Anda di halaman 1dari 10

TUGAS QUIS

SUKU KOROWAI
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Etnografi Papua)

DISUSUN OLEH :

BREMA ALOY HAGANTA SITEPU (201959013)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)

UNIVERSITAS PAPUA

TAHUN AJARAN 2020/2021


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia tidak pernah lepas dari “Budaya” karena manusia merupakan pembentuk budaya
itu sendiri. Manusia hidup karena adanya kebudayaan dan kebudayaan akan selalu hidup dan
berkembang jika manusia melestarikannya. Hubungan erat antara manusia (terutama masyarakat)
telah diungkapkan lebih jauh oleh E. B. Tylor (1871) dalam bukunya Primitive Culture:
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki beragam
kebudayaan, agama, dan suku bangsa. Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah Suku
Korowai yang tinggal di pedalaman Papua dengan populasi sebanyak 3000 ribu orang . Suku
bangsa ini baru ditemukan 30 tahun yang lalu karena kehidupan mereka yang masih sangat
terisolasi di pedalaman Papua. untuk itu sangat penting bagi kita sebagai penerus bangsa
mengetahui suku-suku bangsa yang tertinggal sehingga pengetahuan kita tidak terbatas mengenai
keberadaan suku-suku bangsa yang ada di Indonesia.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui peta sebaran suku korowai
2. Untuk mengetahui 7 unsur budaya suku korowai
3. Untuk mengetahui identitas suku korowai
4. Untuk mengetahui kontak dengan dunia luar
DISKRIPSI PENULISAN

A. Peta Sebaran Suku Korowai

Gambar 1 Peta posisi wilayah adat suku korowai pada peta Papua

Gambar 2 Kampung-kampung di Korowai


Gambar 3 Peta posisi wilayah adat suku korowai dan suku-suku tetangga

B. 7 Unsur Budaya dalam kehidupan suku Korowai


1. Peralatan :

Peralatan dan perlengkapan yang digunakan oleh suku Korowai anatara lain rumah,
parang atau kapak (logam atau batu), ainop, tombak, bubu, tali, kulit kayu atau anyaman daun
sagu (sebagai atap rumah), kayu (sebagai kerangka rumah) dan panah.

2. Mata pencaharian

Suku Korowai hidup dengan menggantungkan pada alam. Pemenuhan kebutuhan


dilakukan dengan berburu, menangkap ikan, dan bahkan berladang. Hewan-hewan buruan
mereka seperti babi hutan, burung kasuari, burung, ular, dan serangga kecil. Mereka menangkap
ikan di sungai dengan bubu dan tombak. Untuk mendapatkan karbohidrat, mereka mengolah
sagu, menanam umbi-umbian, juga menanam pisang. Sedangkan untuk memenuhi protein,
makanan utama mereka adalah larva kumbang Capricorn. Makanan nabati juga sangat penting
bagi mereka. Terutama daun palem, pakis, sukun dan buah pandanae merah.

3. Sistem kemasyarakatan

Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak
tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai
Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987,
desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan
Khaiflambolüp (1998). Klan Korowai hidup di teritorial masing – masing, yang disebut bolup.
Mereka hidup dalam hubungan yang bersahabat dengan klan tetangga atau hidup terisolasi antar
satu klan dengan klan lain. Teritorial satu klan terdiri dari 1-5 kluster rumah pohon (khaim).
Dalam satu klan, pada dasarnya hanya berisi seorang pria dewasa, satu atau lebih istrinya, dan
anak – anaknya yang belum menikah. Klan tersebut juga dapat terdiri dari ibu (kandung atau
mertua) yang sudah menjanda, sepupunya yang belum menikah, atau bahkan anak dari
sepupunya yang masih lajang, sehingga dalam satu klan keluarga dapat mencapai
maksimal 50 orang. Rata-rata dalam satu klan tinggal di lebih dari dua rumah pohon dengan
populasi sekitar 20-30 orang. Bila anggota klan dapat mencapai hingga lebih dari 50 orang,
maka sebagian dari mereka akan pindah ke desa lain dan membentuk kelompok yang lebih
kecil. Kehidupan dalam klan Korowai memiliki suatu adat tertentu, seperti seorang pria yang
menjadi pemimpin keluarga dilarang bertengkar atau melakukan kekerasan pada mertuanya.
Apabila hal tersebut dilanggar makan anaknya akan terkena penyakit. Anak-anak perempuan
suku Korowai (mbambam) lebih banyak dibesarkan dan tinggal bersama ibunya dan klan wanita
dalam ruangan wanita yang terdapat dalam rumah pohon. Begitu pula dengan anak laki-laki
yang mulai beranjak remaja atau yang sudah akil balig akan di tempatkan di ruangan laki-laki
dalam rumah pohon. Bayi selalu dibawa dalam suatu tas yang digantung di tubuh sang ibu
(ainop) sehingga lebih mudah disusui kapanpun sang bayi ingin. Perkawinan dalam suku
Korowai bersifat eksogami (kawin campur antar suku) dan poligami. Seorang pria tidak dapat
menikahi istri pertamanya sebelum berusia dua puluh tahun. Namun, seorang wanita dapat
menikah saat baru beranjak remaja atau diusia yang lebih muda lagi. Pria dalam suku Korowai
menjatuhkan pilihan untuk menikahi gadis-gadis di desanya bukan berdasarkan kecantikan fisik
namun kemampuan gadis tersebut dalam mengumpulkan bahan makanan atau keahlian hidup
lainnya.

4. Bahasa

Keberadaan suku Korowai atau Kolufu ini sendiri baru diketahui pada tahun 1970-an
lalu, di mana seorang misionaris Kristen datang ke sana dan mulai
hidup bersama suku Korowai. Dari misionaris ini pula lah pada akhirnya suku Korowai
mempelajari bahasa mereka, yaitu bahasa Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara
Papua. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.

5. Sistem pengetahuan

Pada tahun 2010, pemerintah untuk pertama kalinya menyensus suku Korowai ini dalam
data kependudukan Indonesia.Sejak saat itu, bantuan pendidikan mulai dapat diberikan kepada
penduduk Korowai, sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Namun jauh sebelum itu, suku
Korowai juga sudah menerima kehidupan dunia luar. Pada tahun 1979, misionaris
Belanda menjelajahi kehidupan di sana. Misionaris Belanda tersebut mendirikan sebuah
pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada
dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah anggota suku Korowai yang masih muda.
Meski bentuk pengetahuan yang diterima jauh dari formal, namun suku Korowai terkesan
menerima pengaruh dunia luar yang di bawa oleh misionaris Belanda.
6. Sistem kepercayaan

Belum diketahui pasti apa sistem kepercayaan yang di anut oleh masyarakat suku
Korowai, namun mereka menerapkan sistem kanibalisme secara turun-temurun dari nenek
moyang mereka. Penerapan sistem ini tidak dilakukan pada sembarangan orang. Namun,
sistem ini diterapkan pada orang-orang yang melanggar peraturan yang ada di suku Korowai
tersebut. Salah satunya jika salah seorang warga diketahui sebagai tukang sihir
atau khuakhua. Meski suku Korowai menerapkan sistem kanibalisme, namun ritual ini sudah
semakin berkurang pada masyarakat Korowai yang mulai mengenal dunia luar.

7. Kesenian
a. Pakaian

Korowai adalah salah satu suku di Irian yang tidak memakai koteka. Kaum lelaki suku ini
memasuk-paksa-kan penis mereka ke dalam kantong jakar (scrotum) dan pada ujungnya mereka
balut ketat dengan sejenis daun. Sementara kaum perempuan hanya memakai rok pendek terbuat
dari daun sagu.

b. Rumah Adat

Keunikan suku Korowai terdapat pada tempat tinggal mereka berupa rumah pohon, yang
dapat mencapai ketinggian 8-12 meter diatas permukaan tanah atau bahkan mencapai ketinggian
45 meter bila berada di area hulu sungai, dan dilengkapi dengan sebatang pohon untuk
membantu mereka naik ke atas rumah (tangga). Setiap rumah pohon didesain menjadi dua
hingga tiga ruangan, sedikitnya dapat ditempati oleh seorang pria dan wanita dewasa, dan
dilengkapi dengan tempat untuk meletakkan api. Ada tiga alasan suku Korowai memilih hidup
di rumah pohon. Alasan pertama, mereka merasa dengan hidup di rumah pohon maka mereka
akan lebih aman dari serangan musuh. Kedua, dengan tinggal di rumah pohon, suku Korowai
akan lebih mudah mengawasi dan mendapat hewan buruan, seperti babi hutan yang berkeliaran
di bawah rumah pohon mereka sehingga dengan mudah dapat dibidik dengan panah. Ketiga,
mereka menganggap bahwa rumah pohon memiliki nilai tersendiri karena sudah merupakan
budaya yang diwariskan secara turun temurun sehingga mereka merasa nyaman tinggal disana.

C. Identitas Suku Korowai (Kholufo)

Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 35 tahun lalu di
pedalaman Papua. Berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah pohon yang
disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah bahkan bisa mencapai ketinggian 50 meter dari
permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu di daratan Papua yang tidak menggunakan
koteka.

Orang-orang Korowai menempati kawasan hutan sekitar 150 kilometer dari Laut Arafura.
Mereka adalah pemburu-pengumpul yang memiliki keterampilan bertahan hidup. Sampai sekitar
1975, Korowai hampir tidak mempunyai kontak dengan dunia luar. Mereka hanya mengenal
diantara mereka saja.

Tinggal di kampung atau pemukiman kecil yang dibuat pemerintah, adalah fenomena
yang relatif baru di kalangan Korowai. Mereka membangun rumah yang dibagi menjadi dua atau
tiga kamar persegi panjang dengan tempat api di setiap kamar. Pria dan wanita tinggal terpisah.
Pada tahun 1992, ketika desa Yaniruma diresmikan pemerintah Boven Digoel, tim pembuat film
dokumenter sudah bisa mengunjungi Korowai di pemukiman mereka.

Sedikit saja informasi yang diketahui tentang Korowai sebelum 1978. Namun, dari
berbagai sumber, diketahui, suku ini mengalami masa mengayau yang pelik. Kontak orang
Korowai dengan dunia luar tercatat ketika mereka bertemu penginjil Johannes Veldhuizen, pada
4 Oktober 1978. Setelah kontak itu, sekitar 1980, Gereja kemudian membangun sekolah dasar
dan klinik rawat jalan. Selama tahun-tahun pertama itu, Johannes Veldhuizen dan Henk Venema
mengatur berbagai pertemuan dengan Korowai.

Antara tahun 1978 dan 1990, Korowai masih menempati hilir sungai. Mereka membuka
kebun dan berburu. Mereka juga diperkenalkan dengan metode penyembuhan kesehatan yang
diprogramkan pemerintah. Namun, meskipun telah mengetahui klinik rawat jalan di Yaniruma,
banyak dari mereka masih menggunakan metode tradisional menyembuhkan sakit.

Suku Korowai sebagian besar masih mandiri. Mereka menghasilkan kapak dari batu,
membuat garam dan banyak lainnya. Uang pertama yang dikenalkan berasal dari misionaris.
Mereka juga membantu perintis gereja dan dibayar rupiah. Dengan uang ini, mereka bisa
membeli barang di toko lokal seperti garam, pakaian, dan pisau cukur. Sejak 1990, Korowai
telah terlibat dalam proyek-proyek kehutanan perusahaan asing. Mereka dipekerjakan sebagai
pemandu wisata dan pengemudi perahu. Meskipun banyak dari mereka tidak tamat SD, beberapa
berhasil mengikuti pendidikan menengah di Kouh, Boven Digoel Atas. Kini, pemuda Korowai
bisa belajar di Jayapura.

Secara tradisional, Korowai hidup dalam kondisi terisolasi. Mereka membangun rumah
tinggi untuk melindungi keluarga tidak hanya terhadap serangan hewan buas, tetapi juga
menangkal roh jahat. Untuk waktu yang lama, Korowai dianggap sangat tahan terhadap konversi
agama. Namun, pada akhir tahun 1990-an, mereka mulai dibaptis.

D. Kontak dengan Dunia Luar

Kontak orang Korowai dengan dunia luar tercatat ketika mereka bertemu penginjil
Johannes Veldhuizen, pada 4 Oktober 1978. Setelah kontak itu, sekitar 1980, Gereja kemudian
membangun sekolah dasar dan klinik rawat jalan. Selama tahun-tahun pertama itu, Johannes
Veldhuizen dan Henk Venema mengatur berbagai pertemuan dengan Korowai.
Antara tahun 1978 dan 1990, Korowai masih menempati hilir sungai. Mereka membuka
kebun dan berburu. Mereka juga diperkenalkan dengan metode penyembuhan kesehatan yang
diprogramkan pemerintah. Namun, meskipun telah mengetahui klinik rawat jalan di Yaniruma,
banyak dari mereka masih menggunakan metode tradisional menyembuhkan sakit.

Suku Korowai sebagian besar masih mandiri. Mereka menghasilkan kapak dari batu,
membuat garam dan banyak lainnya. Uang pertama yang dikenalkan berasal dari misionaris.
Mereka juga membantu perintis gereja dan dibayar rupiah. Dengan uang ini, mereka bisa
membeli barang di toko lokal seperti garam, pakaian, dan pisau cukur. Sejak 1990, Korowai
telah terlibat dalam proyek-proyek kehutanan perusahaan asing. Mereka dipekerjakan sebagai
pemandu wisata dan pengemudi perahu. Meskipun banyak dari mereka tidak tamat SD, beberapa
berhasil mengikuti pendidikan menengah di Kouh, Boven Digoel Atas. Kini, pemuda Korowai
bisa belajar di Jayapura.
KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas maka saya dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan Suku
Korowai merupakan salah satu kebudayaan dari sebegitu banyaknya kebudayaan Indonesia yang
harus diperhatikan dan dipelajari. Hampir sama dengan suku-suku lain yang ada di Tanah air
Suku Korowai juga memiliki keunikan dan Karakteristik tersendiri yang membuat kebudayaan
mereka berbeda . Untuk itu mempelajari kebudayaan suku lain merupakan suatu hal yang
penting untuk menambah wawasan kita tentang berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

http://debcornels.blogspot.com/2018/01/makalah-kebudayaan-suku-korowai.html

http://esosmager.blogspot.com/2013/04/suku-korowai.html

https://www.jeratpapua.org/2015/03/29/mengenal-suku-korowai-di-selatan-
papua/#:~:text=Korowai%20adalah%20suku%20yang%20baru,pohon%20yang%20disebut%20
Rumah%20Tinggi.&text=Suku%20Korowai%20adalah%20salah%20satu%20di%20daratan%20
Papua%20yang%20tidak%20menggunakan%20koteka.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/1/15/Perempuan_Perkasa.pdf

Anda mungkin juga menyukai