ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah
yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak
diketahui. Dalam semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang
yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan
perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan
2. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama, diantara faktor-faktor penting
dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang
mempengaruhinya sehingga terjadi konversi tersebut. Diantara pengaruh
yang terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai
pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi
padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan
yang konflik batin itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu
kecil, dekat dengan orang tua dalam suasana yang tenang dan aman damai
akan teringat dan membayang-bayang secara tidak sadar dalam dirinya.
Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan
konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya
adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja.
Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu
faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada
umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan
mengalamkonflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi.
3. Ajakan/seruan dan sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa
konversi agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar.
Orang-orang yang gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin,
akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena
orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin segera
terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan
ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral.
4. Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau
banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang
mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya
tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi
adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi
agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan.
5. Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu
sendiri untuk memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas,
Sudarno menambahkan empat factor pendukung, yaitu:
6. Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup
tidak akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu
fungsi sebagai psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada
manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi hidupnya,
seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilandaskan perasaan
cinta kepada pasangannya.
7. Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai
dan menyayangi.
8. Hidayah, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dikendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-
orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qasas: 56) “Barang siapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya
dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang
siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit.
Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman”. (QS. Al An’am: 125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi
seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah
SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha,
namun jangan sampai melawankehendak Allah SWT dengan segala
pemaksaan.

Kebenaran agama, menurut Djarnawi agama yang benar adalah yang tepat
memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan.
Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain,
akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog,
ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media lain.
Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua,
yaitu pengaruh yang mendorong secara persuasif (ajakan/tidak memaksa) dan
pengaruh yang bersifat koersif ( paksaan).
C. Proses Konversi Agama

Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar.


Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah
gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan
bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya. Dengan
demikian seseorang tidak serta merta beralih agama. Terlebih untuk agama, yang
masing-masingnya memiliki perangkat aturan serta nilai yang apabila telah
terintegrasi pada diri seseorang akan mempengaruhi cara pandang, bertindak, tutur
kata orang tersebut berdasarkan agamanya. Oleh karenanya, proses terjadinya
konversi tentu memakan waktu.

Carrier (dalam Ramayulis, 2002) membagi proses tersebut dalam tahapan-


tahapan sebagai berikut:

1. Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasi


sebagai akibat dari krisis yang dialami.
2. Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama
yang .Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru
yang berlawanan dengan struktur yang lama.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta
peranan yang di tuntut oleh ajarannya.
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci
petunjuk Tuhan.

Demikian pula seseorang atau kelompok yang mengalami proses konversi


agama ini, segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola
tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya(agama), maka setelah
terjadi konversi agama pada dirinya secaca spontan pula sama ditinggalkan sama
sekali. Segala bentu kepercayann batin terhadap kepercayaan lama seperti:
harapan, rasa bahagia, keselamatan, kemantapan berubah menjadi berlawanan
arah. Timbullah gejala-gejala baru berupa: perasaan serba tidak lengkap dan tidak
sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk: merenung ,
timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa
depan, perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.

Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin


sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya.
Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami seseorang atau kelompok maka
dirinya menjadi lemah dan pasrah ataupun timbul semacam peledakan perasaan
untuk menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan
terjadi dengan sendirinya bila yang bersangkutan telah mampu memilih
pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut meerupakan
pertaruhan terhadap masa depannya sehingga ia merupakan pegangan baru dalam
kehidupan selanjutnya.

Sebagai hasil dari pemilihan terhadap pandangan hidup itu maka bersedia
dan mampu untuk membaktikan diri kepada tuntutan-tuntutan dari peraturan ada
dalam pendangan hidup yang dipilihnya itu berupa ikut berpartisipasi secara
penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran pandangan hidup itu akan
semakin tinggi pula nilai bakti yang diberikannya.

Sebenarnya sukar untuk menentukan satu garis, atau satu rentetan proses
yang akhirnya membawa kepada keadaan keyakinan yang berlawanan dengan
keyakinannya yang lama. Proses ini berbeda antara satu orang dengan lainnya,
karena disebabkan beberapa faktor, antara lain:

1. Perbedaan perkembangan psikis seseorang


2. Pengalaman dan pendidikan agama yang diterimanya sejak kecil
3. Lingkungan dimana ia hidup atau suasana yang mempengaruhi ia hidup
4. Pengalaman terakhir yang menjadi puncak konversi itu sendiri
5. Selanjutnaya apa yang terjadi pada hidupnya sesudah terjadinya konversi
tersebut.

