Rumah adat Baileo jika dilihat sekilas memang dibuat dengan terbuka. Sisi arsitektur dari rumah Baileo ini
merupakan model panggung yang dibangun tanpa menggunakan dinding sama sekali. Pada sekeliling
rumah Baileo juga akan ada banyak ukiran dengan motif dua ekor ayam berhadapan yang diapit oleh dua
ekor anjing di kedua sisinya.
Selain dari segi arsitektur, keunikan dari rumah Baileo adalah filosofi dari rumah tersebut, yaitu sebuah
tanda penghormatan bagi para arwah leluhur agar mereka bebas keluar masuk bangunan rumah adat
Baileo.
Lantai rumah Baileo sengaja dibuat lebih tinggi dengan alasan agar roh-roh nenek moyang bisa
mendapatkan derajat yang lebih tinggi. Sekat yang ditiadakan pada setiap dindingnya bermakna agar
masyarakat yang berada di luar tetap bisa bermusyawarah atau mendengarkan para tetua yang ada di
dalam.
Pada rumah ada Baileo terdapat ornamen utama yaitu ukiran-ukiran berbentuk ayam dan anjing yang
posisinya bersebelahan. Selain ayam dan anjing kamu juga akan menemukan ukiran berbentuk bulan,
bintang, dan matahari di atap rumah yang biasanya berwarna merah, kuning, dan hitam. Adanya ukiran
tersebut dimaksudkan untuk memberi makna bahwa rumah Baileo memiliki komitmen untuk menjaga
keutuhan adat Maluku.
2. Rumah adat Sasadu
Rumah adat Maluku selanjutnya adalah Sasadu. Rumah adat Sasadu merupakan karya asli masyarakat Suku
Sahu yang sudah tinggal sejak lama di Halmahera. Dari segi bentuk dan filosofi di balik rumah ini pun
berbeda dengan rumah adat Baileo.
Apa saja keunikan dan perbedannya? Simak penjelasannya berikut ini.
Struktur bangunan rumah adat Sasadu
Berbeda dengan rumah adat Baileo, rumah adat Sasadu bukan rumah bermodel panggung walaupun
fondasinya berbentuk tiang-tiang. Fungsi dari tiang-tiang itu sebagai penopang kerangka atap rumah.
Material yang digunakan untuk membangun rumah ini adalah ijuk, daun sagu dan daun kelapa. Persamaan
antara rumah adat Sasadu dan Baileo adalah desainnya yang tanpa dinding. Hal ini dikarenakan rumah adat
Sasadu juga memiliki fungsi sebagai tempat musyawarah.
Uniknya, dari rumah adat Sasadu walau tidak memiliki dinding, namun dilengkapi dengan banyak pintu.
Setidaknya ada enam pintu masuk pada rumah adat Sasadu. Fungsi pintu-pintu tersebut juga berbeda.
Yaitu dua pintu untuk perempuan, dua untuk laki-laki, serta dua pintu lainnya hanya untuk para tamu.
Pada atap rumah, terdapat dua helai kain berwarna merah dan putih yang melambangkan rasa
nasionalisme dan komitmen tinggi dari masyarakat Maluku. Selain itu, terdapat bola-bola ijuk yang
melambangkan kestabilan dan kearifan.
Untuk filosofi dari rumah adat Sasadu adalah; pertama, bagian bawah dari atap rumah Sasadu yang
biasanya dibuat lebih pendek dari bagian langit-langitnya. Itu mengartikan keterbukaan dan penghargaan
kepada setiap orang yang datang ke Maluku yang telah patuh dan menghormati aturan setempat. Kedua,
bagian ukiran di atap rumah adat Maluku Utara yang menyerupai sebuah perahu. Ukiran tersebut
melambangkan kebanggaan masyarakat Maluku yang suka melaut karena dilahirkan dari keturunan pelaut
ulung.
3. Rumah adat Hibualamo
Terakhir, ada rumah adat Maluku Hibualamo. Arti nama Hibualamo secara etimologis, berasal dari dua kata
yaitu hibua yang artinya rumah dan lamo yang artinya besar. Sejarah rumah ini berdiri sejak 600 tahun
silam namun baru diresmikan pada April 2007.
Berbeda dengan rumah adat Maluku lainnya yang terbuka, Hibualamo memiliki dinding seperti rumah pada
umumnya. Bagaimana struktur dan filosofinya?
