Anda di halaman 1dari 26

KERAJAAN SAMUDERA PASAI

Kerajaan Samudera Pasai


terletak di Aceh, dan merupakan
kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini didirikan
oleh Meurah Silu pada tahun 1267
M. Bukti-bukti arkeologis
keberadaan kerajaan ini adalah
ditemukannya makam raja-raja
Pasai di kampung Geudong, Aceh
Utara. Makam ini terletak di dekat
reruntuhan bangunan pusat
kerajaan Samudera di desa
Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara
makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama.
Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan
sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M).
Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan
raja pertama Malik al-Saleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi
Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya
kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan
bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi
lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat
pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas
dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di
kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India,
Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang
besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini
digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan,
Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga
ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh
kerajaan Aceh.

SILSILAH
1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)
11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)
12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)
13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524

PERIODE PEMERINTAHAN
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad
ke-13 hingga 16 M.

WILAYAH KEKUASAAN
Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.

STRUKTUR PEMERINTAHAN
Pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah
secara turun temurun. disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan,
terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang
Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan
laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang
Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang
mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang
berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat
sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.
Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam
Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan
jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri

KEHIDUPAN POLITIK
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik
al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa
pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama
Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja
Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka
pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar
Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan
Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini
pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu
Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai
merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan
patihnya bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak
banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan
Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai
diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang
lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas. Dari penjelasan di
atas, apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya.

KEHIDUPAN EKONOMI
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai
kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan
peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-
pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada
masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu
Batulah.
Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas.
Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang
emas yang dinamakan Deureuham (dirham).

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA


Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat
perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini
juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik.
Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh
agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian
disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis
tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis
sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di
bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh
Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu
Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum
Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit
peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat
tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.

Sumber : http://acehdalamsejarah.blogspot.com
KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajaan Mataram Islam atau
Kesultanan Mataram adalah kerajaan
Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara
abad ke-16 hingga abad ke-18. Pendiri
Kerajaan Mataram Islam adalah Danang
Sutawijaya atau Panembahan Senopati.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan
ketika diperintah oleh Sultan Agung
(1613-1645 M). Di bawah kekuasaannya, Mataram mampu menyatukan tanah Jawa dan
sekitarnya, termasuk Madura. Selain itu, kerajaan yang terletak di Kotagede, Yogyakarta, ini
pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah didirikannya loji-loji dagang di pantai
utara.
Masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam berakhir pada 1755 M, setelah ditandatangi
Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama VOC. Dalam kesepakatan tersebut, Kesultanan
Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari
Kasunanan Surakarta.
Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Sejarah Kerajaan Mataram Islam dimulai ketika
Ki Ageng Pemanahan membantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, mengalahkan Arya
Penangsang dari Jipang. Atas jasanya, Ki Ageng Pemanahan dianugerahi wilayah tanah di
hutan Mentaok (sekarang Kotagede, Yogyakarta).
Ki Ageng Pemanahan membangun tanah tersebut menjadi desa yang makmur dan
setelah ia meninggal, perannya diteruskan oleh putranya, Danang Sutawijaya (Raden Ngabehi
Loring Pasar). Setelah itu, Sutawijaya mulai memberontak pada Pajang yang masih dipimpin
oleh Sultan Hadiwijaya. Pertempuran antara Pajang dan Mataram berhasil dimenangkan oleh
Sutawijaya. Setelah Sultan Hadiwijaya sakit dan akhirnya wafat, Sutawijaya mendirikan
Kesultanan Mataram.
Kehidupan politik Kerajaan Mataram Islam Sebagai pendiri dan raja pertama
Kerajaan Mataram Islam, Sutawijaya menghadapi banyak rintangan, terutama dari bupati di
pantai utara Jawa yang dulunya tunduk kepada Pajang. Mereka terus melakukan
pemberontakan karena ingin melepaskan diri dari Pajang dan menjadi kerajaan yang
merdeka. Kendati demikian, Sutawijaya tetap berhasil melakukan perluasan wilayah hingga
berhasil menduduki seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesultanan Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M). Di bawah
kekuasaannya, Mataram sempat beberapa kali melakukan penyerangan ke Batavia untuk
memerangi VOC. Selain itu, wilayah kekuasaan Mataram hampir meliputi seluruh Pulau
Jawa. Kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Islam Letak Kerajaan Mataram Islam berpusat
di Kota Gede, Yogyakarta. Karena posisinya berada di pedalaman, kerajaan ini
menggantungkan perekonomiannya pada hasil pertanian. Sedangkan daerah pesisir pantai di
wilayah yang dikuasai tidak dimanfaatkan. Dengan mengandalkan pertanian, Mataram
melakukan penaklukan ke beberapa kerajaan di Jawa Timur dan Jawa Barat. Penarikan upeti
dari wilayah-wilayah kekuasaan penghasil beras membuat perekonomiannya berkembang
dengan cepat.
Keruntuhan Kerajaan Mataram Islam Keruntuhan Mataram dimulai setelah Sultan
Agung wafat dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Amangkurat I. Amangkurat I memiliki sifat
yang bertolak belakang dengan sang ayah, bahkan disebut sebagai raja yang bengis. Setelah
tragedi demi tragedi terjadi, rakyat mulai takut dan terbentuk sikap antipati. Akibatnya,
rakyat bersatu menyerang kerajaan di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo dari Madura.
Dalam serangan itu, Amangkurat I wafat dan putra mahkota meminta dukungan VOC
untuk membubarkan pasukan Trunojoyo. Dengan bantuan VOC, putra mahkota pun berhasil
menyingkirkan Trunojoyo. Putra mahkota kemudian naik takhta dengan gelar Amangkurat II
dan memindahkan ibu kota Mataram ke Kartasura.
Pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, Kesultanan Mataram terus mengalami
pergolakan besar. Pergolakan di kerajaan kemudian resmi diakhiri melalui Perjanjian Giyanti
yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Dalam kesepakatan tersebut, Kesultanan
Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari
Kasunanan Surakarta. Kasultanan Ngayogyakarta diserahkan kepada Hamengku Buwono I,
sementara Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono III. Baca juga: Perkembangan
Kerajaan Pajang dan Mataram Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Kerajaan Mataram
Islam banyak menyisakan peninggalan baik di Surakarta ataupun Yogyakarta. Berikut ini
beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Surakarta. Benteng Vastenburg
Pasar Gedhe Hardjonagoro Rumah Sakit Kadipolo Masjid Agung Kraton Surakarta Taman
Sriwedari
Berikut ini beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta.
Masjid Agung Gedhe Kauman Masjid Kotagede Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Pasar Kotagede Kompleks Makam Kerajaan Imogiri  
Referensi: Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Relasi Inti Media.
KERAJAAN GOWA TALLO

Kerajaan Gowa Tallo adalah


kerajaan di Indonesia yang bercorak agama
Islam terbesar di Sulawesi Selatan. Kerajaan
ini berdiri pada sekitar abad ke 16. Kerajaan
Gowa Tallo juga dikenal sebagai Kerajaan
Makassar.
Kerajaan Gowa Tallo adalah kerajaan gabungan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan
Tallo yang dimiliki dua orang bersaudara. Dua kerajaan ini bersatu saat pemerintahan Raja
Daeng Matanre Karaeng Tumapara’risi Khallona.
Kerajaan ini bersatu atas dasar kesepakatan, sehingga rakyat kedua kerajaan pun
tidak memihak siapapun. Meski begitu, mereka memiliki dua raja yang sama-sama berkuasa
di wilayah masing-masing.
Pada akhir abad ke 16, Sultan Alauddin adalah raja pertama yang memeluk Islam di
Kerajaan Gowa Tallo dan sebagai penanda bahwa Kerajaan Gowa Tallo menjadi kesultanan.
Agama Islam di Gowa semakin pesat. Pada tahun kedua kesultanan, semua rakyat kerajaan
akhirnya beragama Islam.
Masa kejayaan Kerajaan Gowa Tallo adalah masa kepemimpinan Sultan
Hasanuddin. Sultan Hassanuddin adalah Raja Gowa ke 16 sekaligus pahlawan nasional
Indonesia. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya saat berada dibawah pimpinan beliau.
Sultan Hasanuddin memiliki julukan yang terkenal yakni Ayam Jantan dari Timur
yang tidak mudah terpengaruh oleh orang asing. Ia menentang keras kehadiran VOC saat
menguasai sebagian kerajaan kecil di Sulawesi.
Pada masa kejayaannya, Gowa Tallo menjadi pusat perdagangan terbesar di
Indonesia bagian Timur. Ada banyak saudagar muslim dari berbagai wilayah di dunia untuk
berdagang. Kerajaan ini bersifat maritim, selain karena letaknya yang sangat strategis dengan
laut, banyak masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.
Kerajaan Gowa Tallo mulai runtuh saat VOC menguasai sebagain besar kerajaan
kecil di Sulawesi. Sultan Hasanuddin berupaya melawannya dengan bantuan dari seluruh
kerajaan Indonesia Timur.
Peperangan tersebut dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, tetapi penjajah semakin
menambah pasukan dan membuat kubu Kerajaan Gowa terdesak. Akhirya pada tahun 1667,
Kerajaan Makassar mengakui kekalahannya dan bersedia menandatangani Perjanjian
Bongaya yang tentu saja merugikan Kerajaan Gowa.
Pertempuran pasca perjanjian pun tetap terjadi. Saat VOC kembali meminta pasukan
tambahan dan akhirnya merobohkan benteng kekuasaan Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin
turun tahta dan mengundurkan diri dari kerajaan. Kerajaan Makassar kemudian mengalami
transisi kepemimpinan, kemudian saat dipimpin oleh Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aidudin, kesultanan resmi menjadi bagian dari Indonesia.
Bukti fisik sejarah yang dapat ditemui hingga saat ini adalah Istana Balla Lompoa
yang merupakan tempat hunian Raja Gowa dan terletak di Kota Sungguminasa. Saat ini,
Balla Lompoa menjadi situs budaya.
Kedua, Istana Tamalate. Ketiga yakni Masjdi Katangka yang juga saat ini disebut
Masjid Al Hilal yang merupakan masjid tertua di Sulawesi Selatan. Keempat yakni Benteng
Somba Opu yang menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan.
Kelima yakni Benteng Fort Rotterdam yang menjadi bekas markas pasukan katak
Kerajaan Gowa Tallo, tetapi setelah Perjanjain Bongaya, benteng ini menjadi milik Belanda.
Demikian penjelasan terkait kerajaan Gowa Tallo, sejarah, masa kejayaan, hingga
runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan ini memiliki banyak peninggalan dan sangan
berpengaruh terhadap peradaban hingga sekarang. Masa kejayaan Kerajaan Gowa Tallo
adalah saat dipimpin oleh Sultan Hasanuddin yang memiliki julukan Ayam Jantan dari
Timur.
KERAJAAN BONE
Kesultanan / Kerajaan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone,
merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah
Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Dalam Attoriolong ri Bone (ARB) di
Perpustakaan Negara Berlin, dicatat La Tenri
Tompo adalah orang yang membuka Bone
sebagaimana juga diriwayatkan dalam
Lontaraq Akkarungeng Sulsel (ARS) di
bagian Bone halaman 62 dimana La Tenri
Tompo sebagai Arung Tanete Riawang yang
turun temurun melahirkan generasi sampai
pada La Pattikkeng Arung Palakka yang
menikahi We Pattanra Wanua Arung Majang
yang merupakan putri dari La Ubbi,
ManurungngE ri Matajang, ArungPone Bone
Pertama
Sejarah Awal
Terbentuknya kerajaan Bone pada awal abad XIV dimulai dengan kedatangan
Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin
oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La
Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. We Pattanra Wanua, Saudara
perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu
Karampelua sebagai Arumpone ketiga. Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat
keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan
di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone kelima La Tenrisukki
dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai
Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer di era itu kemudian ditanggapi dengan
usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone ketujuh La Tenrirawe
BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya
yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun
Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo, Arumpone ke-
12. Pada masa ini pula Arumpone mengangkat Arung Pitu atau Ade' Pitue untuk membantu
dalam menjalankan pemerintahan. Sebelumnya yaitu La Tenriruwa telah menerima Islam
namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade' Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan
wafat di sana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah.
Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi
Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone
menjadi kerajaan paling dominan di jazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan
La Tenritatta Arung Palakka Sultan Sa'adudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi
oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matanna
Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah
pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666 sampai
tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi
ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Setelah perang beberapa kali dimulai pada tahun 1824, Bone akhir berada di bawah
kontrol Belanda pada tahun 1905 yang dikenal dengan peristiwa Rumpa'na Bone.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone
terhadap Belanda, tetapi Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam
perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di
Bone, para raja bergelar Arumponé.

Keagamaan
Raja Bone ke-13, La Maddaremmeng (1631-1644) sangat meyakini ajaran Islam dan
berusaha mematuhi semua syariat Islam secara murni. Ia berguru tentang Islam
dari Qadi Bone bernama Faqih Amrullah. Rakyat Kesultanan Bone diwajibkan melaksanakan
ajaran Islam secara patuh. Selama masa kekuasannya, ajaran Islam menyebar dan ditaati oleh
penduduk dalam waktu relatif singkat. Salah satu ketetapan pada masa pemerintahannya
adalah larangan perbudakan dan kemerdekaan bagi hamba sahaya. Tiap budak yang telah
merdeka harus diberi upah yang sama seperti pekerja lainnya.[1]
Hubungan dengan Kesultanan Buton
Kesultanan Bone dan Kesultanan Buton telah menjalin hubungan kekerabatan sebelum
masa pemerintahan Raja Bone ke-15. Hubungan kekerabatan ini dikukhkan melalui filosofi
pameo yang menganggap Kerajaan Bone sebagai negeri orang Buton dan Kesultanan Buton
sebagai negeri orang Bone. Para calon raja Bone juga dikirim ke Kesultanan Buton sebagai
perwakilan sebelum menjabat sebagai raja.[2]
Hubungan dengan Kesultanan Gowa
Kesultanan Bone dan Kesultanan Gowa selalu bertentangan dan saling bermusuhan
satu sama lain. Kedua kesultanan ini memiliki pengaruh kekuasaan yang besar di
wilayah Indonesia Timur. Hubungan keduanya menjadi semakin buruk setelah Hindia
Belanda ingin menguasai wilayah Kesultanan Gowa. Konflik antara kedua kesultanan ini
dimulai sejak abad ke-17. Ini ditandai dengan adanya suku Bugis dan suku
Makassar di Bantaeng yang menjadi garis perbatasan. Kesultanan Bone menjadikan Bantaeng
sebagai pintu masuk ke pusat Kesultanan Gowa di Makassar melalui laut.[3]

Keruntuhan
Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama
RUMPA’NA BONE. Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul
Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan
kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara
Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur
Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang
oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat
dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri
ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae gugur diterjang peluru tentara
Belanda. Gugurnya Petta Ponggawae (putranya sendiri) sebagai Panglima Kerajaan waktu
itu, membuat Lapawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda
menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya itu adalah benteng
pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda sehingga setelah melihat putranya gugur,
spontan ia berucap dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah
Bone).
Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La
Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari
Watapponre, sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan”
Ponre. Pada zaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah
kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaan-
kerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa
pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di
puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka,
Ulaweng Bengo, Lappariaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905) Daeng Marola senantiasa
mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan
dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang,
Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo
(perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para
pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat,
Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone
serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada
Belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima
Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pada tanggal 30 Juli 1905,
tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya
sebagai basis pertahanannya. Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar
kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama Laskar-
Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page
Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara
serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahanannya.
Tanggal 2 Agustus 1905, tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone
dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan
selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905, Arumpone dengan rombongannya tiba di
Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre
serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae dan La Pawawoi
Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo
inilah, pada tanggal 18 November 1905, laskar Kerajaan Bone dibawah komando Panglima
Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van
Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Petta PonggawaE gugur
terkena peluru Belanda.
Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke
Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11
November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka
dinamakanlah dia MatinroE ri Jakarta. Pada tahun 1976, ia dianugrahi gelar sebagai
Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone
hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone sehingga selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di
Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh
Belanda, mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. La Semma
Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas
terakhirnya disana sehingga disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe
Ribajoe.

KERAJAAN WAJO
Kerajaan Wajo adalah salah satu kerajaan bercorak Islam yang terletak di Sulawesi
Selatan. Berbeda dari kerajaan di Sulawesi Selatan lainnya, Wajo bukan kerajaan feodal
murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas. Kerajaan ini didirikan pada sekitar
abad ke-15 dan berubah menjadi kesultanan Islam setelah ditaklukkan Kesultanan Gowa-
Tallo pada abad ke-17. Memasuki abad ke-18, Kerajaan Wajo mencapai puncak kejayaan
ketika berhasil menggantikan kebesaran Kesultanan Bone.
Sejarah singkat Kerajaan
Wajo Sejarah berdirinya Kerajaan
Wajo dikatakan masih gelap
karena terdapat beberapa versi
cerita. Di antara cerita tersebut ada
yang menghubungkan
kemunculannya dengan pendirian
kampung Wajo oleh tiga anak raja
dari kampung tetangga, yaitu
Cinnotabi. Kepala keluarga dari
mereka kemudian menjadi raja di
seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Akan tetapi, Batara Wajo yang ketiga dipaksa untuk
turun takhta dan dibunuh karena kelakuan buruknya. Sejak saat itu, pengangkatan raja di
Wajo tidak lagi turun-temurun, tetapi melalui pemilihan oleh Dewan Perwakilan menjadi
Arung Matoa. Maksud dari Arung Matoa di Kerajaan Wajo adalah raja utama atau raja yang
dituakan.
Perkembangan Kerajaan Wajo Ketika Kerajaan Wajo dipimpin oleh La Tadampare?
Puang ri Maggalatung, Arung Matoa IV yang memerintah pada tahun 1491-1521, wilayah
kekuasaannya terus meluas hingga menjadi salah satu negeri Bugis yang besar. Memasuki
abad ke-16, posisi Wajo dapat dikatakan setara dengan Luwu, salah satu kekuatan utama di
Sulawesi Selatan. Pasalnya, Wajo berhasil mendapatkan sebagian wilayah Sindenreng dan
Cina. Namun, keadaan kembali berubah ketika Luwu ditaklukkan oleh Kerajaan Bone.
Terlebih lagi, Bone juga bersekutu dengan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar untuk
melawan Wajo.
Memasuki pertengahan abad ke-16, Bone dan Gowa-Tallo berubah menjadi lawan
karena perebutan hegemoni Sulawesi Selatan. Kala itu, Wajo yang telah jatuh ke tangan
Gowa-Tallo, akhirnya turut mendukung perang melawan Bone. Membentuk Persekutuan
Tellumpoccoe Kerajaan Gowa-Tallo ternyata gemar berlaku keras terhadap negeri Bugis
bawahannya. Akibatnya, Wajo dan Soppeng justru membentuk Persekutuan Tellumpoccoe
bersama Bone pada 1582 M. Persekutuan ini bertujuan untuk meraih kembali kedaulatan
tanah Bugis dan menghentikan laju Kerajaan Gowa-Tallo. Upaya ketiga negeri Bugis ini pun
berhasil mematahkan serangan Gowa-Tallo ke Wajo (1582), begitu pula dengan serangan Ke
Bone (1585 dan 1588), dan serangan 1590.
Masuknya Islam ke Kerajaan Wajo Terlepas dari beberapa serangannya yang
mengalami kegagalan, Kerajaan Gowa-Tallo tetap berkembang menjadi kekuatan utama di
Semenanjung Sulawesi Selatan yang menyokong perdagangan internasional dan
menyebarkan Islam. Pada akhirnya, Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menundukkan dan
mengislamkan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611). Akan tetapi, Kerajaan Gowa-
Tallo tidak membubarkan Persekutuan Tellumpoccoe dan membiarkan Wajo mengatur
urusan dalam negerinya. Selain itu, dari sumber hikayat lokal diketahui bahwa seorang ulama
terkenal dari Minangkabau bernama Dato ri Bandang memberikan pelajaran agama Islam
kepada raja-raja Wajo dan rakyatnya.
Masa kejayaan Kerajaan Wajo Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Wajo sempat
mengalami masa suram saat memilih mendukung Kerajaan Gowa-Tallo menghadapi armada
gabungan Bone, Soppeng, Buton, dan VOC. Ketika Kerajaan Gowa-Tallo menyerah, Wajo
menolak menandatangani Perjanjian Bongaya dan memilih untuk tetap melawan. Perjuangan
pun harus terhenti pada 1670, saat ibu kota Kerajaan Wajo yang berlokasi di Tosora jatuh ke
pihak VOC dan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka. Setelah itu, rakyat Wajo memilih
untuk bermigrasi karena tidak sudi dijajah. Pada 1726, muncul sosok bernama La
Maddukelleng, yang menjadi musuh bebuyutan Belanda. Melihat tekad dan usaha-usahanya
untuk membebaskan Wajo dan Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda, La Maddukelleng
kemudian diangkat menjadi Arung Matoa ke-31 pada 1736.
Di bawah kekuasaan La Maddukelleng, rakyat dapat memenangkan perang melawan
Bone dan Kerajaan Wajo dapat direbut kembali dari Belanda. La Maddukelleng pun sempat
memajukan kehidupan sosial dan politik Wajo di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 1754.
Memasuki abad ke-19, agama Islam semakin kuat mengakar di Wajo. Arung Matoa La
Mallalengeng (menjabat 1795–1817) memerintahkan agar para pemimpin di pelosok
memperbaiki masjid dan surau di daerah masing-masing, serta meramaikannya dengan
kajian-kajian Al-Qur'an dan pembacaan barzanji tiap malam Jumat. Di bawah pengaruh
ulama yang terinspirasi gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi, La Memmang (atau La
Manang) To Appamadeng (menjabat 1821–1825) memerangi adat-adat yang
dianggap takhayul, menghancurkan tempat-tempat yang disucikan oleh masyarakat pra-
Islam, dan berusaha untuk menerapkan syariat Islam dengan tegas (semisal menerapkan
hukum cambuk dan potong tangan, serta mewajibkan penggunaan hijab), walaupun usahanya
ini tidak bertahan lama karena penentangan dari rakyatnya.
Sejak awal 1830-an, takhta Sidenreng diperebutkan oleh La Pangnguriseng dan saudara
tirinya La Patongi. Sebagian besar bangsawan Wajo memihak La Patongi yang merupakan
cucu dari seorang Ranreng (penguasa wilayah) Talotenreng, tetapi sebagian kecil faksi
memihak La Pangnguriseng yang juga didukung oleh Bone, Soppeng, dan Belanda. Meski
pada awalnya La Patongi kalah dan tersingkir, ia tidak juga melepaskan klaimnya atas takhta
Sidenreng. Perselisihan ini menjadikan pemerintahan Wajo tidak stabil, dan selama bertahun-
tahun para anggota dewan tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru.
Pengangkatan La Paddengngeng (menjabat 1839–1845) sebagai arung matoa tidak banyak
mengubah keadaan; malah, ia memilih pergi ke luar Wajo akibat perselisihannya dengan
para Petta Ennengngé (enam anggota dewan tertinggi Wajo selain arung matoa) dan tidak
lagi terlibat dalam politik Wajo hingga akhir hayatnya.
Perang perebutan takhta Sidenreng berlanjut pada masa pemerintahan Arung Matoa La
Pawellangi Pajumpéroé. Ia kemudian digantikan oleh La Cincing Akil Ali, saudara kandung
La Pangnguriseng. Sebagaimana La Paddengngeng, La Cincing lebih banyak mengabaikan
tugasnya dan menetap di luar Wajo, sehingga perselisihan dalam pemerintahan Wajo semakin
meningkat, bahkan pecah menjadi perang saudara. Akibatnya, pemerintahan dan penegakan
hukum tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga aksi kejahatan merajalela di seluruh Wajo.
[99]
 Barulah pada masa pemerintahan La Koro (1885–1891), hukuman keras ditegakkan bagi
para pelaku kejahatan, sehingga orang-orang menjadi segan kepadanya. Ia juga melakukan
reformasi pada bidang militer dengan mengangkat jenderal, kolonel, serta mayor yang
memiliki pasukan tetap.
Pertikaian yang berlarut-larut selama abad ke-19 melemahkan Wajo dan negeri-negeri
Bugis lainnya, sehingga posisi Belanda di Sulawesi Selatan semakin kuat. [98] Sepanjang abad
ke-19 pula, Belanda beberapa kali memerangi Bone untuk membatasi kekuatan sekutu
lamanya tersebut. Puncaknya pada tahun 1860, Bone terpaksa menandatangani perjanjian
yang menurunkan statusnya dari sekutu menjadi negara vasal. Mendekati akhir abad ke-19,
Belanda mulai melakukan ekspansi untuk menundukkan secara penuh negeri-negeri
Nusantara yang masih belum berada di bawah naungan Hindia Belanda, termasuk di
antaranya negeri-negeri Sulawesi Selatan. Menyusul takluknya Gowa dan Bone pada tahun
1905, Wajo dan Soppeng pun menuruti keinginan Belanda dan menandatangani Korte
Verklaring, yaitu pernyataan pendek yang intinya mengakui bahwa mereka merupakan
negara bawahan yang setia kepada Belanda, berjanji untuk menyerahkan segala urusan luar
negeri mereka dan menuruti peraturan serta perintah yang diberikan oleh Kerajaan Belanda
dan pemerintahan kolonial.
KESULTANAN BUTON
Kesultanan Buton adalah
kerajaan Islam yang pernah berdiri di
Baubau, Sulawesi Tenggara, antara
abad ke-16 hingga abad ke-20.
Selama berkuasa, kesultanan ini
memiliki sistem pemerintahan dan
undang-undang yang berbeda dari
kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Selain itu, Kesultanan Buton juga
berhasil mempertahankan kedaulatannya meski berkali-kali terlibat perang dengan Belanda.
Sejarah berdirinya Kerajaan Buton pertama kali didirikan pada 1332 M. Namun, kala itu
belum mendapatkan pengaruh Islam.
Pada awal pemerintahannya, kerajaan ini diperintah oleh dua penguasa perempuan,
yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Setelah itu, secara berturut-turut kekuasaan
dilanjutkan oleh Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan Raja Murhum. Pada
periode kekuasaan Raja Murhum inilah, pengaruh Islam mulai masuk dan kerajaan resmi
berubah menjadi Kesultanan Buton. Setelah masuk Islam, gelar yang diberikan kepada Raja
Buton adalah Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Kendati demikian, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang asal-usul masuknya agama Islam di
Buton. Sebagian meyakini bahwa Buton berubah menjadi kerajaan Islam setelah
mendapatkan pengaruh dari Ternate. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa Islam
datang di Buton berkat pengaruh dari Johor.
Orang yang membawa agama dan ajaran Islam dari Johor ke Buton adalah Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani. Sesampainya di Buton, Syeikh Abdul Wahid
mengislamkan raja keenam yang bernama Timbang Timbangan atau Lakilapotan, yang lebih
dikenal sebagai Raja Halu Oleo. Setelah masuk Islam, Raja Halu Oleo bergelar Ulil Amri dan
menggunakan gelar khusus, yaitu Sultan Qaimuddin. Terlepas dari perbedaan pendapat