M.T.L Penido berpendapat,13 bahwa konversi agama mengandung 2 unsur


yaitu:

a. Unsur dari dalam diri (endogenos origin)

Yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok
yang membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi yang
13
Lihat dalam; Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan
Mengaplikasikan Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cet. ke-
16, h.386-387
disebabkan oleh krisis yang telah terjadi untuk mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan pribadi.

b. Unsur dari luar diri (exogenos origin)


Yaitu proses perubahan yang terjadi dari luar diri atau kelompok, dan hal
itu kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran seseorang untuk
menyelesaikannya.
Kedua unsur tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan batin untuk
aktif berperan memilih penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan batin
kepada yang bersangkutan. Jadi, disini terlihat adanya pengaruh motivasi dari
unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan
kehendak batin, terciptalah suatu ketenangan.14
Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut terjadilah semacam
perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur lama terhapus dan
digantikan dengan struktur yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap benar.
Prof.Dr. Zakiah. Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan
proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
1. Masa tenang, disaat ini kondisi seseorang berada dalam keadaan yang
tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi
semacam sikap apriori (belum mengetahui) terhadap agama. Keadaan yang
demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan
batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. Segala
sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang
agama.
2. Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah
mempengaruhi batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah
ataupun perasaan berdosa yang di alami.Hal tersebut menimbulkan
semacam kegoncangan dalam kehidupan batin sehingga menyebabkan
kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus
asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang

14
Bambang Syamsul Arifin, “Psikologi Agama”, (Bandung:Pustaka Setia, 2008), h.198-
199
lebih sensitif dan hampirhampir putus asa dalam hidupnya dan mudah
terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau
kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
3. Masa konversi, tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami
keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan
menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun
timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam
menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang tadinya seperti
dilamun ombak atau di porak porandakan oleh badai topan persoalan, tiba-
tiba angin baru berhembus, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk
kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena
disaat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap
kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya,
maka terjadilah proses konversi agama.
4. Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini
berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan
itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan
ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh kepuasan terhadap
keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah mampu membawa
suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru.
Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah di lalui, maka timbullah
perasaan atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman dan damai di hati, tiada
lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada kesalahan
yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi
mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan mudah
untuk memaafkan kesalahan orang lain.
5. Masa ekspresi konversi, sebagai ungkapan dari sikap menerima, terhadap
konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya, maka tindak tanduk dan
sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang
dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang
serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu
dalam kehidupan.
Menurut Wasyim secara garis besar membagi proses konversi agama
menjadi tiga, yaitu:
1. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya
gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah.
Ditandai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif.
2. Adanya rasa pasrah
3. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.
Diawal-awal terjadinya perubahan itu, setiap diri merasakan kegelisahan
batin sulit untuk menentukan secara spontan mana yang harus diikuti. Kesulitan
seperti itu adalah wajar, karena agama sebagai keyakinan menyangkut sisi-sisi
kehidupan batin seseorang yang berkaitan dengan nilai.
Bagi manusia nilai adalah suatu yang dianggap benar dan menyangkut
pandangan hidup. Oleh karena itu, selain peka, nilai juga merupakan sesuatu yang
perlu dipertahankan oleh seseorang. Bahkan, pada tingkat yang paling tinggi
pemeluk keyakinan itu akan rela mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan
nilai itu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Konversi Agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan


dengan perubahan keyakinan(agama) yang berbeda.

Ada dua faktor yang mempunyai pengaruh dalam konversi agama:

1. Faktor intern antara lain; kepribadian dan pembawaan.


2. Faktor ekstern antara lain; keluarga, lingkungan, perubahan status, dan
kemiskinan.
Proses konversi agama mengandung 2 unsur yaitu:
a. Unsur dari dalam diri (endogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok
yang membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi
agama.
b. Unsur dari luar diri (exogenos origin)
Yaitu proses perubahan yang terjadi dari luar diri atau kelompok, dan hal
itu kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran seseorang untuk
menyelesaikannya.

B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
banyak hal-hal yang masih kurang dalam makalah ini. Maka dari pada itu
pemakalah mengaharapkan kritikan dan saran dari para pembaca dan terutama
sekali kepada dosen pembimbing, guna untuk perubahan dan perbaikan bagi
pemakalah dikemudian harinya.
DAFTAR PUSTAKA

Atang ABD. Hakim, dan Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”,


(Bandung:PT Remaja Rosdakarya), tt.
Ahmad, Maghfur. “Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud”. Jurnal
Religia. vol.14. No.2. Oktober 2011.
Bambang Syamsul Arifin, “Psikologi Agama”, (Bandung:Pustaka Setia,
2008)
Daradjat, Zakiah “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
______________, , “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang), 2005
Jalaluddin, “Psikologi Agama; Memahami Perilaku dengan
Mengaplikasikan Pinsip-prinsip Psikologi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012), Cetakan ke-16
________, “Psikologi Agama”, (Jakarta: Rajawali Pers. 1996)
Mulyana, Deddy. “Santri-santri Bule: Kesaksian Muslim Amerika,
Eropa, dan Australia”. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), Cet. III, 2004.
Nelson, James M. “Psychology, Religion, and Spirituality”. (USA:
Departmentof Psychology. 2009).
Paloutzian, Raymond F and Crystal L. Park (eds.) “Handbook of The
Psychology of Religion and Spirituality”. (New York, London: The Guilford
Press: 2005). Cet. IX.
Tawfiq, Idris. Artikel. Terjemah. “Berhenti Memanggil Saya ‘a Revert“.
2013.

Anda mungkin juga menyukai