Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

ETIKA PROFESI
“ Adat Istiadat Suku Korowai ”

Dosen Pengampu: Hasti Hasanati Marfuah, MT

Oleh:
DIYAN SAPUTRA (17111100008)
RISKA TRI HANDAYANI (17111100016)
ARI FAJAR PANDANU (17111100031)
WINI JULIYANI (17111100033)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2019

2
A. PENGERTIAN SUKU KOROWAI

Suku Korowai adalah kelompok sosial yang merupakan


penduduk asal dalam wilayah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Mereka terutama berdiam dalam wilayah Kecamatan Kouh. Penduduk
Kecamatan ini berjumlah 5.646 jiwa pada tahun 1987. Di antara jumlah
itu termasuk orang Korowai yang berjumlah sekitar 2000 orang.
Korowai memiliki bahasa yang termasuk dalam satu keluarga Awyu-
Dumut yang mencakup satu wilayah luas antara Sungai Eilanden dan
Digul (Ensiklopedia, 2006:170).
Perbedaan suku Korowai dengan yang lain terletak pada
orientasi lahan. Sungai-sungai mereka yang lebar dan dangkal dengan
banyak tumpukan bebatuan membuat perahu-perahu tidak ada
gunanya pada sebagian besar keadaan. Dari hutan sekitarnya, suku
Korowai memperoleh buah-buahan liar, minyak rempah dari buah
pandan merah, dan buah sukun. Diantara suku lainnya, suku Korowai
merupakan suku yang unik dalam menggunakan perpanjangan bekas
luka-luka bakar sebagai riasan tubuh. Motif dekorasi Korowai pada
pipa dan perisai serupa dengan yang ditemukan pada perisai Kombai.
Kelompok ini tidak menggunakan tifa (kendang) sebagaimana suku
Citak, tidak juga seruling bambu suku Kombai. Alat musik dari
Korowai adalah kecapi mulut dari bambu. Korowai merupakan
kelompok yang mengutamakan urusan di dalam (Muller, 2011: 88).
Keistimewaan dari suku Korowai adalah memiliki rumah-rumah
pohon yang menakjubkan yang tingginya jelas tidak normal. Meskipun
bukan satu- satunya kelompok yang tinggal di pohon, namun suku
Korowai memiliki daya tarik wisatawan. Korowai merupakan salah
satu suku di Papua yang tidak memakai koteka. Kaum lelaki kantong
jakar dan sejenis dedaunan sebagai celana. Kaum perempuan memakai
rok pendek yang terbuat dari daun sagu.

Sebelum tahun 1990-an, suku Korowai memiliki praktek sihir yang

3
mematikan dengan memakan organ vital korban-korban mereka.
Namun pada pertengahan 1990-an, praktek ini sudah mulai
ditinggalkan untuk menghindari kehadiran negara Indonesia yang
mengganggu. Penolakan terhadap pembunuhan untuk membalas
dendam ini bukan hanya karena tekanan kekerasan yang dilakukan oleh
polisi terhadap pelaksana praktek tersebut, tetapi juga hasil dari proses
yang kompleks akibat pengaruh antar budaya dan penerimaan mereka
sendiri (Muller, 2011: 101).

B. Sejarah Suku Korowai


Pada tahun 1970-an, dimana seorang misionaris Kristen datang ke
Papua dan mulai hidup bersama suku Korowai. Dari misionaris ini pula lah
pada akhirnya suku Korowai mempelajari bahasa mereka, yaitu bahasa
Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Pada tahun
1979, misionaris Belanda tersebut mendirikan sebuah pemukiman yang
disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada
dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah anggota suku Korowai itu
sendiri.
Di selatan timur Papua, ada sebuah suku dengan nama suku Korowai
atau suku Kolufu, sedikit hal yang dapat diketahui tentang mereka sebelum
tahun 1970-an. Mereka tinggal dibagian selatan dari bagian barat New
Guinea dan dikatakan bahwa mereka dahulunya adalah manusia yang
memakan daging manusia atau kanibal. Kulit mereka ditandai dengan
bekas luka, hidung mereka ditusuk dengan tulang runcing, yaitu tulang
burung yang dibengkokkan ke atas dari lubang hidung mereka. Ada sekitar
3000 orang Korowai yang masih tinggal di daerah-daerah.
Suku Korowai adalah suku yang tinggal di tanah Indonesia. Secara
geografis, masyarakat Korowai adalah penduduk Indonesia. Namun jangan
tanyakan hal tersebut oleh masyarakat Korowai, berada di perkampungan
masyarakat Korowai seakan berada di tempat lain yang tidak terpetakan.
Menuju ke tempat ini pun harus ditempuh dengan perjalanan udara,

4
menelusuri sungai, berjalan kaki menembus belantara serta melewati rawa
dan lumpur.

C. Tradisi Suku Korowai

1. Pengasingan Perempuan Hamil


Dalam suku Korowai, terdapat tradisi turun menurun di mana
perempuan hamil diasingkan sendirian dalam hutan. Hal ini berdasarkan
kepercayaan mereka yang menganggap perempuan yang hamil berarti
terkena "penyakit". Untuk mencegah "penyakit" itulah maka perempuan
hamil diasingkan ke dalam hutan tanpa ditemani siapapun.
Pada waktu tertentu akan datang beberapa wanita datang mengambil
bayi yang dianggap penerus suku Korowai. Dalam peristiwa melahirkan
sendirian dalam pengasingan tersebut banyak perempuan-perempuan yang
akhirnya meninggal dunia.

2. Memakan Daging Manusia


Beberapa tahun lalu, hal mengerikan muncul dari perilaku suku
Korowai ini. Dikabarkan mereka suka memakan manusia alias kanibal.
Ritual kanibalisme itu terjadi sebagai bentuk pembalasan dan hukuman bagi
dukun jahat. Setelah dibunuh, bagian tubuh orang akan dibagi antara
anggota suku dan kemudian dimakan. Pada tahun 2006, sebuah tayangan
televisi menunjukkan 60 menit pembunuhan seseorang dalam masyarakat
Korowai yang dihukum karena menjadi khakhua (penyihir). Ia disiksa,
dieksekusi, dan dimakan. Dalam proses itu, wanita hamil dan anak-anak
tidak dilibatkan menjadi kanibal. Namun ritual ini sudah jauh berkurang
sejak mereka mulai mengenal dunia luar. Berdasarkan kepercayaan suku
Korowai, mereka hanya membunuh manusia yang dianggap melanggar
aturan terhadap kepercayaan mereka.
Dulu suku Korowai belum mengenal kuman penyakit, sehingga jika
seseorang tewas secara misterius, mereka akan menganggapnya karena ulah
penyihir (khuakhua). Maka, warga yang dicurigai sebagai penyihir akan

5
diadili. Anggota tubuh orang yang dianggap penyihir yang mati akan dibagi-
bagikan kepada semua warga. Otaknya akan dimakan selagi hangat. Orang
yang membunuh penyihir berhak menyimpan tengkoraknya.
D. Kesimpulan
Suku Korowai ini juga merupakan salah satu suku di daratan Papua
yang tidak menggunakan KOTEKA. Mereka sehari hari hanya mengenakan
pakaian dari dedaunan.Suku Korowai tinggal di rumah yang dibangun
diatas pohon, yang disebut RUMAH TINGGI. Beberapa rumah bahkan bisa
mencapai ketinggian 50 meter dari permukaan tanah. Tujuan pembangunan
rumah ini adalah untuk menghindari banjir, gangguan binatang buas, dan
gangguan makhluk halus. Menurut kepercayaan semakin tinggi rumah,
semakin jauh dari gangguan makhluk halus.
Masyarakat Suku Korowai mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging manusia. Namun hal itu tidak dilakukan secara sembarang. Berdasar
kepercayaan setempat, Suku Korowai hanya membunuh manusia yang
dianggap melanggar aturan terhadap kepercayaan mereka. Misalnya jika
diketahui jika orang tersebut adalah tukang sihir ( KHUAKHUA ). Suku
Korowai memiliki kebiasan yang dianggap masyarakat luar sebagai hal
yang kontroversi dan tidak lazim bagi kehidupan masyarakat. Namun bagi
suku korowai sendiri, itu adalah keistimewaan atau adat istiadat yang sudah
menjadi turun temurun.

6
7
8

Anda mungkin juga menyukai