Anda di halaman 1dari 4

3 PAKAIAN ADAT SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN SUKU

Pakaian Adat Sulawesi Tenggara


Secara umum, Sulawesi Tenggara memiliki 3 jenis pakaian adat yang berasal dari suku yang
berbeda. Pakaian adat ini digunakan pada waktu-waktu tertentu, terutama saat ada keperluan
acara adat. Untuk mengetahui informasi terkait baju adat yang ada di Sulawesi Tenggara, baca
uraian berikut ini.

1. Pakaian Adat Tolaki

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa mayoritas suku yang ada di Sulawesi Tenggara
adalah Tolaki. Pada zaman dulu, suku ini memiliki pakaian adat yang hanya bisa digunakan oleh
tokoh adat, saudagar, bangsawan, maupun orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi.

Akan tetapi, saat ini baju adat tersebut sudah bisa digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat
suku Tolaki tanpa terkecuali. Pakaian adat suku ini tergolong cukup populer dan digunakan saat
acara pernikahan, upacara adat, atau acara-acara sakral lainnya.

a. Bahan

Pakaian adat Tolaki terbuat adari bahan serat pohon Dalisi, Otipulu, Usongi, atau Wehuka. Kayu
dari pohon-pohon tersebut direbus terlebih dahulu kemudian direndam agar teksturnya menjadi
lembut. Setelah itu, kayu akan dipukul-pukul hingga berbentuk lebar dan tipis.

Serat kayu lalu diambil dan dijahit untuk menjadi bahan dasar pembuatan pakaian. Para penjahit
akan membuat pola seperti pakaian adat Sulawesi Tenggara yang digunakan suku Tolaki hingga
nantinya dapat digunakan dan terlihat menarik.

b. Filosofi

Ada banyak warna yang digunakan dalam pakaian adat Tolaki. Pemilihan warna tersebut tidak
serta merta dilakukan secara sembarangan, tetapi melalui pertimbangan nilai filosofis yang ada
di dalamnya. Adapun makna dari setiap baju adat Tolaki yaitu sebagai berikut.

– Warna hitam, untuk pengurus adat dan melambangkan kemampuan dalam membina adat
istiadat masyarakat setempat
– Warna coklat, biru, dan merah, untuk golongan bangsawan.
– Warna merah, melambangkan kesucian dalam masyarakat
– Warna putih, untuk tokoh adat yang melambangkan kesucian hati serta keluruhan bagi
pemerintahan suku Tolaki
c. Pakaian Adat Pria

Pakaian adat Tolaki terbagi menjadi 2 jenis, yaitu untuk pria dan wanita. Pakaian adat yang
digunakan pria disebut sebagai Babu Nggawi Langgai. Pakaian ini terdiri dari atasan lengan
panjang berupa busana Babu Kandiu yang dilengkapi dengan pernak-pernik berwarna keemasan.

Sementara itu, bawahannya adalah celana panjang yang dikenal sebagai Saluaro Ala. Pakaian
adat ini juga biasanya memiliki aksesoris tambahan berupa ikat pinggang atau Sulepe, ikat
kepala atau Pabele, dan lain sebagainya.

d. Pakaian Adat Wanita

Nama pakaian adat Sulawesi Tenggara yang digunakan wanita suku Tolaki disebut sebagai babu
Nggawi. Pakain ini terdiri dari Lipa Hinoru sebagai atas dan Roo Mendaa sebagai bawahan.
Atasannya adalah potongan pendek satu bahu dan bawahan rok panjang hingga mata kaki.

Lipa Hinoru juga dilengkapi dengan manik-manik yang berwarna emas di bagian depan dengan
motif khas Tolaki. Rambut wanita biasanya dihias dengan sanggul dengan bentuk seperti bunga
kecil yang berkilau. Selain itu, menggunakan pakaian ini harus berdandan sesuai dengan aturan.

2. Pakaian Adat Muna

Suku lain yang juga hidup di Sulawesi Tenggara khususnya Kabupaten Muna adalah suku
Muna. Suku ini memiliki pakaian adat yang terlihat berbeda dengan pakaian adat secara umum
dengan menggunakan sarung yang dikenal sebagai bheta.

a. Pakaian Adat Pria

Model pakaian adat Sulawesi Tenggara untuk kaum pria suku Muna terdiri dari 3 bagian utama.
Mulai dari baju atasan yang disebut bhadu, bawahan sarung yang disebut bheta, serta celana
yang dikenal sebagai Sala. Sarung (bheta) tersebut bercorak geometris horizontal yang berwarna
merah.

Selain itu, para pria juga akan menggunakan penutup kepala (songkok) atau balutan kain
(kampurui). Atasan pakaian adat dari Sulawesi Tenggara ini adalah lengan pendek dengan warna
yang dominan putih. Selain itu, pria dari suku Muna juga menggunakan ikat pinggang.

Dalam hal ini, ikat pinggang tersebut berupa kain dengan corak batik dan ikat pinggang logam
berwarna kuning. Fungsinya adalah sebagai penguat sarung sekaligus tempat untuk menyelipkan
senjata tradisional.
a. Pakaian Adat Wanita

Wanita suku Muna menggunakan pakaian adat yang terdiri dari bheta, bhadu, serta kain yang
dililitkan pada bagian pinggan yang dikenal sebagai kagogo. Bhadu tersebut biasanya terbuat
dari kain satin yang berwarna merah atau biru dan bisa berbentuk lengan panjang atau pendek,

Bawahan pakaian adat wanita Muna adalah sarung hingga 3 lapis sekaligus. Lapisan pertama
adalah rok putih (sarung) yang dililit di pinggang. Lapisan kedua adalah sarung untuk membalut
baju atasan. Adapun lapisan ketiga digulung di bagian dada yang berada diantara ketiak.

3. Pakaian Adat Buton

Nah, pakaian adat Sulawesi Tenggara yang terakhir adalah dari suku Buton. Pakaian adat ini
terlihat cukup sederhana dengan rumbai-rumbai yang ada di bagian ikat pinggang yang disebut
kabokena tanga. Pakaian adat Buton biasanya digunakan sebagai busana sehari-hari maupun
acara adat.

a. Pakaian Adat Pria

Sama halnya dengan pakaian adat provinsi Sulawesi Tenggara lainnya, pakaian suku Buton juga
dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Pakaian adat pria terdiri dari sarung dengan ikat kepala
berwarna biru dengan motif yang senada.

Cara menggunakan ikat kepala tersebut pun cukup unik, yaitu ditumpuk beberapa lipatan. Untuk
anak-anak yang akan disunat, akan menggunakan pakaian adat yang disebut sebagai Ajo
Tandaki yang secara khusus diperuntukkan bagi keturunan bangsawan.

b. Pakaian Adat Wanita

Para wanita suku Buton biasanya menggunakan pakaian adat Kombawa, yakni baju adat lengan
pendek yang dihias dengan aksesoris kancing. Pakaian ini juga dilengkapi dengan berbagai jenis
perhiasan, seperti anting-anting, gelang, maupun anting-anting dari emas.

Pulau Sulawesi termasuk dalam salah satu pulau besar di Indonesia yang memiliki 6 provinsi,
termasuk Sulawesi Tenggara. Provinsi ini memiliki ciri khas tersendiri, baik dari segi keindahan
alam, ras, suku, maupun budaya yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat.
ARSITEKTUR RUMAH ADAT BALE LOMBOK KAYA AKAN NILAI FILOSOFIS

Potensi wisata di Pulau Lombok sangat diperhitungkan. Tak hanya keindahan alam yang memukau,
pesona budaya di Lombok juga sangat menarik dikulik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tingginya hasil
budaya masyarakat setempat, salah satunya bisa dilihat di rumah adat bale.

Rumah adat bale menjadi salah satu rumah adat dengan bentuk arsitektur unik khas Lombok dan masih
bertahan hingga saat ini. Sarat akan makna filosofis, rumah adat bale menjadi bukti tingginya falsafah
hidup masyarakat Lombok, khususnya suku Sasak.

Bagi masyarakat Lombok, keberadaan rumah bale lebih dari sekadar tempat tinggal. Pada bangunan
inilah terdapat beragam harapan sekaligus nilai adat yang dijunjung tinggi. Nilai adat ini
direpresentasikan melalui desain arsitektur dan konstruksi rumah adat bale khas Lombok.

Salah satu desain unik yang cukup mudah dikenali dari rumah bale adalah bentuk pintu depan. Jika
diperhatikan, rumah bale khas Lombok hanya memiliki satu pintu dengan bentuk cukup rendah dan kecil.
Desain ini membuat tamu harus menunduk saat memasuki rumah. Bentuk pintu ini memiliki nilai
filosofis bahwa tamu sudah selayaknya memberi rasa hormat terhadap pemilik rumah.

Begitu juga dengan arsitektur tangga yang terpasang di depan rumah bale. Umumnya, tangga yang
menghubungkan ke dalam rumah hanya memiliki tiga anak tangga. Jumlah tersebut dipilih sebagai
bentuk perlambangan Tuhan, Ibu, dan Bapak.

Dari segi rangka atap, rumah bale juga menyimpan filosofi tersendiri. Bentuk atap rumah bale tampak
meninggi ke belakang, yang dimaknai sebagai hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan, sosoran
atap di bagian depan melambangkan hubungan manusia dengan sesamanya.

Secara keseluruhan, bentuk atap rumah bale khas Lombok menggambarkan hubungan antar sesama
manusia, nenek moyang, dan Tuhan yang harus berjalan seimbang. Tidak berhenti dalam struktur dan
bahan bangunannya, suku Sasak juga selektif perihal memilih lokasi untuk mendirikan rumah bale.

Tempat-tempat yang dihindari untuk mendirikan rumah bale antara lain bekas perapian, bekas
pembuangan sampah, dan bekas sumur. Masyarakat percaya, jika rumah dibangun di bekas lokasi
tersebut akan membuat pemiliknya bernasib kurang baik.

Rumah Adat Bale 15 Generasi

Pembangunan rumah dengan desain berdasar pada nilai filosofi kini mulai jarang ditemukan, khususnya
untuk rumah modern. Namun bagi masyarakat Lombok, desain dan arsitektur rumah adat Bale masih
terus dilestarikan.

Hal ini bisa Sobat Parekraf lihat langsung di Desa Sasak Sade. Di desa wisata ini terdapat sekitar 150
rumah adat bale yang masih orisinil. Hal menarik dari Desa Wisata Sasak Sade, Sobat Parekraf bisa
melihat rumah bale tertua yang telah ditinggali lebih dari 15 generasi.

Setidaknya, terdapat tiga jenis rumah adat bale khas Lombok. Pertama ada Bale Bonter, yaitu rumah adat
yang dimiliki pejabat desa. Lalu Bale Kodong yang dikhususkan untuk warga yang baru menikah atau
para orang tua yang ingin menghabiskan masa tuanya. Terakhir ada Bale Tani, yakni rumah tinggal bagi
warga yang sudah berkeluarga.

Anda mungkin juga menyukai