tersebut, para sejarawan sepakat bahwa Kerajaan Buton resmi menjadi kerajaan Islam pada
abad ke-16.
Sistem pemerintahan Kesultanan Buton Berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara
yang menerapkan monarki absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah monarki
konstitusional. Sehingga, pada periode kerajaan berubah menjadi kesultanan, demokrasi
memegang peranan penting. Sultan bukan diwariskan berdasarkan keturunan saja, tetapi
dipilih oleh Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang penguasa dan penjaga
adat Buton. Selain itu, kesultanan ini memiliki undang-undang sendiri, lengkap dengan
badan-badan yang bertindak sebagai legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Bandan-bandan yang
dimaksud adalah Sara Pangka (eksekutif), Sara Gau (legislatif), dan Sara Bitara (Yudikatif).
Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang diresmikan oleh
Sultan La Elangi (1597-1631) dan digunakan hingga kesultanan dihapuskan. Uniknya, hukum
di Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang, tidak hanya rakyat jelata tetapi juga
pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun. Terbukti, selama empat abad berdiri, terdapat 12
sultan Buton yang dihukum karena melanggar undang-undang. Kesultanan Buton juga
memegang lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo
(diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).
Masa kejayaan Kesultanan Buton Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton pernah
menguasa Pulau Buton dan beberapa wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk
mendukung pemerintahannya, kesultanan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-
kerajaan di Sulawesi dan Pulau Jawa. Hubungan itu membuat perekonomian Kesultanan
Buton berkembang pesat, terutama dalam sektor perdagangan. Terlebih lagi, Buton termasuk
wilayah strategis, yang sering dilalui oleh kapal dagang dari mancanegara. Selain itu,
produksi rempah-rempahnya juga meningkat tajam.
Kesultanan Buton diketahui telah memiliki alat pertukaran atau mata uang yang disebut
kampua, yakni sehelai kain tenun berukuran 17,5 cm x 8 cm. Lihat Foto Uang Kampua milik
Kesultanan Buton.(Kemdikbud) Pada abad ke-17, pemerintahan Buton telah mengembangkan
sistem perpajakan yang sangat baik, di mana pajaknya agak ditagih oleh seorang Tunggu
Weti. Unggul melawan VOC Sejak awal abad ke-17, Kesultanan Buton telah menyepakati
perjanjian dengan VOC. Namun, dalam perkembangannya, VOC mulai menunjukkan niat
buruknya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Buton. Alhasil, hubungan
keduanya pun memburuk hingga berujung pada serangkaian peperangan yang menewaskan
banyak korban. Kendati demikian, Kesultanan Buton berhasil mempertahankan kerajaannya
dari gempuran VOC. Bahkan sampai akhir pun Belanda tidak dapat menguasai Buton.
Runtuhnya Kesultanan Buton Meski berhasil memerangi Belanda, masa kemunduran
Kesultanan Buton ternyata justru datang karena konflik internal kerajaan. Kekuatan
kesultanan pun semakin melemah hingga Indonesia merdeka. Pada akhirnya, Kesultanan
Buton hanya dapat bertahan hingga 1960, ketika sultan terakhirnya meninggal. Setelah itu,
Kesultanan Buton bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peninggalan Kesultanan Buton
- Benteng Keraton Buton
- Istana Malige Kasulana Tombi
- Masjid Agung Keraton Buton (Masjid Ogena)
- Kampua
Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang
berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah
Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan
ketika diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645 M). Di bawah kekuasaannya, Mataram
mampu menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Selain itu, kerajaan yang
terletak di Kotagede, Yogyakarta, ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah
didirikannya loji-loji dagang di pantai utara.
Masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam berakhir pada 1755 M, setelah ditandatangi
Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama VOC. Dalam kesepakatan tersebut, Kesultanan
Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari
Kasunanan Surakarta.
Berdirinya Kerajaan Mataram Islam Sejarah Kerajaan Mataram Islam dimulai ketika
Ki Ageng Pemanahan membantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, mengalahkan Arya
Penangsang dari Jipang. Atas jasanya, Ki Ageng Pemanahan dianugerahi wilayah tanah di
hutan Mentaok (sekarang Kotagede, Yogyakarta).
Ki Ageng Pemanahan membangun tanah tersebut menjadi desa yang makmur dan
setelah ia meninggal, perannya diteruskan oleh putranya, Danang Sutawijaya (Raden Ngabehi
Loring Pasar). Setelah itu, Sutawijaya mulai memberontak pada Pajang yang masih dipimpin
oleh Sultan Hadiwijaya. Pertempuran antara Pajang dan Mataram berhasil dimenangkan oleh
Sutawijaya. Setelah Sultan Hadiwijaya sakit dan akhirnya wafat, Sutawijaya mendirikan
Kesultanan Mataram.
Kehidupan politik Kerajaan Mataram Islam Sebagai pendiri dan raja pertama
Kerajaan Mataram Islam, Sutawijaya menghadapi banyak rintangan, terutama dari bupati di
pantai utara Jawa yang dulunya tunduk kepada Pajang. Mereka terus melakukan
pemberontakan karena ingin melepaskan diri dari Pajang dan menjadi kerajaan yang
merdeka. Kendati demikian, Sutawijaya tetap berhasil melakukan perluasan wilayah hingga
berhasil menduduki seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesultanan Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M). Di bawah
kekuasaannya, Mataram sempat beberapa kali melakukan penyerangan ke Batavia untuk
memerangi VOC. Selain itu, wilayah kekuasaan Mataram hampir meliputi seluruh Pulau
Jawa. Kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Islam Letak Kerajaan Mataram Islam berpusat
di Kota Gede, Yogyakarta. Karena posisinya berada di pedalaman, kerajaan ini
menggantungkan perekonomiannya pada hasil pertanian. Sedangkan daerah pesisir pantai di
wilayah yang dikuasai tidak dimanfaatkan. Dengan mengandalkan pertanian, Mataram
melakukan penaklukan ke beberapa kerajaan di Jawa Timur dan Jawa Barat. Penarikan upeti
dari wilayah-wilayah kekuasaan penghasil beras membuat perekonomiannya berkembang
dengan cepat.
Keruntuhan Kerajaan Mataram Islam Keruntuhan Mataram dimulai setelah Sultan
Agung wafat dan takhta kerajaan jatuh ke tangan Amangkurat I. Amangkurat I memiliki sifat
yang bertolak belakang dengan sang ayah, bahkan disebut sebagai raja yang bengis. Setelah
tragedi demi tragedi terjadi, rakyat mulai takut dan terbentuk sikap antipati. Akibatnya,
rakyat bersatu menyerang kerajaan di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo dari Madura.
Dalam serangan itu, Amangkurat I wafat dan putra mahkota meminta dukungan VOC
untuk membubarkan pasukan Trunojoyo. Dengan bantuan VOC, putra mahkota pun berhasil
menyingkirkan Trunojoyo. Putra mahkota kemudian naik takhta dengan gelar Amangkurat II
dan memindahkan ibu kota Mataram ke Kartasura.
Pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, Kesultanan Mataram terus mengalami
pergolakan besar. Pergolakan di kerajaan kemudian resmi diakhiri melalui Perjanjian Giyanti
yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Dalam kesepakatan tersebut, Kesultanan
Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari
Kasunanan Surakarta. Kasultanan Ngayogyakarta diserahkan kepada Hamengku Buwono I,
sementara Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono III. Baca juga: Perkembangan
Kerajaan Pajang dan Mataram Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Kerajaan Mataram
Islam banyak menyisakan peninggalan baik di Surakarta ataupun Yogyakarta. Berikut ini
beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Surakarta. Benteng Vastenburg
Pasar Gedhe Hardjonagoro Rumah Sakit Kadipolo Masjid Agung Kraton Surakarta Taman
Sriwedari
Berikut ini beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta.
Masjid Agung Gedhe Kauman Masjid Kotagede Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Pasar Kotagede Kompleks Makam Kerajaan Imogiri  
Referensi: Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Relasi Inti Media.
Kesultanan Demak
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama dan
terbesar di pantai utara Jawa (“Pesisir”).  Demak pada mulanya adalah salah satu Kadipaten
yang dikuasai oleh Majapahit, namun Demak hadir sebagai kekuatan baru pada waktu itu,
menggantikan kejayaan Majapahit yang mulai mengalami masa kemunduran.
Kerajaan ini diakui
sebagai pelopor penting
penyebaran agama Islam di
pulau Jawa dan Indonesia pada
umumnya, Meskipun tidak
berumur panjang dan segera
mengalami kemunduran
karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat
kerajaan. Pada tahun 1560,
kekuasaan Demak beralih ke
Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir/Hadiwijaya. Salah satu peninggalan
bersejarah Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Wali
Songo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung
Bintara (dibaca “Bintoro” dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi bagian kota Demak di
Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal
sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 (Sunan Prawoto), keraton dipindahkan ke
Prawata (dibaca “Prawoto”) dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.
Sepeninggal Sunan Prawoto, Arya Penangsang memerintah kesultanan yang sudah lemah ini
dari Jipang-Panolan (sekarang dekat Cepu). Kotaraja Demak dipindahkan ke Jipang dan
untuk priode ini dikenal dengan sebutan Demak Jipang.
Hadiwijaya dari Pajang mewarisi wilayah Demak yang tersisa setelah ia, bersama-
sama dengan Ki Gede Pamanahan dan Ki Penjawi, menaklukkan Arya Penangsang. Demak
kemudian menjadi vazal dari Pajang.

Masa awal Demak


Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis
beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang
tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta
Majapahit.
Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai
kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti
langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra
Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang Tionghoa
Muslim bernama Cek Ko-po.] Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tomé
Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki “Pate Rodim”, mungkin dimaksudkan “Badruddin”
atau “Kamaruddin” dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang
bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai
1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari
Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak
berhasil menundukan Majapahit.

Pelabuhan Demak
Kerajaan Demak Bintoro memiliki dua pelabuhan, yaitu:
 Pelabuhan niag
 di sekitar Bonang (Demak)
 Pelabuhan militer  di sekitar Teluk Wetan (Jepara)

 Kehidupan Ekonomi
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau
Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam
memperluas kekuasaannya dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman
di nusantara.
Perekonomian Demak berkembang ke arah perdagangan maritim dan agraria.
Ambisi Kerajaan Demak menjadi negara maritim diwujudkan dengan upayanya merebut
Malaka dari tangan Portugis, namun upaya ini ternyata tidak berhasil. Perdagangan antara
Demak dengan pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara cukup ramai, Demak berfungsi
sebagai pelabuhan transito (penghubung) daerah penghasil rempah-rempah dan mempunyai
sumber penghasilan pertanian yang cukup besar.
Selain itu Demak berperan penting sebab mempunyai daerah pertanian yang cukup
luas dan sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, perdagangannya juga
maju. Komoditas yang diekspor, antara lain beras, madu, dan lilin. Barang itu diekspor ke
Malaka melalui Pelabuhan Jepara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakat
berkembang lebih baik.
Sebagai negara maritim, Demak menjalankan fungsinya sebagai penghubung atau
transito antara daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan Malaka, dan dari
Malaka lalu dibawa para pedagang menuju kawasan Barat. Berkembangnya perekonomian
Demak di samping faktor dunia kemaritiman, juga faktor perdagangan hasil-hasil pertanian.
Posisi kerajaan Demak sangat strategis dalam perdagangan laut, pelabuhannya
sering digunakan transit kapal-kapal dagang dari wilayah Barat yang hendak ke Selat Malaka,
begitu pun sebaliknya. Keinginan untuk menjadi kerajaan maritime dilakukan dengan usaha
menaklukan Malaka dari Portugis.
Usaha ini gagal, meskipun demikian tidak meruntuhkan perekonomian Demak sebab
didukung oleh hasil pertanian dan mendapat keuntungan ekonomi yang besar. Kesadaran
pentingnya memanfaatkan ekonomi pertanian, Demak melaksanakan perluasan wilayah ke
daerah-daerah di sekitarnya termasuk ke Jawa Barat.

Kehidupan Agama-Sosial-budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak sudah berjalan teratur. Pemerintahan
diatur dengan hukum Islam. Akan tetapi, norma-norma atau tradisi-tradisi lama tidak
ditinggalkan begitu saja. Keadaan sosial di Demak tidak jauh berbeda dengan masa
berkuasanya Majapahit. Perbedaan yang mencolok terdapat pada penggunaan aturan-aturan
dan hukum yang cocok dengan ajaran Islam, sehingga berasa lebih tertib dan teratur. Demak
adalah pusat penyebaran agama Islam di Nusantara. Lahirnya wali-wali di Demak membuat
lebih cepat proses penyebaran agama Islam bahkan sampai ke pelosok.  Mendirikan
pesantren adalah cara penyebaran agama Islam yang efektif. Hitu yang berasal dari Ternate,
pernah belajar di pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri. Setelah selesai belajar, dia
menyebarkan agama Islam di Ternate.
Hasil kebudayaan Kerajaan Demak adalah kebudayaan yang berkaitan dengan Islam.
Hasil kebudayaannya yang cukup terkenal dan sampai sekarang masih tetap berdiri adalah
Masjid Agung Demak. Masjid itu adalah lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam.
Masjid Agung Demak selain kaya dengan ukir-ukiran bercirikan Islam juga mempunyai
keistimewaan, yaitu salah satu tiangnya dibuat dari kumpulan sisa-sisa kayu bekas
pembangunan masjid itu sendiri yang disatukan (tatal).
Selain Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga salah seorang dari Wali Sanga juga
meletakkan dasar-dasar perayaan Sekaten pada masa Kerajaan Demak. Perayaan itu
digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menarik minat masyarakat agar masuk Islam. Sekaten
ini lalu menjadi tradisi atau kebudayaan yang terus dipelihara sampai sekarang.

Adipati Unus: Penyerangan ke Malaka


Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi
besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa
kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka.
Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di
Malaka.

Sultan Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di
bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527),
Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan
Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana
meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan
kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu
adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana.
Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana untuk
menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan
Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid
Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.

Kemunduran
Suksesi Raja Demak 3 tidak berlangsung mulus, terjadi Persaingan panas antara P.
Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P.
Surowiyoto oleh Sunan Prawoto (anak Trenggono), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat
Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis sholat Jum’at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar)
dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya Sekar gugur di Sungai. Pada tahun
1546 Trenggono wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak
Trenggono, sebagai Raja Demak ke 4, akan tetapi pada tahun 1549 Sunan Prawoto dan
isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya Penangsang, putera Pangeran Surowiyoto (Sekar). P.
Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak sebagai Raja Demak ke 5.
Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, Adipati Jepara, hal ini
menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi P. Arya Penangsang, salah satunya
adalah Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo).
Pada tahun 1554 terjadilah Pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Joko
Tingkir (Hadiwijoyo) untuk merebut kekuasaan dari Arya Penangsang. Dalam Peristiwa ini
Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Dengan terbunuhnya
Arya Penangsang sebagai Raja Demak ke 5, maka berakhirlah era Kerajaan Demak. Joko
Tingkir (Hadiwijoyo) memindahkan Pusat Pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan
Pajang.
KERAJAAN PAJANG

Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajang


Pendiri Kerajaan Pajang adalah
Sultan Hadiwijaya atau dikenal juga
sebagai Jaka Tingkir dan berdiri 1568
sampai runtuh pada 1587. Kerajaan
berdiri 1568 sampai runtuh pada  1587.
Pada awalnya, Pajang adalah wilayah dari
Kerajaan Demak dan dipimpin oleh
Adipati Jaka Tingkir. 
Keturunan raja pajang berasal dari
keturunan Pengging, sebuah kerajaan
yang dipimpin Andayaningrat.
Andayaningrat masih memiliki kekerabatan dengan keluarga kerajaan Majapahit. Pengging
masih berdaulat sampai Ki Ageng Pengging dibunuh oleh Sunan Kudus. Anak yang
ditinggalkan oleh Ki Ageng Pengging kemudian diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir.
Anak tersebut bernama Mas Karebet atau Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir memutuskan untuk mengabdikan dirinya kepada Kesultanan Demak.
Setelah itu, Kesultanan Demak mengutus Jaka Tingkir untuk mendirikan kerajaan di wilayah
Pajang dan menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan Hadiwijaya. 
Kekuatan dari Kesultanan Demak mulai mengalami kemunduran dan terjadi
penyerangan yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya
menjadi sosok yang menyelamatkan kesultanan Demak. Ia kemudian menjadi pewaris takhta
Kesultanan Demak dan memindahkan pusat pemerintahan ke Kerajaan Pajang.

Letak Kerajaan Pajang


Sumber sejarah menyatakan bahwa letak Kerajaan Pajang berada di Pajang, Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan diapit oleh Sungai Dangke dan Sungai Pepe serta terletak di
dataran rendah. Wilayah kekuasaan kerajaan mencakup daerah Boyolali, Klaten, Madiun,
Salatiga, Kedu, Pati, Demak, Jepara, Kediri, Bojonegoro, dan kota kota besar di Jawa Timur.

Masa Kejayaan Kerajaan Pajang


Masa kejayaan terjadi pada masa pemerintahan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.
Sultan memperluas kekuasaan ke beberapa daerah sekitar kerajaan seperti Demak dan Jipang.
Pada bagian pesisir utara, Jepara, Pati dan Banyumas juga menjadi wilayah Pajang.
Penyebaran kesenian dan kebudayaan mulai menyentuh masyarakat di daerah pedalaman.
Penyebaran agama dan budaya Islam juga mengalami perkembangan pesat dan sudah
menyentuh masyarakat di pedalaman. Banyak raja dari kerajaan di sekitar Pajang tunduk
pada Sultan Hadiwijaya. Kemudian, Sultan mulai memperluas kekuasaan ke daerah Jawa
Timur pada tahun 1581.
Para raja di daerah Jawa Timur membangun hubungan yang baik dengan Sultan
Hadiwijaya. Bahkan Panembahan Lemah Duwur dijadikan menantu Raja Pajang karena
kepercayaan antar kerajaan yang kuat. Relasi ini menciptakan hubungan yang baik antara
para raja di Jawa Timur dan Kerajaan Pajang,

Runtuhnya Kerajaan Pajang


Kemunduran dari kerajaan bermula ketika Sultan Hadiwijaya meninggal pada tahun
1587. Kerajaan Pajang mulai diserang oleh kerajaan bawahannya yaitu Mataram. Raja Pajang
hanya menjadi bawahan dari Kerajaan Mataram.
Kedudukan Sultan Hadiwijaya sebagai raja digantikan oleh lima raja. Pengganti pertama
adalah Raja di Tuban, Raja d Arisbaya, Raja di Demak, kecuali putranya sendiri Pangeran
Benawa, karena masih sangat muda. Sunan Kudus kemudian mengangkat Arya Pangiri untuk
menjadi Raja Pajang.
Hal ini bertujuan untuk mengembalikan kekuatan kesultanan Islam di pulau Jawa pada
keturunan Kerajaan Demak. Kekuasaan Arya Pangiri tidak berlangsung lama. Ia dapat
disingkirkan oleh Pangeran Benawa dengan dukungan dari Senapati Mataram. 
Oleh karena Pangeran Benawa sudah menganggap Senapati Mataram sebagai kakaknya
sendiri, hak waris kemudian diserahkan pada Senapati Mataram. Pangeran Benawa hanya
meminta untuk diperbolehkan tinggal di Mataram dan memiliki emas intan Pajang. Setahun
setelah Pangeran Benawa memimpin, Ia kemudian meninggalkan kerajaan untuk
membaktikan diri kepada Islam. 
Status raja kemudian diserahkan kepada Gagak Bening. Gagak Baning melakukan
perluasan istana dan merombaknya. Ia meninggal pada tahun 1591 dan digantikan putra
Pangeran Benawa dengan gelar Pangeran Benawa II. Pangeran Benawa II masih sangat muda
ketika menjadi raja, tidak ada masalah yang signifikan saat Ia memimpin.
Pemberontakan kemudian terjadi pada tahun 1617-1618 sehingga menghancurkan Pajang.
Pemberontakan terjadi karena Pajang ditekan dalam segi ekonomi dari Mataram. Sebagai
hukuman, pasukan Matarama membakar habis sawah yang ada di Pajang dan sudah berwarna
kuning Para petani yang terlibat pemberontakan juga ditangkap oleh pasukan Mataram.
Keberadaan Pajang benar benar sudah menghilang setelah terjadinya pemberontakan tersebut.

Raja Kerajaan Pajang


Berikut adalah daftar dari Raja Kerajaan Pajang :
1. Sultan Hadiwijaya (1563-1583)
Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir memerintah pada tahun 1568
sampai 1583. Ia lahir di Pengging, lereng Gunung Merapi dan merupakan cucu
Sunan Kalijaga. Ia memiliki nama kecil Mas Karebet karena kelahirannya tepat
terjadi saat ada pertunjukkan wayang beber.
Jaka tingkir menikah dengan Putri Sultan Trenggana. Ia diangkat menjadi
menantu karena berjasa dalam menggulingkan Arya Penangsang dan diangkat menjadi
Raja Demak. Kekuasaan Demak kemudian dipindahkan ke Pajang. Di Pajang, Sultan
Hadiwijaya sukses membangun kerajaan, menyebarkan ajaran Islam, serta memperluas
wilayah kekuasaan.
2. Arya Pangiri (1583-1586)
Arya Pangiri adalah raja Pajang yang menggantikan Sultan Hadiwijaya. Arya
Pangiri hanya memimpin selama 1583 sampai 1586. Pada masa pemerintahannya, Pajang
mengalami kemunduran. Oleh karena Ia adalah raja yang kurang bijaksana, Arya Pangiri
digulingkan oleh Pangeran Benawa dengan bantuan Sutawijaya dari Mataram pada
tahun 1588, kekuasaan kemudian berada di tangan Pangeran Benawa.
3. Pangeran Benawa (1586 – 1587)
Pangeran Benawa memerintah dari tahun 1586 sampai 1587. Ia berhasil menjadi
raja Pajang karena menggulingkan Arya Pangiri. Ia menjalin kerjasama yang baik
dengan kerajaan Mataram. Pangeran Benawa kemudian menyerahkan kekuasaan Pajang
kepada Sutawijaya, Senapati Mataram. 
4. Gagak Baning (1587-1591)
Setelah kematian Pangeran Benawa. Pajang menjadi kekuasaan Kerajaan
Mataram. Gagak Bening menjadi raja Pajang dalam kekuasaan Kerajaan Mataram.
Gagak Bening sendiri adalah seorang pangeran dari Kerajaan Mataram. Ia melakukan
perluasan serta perombakan istana Pajang. Masa pemerintahannya berlangsung dari
tahun 1587 sampai 1591.
5. Pangeran Benawa II (1591-1618)
Pangeran Benawa II adalah raja Pajang yang menggantikan Gagak Bening. Ia
adalah cucu Jaka Tingkir dan anak dari Pangeran Benawa. Pada saat memerintah, Ia
masih berada di usia yang sangat muda. Masa pemerintahan Pangeran Benawa
berlangsung tanpa masalah. Sampai kemudian Pangeran Benawa II mengerahkan
pasukan Pajang untuk menyerang Mataram. Serangan ini menjadi akhir dari Pajang
karena kekalahan yang dialami.

Peninggalan Kerajaan Pajang


Pajang memiliki berbagai peninggalan sebagai berikut :
1. Masjid Laweyan Solo
Masjid Laweyan Solo berdiri pada tahun 1546 dan dibangun oleh Jaka Tingkir.
Masjid terletak di Dusun Belukan, RT. 04 RW. 04, Kecamatan Pajang, Surakarta. Di
sekitar masjid, terdapat banyak makam kerabat raja Pajang dan makam Ki Ageng Henis.
Masjid ini memiliki arsitektur bergaya Eropa, Cina, Jawa, dan Islam. Terdapat tiga
bagian seperti ruang induk, serambi kanan, dan juga serambi kiri.
2. Kampung Batik Laweyan
Kampung Batik Laweyan terkenal sebagai kampung wisata batik. Kampung ini
terletak di Kelurahan Laweyan, Surakarta. Kampung sudah berdiri sejak adanya Kerajaan
Pajang pada tahun 1546. Area kampung memiliki luas sekitar 24 hektar dan terbagi
dalam 3 blok.
3. Makam Bangsawan Pajang
Pada kompleks makam bangsawan Pajang ini, terdapat 20 makam dari para
Kerabat Kerajaan dan juga ada makam dari Ki Ageng Henis. Makam ini sering
dikunjungi oleh wisatawan setelah dari Masjid Laweyan. Ki Ageng Henis adalah sosok
yang menjadi penasihat kerajaan mendampingi Sultan Hadiwijaya.
4. Pasar Laweyan
Pasar Laweyan juga salah satu peninggalan Kerajaan Pajang. Nama Laweyan
berasal dari kata Ngaliyan. Laweyan adalah tempat untuk warga Desa Nusupan
menghindari bencana banjir dari Sungai Bengawan Solo.
5. Bandar Kabanaran
Bandar Kabanaran adalah pelabuhan yang dibangun untuk menghubungkan
Pajang, Kampung Laweyan, dan Bandar besar Nusupan. Ide pembangunan pelabuhan ini
berasal dari Kyai Ageng yang mengemban tugas untuk menyebarkan Islam. Kyai Ageng
Henis mengajari warga Laweyan untuk membuat batik. Untuk mendukung perekonomian
masyarakat, banyak pelabuhan yang dibangun di bagian selatan Kampung Laweyan.

Anda mungkin juga menyukai