Anda di halaman 1dari 11

PROSES MASUKNYA ISLAM DI SUMATERA

Islam masuk ke Sumatera pada abad ke-7 Maschi, yang pada waktu itu di Sumatera telah
berdiri kerajaan Budha di Sriwijaya (683-1030 M) yang menjadikan Islam masuk ke daerah
itu sedikit mengalami kesulitan, dan pada waktu itu kerajaan Sriwijaya mendapat serbuan
dari India, maka kesempatan itu digunakan untuk menyebarkan Islam bagi daerah daerah.
Islam di Sumatera khususnya Aceh dipercaya sebagai cikal-bakal penyebaran Islam di
Nusantara. Penyebaran Islam dilakukan oleh para saudagar Arab yang hilir mudik
berdagang dari Mesir, Persia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan
terletak di ujung barat pulau Sumaterà. Adalah Barus, yang disinyalir sebagai
perkampungan Islam tertua di Nusantara. Disini ditemukan Sebuah makam kuno di
ompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh
Rukunuddin wafat tahun 672 Maschi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang
panjangnya kira-kira 7 meter. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus
sudah ada pada era itu
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan
resmi Khalifah atau para pedagang Islam yang memang telah memiliki hubungan
perdagangan dengan Aceh, sebagai dacrah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina
Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-
Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatera, telah memudahkan penyiaran Islam
Islam telah berkembang di Aceh scjak abad VII. Keberadaannya dibawa oleh para saudagar
Islam Arab dan bukan merupakan misi khusus penyebaran agama
Selain dari perdagangan masuknya islam ke daerah Sumatera juga dipengaruhi oleh
kerajaan kerajaan yang ada di Sumatera dan dakwah dakwah dari wali-wali atau ulama
yang ada pada saat itu. Dari Kesultanan Aceh inilah kemudian pengaruh Islam menyebar
keseluruh Nusantara. Bukti-bukti penyebaran kebudayaan Islam masih dapat kita jumpai
hingga kini, diantaranya adalah masjid dan makam-makam
KERAJAAN ISLAM YANG ADA DI SUMATERA

1. Kerajaan Samudera Pasai


Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai,
dengan sebutan singkat yaitu Pasai adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai
utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara,
Provinsi Aceh, Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan
Malik as – Saleh, sekitar tahun 1267.
Para sejarawan menelusuri keberadaan kerajaan ini menggunakan sumber dari Hikayat
Raja – raja Pasai serta peninggalan sejarah adat istiadat serta budaya setempat yang
masih berjalan dan dipertahankan oleh masyarakat pesisir pantai utara Sumatra. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa makam raja yang datang pertama kali pada tahun 710
Masehi serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama keturunan
rajanya. Dengan di temukannya Makam Raja (Penemuan Makam Raja Samudera Pasai
Meninggal di Tahun 710 Masehi) ini membuktikan sebelumnya sudah berdiri Kerajaan
Samudera Pasai sebelum Rajanya Meninggal (Penemuan Makam Raja) Berarti
Kerajaan Samudera Pasai sudah berdiri sebelum 710 Masehi dan juga bisa dikatakan
Islam sudah masuk di Nusantara (Indonesia) sebelum 710 Masehi. Siapa kah pihak
yang telah mengotak atik sejarah di Negeri ini. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum
dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn
Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Berdasarkan Hakiyat Raja – raja Pasai serta tersebut dalam Tambo Minangkabau putra
dari Ahlul Bait Sayyidina Hussein, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu
dan menyebut nama raja yang mukim dari tahun 710 Masehi hingga para anak cucu nya
sebagai penyebar agama Islam di Sumatra, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang
raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu
kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan
Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1267 M.
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan
Muhammad Malik az - Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah
diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu
kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian
sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Muhammad
Malik az - Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia
dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah
(Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut
Mashab Syafi’i.
Malikush Shaleh
Pada saat itu, orang-orang Islam sudah mendirikan perkampungan di tepi pantai Sumatra.
Mereka berasal dari pedagang-pedagang sumatera yang berdagang di arab dan persia.
Hanya saja, mereka belum sanggup mendirikan kerajaan yang kuat.
Pada zaman pemerintahan Al Malikush Shaleh, Marco Polo, seorang pengembara bangsa
Venesia, berkunjung ke Sumatra Utara. Pada saat itu, ia belum melihat banyak orang
Islam di Sumatra, kecuali di Kerajaan Perlak saja. Al Malikush Shaleh menikah dengan
anak perempuan Raja Perlak yang telah beragama Islam. Beliau memiliki dua orang
putra.
Al Malikuzh Zhahir (1297 - 1326) Seorang putra Al Malikush Shaleh diberi gelar Al
Malikush Zhahir, sedangkan putranya yang lain diberi gelar Al Malikul Mansur. Azh
Zahir adalah gelar yang dipakai oleh Sultan Mamalik yang kedua di Mesir, yaitu al
Malikuzh Zhair Baibars (1260 - 1277). Al Mansur adalah gelar dari Sultan Mamalik yang
ketiga, yang menggantikan Baibars, yaitu al Malikul Mansur Qalawun (1279 - 1290).
Sultan Al Malikuz Zhahir diangkat sebagai sultan kedua Samudra Pasai. Nama kecil
sultan itu adalah Raja Muhammad.