Struktur bangunan rumah adat Hibualamo
Bentuk rumah adat Hibualamo mirip dengan perahu yang mencerminkan kebudayaan maritim Suku Tobelo
dan Galela. Masyarakat Suku Tobelo dan Galela sejak berabad-abad silam hidup sebagai generasi pelaut
yang sangat ulung.
Berbeda dengan rumah adat Baileho maupun Sasadu, rumah adat Hibualamo memiliki delapan sisi dengan
empat pintu masuk yang berada di empat penjuru mata angin. Fungsi rumah adat ini adalah sebagai pusat
kegiatan masyarakat sekaligus tempat mempersatukan sepuluh Hoana (suku) yang ada di Halmahera, Pulau
Morotai dan Loloda. Bukan hanya itu, di rumah ini juga sering dilakukan upacara adat saat memasuki masa
panen atau masa tanam.
Uniknya, pada pewarnaan dari rumah adat ini hanya menggunakan empat warna, yaitu merah, kuning,
hitam dan putih. Warna-warna tersebut masing-masing melambangkan satu arti yaitu, merah
melambangkan kegigihan, kuning melambangkan kemegahan serta kejayaan, hitam melambangkan
solidaritas, dan putih melambangkan kesucian.
Itulah tiga jenis rumah adat Maluku beserta perbedaan dan fungsinya. Semoga kamu bisa terinspirasi untuk
merenovasi rumah dengan adat Maluku.
10 tradisi dan upacara adat Maluku
1. Aturan Adat Sasi
Sasi adalah sebuah adat khusus yang berlaku di hampir seluruh pulau di Provinsi Maluku, seperti:
Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, dan pulau-pulau lainnya. Budaya ini juga berlaku di
banyak daerah di tanah Papua.
Namun di beberapa daerah lain, budaya Sasi ini memiliki nama lain, seperti: Yot di Kei Besar
dan Yutut di Kei Kecil. Di desa-desa pesisir Papua, budaya ini dianggap sebagai cara pengolahan
sumber daya alam.
Adat Sasi adalah larangan untuk tidak mengambil hasil alam sebelum tiba waktu yang telah
ditentukan, baik berupa hasil pertanian maupun hasil kelautan.
Tujuannya, agar ketika datang waktu panen, hasil pertanian atau kelautan dapat dipanen
bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja keras yang telah mereka
lakukan.
Budaya Sasi merupakan sebuah peninggalan yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-
abad lalu. Tradisi seperti ini membuat masyarakat Maluku untuk tetap menjaga alam agar tetap
lestari.
Dalam prinsipnya, selain berupa larangan mengambil hasil alam sebelum tiba waktu yang telah
ditentukan, adat Sasi juga dapat memberikan kepuasan tersendiri dari hasil usaha yang telah
dikerahkan.
Pada awalnya, budaya Sasi ini telah diberlakukan oleh raja-raja Maluku sejak masa sebelum
masuknya agama. Namun pada saat masuknya agama di Maluku, baik Islam maupu Kristen,
budaya Sasi kemudian dipegang teguh oleh para penanggungjawab masjid dan gereja.
2. Obor Pattimura
Tanggal 15 Mei adalah hari dimana seorang pahlawan Maluku, Thomas Pattimura, melakukan
perlawanan dan mengusir pernjajah dari Tanah Maluku. Sehingga di hari itu kemudian dikenal
sebagai Hari Pattimura yang diperingati setiap tanggal 15 Mei.
Dalam perayaannya, biasanya pemerintah Maluku bersama rakyat setempat melakukan prosesi
adat dan kebangsaan untuk memperingati Hari Pattimura.
Satu prosesi yang paling terkenal adalah lari obor dari Pulau Saparua menyeberangi lautan menuju
Pulau Ambon, lalu diarak sepanjang 25 kilometer menuju Kota Ambon.
Prosesi tersebut diawali dengan pembakaran obor secara alami di puncak Gunung Saniri di Pulau
Saparua. Gunung Saniri sendiri merupakan salah satu situs sejarah perjuangan Pattimura. Karena
di tempat itulah, perjuangan perlawanan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda berawal pada
tahun 1817.
Dalam kisah sejarahnya, Gunung Saniri adalah tempat dimana para Latupati atau raja-raja dan
tokoh masyarakat Pulau Saparua berkumpul dan melakukan Rapat Saniri untuk menyusun strategi
penyerangan ke Benteng Durstede.
Dari sanalah, disepakati pengangkatan Thomas Matulessy dari Desa Haria sebagai Kapitan atau
panglima perang dengan gelar Pattimura.
Penyerangan rakyat Maluku ke Benteng Dusrtede melewati Pantai Waisisil tidak menyisakan
satupun serdadi Belanda, termasuk Residen Belanda Van de Berk dan keluarganya.
Semuanya tewas terbunuh, dan yang hidup hanyalah putra Van de Berk yang kala itu masih
berusia lima tahun. Ia diselamatkan oleh Pattimura dan kemudian diserahkan kembali kepada
pemerintah Belanda di Ambon.
Dari peristiwa inilah, api perjuangan terus dikobarkan. Kemenangan Pattimura atas Benteng
Durstede inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi rakyat Maluku untuk angkat senjata
melawan Belanda. Peperangan pun tak bisa dielakkan di hampir seluruh wilayah di Maluku.
Namun dalam perjalanannya, Kapitan Pattimura dan rekan-rekannya berhasil tertangkap oleh
Belanda melalui siasat liciknya. Mereka lalu diputuskan oleh Pengadilan dengan dijatuhi hukuman
mati.
3. Tradisi Pataheri
Membahas soal tradisi Pataheri, tak lepas kaitannya dengan Suku Naulu sebagai komunitas
masyarakat yang memberlakukan tradisi tersebut. Suku Naulu (juga dieja
dengan Noaulu atau Nuaulu) banyak mendiami wilayah selatan-tengah Pulau Seram, Maluku.
Ciri utama Suku Naulu adalah adanya ikat kepala merah yang dikenakan oleh kaum pria dewasa.
Umumnya, masyarakat Suku Naulu memegang kepercayaan tradisional yang diwariskan nenek
moyang mereka.
Sebenarnya ada dua ritual yang dianggap tak lazim yang diberlakukan oleh Suku Naulu ini, yaitu
tradisi mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, serta tradisi pemenggalan kepala
manusia sebagai persembahan.
Pataheri adalah ritual yang diberlakukan untuk seorang anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa.
Dalam tradisi Suku Naulu, seorang laki-laki yang telah beranjak dewasa harus mengenakan ikat
kepala berwarna merah yang terbuat dari kain berang.
Namun untuk memperoleh ikat kepala ini, ada satu syarat yang harus dipenuhi oleh sang anak.
Sebagai syarat, sang anak harus memenggal kepala orang lain, barulah ia diperkenankan
mengenakan ikat kepala merah tersebut.
Namun untungnya, tradisi angker ini sudah tidak diberlakukan lagi sejak awal era 1900-an. Namun
sempat muncul kembali secara ilegal pada tahun 2005.
Ketika itu, ditemukan dua mayat tanpa kepala di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.
Usut punya usut, dua orang malang itu dipenggal kepalanya untuk persembahan ritual tradisional
Suku Naulu. Pelakunya pun akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Masohi.
Kini, tradisi mengerikan ini telah dihapus, baik untuk acara persembahan maupun ritual
pengangkatan anak suku menjadi pria dewasa. Namun sebagai gantinya, persembahan untuk
ritual mengangkat anak Suku Naulu menjadi pria dewasa adalah dengan menyembelih hewan
kuskus.
Selain Pataheri yang telah kita singgung pada poin sebelumnya, satu bentuk tradisi yang mungkin
dianggap aneh bagi kebanyakan orang yang diberlakukan oleh masyarakat Suku Naulu adalah
pengasingan wanita hamil.
Itulah salah satu tradisi masyarakat Naulu yang mendiami pedalaman Pulau Seram, Maluku.
Mereka punya tradisi mengasingkan wanita-wanita hamil di gubuk-gubuk yang telah disediakan
secara khusus sebelumnya, yang berada jauh dari rumah.
Orang Naulu menyebut gubuk-gubuk tersebut dengan tikusune, tempat mengasingkan wanita
hamil. Sebenarnya bukan wanita hamil saja, namun perempuan yang tengah datang bulan juga
diasingkan di gubuk tersebut.
Wanita-wanita yang hamil tersebut akan diantarkan oleh keluarga ke gubuk tikusune yang telah
disediakan untuk menjalani tradisi yang telah lama bercokol di lingkungan masyarakatnya itu.
Ia ditinggalkan sendirian tanpa ada yang menemani. Jika sudah tiba waktu persalinan, si wanita
hamil itu akan dibantu oleh seorang dukun beranak yang sudah berpengalaman dalam menangani
persalinan jabang bayi dari perut sang ibu.
Setelah masa persalinan selesai, maka sang ibu dan si bayi akan dimandikan terlebih dahulu
sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah. Keluarga yang akan menyambut di rumah juga
diwajibkan berpuasa sehari penuh, barulah bayi akan diantarkan ke rumah.
Dalam penyambutannya pun, pihak keluarga akan menggelar acara jamuan atau makan bersama
dengan masyarakat.
Tradisi seperti ini sudah mengikat sejak lama dan wajib dilakukan. Apabila ada yang melanggar
tradisi ini, akan dikenakan denda yang cukup berat dengan piring tua dan kain berang bagi kaum
perempuan.
5. Pela Gandong
Pela Gandong merupakan salah satu kebudayaan khas Maluku, terutama daerah Maluku Tengah.
Tradisi ini merupakan bagian dari upacara adat Maluku yang masih dibudayakan sampai sekarang
karena memang mengandung nilai-nilai persatuan yang tinggi.
Dalam pengertiannya, Pela adalah suatu hubungan perjanjian persaudaraan antar
satu negeri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negeri yang lain, yang biasanya berada di
lain pulau dan kadang juga menganut agama yang berbeda. Sedangkan Gandong memiliki makna
“saudara”.
Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah,
campuran sopi (tuak khas Maluku) dan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan
diminum oleh kedua pemimpin setelah senjata-senjata tajam dicelupkan di dalamnya.
Hubungan Pela seperti ini biasanya terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa
untuk saling membantu. Dalam ikatannya, terdapat rangkaian nilai dan aturan tertentu dalam
persekutuan persaudaraan dan kekeluargaan.
Salah satu aturan yang mendasari perjanjian Pela yaitu negeri-negeri yang saling ber-pela wajib
saling membantu dalam kejadian genting, seperti perang atau bencana alam. Selain itu, juga dalam
melaksanakan kegiatan kepentingan umum seperti pembangunan sekolah, masjid, atau gereja.
Kemudian apabila ada seseorang mengunjungi negeri yang ber-pela dengan negerinya, maka
penduduk negeri tersebut wajib memberinya makanan layaknya seorang saudara yang bertamu.
Seorang yang bertamu tersebut juga diperkenankan membawa pulang hasil bumi dari negeri
tersebut, bahkan tanpa perlu meminta izin.
Namun karena hubungannya dianggap seperti seorang saudara sedarah, maka sepasang muda-
mudi yang negerinya saling ber-pela juga dilarang untuk menikah.
Apabila sampai ada yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, konon akan mendapat
hukuman dari nenek moyang, seperti keturunannya nanti akan terkena musibah jatuh sakit atau
meninggal.
Sementara jika ada yang melanggar pantangan soal pernikahan, maka pelakunya bisa ditangkap
dan diarak mengelilingi negerinya dengan hanya berpakaian daun kelapa. Sementara penduduk
negeri akan mencacinya layaknya seorang pezina.
Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat hubungan
antara satu negeri dengan negeri lainnya, termasuk dalam hal kerukunan antar umat beragama.
Maka dari itu, Pela Gandong sangat berfungsi untuk mengatur sistem interaksi sosial masyarakat
adat yang melampaui berbagai bidang.
6. Makan Patita
Makan Patita adalah sebuah tradisi kuliner dan merupakan bagian dari upacara adat Maluku yang
masih dipertahankan sampai saat ini. Esensi dari kegiatan ini adalah makan bersama dalam jumlah
massa yang banyak dengan dilandasi semangat kekeluargaan.
Biasanya, jenis makanan yang disuguhkan dalam tradisi ini berupa makanan tradisional yang biasa
dikonsumsi oleh masyarakat Maluku. Ada kasbi (singkong), pisang rebus, sagu, kohu-kohu (urap
Maluku), ikan, colo-colo, papeda, dan lain sebagainya.
Tradisi Makan Patita ini biasanya digelar untuk merayakan hari-hari yang dianggap penting,
semisal hari jadi suatu negeri (desa), hari jadi gereja atau masjid, atau ulang tahun kota atau
provnisi.
Selain itu, ada juga Makan Patita antar keluarga atau marga, antar soa (kumpulan marga), bahkan
ada juga Makan Patita antar Pela Gandong.
Siapapun yang hadir dalam acara Makan Patita, boleh sesuka hati mencicipi segala jenis makanan
yang tersedia. Lantas, siapa yang menanggung atau menyediakan makanan sebanyak itu? Itulah
keistimewaan orang Maluku yang lebih mengedepankan semangat kekeluargaan.
Biasanya, berbagai jenis makanan tersebut disediakan oleh masyarakat sendiri. Masing-masing
keluarga sebelumnya sudah dibagi tanggungjawab untuk menyediakan jenis makanan tertentu.
Ketika tiba hari yang sudah diagendakan, masing-masing keluarga tersebut akan membawa jenis
makanan yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan diawali doa dan ritual adat, acara pun dimulai
dan semua orang yang hadir boleh mencicipi segala makanan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Dalam setahun, masyarakat Maluku bisa menggelar acara Makan Patita ini sampai dua, tiga,
bahkan empat, atau lima kali. Karena acara makan bersama seperti ini digelar untuk merayakan
suatu momen penting.
Tradisi Kaul dan Abdau merupakan upacara adat Maluku yang telah dilaksanakan sejak ratusan
tahun yang lalu, yaitu setelah terbentuknya pemerintahan otonom yang bersyariat Islam sekitar
1600-an Masehi.
Sampai sekarang, upacara ini masih diwariskan secara turun temurun dan diselenggarakan secara
rutin setiap tahunnya pada saat hari raya Idul Adha.
Tradisi ini bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke
Maluku. Warga dari seluruh penjuru Kota Ambon akan datang beramai-ramai menuju Negeri
Tulehu, Maluku Tengah untuk menyaksikan tradisi ini.
Tradisi Kaul dan Abdau adalah serangkaian acara berupa atraksi, pertunjukan, hingga parade
budaya yang diadakan oleh masyarakat Negeri Tulehu bersama warga dari beberapa negeri lain.
Atraksi Kaul Kuraban atau penyembelihan hewan kurban bisa dibilang merupakan acara inti pada
serangkaian acara tradisi tersebut. Seperti yang telah umum diketahui, penyembelihan hewan
kurban merupakan bagian dari syariat Islam yang bermula dari kisah Nabi Ibrahim dan anaknya,
Ismail.
Daging dari hasil hewan kurban ini lalu akan dibagikan kepada fakir miskin atau mereka yang
berhak menerimanya menurut hukum syariat Islam.
Dalam tradisi Kaul dan Abdau, terdapat dua sesi penyembelihan hewan kurban. Yang pertama
adalah penyembelihan untuk umum yang dilakukan setelah salah Id. Kemudian ada sesi
penyembelihan secara khusus yang terdiri dari seekor kambing inti dan dua kambing pendamping,
Sebelum penyembelihan secara khusus, tiga kambing tersebut akan digendong dengan kain oleh
pemuka adat dan agama dan diarak berkeliling negeri. Sambil mendengungkan takbir dan salawat,
kambing itu diarak menuju pelataran Masjid Negeri Tulehu.
Penyembelihan dilangsungkan oleh Imam Besar Masjid Negeri Tulehu. Dari atas masjid, kelompok
ibu-ibu menaburkan bunga yang harum aromanya. Sementara darah cipratan kambing tersebut
diperebutkan oleh para pemuda anggota adar Abdau, sebuah simbol bahwa pemuda Tulehu rela
berkorban untuk kebenaran.
Selepas penyembelihan, prosesi Abdau pun akan dilangsungkan. Pesertanya kebayakan adalah
para pemuda. Dengan hanya berkaos singlet, berikat kepala warna putih, mereka beramai-ramai
menuju rumah imam Negeri Tulehu.
Sang imam kemudian menyerahkan bendera hijau berenda dengan benang berwarna kuning
emas. Hijau melambangkan kesuburan, sementara kuning adalah simbol kemakmuran. Bendera
inilah yang nantinya akan diperebutkan oleh ratusan pemuda sebagai peserta tradisi ini.
Sekilas mungkin terkesan seperti terjadi kekacauan, karena memang mereka sampai saling pukul,
saling injak, dan dorong demi memperebutkan bendera tersebut.
Namun sebenarnya sebelum prosesi perebutan bendera dilakukan, para pemuda ini terlebih dulu
disiram dengan air khasiat oleh Imam Besar yang konon membuat tubuh mereka terbebas dari
rasa sakit.
Sementara para pemuda memperebutkan bendera, orang-orang di sekeliling berteriak, menyoraki,
dan memberikan dukungan kepada para pemuda agar berhasil mendapatkan bendera yang
melambangkan kesuburan dan ketentraman itu.