Anda di halaman 1dari 8

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
Vidiya Agustina (11220820000023)
Marzahra Alifia Putri (11220820000031)
Muzakir Mukhlis Salam (11220820000098)
Oriza Sativa (11220820000112)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstract

This topic discusses the various Islamic kingdoms in Indonesia. Islamic Kingdoms in
Indonesia are a historical foundation that reflects the diversity of culture and spirituality in this
archipelago. From their earliest times to their peak, such as Majapahit, Demak and Mataram,
these kingdoms played an important role in spreading Islam while preserving local identity. The
combination of political, economic, and cultural policies created a society rich in arts, science,
and commerce. The Islamic Kingdoms in Indonesia created a historical legacy that enriches our
understanding of the passage of time and culture in this region.

Keywords: Islamic kingdom; spreading the religion of Islam; science; trade

Abstrak

Topik ini membahas tentang macam-macam kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan-


Kerajaan Islam di Indonesia merupakan landasan sejarah yang mencerminkan keberagaman
budaya dan spiritualitas di kepulauan ini. Dari masa awal hingga puncaknya, seperti Majapahit,
Demak, dan Mataram, kerajaan-kerajaan ini memainkan peran penting dalam menyebarkan agama
Islam sambil melestarikan identitas lokal. Perpaduan kebijakan politik, ekonomi, dan budaya
menciptakan masyarakat yang kaya akan seni, ilmu pengetahuan, dan perdagangan. Kerajaan-
Kerajaan Islam di Indonesia menciptakan warisan sejarah yang memperkaya pemahaman kita
tentang perjalanan waktu dan budaya di wilayah ini.
Kata kunci : kerajaan islam; menyebarkan agama islam; ilmu pengetahuan; perdagangan

PENDAHULUAN

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan keberagaman budaya, sejarah, dan
agama, memiliki warisan yang begitu megah dari masa lalu, salah satunya adalah periode kejayaan
kerajaan-kerajaan Islam. Dalam rentang waktu yang panjang, pulau-pulau Indonesia menjadi
tempat berkembangnya berbagai kerajaan yang menganut agama Islam, membentuk sejarah
berwarna dalam perjalanan peradaban di kepulauan Nusantara. Kehadiran Islam di Indonesia tidak
hanya membawa ajaran agama, tetapi juga memainkan peran yang signifikan dalam membentuk
identitas, seni, budaya, serta tata pemerintahan di wilayah ini. Artikel ini akan mengupas lebih
dalam terkait kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, merinci perkembangan, pencapaian, serta
warisan yang mereka tinggalkan. Melalui penelusuran sejarah ini, kita dapat memahami betapa
kaya dan kompleksnya jejak peradaban Islam di Indonesia serta bagaimana pengaruhnya terus
dirasakan hingga hari ini.

PEMBAHASAN

1. Kerajaan Perlak.
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan Islam paling tua di Indonesia. Perlak
merupakan kerajaan kuno karena sejarah pemerintahan politik yang lama. Bermula pada
saat tahun 840, kerajaan ini berhenti tahun 1292 ketika bersatu dengan Kerajaan Samudra
Pasai. Sejak perpisahan mereka hingga pernikahan Perlak dengan Samudra Pasai, 19 raja
memerintah. Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H/840-964 M)
merupakan penguasa pertama. Pada hari Selasa, hari pertama Muharram 225 H, Saiyid
Abdul Aziz dinobatkan sebagai Sultan Perlak. Setelah itu Bandar Perlak berganti nama
menjadi Bandar Khalifa. Masa kemunduran kerajaan dimulai saat masa kepemimpinan
Sultan Makhdum Alaid Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622–662 H
atau1225–1263). Penaklukan Perlak dibarengi dengan berkembangnya sumber dan bukti
di kerajaan tersebut (A. Hasjmy, 1989).
2. Kerajaan Samudera Pasai.
Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Malik Al-Saleh yang juga merupakan penguasa
pertama ditahun 1308. Kerajaan Samudera Pasai terletak di tempat yang sekarang dikenal
sebagai Lhok Semaw (Semenanjung Aceh) di sisi timur Sungai Perlak. Terletak di tempat
yang sekarang dikenal sebagai Lhok Semaw (Semenanjung Aceh) di sisi timur Sungai
Perlak. Secara bergantian, Samudra Pasai sebagai seorang raja diajar oleh raja-raja lainnya.
Inilah beberapa raja yang sebelumnya telah mengabdi di Samudra Pasai :
 Malik Al-Saleh;
 Malik al Tahir I (1297 sampai dengan 1326 M);
 Malik al Tahir II (1326 sampai dengan 1348 M).

