Islam masuk ke Sumatera pada abad ke-7 Maschi, yang pada waktu itu di Sumatera telah
berdiri kerajaan Budha di Sriwijaya (683-1030 M) yang menjadikan Islam masuk ke daerah
itu sedikit mengalami kesulitan, dan pada waktu itu kerajaan Sriwijaya mendapat serbuan
dari India, maka kesempatan itu digunakan untuk menyebarkan Islam bagi daerah daerah.
Islam di Sumatera khususnya Aceh dipercaya sebagai cikal-bakal penyebaran Islam di
Nusantara. Penyebaran Islam dilakukan oleh para saudagar Arab yang hilir mudik
berdagang dari Mesir, Persia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan
terletak di ujung barat pulau Sumaterà. Adalah Barus, yang disinyalir sebagai
perkampungan Islam tertua di Nusantara. Disini ditemukan Sebuah makam kuno di
ompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh
Rukunuddin wafat tahun 672 Maschi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang
panjangnya kira-kira 7 meter. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus
sudah ada pada era itu
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan
resmi Khalifah atau para pedagang Islam yang memang telah memiliki hubungan
perdagangan dengan Aceh, sebagai dacrah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina
Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-
Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatera, telah memudahkan penyiaran Islam
Islam telah berkembang di Aceh scjak abad VII. Keberadaannya dibawa oleh para saudagar
Islam Arab dan bukan merupakan misi khusus penyebaran agama
Selain dari perdagangan masuknya islam ke daerah Sumatera juga dipengaruhi oleh
kerajaan kerajaan yang ada di Sumatera dan dakwah dakwah dari wali-wali atau ulama
yang ada pada saat itu. Dari Kesultanan Aceh inilah kemudian pengaruh Islam menyebar
keseluruh Nusantara. Bukti-bukti penyebaran kebudayaan Islam masih dapat kita jumpai
hingga kini, diantaranya adalah masjid dan makam-makam
KERAJAAN ISLAM YANG ADA DI SUMATERA
Pemerintahan
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai
Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara.
Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar
yang bermuara ke laut. walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat
bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah Menteri, syahbandar dan kadi. Sementara
anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga
beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan,
dan penguasanya juga bergelar sultan.
Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditas andalannya, dalam
catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam
perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada
masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni
dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2
kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah
penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik,
dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan
rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian
di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Salalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai
meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun
Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan
oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan
kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.
Warisan sejarah
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh
sejarawan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13.
Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat
Raja – raja pasai memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya
telah membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini.
Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali
menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh, Bandara
Malikussaleh dan Museum Islam Samudera Pasai di Aceh Utara.
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840)
serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah
adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795 – 1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah
namun berkat bantuan Rafless dan Koh Lay Huan, seorang pedagang
dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan
lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh
Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az – zahier untuk melawan ekspansi
Belanda gagal.
Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Kebudayaan
- Arsitektur
Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini
antara lain Benteng Indra Putra, Masjid Tua Indipuri, Komplek Kandang XII (Komplek
Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat
Kota Banda Aceh.
Peninggalan
Tidak seperti kerajaan bercorak Hindu, Kerajaan Aceh ini tidak memiliki peninggalan
prasasti. Namun peradabannya dapat diketahui dari naskah kuno, tempat yang dibangun,
dan benda bersejarah lainnya.
3. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak ialah sebuah kerajaan Islam Syiah pertama di Nusantara dan Kesultanan
tertua di dunia yang terletak di Perlak, Aceh. Perlak merupakan sebuah daerah di pesisir
timur daerah Aceh (daerah utara pulau Sumatera).
Raja dan rakyat penduduk daerah negeri Perlak ialah keturunan daripada Maharaja Pho
He La Syahir Nuwi (Meurah Perlak Syahir Nuwi) dan keturunan daripada pasukan-
pasukan pengikutnya.
Sultan pertama yang terpilih ialah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab
Quraisy dengan puteri Meurah Perlak), bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-
Aziz Syah. Kerajaan Islam yang telah didirikan di Perlak itu, hidup subur dan menjalars
luas melaluih dinasti raja-rajanya.
Pada hari perasmian berdirinya Kerajaan Islam itu, Bandar Perlak ditukar namanyah
menjadih Bandar Khalifah sebagai kenang-kenangan kepada Nakhuda Khalifah yang
mula-mula membawa agama Islam ke Bandar Perlak. Bandar Khalifah itu sampai
sekarang masih tetap disebut namanya, tetapi daerah itu telah menjadi dusun yang
kecil yang tidak berarti lagi.
Perekonomian
Kesultanan Perlak dikenal sebagai penghasil kayu perlak. Jenis kayu ini merupakan
bahan baku untuk pembuatan kapal. Selain itu, Perlak juga kaya akan hasil bumi yang
turut bersaing dalam perdagangan internasional di Selat Malaka yaitu lada dengan daerah
penghasil utamanya di Aceh sedangkan Perlak sebagai penguasa di pantai Timur
Sumatra.
Peninggalan
- Stempel Kerajaan
temuan peninggalan Kerajaan Perlak yaitu sebuah stempel kerajaan. Namun hal yang
cukup menarik perhatian justru bukan karena penemuan dari stempel kerajaan ini.
Melainkan di dalam stempel peninggalan Kerajaan Perlak ini ternyata terdapat pola-
pola dan tulisan arab. Tepatnya di bagian bawah stempel ditemukan sebuah tulisan
tertulis “Al Watsiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”. Mungkin kita
akan merasa aneh, kenapa tertulis Kerajaan Negeri Bendahara dan bukan tulisan
Kerajaan Perlak. Padahal stempel ini di klaim sebagai salah satu peninggalan dari
Kerajaan Perlak di Aceh.
- Istana pagaruyung
Istana Pagaruyung atau juga disebut dengan Istano Basa terletak di
kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatera
Barat.
Istana Pagaruyung asli dibangun seluruhnya dengan batang-batang kayu. Namun
untuk replikanya dibangun dengan bahan beton modern namun tetap
mempertahankan teknik tradisional dan bahan kayu yang dihias dengan 60
ukiran yang menjelaskan filosofi dan budaya Minangkabau.
- Makam Raja Pagaruyung
Kompleks makam raja Pagaruyung atau juga disebut dengan Makam Rajo Ibadat.
Makam ini berlokasi di Sumpur Kudus, tepatnya di tengah pemukiman
penduduk Nagari Sumpur Kudus, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten
Sijunjung, Sumatera Barat. Di sebelah kanan (selatan) kompleks makam
terdapat gelanggang medan nan bapaneh.
Kompleks makam ini terdapat 13 buah makam. Jirat makam terbuat dari susunan batu
andesit.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Hassan Ambari, makam ini di
perkirakan sudah ada pada abad ke 4 atau abad ke 11 Masehi. Hal ini di ketahui
setelah mereka meneliti batu nisan yang berada di pemakaman ini. Di batu nisan ini
juga terdapat beberapa tulisan, dimana semuanya menggunakan huruf-huruf arab.