Anda di halaman 1dari 7

Suku kaili-Unde Sulawesi

Sektor 19
Annida Misyika Fairuzia (1702570/2017)
Asyifa Lulu Q (1704345/2017)
Aulia Ishfa Hani F (1705708/2017)
Dewi Amelia (
Elis Yohana Fazria (
Ibus Bustami (1704634/2017)
Isma Inayah Nurfaujiah (1705450/2017)
Lily Ulyatul Amaliyah (1702126/2017)
Nanda Zaidah (1703907/2017)
Nurul Aini Azkiyyah (1700393/2017)
Sabdasih Septi Utami (1704992/2017)
Tia Nadilah (1703486/2017)
Tiara Derawati (1700059/2017)(
Sejarah Suku Kaili

Suku Kaili adalah salah satu suku bangsa yang mendiami


lembah Palu. Atau bisa disebut juga sebagai suku asli
lembah Palu. Secara kebahasaan, kata kaili berasal dari
nama pohon. Pohon kaili ini tumbuh subur di tepi sungai
Palu dan teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk
Palu letaknya menjorok kurang lebih 34 km dari letak
pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai
buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak
ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di
sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air
di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat
air laut surut.
Kehidupan suku kaili
1. Sistem mata pencharian
Suku Kaili penduduk asli Sulawesi Tengah adalah sebagai penduduk
agraris. Suku Kaili memilki mata pencaharian sebagai petani, yang
bercocok tanam di sawah, diladang dan menanam kelapa. Disamping itu
masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga
mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan
beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping
bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan
berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian
besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan
daerah persawahan.
2. Sistem Sosial

Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti
golongan raja dan turunannya (madika),
golongan bangsawan (to guru nukapa),
golongan orang kebanyakan (to dea),
golongan budak (batua).
Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan
keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan
(kadudua) dan usia (tetua).
Pola perkampungan suku bangsa Kaili terdapat tiga pola pemukiman adat, yakni
Ngapa (pola permukiman mengelompokan padat), Boya (pengelompokan
komunitas kecil menyebar), dan Sampoa (tempat berlabuhan). Dalam sistem
kekerabatan suku Kaili bersifat bilineaal, artinya keturunan baik dari pihak laki-
laki maupun perempuan
3. Ultimatum
Sistem Pendidikan
Kedua :

Suku Kaili banyak mendiami tempat-tempat dan daerah-daerah yang berbeda


dikawasan Sulawesi Tengah, diantara sekian banyak masyarakat suku Kaili terdapat
sebuah rumpun masyarakat suku Kaili yang dikenal dengan suku Kaili Daa yang
berbahasa Daa di Jonooge Sulawesi Tengah.
Hingga di abad teknologi muktahir yang berkembang pesat di kota-kota dimana kita
tinggal, Orang Kaili Daa ini tidak pernah mengadopsi satu bagian pun dari kemajuan
teknologi itu. Anak-anak mereka bertumbuh apa adanya dengan pengetahuan yang
minim yang tak lebih dari miskinnya peradaban kebudayaan Kaili. Kesulitan akses ini
yang menjadikan mereka tetap terasing dan nyaris terisolasi dari peradaban modern.
Pertengahan Juni 2008, PESAT mengirimkan dua orang tenaga pengajarnya
untuk membangun generasi baru Suku Kaili Daa, membangun sekolah
darurat dan mengajarkan pendidikan di sana. Penghujung Agustus 2008,
sekolah perdana di suku terasing ini pun meluncur, dan antusias anak-anak
Awalnya sekolah diadakan di Bantaya, istilah untuk balai pertemuan adat
bagi Suku kaili, kini Sedikitnya ada 50 anak usia sekolah berbaris rapih
penuh semangat setiap pagi memasuki dua ruang kelas di sekolah baru
mereka yang ala kadarnya, yang dinding dan lantainya terbuat dari papan
dan beratap rumbia. Satu bangunan sekolah yang berdiri agak miring di
tengah sabana di tanah datar di punggung bukit hasil gorong-royong
masyarakat Kaili. (tulisan Feature_Radio PESAT)
Adapun Pendidikan moral masyarakat suku Kaili secara umum ditanamkan
di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam
masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik
laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu
daripada ayah mereka.
4. Sistem Kebudayaan

Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari. Namun, suku Kaili tetap memilki lingua franca ( bahasa
pemersatu), mereka menyebutnya sebagai bahasa Ledo yang artinya Tidak. Bahasa
Ledo ini dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya.
Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di
sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota
Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa
bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa
Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa
Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro,
Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi, Pandere) bahasa Edo (Pakuli, Tuva),
bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahasa Daa (Jonooge), bahasa Moma (Kulavi), dan
bahasa Baree (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti
tidak.

Anda mungkin juga menyukai