3. Kerajaan Malaka.
Iskandar Syah adalah penguasa ke-1 Malaka. Apalagi, Iskandar Syah adalah
Jenderal Persia yang mengundurkan diri dari Majapahitan saat negara itu ditaklukkan oleh
Paregreg. Nama lahir Iskandar Syah adalah Parameswara. Ia mengganti nama dirinya
menjadi Malaka setelah ia dan para pengikutnya pergi ke Semenanjung Malaya lalu
mendirikan kerajaan baru.
Setelah Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Malaka adalah kerajaan Islam kedua.
Saudagar Islam di Arab dan India menekan perdagangan dan pelayaran di Semenanjung
Malaka. Kerajaan Malaka juga mendapat manfaat besar dari kontribusi kedua wilayah
tersebut terhadap Islam. Nama Iskandar Syah adalah nama muslim yang diangkatnya saat
masuk Islam. Pada masa pemerintahan Raja Iskandar Syah (1396–1414), Kerajaan Malaka
menjadi contoh negara Islam terbesar, tersaingi oleh kerajaan tetangga.
Putra mahkota Kerajaan Malaka Muhammad Iskandar Syah mengambil alih
ayahnya naik takhta. Kemampuan mengelola perdagangan dan logistik, mengurangi
jumlah perdagangan Selat Malaka, sebuah cara penyematan politik. Untuk mendirikan
kerajaan Samudra Pasai dengan cara yang bermuatan politik, Muhammad Iskandar Syah
menjalin hubungan dekat dengan putri raja dari negara bagian itu. Pergolakan di kerajaan
Samudra Pasai, ia hanya berhasil merusak kawasan komersial di sekitarnya.
Lahir pada tahun 1414 dan hidup sampai tahun 1424. Tahun 1424 hingga tahun
1458, Sultan Mudzafat Syah memimpin Kerajaan Malaka. diusir dari tahta Malaka karena
gejolak politik, digantikan oleh Iskandar Syah. Pada masa pemerintahan Sultan Mudzafat
Syah, ia sukses memperluas batas kerajaan hingga mencakup Pahang. Baik Kampar
maupun Indragiri.
Putranya Sultan Mansyur Syah menggantikan Sultan Mudzafat Syah yang telah
wafat. Pada masa penjajahan, Semenanjung Malaya berhasil menguasai Semenanjung
Thailand sebagai bagian dari strategi perluasan wilayah kekuasaan dan meningkatkan
dominasinya terhadap provinsi tetangga.

4. Kerajaan Aceh.
Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ibrahim yang didampingi Ali Mughayat Syah
( 1514–1528 ) sangat penting untuk memahami perpecahan antara kerajaan Samudera Pasai
dan Malaka. Kutaraja adalah rumah bagi kantor pusat pemerintahan Aceh (sekarang Banda
Aceh). Model pemerintahan Aceh terdiri dari dua sistem : pamong praja yang diperintah
oleh kelompok bangsawan yang diketahui dengan “kelompok teuku”, dan pelayanan
keagamaan yang diperintah oleh kelompok ulama yang diketahui dengan kelompok
“tengku” atau “ teungku”. Aceh mencapai puncak kemakmurannya pada saat pemerintahan
Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 dan berlangsung hingga tahun 1936.
Beliau adalah seorang yang suci dan seorang muslim yang patuh. Daerah di Malaysia
Tenggara seperti Johor, Kedah, dan Pahang berhasil disengketakan. Nias, Perlak, dan
Pulau Bintan juga termasuk. Iskandar sangat anti-kolonial dan ingin menyingkirkan
Portugis dari Malaka.
Oleh karena Dalam hal ini, Iskandar Muda sesekali berbicara dengan bahasa
Portugis di Malaka. Misalnya, pada tahun 1629, ia mengirimkan surat berskala besar
kepadake Malaka. Namun ini tidak berhasil karena persepsi tidak merata. Portugis pun
menyerang Aceh dan berusaha untuk menundukkan, namun akhirnya gagal dikalahkan
oleh tentara Aceh. Namun akhirnya gagal dikalahkan oleh tentara Aceh. Pada saat
pemerintahan Iskandar Muda, Undang-Undang Administrasi Publik. Hukum diberlakukan
kitab suci tersebut dikenal dengan Adat Istiadat Alam Mahkota. Dipenggal dan
dimakamkan oleh Sultan Iskandar Thani. Sultan, hidup sampai tahun 1641. Penguasa yang
memerintah saat itu tidak terlalu bijaksana. Setelah hari yang melelahkan, Belanda berhasil
mengirimkan utusannya ke Aceh. Sebaliknya, Malaka berhasil ditundukkan oleh Belanda
pada tahun 1641. hari yang panjang, Belanda berhasil mengirimkan utusannya ke Aceh.
Di antara pokok bahasan yang tercakup dalam narasi sejarah Aceh adalah koin
emas, stempel kerajaan, Makam Sultan Iskandar Muda Rencong, dan sebagian sastra
karyas. Dalam bidang kitab suci dan kajian agama, Aceh sudah kehabisan sebagian yang
tulisan-tulisannya menjadi sumber rujukan penting dalam bidang tersebut. Misalnya
Hamzah Fansuri dalam Tabyan Fi Maand#039;rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatran
dalam Miand#039;raj al-Muhaqikin al-Iman, Nuruddin Al-Ranir dalam Sirat al-Mustaqim,
dan Syekh Abdul Rauf Singkil dalam Kitab Miand#039;raj al-Tulabb Fi Fashile.

5. Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang


Demak, sebagai kerajaan Islam ke-1 di Pulau Jawa, dibangun oleh Raden Patah di
wilayah pertamanya bernama Glagah atau Bintoro yang dulunya di bawah kekuasaan
Majapahit. Seiring kemunduran Majapahit pada akhir abad ke-15, Demak memanfaatkan
kesempatan untuk tumbuh menjadi kota besar dan pusat komersial, dibantu oleh ulama
Walisongo dalam menyebarkan Islam di Jawa dan nusantara timur. Raden Patah, alias
Sultan Alam Akhbar al Fatah, memimpin Demak dengan pesatnya perkembangan,
melibatkan wilayah seperti Demak, Semarang, Tegal, Jepara, dan sekitarnya, serta
memiliki pengaruh besar di Palembang, Jambi, Sumatera, dan wilayah di Kalimantan
lainnya.
Pendiri Demak, Raden Patah, berasal dari keturunan Raja Majapahit, Pangeran
Jimbu. Memperkuat armadanya, Demak menjadi kekuatan maritim yang signifikan,
bahkan berupaya menyerang Portugis di Malaka karena dampaknya terhadap kepentingan
Demak. Meskipun serangan tersebut tidak berhasil, Kerajaan Demak tetap meninggalkan
warisan budaya yang menarik, termasuk Masjid Demak dengan tiang utamanya, Soko
Tatali, yang terbuat dari potongan kayu.

6. Kerajaan Mataram
Sutawijaya menerima warisan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo dan menggeser
pusat pemerintahan ke wilayah ayahnya, Ki Agen Pemanahan, di Mataram. Dengan sebuah
gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Saidin Panatagama, Sutawijaya menjadi raja
Kerajaan Mataram. Masa pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berakhir
lancar karena sering terjadi konflik.
Kerajaan Mataram, yang berpusat di sekitar Kotagede (tenggara kota Yogyakarta
saat ini), terus melakukan perang untuk menekan bupati-bupati yang mencoba memisahkan
diri dari kekuasaan Mataram, termasuk Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan, dan Demak.
Meskipun demikian, Mataram berhasil menaklukkan semua wilayah tersebut, dan dengan
bantuan Sunan Giri, mereka menguasai Surabaya sebagai daerah terakhir yang berhasil
dikuasai.

7. Kerajaan Banten.
Sebelum masa Islam, Banten merupakan kota penting yang berada di bawah
pemerintahan Kerajaan Sunda. Pada tahun 1525-1526, Sunan Gunung Jati berhasil
mengendalikan Banten dengan dukungan pasukan Cirebon dan Demak. Meskipun
demikian, Sunan Gunung Jati tidak pernah memerintah sebagai raja dan memilih menunjuk
putranya, Sultan Maulana Hasanuddin, sebagai raja ke-1 Kesultanan Banten pada tahun
1552.
Puncak kesuksesan Kesultanan Banten terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1683). Namun, kemunduran dimulai dari konflik internal antar
Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahhar.
Sultan Haji, yang terdorong oleh gaya hidup Barat serta berhubungan baik dengan VOC,
tidak sepakat dengan kebijakan anti-Belanda ayahnya. Akhirnya, ia memberontak dan
menyatakan diri sebagai raja baru di ibu kota baru, Kaibon.