Al Malikuz Zhahir (1326 – 1348)


Sultan ketiga Samudera Pasai bergelar Zhahir juga. Nama kecilnya adalah Raja Ahmad.
Hamka berpendapat bahwa besar kemungkinan bahwa Sultan inilah yang ditemui oleh
Ibnu Batuthah diutus Sultan Delhi ke Tiongkok pada 1345. Ibnu Batuthah menceritakan
pengamatannya secara rinci, Ketika singgah di Pasai dalam catatan perjalanannya
Berdasarkan catatan Ibnu Batutah, Sultan Pasai bermadzhab Syafi'i. Mahdzhab itu
diketahui oleh Sultan secara mendalam. Sultan pun sanggup bertukar pikiran dengan
para ulama ketika membicarakan masalah agama. Sultan gemar mendakwahkan agama
Islam ke negeri-negeri tetangga. Sultan juga memiliki armada kapal dagang yang besar.
Ketika Ibnu Batutah singgah di Tiongkok, ia melihat kapal dari Sultan Pasai sedang
berdagang di sana. Sultan mengangkat ulama keturunan bangsa sayid dari Syiraz sebagai
qadhi di Pasai.

Zainal Abidin (1350)


Setelah Sultan al-Malikuzh Zhahir meninggal, naiklah putranya Zainal Abidin. Ia naik
takhta ketika usianya masih kecil, sehingga untuk sementara, pemerintahan dijalankan
oleh pembesar-pembesar kerajaan.
Kerajaan Siam mendatangi Samudra Pasai. Awalnya, mereka masuk ke negeri Pasai
secara baik-baik. Mereka pun disambut dengan layak oleh Pasai. Mereka mengangkat
sebuah peti besar ke dalam istana, sebagai hadiah untuk Sultan Pasai. Ketika peti itu
dibuka, melompatlah empat orang pasukan Siam keluar dari peti, menangkap sultan yang
masih kecil.[1] Sultan Pasai diculik, dibawa ke kapal, ditawan di dalam istana Siam.
Orang-orang besar Samudra Pasai terpaksa datang mempersembahkan tebusan ke negeri
Siam, yaitu emas. Mereka memohon agar sultan dapat dibebaskan. Raja Siam
mengizinkan, dengan syarat, Pasai harus tetap rutin membayar emas. Akhirnya,
pulanglah Sultan yang masih muda itu ke Pasai, hingga duduk kembali di atas
singgasananya.
Tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba datang pulalah pasukan Majapahit. Diserbunya
Samudra Pasai sekali lagi. Pasai takluk di bawah Majapahit. Siam pun tidak mampu
melawan Majapahit untuk mempertahankan Pasai.
Maharaja Tiongkok mengutus admiral Cheng Ho untuk datang ke Pasai pada tahun 1405.
Dalam riwayat Tiongkok, Raja Pasai pada saat itu ialah Tsai Nu Li A Pi Ting Ki (Zainal
Abidin). Cheng Ho menganjurkan agar Pasai mengakui persahabatan dengan Maharaja
Tiongkok, Kaisar Cheng Tsu. Kaisar ini baru saja merebut kekuasaan dari kaisar yang
dahulu, Hwui Ti. Cheng Ho datang membawa hadiah tanda persahabatan dari Kaisar
Tiongkok. Ia pun memberikan janji bahwa Tiongkok akan tetap membela Samudra Pasai,
Malaka dan negeri-negeri lain, jika ada serangan dari luar, asalkan mereka mengakui
perlindungan dari Tiongkok.
Zainal Abidin meninggal dalam satu peperangan melawan negeri Nakur di Aceh.
Permaisuri Pasai menjanjikan bahwa ia sudi menjadi istri bagi siapa saja yang sudi
berjuang menuntut bela kematian suaminya dalam perang itu. Tampillah ke depan,
seorang nelayan, untuk mengepalai tentara yang ingin mengalahkan negeri Nakur
kembali. Menurut riwayat Tiongkok, nelayan itu menang perang, sehingga langsung
diangkat menjadi raja, menggantikan raja yang meninggal, pada tahun 1412.

Pemerintahan
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai
Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara.
Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar
yang bermuara ke laut. walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat
bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah Menteri, syahbandar dan kadi. Sementara
anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga
beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan,
dan penguasanya juga bergelar sultan.

Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditas andalannya, dalam
catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam
perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada
masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni
dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2
kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah
penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik,
dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan
rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.

Agama dan budaya


Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau
pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma
Huan dan Tome Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya
masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan
penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya
pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan
dalam Salulatus Salatin.

Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian
di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Salalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai
meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun
Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan
oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan
kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.

Warisan sejarah
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh
sejarawan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13.
Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat
Raja – raja pasai memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya
telah membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini.
Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali
menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh, Bandara
Malikussaleh dan Museum Islam Samudera Pasai di Aceh Utara.

2. Kerajaan Aceh Darussalam


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan
Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al – Kahar yang berkuasa hingga
tahun 1571.
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu
dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang.
menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada
1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta
kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang.
Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-
Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-
stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat
posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada
sultan berikutnya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Aceh menaklukkan Pahang yang
merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan
penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah
kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi
Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu.

Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840)
serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah
adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795 – 1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah
namun berkat bantuan Rafless dan Koh Lay Huan, seorang pedagang
dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan
lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh
Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az – zahier untuk melawan ekspansi
Belanda gagal.
Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras
bagi kesultanan. Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk
diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1
juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut
kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu
Rigas, Teunom, dan Meulaboh.

Kebudayaan

- Arsitektur
Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini
antara lain Benteng Indra Putra, Masjid Tua Indipuri, Komplek Kandang XII (Komplek
Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat
Kota Banda Aceh.
Peninggalan
Tidak seperti kerajaan bercorak Hindu, Kerajaan Aceh ini tidak memiliki peninggalan
prasasti. Namun peradabannya dapat diketahui dari naskah kuno, tempat yang dibangun,
dan benda bersejarah lainnya.

Bukti Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Aceh

- Masjid Raya Baiturrahman


Pada waktu terjadi bencana gempa dan tsunami tahun 2004 lali, ikon aceh tersebut
tetap berdiri dengan kokoh. Memang ada sedikit kerusakan di beberapa bagian, tetapi
masih wajar sehingga bangunan tetap dapat digunakan.
Bangunan ini didirikan pada tahun 1612 lalu pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda.
Masjid Raya Baiturrahman memiliki luas bangunan kurang lebih 4.000 m2 yang bisa
digunakan untuk menampung lebih dari 20.000 orang. Sementara itu, keseluruhan
areanya memiliki luas 31.000 m2

- Koin Emas Kerajaan Aceh


Benda ini tidak sengaja ditemukan oleh seorang pencari tiram pada tahun 2013 lalu.
Tempat penemuannya adalah tambak seorang warga yang berada di aliran sebuah
sungai di daerah gampong, kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.

3. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak ialah sebuah kerajaan Islam Syiah pertama di Nusantara dan Kesultanan
tertua di dunia yang terletak di Perlak, Aceh. Perlak merupakan sebuah daerah di pesisir
timur daerah Aceh (daerah utara pulau Sumatera).
Raja dan rakyat penduduk daerah negeri Perlak ialah keturunan daripada Maharaja Pho
He La Syahir Nuwi (Meurah Perlak Syahir Nuwi) dan keturunan daripada pasukan-
pasukan pengikutnya.
Sultan pertama yang terpilih ialah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab
Quraisy dengan puteri Meurah Perlak), bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-
Aziz Syah. Kerajaan Islam yang telah didirikan di Perlak itu, hidup subur dan menjalars
luas melaluih dinasti raja-rajanya.
Pada hari perasmian berdirinya Kerajaan Islam itu, Bandar Perlak ditukar namanyah
menjadih Bandar Khalifah sebagai kenang-kenangan kepada Nakhuda Khalifah yang
mula-mula membawa agama Islam ke Bandar Perlak. Bandar Khalifah itu sampai
sekarang masih tetap disebut namanya, tetapi daerah itu telah menjadi dusun yang
kecil yang tidak berarti lagi.
Perekonomian
Kesultanan Perlak dikenal sebagai penghasil kayu perlak. Jenis kayu ini merupakan
bahan baku untuk pembuatan kapal. Selain itu, Perlak juga kaya akan hasil bumi yang
turut bersaing dalam perdagangan internasional di Selat Malaka yaitu lada dengan daerah
penghasil utamanya di Aceh sedangkan Perlak sebagai penguasa di pantai Timur
Sumatra.

Kehidupan Sosial Budaya


Kerajaan Pereulak merupakan kerajaan Islam tertua di Indonesia dan memerintah
dengan waktu yang cukup lama. Kerajaan Pereulak mengalami kemajuan pesat pada
masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II (622-662
H/1225-1263 M) terutama kemajuan dalam bidang pendidikan Islam dan dan perluasan
dakwah Islamiah.

Peninggalan

- Stempel Kerajaan

temuan peninggalan Kerajaan Perlak yaitu sebuah stempel kerajaan. Namun hal yang
cukup menarik perhatian justru bukan karena penemuan dari stempel kerajaan ini.
Melainkan di dalam stempel peninggalan Kerajaan Perlak ini ternyata terdapat pola-
pola dan tulisan arab. Tepatnya di bagian bawah stempel ditemukan sebuah tulisan
tertulis “Al Watsiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”. Mungkin kita
akan merasa aneh, kenapa tertulis Kerajaan Negeri Bendahara dan bukan tulisan
Kerajaan Perlak. Padahal stempel ini di klaim sebagai salah satu peninggalan dari
Kerajaan Perlak di Aceh.

- Makam Raja Benoa


Di temukan juga sebuah makam salah satu raja yang terletak di pinggir Sungai
Trenggulon. Makam ini bukan makam sembarangan karena makam ini diketahui
adalah makam dari salah satu Raja Benoa. Keberadaan makam ini makin memperkuat
keberadaan dan eksistensi dari Kerajaan Perlak di Aceh.
4. Kerajaan Pagaruyung
Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada
Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan
dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada
yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah
memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah
dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung
merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat
(Suku Minang).
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para
musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu
murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu
Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan
agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau
disebutkan bernama Sultan Alif.

Peninggalan Kerajaan Pagaruyung

- Istana pagaruyung
Istana Pagaruyung atau juga disebut dengan Istano Basa terletak di
kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatera
Barat.
Istana Pagaruyung asli dibangun seluruhnya dengan batang-batang kayu. Namun
untuk replikanya dibangun dengan bahan beton modern namun tetap
mempertahankan teknik tradisional dan bahan kayu yang dihias dengan 60
ukiran yang menjelaskan filosofi dan budaya Minangkabau.
- Makam Raja Pagaruyung
Kompleks makam raja Pagaruyung atau juga disebut dengan Makam Rajo Ibadat.
Makam ini berlokasi di Sumpur Kudus, tepatnya di tengah pemukiman
penduduk Nagari Sumpur Kudus, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten
Sijunjung, Sumatera Barat. Di sebelah kanan (selatan) kompleks makam
terdapat gelanggang medan nan bapaneh.

Kompleks makam ini terdapat 13 buah makam. Jirat makam terbuat dari susunan batu
andesit.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Hassan Ambari, makam ini di
perkirakan sudah ada pada abad ke 4 atau abad ke 11 Masehi. Hal ini di ketahui
setelah mereka meneliti batu nisan yang berada di pemakaman ini. Di batu nisan ini
juga terdapat beberapa tulisan, dimana semuanya menggunakan huruf-huruf arab.

Anda mungkin juga menyukai