8. Kerajaan Cirebon.
Pada permulaan abad ke-16, Kerajaan Islam Cirebon berakar pada tokoh utama,
yaitu Sunan Gunung Jati. Sebagai seorang ulama dan wali, Sunan Gunung Jati memiliki
peran kunci dalam penyebaran agama Islam di Jawa serta mendirikan kerajaan ini sebagai
pusat kegiatan perdagangan dan kebudayaan. Seiring berlalunya waktu, kerajaan ini
tumbuh di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan keturunannya, merangkai
hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Demak dan Banten. Pada abad ke-17,
terjadi transformasi struktur pemerintahan menjadi kesultanan, di mana Kesultanan
Cirebon menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa, terutama Belanda dan Inggris,
tetapi juga terlibat dalam konflik dengan VOC Belanda. Abad ke-18 menyaksikan
perpecahan internal, menghasilkan tiga kesultanan kecil yang mandiri. Selain sebagai pusat
politik, Kesultanan Cirebon terkenal atas kontribusinya dalam seni dan budaya,
menciptakan warisan seperti tari topeng Cirebon dan batik Cirebon. Meskipun mungkin
tidak sebesar beberapa kerajaan tetangga, sejarah Kesultanan Cirebon mencerminkan peran
vitalnya dalam perkembangan agama Islam, perdagangan, dan kehidupan budaya di
wilayah Jawa Barat.

9. Kerajaan Gowa-Talo.
Kerajaan Gowa-Tallo, juga dikenal sebagai Kesultanan Gowa atau Kesultanan
Makassar, adalah sebuah kerajaan di Sulawesi Selatan, Indonesia. Pada abad ke-17 di
bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dan
memiliki peran signifikan dalam perdagangan regional, terutama dengan bangsa Eropa
seperti Portugis dan Belanda. Sultan Hasanuddin, pemimpin yang kuat dan terampil,
mengembangkan Gowa-Tallo menjadi kekuatan maritim yang mengendalikan rute
perdagangan di sekitar Sulawesi. Namun, hubungan dengan Belanda menjadi tegang
karena persaingan kepentingan dagang. Perang Makassar (1667-1669) adalah konflik besar
dengan VOC Belanda, di mana Gowa-Tallo meski bertahan dengan gigih, namun akhirnya
dikalahkan. Perdamaian Bungaya tahun 1669 menandai berakhirnya perlawanan Gowa-
Tallo, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari Hindia Belanda. Sejarah Kesultanan
Gowa-Tallo mencerminkan kompleksitas politik dan perdagangan Sulawesi Selatan pada
masa itu, serta dampak interaksi dengan kekuatan Eropa.

10. Kerajaan Ternate dan Tidore


Ternate, sebuah kerajaan Islam di bagian timur, didirikan pada abad ke-13 oleh
Raja Zainal Abidin (1486-1500), yang merupakan murid Sunan Giri dari Kerajaan Demak.
Di sisi lain, Kerajaan Tidore berada di pulau sendiri dengan Sultan Mansur sebagai
penguasanya. Wilayah Maluku, yang berada di bagian timur Indonesia, membuat daya
tarik bagi para pedagang karena kekayaan rempah-rempahnya.
Kerajaan Ternate mengalami perkembangan pesat, terutama dalam produksi
rempah-rempah, khususnya cengkeh, yang menjadi sumber kekayaan utama mereka.

KESIMPULAN

Islam mulai tersebar di Indonesia sekitar abad ke-7, dan di sepanjang perkembangannya,
berbagai Kerajaan Islam muncul di tanah air, termasuk Perlak, Samudra Pasai, Aceh, Demak,
Pajang, Mataram, Banten, Cirebon, Goa-Tallo, Ternate, dan Tidore. Pesatnya penyebaran Islam di
Indonesia dapat dicatat melalui dominasinya sebagai agama utama di wilayah ini. Lebih lanjut,
sistem pemerintahan dalam kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia diintegrasikan ke susunan
struktur pemerintahan monarki, di mana kepemimpinan tengah ditentukan oleh rumpun keturunan
antara penguasa-penguasa.

DAFTAR PUSTAKA

Muljana, Slamet. (2006). "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara


Islam di Nusantara." PT LKiS Pelangi Aksara.
Syalabi, A. (1994). Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid -1. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Engineer, A. A. (1999). Asal Usul Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yatim, B. (2001). Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT. Rajawalipress.

Yamin, M. (2017). Jurnal Ihya Al-Ambiyah (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab), UIN SU,
3(1), 1.

Frederick, W. H., & Soeroto, S. (1982). Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Revolusi. Jakarta: LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai