a. Samudera Pasai
Letak Geografis : Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275,
atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe,
Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696
H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan
Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudera bernama Marah Silu. Setelah
menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan
para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai:
Raja-Raja :
1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Sistem Ekonomi : Kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Samudera Pasai ini bersumber dari
perdagangan dan pelayaran. Hal tersebut disebabkan karena Kerajaan Samudera Pasai berada di dekat
Selat Malaka yang menjadi jalur utama pelayaran dunia saat ini. Samudera Pasai memanfaatkan Selat
Malaka untuk menghubungkan berbagai pedagang yang berasal dari Arab, India dan China.
Selain itu Samudera Pasai juga menyiapkan beberapa bandar-bandar dagang yang digunakan untuk
menambah perbekalan dalam berlayar selanjutnya, mengumpulkan berang dagangan untuk dijual ke luar
negeri, mengurus masalah perkapalan dan menyimpan barang-barang perdagangan sebelum diantar ke
beberapa tempat di wilayah nusantara.
Sistem Politik : Tercatat dalam sejarah bahwa Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat
perdagangan dan pusat studi silam di daerah Selat Malaka. Banyak sekali pedagang dari luar daerah yang
datang ke Samudera Pasai, diantaranya ada yang datang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, China serta
daerah lainnya.
Setelah semakin kuat dengan pertahanannya, Samudera Pasai kemudian meluaskan wilayah
kekuasaannya ke daerah pedalaman, seperti: Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag,
Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, dan Pasai. Dengan
perluasan wilayah tersebut bertujuan Islamisasi di daerah pedalaman.
Masa Kejayaan : Tepatnya pada tahun 1383 sampai tahun 1405 Kerajaan Samudera Pasai mulai
bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain Al-Abidin Az-Zahir. Selain itu menurut catatan dari negeri China
dalam bentuk kronik China Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir dikenal dengan nama cina Tsai-nu-li-
a-pi-ting-ki. Kemudian masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir berakhir dan saat itu
kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Janda Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yaitu
Sultanah Nahrasiyah, ia juga bisa disebut dengan raja perempuan pertama di Kerajaan Samudera Pasai.
Dibawah kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah, Kerajaan Samudera Pasai berada dimasa kejayaannya.
Pada saat itu ia pernah didatangi seorang Laksamana Laut Cheng Ho. Armada Cheng Ho berkunjung
berkali-kali ke Kerajaan Samudera Pasai antaranya tahun 1405, 1408 dan 1412.
Masa Kemunduran : Kerajaan Samudera Pasai ini menjadi runtuh karena disebabkan oleh
beberapa faktor Internal dan Eksternal. Runtuhnya kerajaan tersebut berawal dengan adanya peperangan
antar saudara di kerajaan tersebut. Dalam peperangan tersebut terjadi sebuah perebutan kekuasaan dan
jabatan dalam kerajaan, hingga akhirnya peperangan tersebut tidak bisa dihindari.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1521 Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh bangsa
Portugis. Dan saat itu menjadi sebab runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai dari faktor eksternal. Akan
tetapi bibit-bibit kejayaan kerajaan tersebut masih ada tahun 1524 Kerajaan Samudera Pasai kerena
menjadi bagian dari Kesultanan Aceh.
Peninggalan :
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 yang sebelumnya
telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas
wilayahKerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya
mencakup Daya, Pedir,Lidie,Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian
dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh
ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan
kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Raja-raja dan kehidupan politik :
1. Sultan Ali Mughayat Syah
Adalah raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M. Dibawah
kekuasaannya, kerajaan aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di daerah Daya dan
Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap bangsa portugis di malaka dan juga menyerang Kerajaan
Aru.
2. Sultan Salahuddin
Wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada purtanya yang bergelar Sultan
Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M. Selama menduduki tahta kerajaan ia tidak
memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan
yang tajam. Oleh karena itu Sultan Salahuddin digantikan saudaranya yang bernama Alauddin Riayat
Syah Al-kahar.
Sistem Ekonomi : Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat.
Bidang perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat
menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan
kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber
pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian utama penduduk
Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang,
rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang
mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.Namun di antara
semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9
juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang
Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab.
Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.
Masa Kejayaan : Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu
dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa
diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas
dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh
beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang.
Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari
Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas
orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal
Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka
dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh
menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid.
Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II,
Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi
kekuasaan Aceh.
Masa keruntuhan : Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan
penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta
kesultanan.
Peninggalan :
1. Masjid Baiturrahman 2. Banteng Indrapatra
3.Gunongan 4. Meriam
c. Kerajaan Siak
Letak geografis : Kerajaan Siak merupakan kerajaan
melayu Islam yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam
pada abad ke 15.
Raja-raja :
1. Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah). Saat itu
Kerajaan Siak masih berada di bawah kekuasaan
Malaka.Raja Abdullah adalah raja yang ditunjuk oleh
Sultan Johor untuk memimpin dan memerintah Kerajaan Siak.
2. Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya, Belanda berhasil menguasai
Malaka.Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang
dihasilkan Siak harus dijual ke VOC.
3. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Beliau akran juga disebut Raja Kecik.Raja Kecik adalah
anak dari Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Pong. Beliaulah yang
mendirikan Kerajaan Siak yang berdaulat, bukan di bawah kekuasaan Malaka lagi. Ia meluaskan daerah
kekuasaannya sambil terus memerangi VOC.
4. Sultan Said Ali (1784-1811). Pada masa pemerintahannya, Ia berhasil mempersatukan kembali wilayah-
wilayah yang memisahkan diri. Pada tahun 1811, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya,
Tengku Ibrahim.
5. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya, Siak
mengalami kemunduran dan semakin banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia- Belanda.
6. Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908). Pada masa pemerintahannya,
dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah
Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak
mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang
masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia, yaitu Sultan Syarif Kasim II.
7. Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1945). Bersamaan dengan diproklamirkannya
Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan
menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
Sistem Politik : Sebagai bagian dari rantau Minangkabau, sistem pemerintahan Kesultanan Siak
mengikuti model Kerajaan Pagaruyung. Setelah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan
kedudukan Basa Ampek Balai di Pagaruyung. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan
mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan.[49] Dewan Menteri
bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.[14][50] Dewan
menteri ini terdiri dari:
Masa Kejayaan : Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul
Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan
Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada tahun 1728, atas perintah
Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari
Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya. Atas
keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.
Masa Keruntuhan : Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak
mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan
Asahan, Kesultanan Langkat, dan kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri.Begitu juga
di Johor, di mana seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor kembali didudukkan, dan berada
dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan
Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu
Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw yang
merupakan bagian dari pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Peninggalan :
Mahkota kerajaan siak Istana Siak
1690 - Pangeran Ratu Raden Kholid( Chulit ) / Sultan Abdul Rahman I bin SULTAN
1721 ABDUL MUHYI [ Sultan Sri Maharaja Batu ] Hulu Jambi
1770-
Sultan Ahmad Zainuddin / Sultan Anom Sri Ingalaga
1790
1790 –
Mas’ud Badruddin bin Ahmad / Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812
1812 –
Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833
1833 –
Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841
1841 –
Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855
1855 –
Thaha Safiuddin bin Muhammad (pertama kali)
1858
1858 –
Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881
1881 –
Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885
1885 –
Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1899
1900 –
Thaha Safiuddin bin Muhammad (kedua kali)
1904
Sistem pemerintahan : Kesultanan Jambi dipimpin oleh Raja yang bergelar SULTAN. Pada
tahun 1877-1879 kediaman Sultan Jambi berada di Dusun Tengah (sekarang bernama desa Rambutan
Masam, Kecamatana Muara Tembesi), Kabupaten Batanghari. Raja ini dipilih dari perwakilan empat
bangsawan (Suku) yaitu : Suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja
keempat suku tersebut juga memilih Pangeran Ratu, yang mengendalikan jalannya roda pemerintahan
sehari-hari. Dalam menjalankan pemerintahan Pangeran Ratu dibantu oleh para menteri dan dewan
penasehat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan
mewakili negara bagi dunia luar.
Sistem ekonomi : Sejarah perkembangan jambi dipengaruhi oleh letak geografis yang berada
diwilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatera. Sungai ini merupakan penggabungan
dari anak-anak sungai seperti sungai Tembesi, sungai Tabir dan batangMerangin.Sementara Sungai
Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu
merupakan salah satu tulang punggung transportasi Andalan terutama dijambi kawasan timur . Pada 1616
Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh, dan pada 1670 kerajaan ini
sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.
Masa kejayaan: Setelah sekian lama dibubarkan dan tidak memiliki raja muncul dorongan dari
tokoh masyarakat dan pemerintah Provinsi jambi untuk menghidupkan kembali sejarah yang sudah lama
terkubur sehingga perlu penetapan kembali Sultan jambi Setelah dilakukan penelitian sejarah diperkuat
dengan dokumen ‘Surat Wasiat’ milik ayah kandung Raden Iskandar HK gelar Pangeran Prabu yaitu
Raden Hasan Basri Bin Raden Inu Kertopati Bin Sultan Thaha Syaifuddin pada 1989.
Masa kemunduran : Kejayaan Jambi tidak berumur panjang karena pada Tahun 1680-an Jambi
kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah terjadi peperangan dengan Johor dan
konflik yang terjadi di dalam internal kerajaan dan dimanfaatkan oleh para penjajah Sehingga pada Tahun
1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah kepada
Belanda.dan Jambi bergabung dengan keresidenan Palembang. Pada tahun 1904 Penjajah Belanda yang
dipimpin oleh Leutenant G. Badings melakukan Penyerangan ke tempat terakhir pelarian Sultan Thaha
Syaifuddin di Tanah Garo dalam pertempuran yang terjadi di Desa Betung Bedarah, Kecamatan Muara
Tabir, Kabupaten Tebo , Sultan Thaha Syaifuddin tertembak dan wafat dalam pertempuran ituSehingga
Pada Tahun 1906 kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Peninggalan :
1. Makam Rajo-Rajo
2. Candi Muaro Jambi
3. Kota Tua Batang Hari
4. Menara Air
5. Kelenteng Hok Tek
6. Rumah Batu Pangeran Wirokusumo
7. Masjid Al-Falah
8. Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin
Letak geografis :
suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di
sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang.
Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan
Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang
keturunan Jawa pada tahun 1659,[1] dan dihapuskan
keberadaannya oleh pemerintah
kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Raja-Raja :
Sri Susuhunan Abdurrahman (1659-1706)
Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1718)
Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718-1724)
Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724-1757)
Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo (1757-1776)
Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803)
Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1812, 1813, 1818-1821)
Sultan Ahmad Najamuddin II (1812-1813, 1813-1818)
Sultan Ahmad Najamuddin III (1821-1823)
Sultan Mahmud Badaruddin III, Prabu Diradja Al-Hajj (2003-kini)
Kehidupan ekonomi : Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan
hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa
atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak
abad ke-18.
Kehidupan politik : Politik dalam negri yang dijalankan dikesultanan selama berdirinya kurang
lebih 50 tahun membuktikan telah berhasil menciptakan organisasi pemerintahan yang cukup stabil,
dimana ketentraman dan keamanan bagi penduduk dan perdaganagan yang cukup memadai terpelihara
dengan baik.
Hubungan dengan Negara-negara tetangga umumnya terpelihara dengan baik. Hanya ada satu
kali perang dengan Banten sewaktu prakesultanan dalam tahun 1596, yang berlatar belakang pertikaian
ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di Selat Malaka.
Yang mendapat tantangan berat adalah politik dari kesultanan Palembang Darussalam dalam
menghadapi pihak imoperialisme dan kolonialis dari Eropa (Belanda dan Inggris) yang dengan kelebihan
teknologinya terutama dalam alat perangnya dan kelicikan dalm politiknya, banyak mendatangkan
kerugian kepada kesultanan hingga mengakibatkan berakhirnya eksistensi kesultanan itu sendiri.
Peninggalan :
Masjid Lawang Kidul
Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian,
samasama saling menghargai antara kaum adat dan kaum agama, antara hukum adat dan syariah Islam
sebagaimana tercetus dalam pepatah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”.
Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh
Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan golongan
agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagarruyung.
Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya
kekuasaan ada di tangan para panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi kebiasaan buruk seperti main
judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-minuman keras.
Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di antaranya turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum
ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan
kehidupan masyarakat Minangkabau kepada kemurnian Islam.
Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan
kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji
Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar.
Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga
Haji Miskin dikejar-kejar dan ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku
Mensiangan.
Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui
pertemuan beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang disebut
“Padri” yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan.
Mereka itu terdiri dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer,
Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.
Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi
pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan ekonominya.
Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah
Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda.
Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama
dalam Perang Padri, memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya.
Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara
besar-besaran.
Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam
Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837.
Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik
dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat.
Raja-raja :
Kehidupan ekonomi : Kerajaan Demak telah menjadi salah satu pelabuhan terbesar yang ada di
Nusantara, Demak memegang peran yang sangat penting dalam aktivitas perekonomian
antarpulau.Demak memiliki peran yang penting karena memiliki daerah pertanian yang lumayan luas dan
menjadi penghasil bahan makanan seperti beras. Selain itu, perdagangannya juga semakin meningkat.
Barang yang banyak diekspor yaitu Lilin, Madu dan Beras.Barang-barang tersebut lalu diekspor ke
Malaka melalui Pelabuhan Jepara. Aktivitas perdagangan Maritim tersebut telah menyebabkan kerajaan
demak mendapat keuntungan sangat besar. Banyak kapal yang melewati kawasan laut jawa dalam
memasarkan barang dagangan tersebut.
Kehidupan social budaya : Dalam kehidupan sosial dan budaya, rakyat kerajaan Demak sudah hidup
dengan teratur. Roda kehidupan budaya dan sosial masyarakat Kerajaan Demak sudah diatur dengan
hukum Islam sebab pada dasarnya Demak ialah tempat berkumpulnya para Wali Sanga yang
menyebarkan islam di pulau Jawa.Adapun sisa peradaban dari kerajaan Demak yang berhubungan dengan
Islam dan sampai saat ini masih dapat kita lihat ialah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut merupakan
lambang kebesaran kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam Indonesia di masa lalu.Selain memiliki
banyak ukiran islam (kaligrafi), Masjid Agung Demak juga memiliki keistimewan, yaitu salah satu
tiangnya terbuat dari sisa sisa kayu bekas pembangunan masjid yang disatukan.Selain Masjid Agung
Demak, Sunan Kalijaga adalah yang mempelopori dasar-dasar perayaan Sekaten yang ada dimasa
Kerajaan Demak. Perayaan tersebut diadakan oleh Sunan Kalijaga dalam untuk menarik minat
masyarakat agar tertarik untuk memeluk Islam
Peninggalan :
1. Pintu bledek
3. Soko guru
b. Kerajaan mataram
Letak geografis : Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram
Islam) merupakan kerajaan Islam di tanah Jawa yang berdiri
pada abad ke-17.
Kehidupan politik : Persekutuan dengan VOC pada akhirnya mendorong berbagai reaksi dan
perlawanan terhadap Amangkurat I. VOC berusaha mengadu domba dengan memberikan bantuan
kekuatan kepada Amangkurat I.
Pada masa pemerintahan Amangkurat I terjadi pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Pemberontakan
ini mendapat bantuan dari orang-orang Makassar/Bugis. Trunojoyo berhasil menguasai keraton dan
menyebabkan Amangkurat I melarikan diri meminta bantuan VOC.Namun sebelum mencapai
persetujuannya, Amangkurat I meninggal di Tegalwangi. Sunan Amangkurat I merupakansatu-satunya
Raja Kerajaan Mataram Islam yang dimakamkan jauh dari wilayah kekuasaannya.Amangkurat II (1677 –
1703) merupakan putra dari Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, terjadi persetujuan dengan VOC,
yakni VOC bersedia membantu raja untuk melawan musuh-musuh Kerajaan Mataram Islam dengan
syarat raja harus mengganti rugi biaya perang dan memberikan konsesi ekonomi bagi VOC.Atas dasar
persetujuan tersebut, Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk merebut kembali daerah-daerah yang
sebelumnya telah melepaskan diri. Kesempatan ini digunakan VOC guna mengambil alih daerah timur
Karawang sampai Sungai Pamanukan. Pada masa itu juga terjadi pemindahan kedhaton dari Pleret ke
Kertasura.Campur tangan VOC menyebabkan situasi semakin kacau. Saudara Amangkurat I, yaitu P.
puger di Pleret juga melakukan perlawanan karena tidak mengakui kedudukan Amangkurat II di
Kartasura. Dengan bantuan Belanda, akhirnya P. Puger berhasil dilumpuhkan dan tinggal di Kartasura.
Pada sisi lain, terdapat pemberontakan yang dipimpin oleh Untung Surapati yang menyebabkan
terbunuhnya Kapten Tack.Keadaan Kerajaan Mataram Islam yang semakin tidak menentu dan mencapai
puncaknya pada perjanjian Giyanti. Pada perjanjian tersebut mengakibatkan wilayah Mataram harus
dibagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755. Perjanjian Giyanti
sendiri merupakan bentuk politik adu domba VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran
Mangkubumi dengan Pakubuwono III. Setelah itu, VOC terus saja memecah belah kekuasaan Mataram
melalui Perjanjian Salatiga (1757) yang membagi Kesunanan Surakarta dengan Puro Mangkunegara.
Pada tahun 1813, Kesultanan Yogyakarta dibagi juga dengan Puro Paku Alam. jadi, hingga tahun 1813,
daerah Mataram terbagi menjadi empat wilayah kekuasaan, yaitu:
1. Kesunanan Surakarta
2. Kesultanan Yogyakarta
3. Puro Mangkunegara, dan
4. Puro Paku Alaman.
Kehidupan ekonomi : Untuk memperkokoh kedudukan ekonominya, Kerajaan Mataram Islam sangat
berambisi menguasai daerah pesisir utara Pulau Jawa sebagai penopang ekonomi dan politik Jawa. Hal itu
dibuktikan dengan serangan ke Gresik pada tahun 1623 dan Surabaya pada tahun 1625. Praktis Mataram
merupakan kerajaan utama di Jawa pada masa itu.Selain sebagai pintu ekspor impor, pelabuhan juga
merupakan salah satu penghasil devisa karena menjadi tempat transaksi perdagangan dengan pedagang
dari Indonesia Timur. Dari kegiatan itulah Kerajaan Mataram Islam mendapatkan cukai. Pada masa VOC,
Belanda pernah mendapat pembebasan cukai oleh Sultan Agung pada tahun 1614 (sebelum Mataram
menyerang VOC).Bagaimana dengan ekonomi pelayaran Kerajaan Mataram? Nelayan merupakan
pekerjaan sebagian kecil rakyat Mataram, terutama masyarakat di daerah Laut Jawa. Samudra Indonesia
atau Laut Selatan di pesisir selatan Kerajaan Mataram Islam kurang mendukung untuk berkembangnya
pelayaran dan perdagangan pada masa tersebut. Hal ini disebabkan kondisi alam Samudra Indonesia yang
tidak mudah dilayari karena ombaknya yang sangat besar.
Peninggalan : Pada bidang seni budaya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan
budaya Hindu-Jawa. Karya-karya Sultan Agung yang terkenal misalnya kalender Jawa yang berdasarkan
pada perputaran bulan, buku Sastragending yang merupakan karya filsafat, serta kitab undang-undang
yang disebut Surya Alam.
Kerajaan Mataram Islam juga mengembangkan perayaan sekaten untuk mempenringati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Puncak acara sekaten adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan Masjid
Agung. Gunungan ada beberapa macam, antara lain; gunungan alanang, gunungan wadon, gunungan
dharat, gunungan gepak, dan gunungan pawuhan.
c. Kesultanan Banten
Selama pemerintahannya, sultan hasanuddin berhasil membangun pelabuhan banten menjadi pelabuhan
yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa.para pedagang dari persia, gujarat, dan
venesia berusaha enghindari selat malaka yang dikuasai potugis dan beralih ke selat sunda. banten
kemudian berkembang menjdi bandar perdagangan maupun pusat penyebaran agama islam. setelah sultan
hasanuddin wafat pada tahun 1570 M, ia digantikan oleh putranya yaitu maulana yusuf.
2. Maulana Yusuf
Maulana yusuf memerintah banten pada tahun 1570-1580 M. pada tahun 1579, maulana yusuf
menaklukan kerajaan pajajaran di pakuan ( bogor ) dan sekligus menyinggirkan rajanya yang bernama
prabu sedah. akibatnya, banyk rakyat pajajaran yang menyinggir ke pegunungan. mereka inilah yang
sekarang dikenal sebagai orang-orang baduy atau suku baduy di rangkasbitung banten.
3. Maulana muhammad
Setelah sultan maulana yusuf wafat,putranya yang bernama maulana muhammad naik tahta pada usia 9
tahun. karena maulana muhammad masih sangat muda, pemerintahan dijalankan mengkubumi jayanegara
sampai maulana muhammad dewasa ( 1580-1596 ). enam belas tahun kemudian, sultan maulana
muhammad menyerang kesultanan palembang yang di dirikan oleh ki gendeng sure, seorang bangsawan
demak. kerajaan banten yang juga keturunan demam merasa berhak atas daerah palembang. akan tetapi,
banten mengalami kekalahan. sultan maulana muhammad tewas dalam pertempuran itu.
Pangeran ratu,yang berusia 5 bulan, menjadi sultan banten yang ke empat ( 1596-1651 ). sampai pangeran
,dewasa, pemerintahan dijalankan oleh mangkubumi ranamanggala. pada saat itulah untuk pertama
kalinya bangsa belanda yang di pimpin oleh cornelis de houtman, mendarat di banten pada tahun 22 juni
1596. pangeran ratu mendapat gelar kanjeng ratu banten. ketika wafat, beliau digantikan oleh anaknya
yang dikenal dengan nama sultan ageng tirtaayasa.
Sultan ageng tirtayasa memerintah banten paada tahun 1651-1682bM, kerajaan banten pada masa beliau
mencapai masa kejayaan. sultan ageng tirtayasa berusaha memperluas wilayah kerajaannya ini pada tahun
1671 M, sultan ageng tirtayasa mengangkat putranya menjadi raja pembantu dengan gelar sultan abdul
kahar atau sultan haji. sultan haji menjalin hubungan baik dengan belanda. melihat hal itu, sultan ageng
tirtayasa kecewa dan menarik kembali jabatan raja pembantu bagi sultan haji, akan tetapi, sultan haji
berusaha mempertahankan dengan meminta bantuan kepada belanda. akibatnya terjadilah perang saudara.
sultan ageng tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di batavia hingg beliau wafat pada tahun 1691 M.
Kehidupan politik : Sultan pertama Kerajaan Banten adalah Sultan Hasanuddin (1522-1570) yang
merupakan putra seorang panglima tentara Demak yakni Fatahillah. Pada awalnya, Banten merupakan
bagian dari Kerajaan Demak. Namun, Banten berhasil memisahkan diri pada saat Kerajaan Demak
mengalami keruntuhan.Portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 dan menyebabkan para
pedagang muslim memindahkan jalur pelayarannya ke Selat Sunda. Selain menjadi pusat perdagangan,
pada masa Sultan Hasanuddin juga berhasil memperluas kekuasaannya hingga daerah penghasil lada yaitu
Lampung (Sumatra Selatan). Hal ini membuat dasa-dasar kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada.
Namun, Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570.Penguasa selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-
1580). Di bawah kekuasaannya, Banten menaklukan dan menguasai Kerajaan Pajajaran (Hindu) pada
tahun1579. Hal ini menyebabkan pendukung setia dari Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman
daerah Banten Selatan dan dikenal orang-orang sebagai Suku Badui. Selain itu, konon kalangan
bangsawan Sunda memeluk agama Islam.Sultan Maulana Muhammad (1580-1596) menduduki kekuasaan
Kerajaan Banten. Pada akhir kekuasaannya, ia berusaha untuk memperluas daerahnya dengan berusaha
menaklukan Kesultanan Palembang. Namun, beliau wafat dalam perang. Selanjutnya putranya yang
bernama Pangeran Ratu naik tahta bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.Pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), Kerajaan Banten berhasil mencapai puncak kejayaan.
Dia sangat menentang kekuasaan Belanda dan berusaha untuk mengalahkan VOC. Namun, pada saat
kekuasaan diserahkan kepada Sultan Haji, Banten mulai dikuasai pemerintahan Hindia Belanda.
Masa keruntuhan : Kerajaan Banten mengalami keruntuhan akibat adanya perang saudara antara Sultan
Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Perselisihan ini dimanfaatkan oleh VOC dengan memihak pada
Sultan Haji. Situasi ini menyebabkan Sultan Ageng dan kedua putranya yang bernama Syekh Yusuf dan
Pangeran Purbaya pergi dan bersembunyi di pedalaman Sunda.Namun, Sultan Ageng berhasil ditangkap
dan ditahan di Batavia pada 14 Maret 1683. Syekh Yusuf juga berhasil ditangkap dan ditahan oleh VOC
pada tanggal 14 Desember 1683. Sedangkan Pangeran Purbaya yang berada dalam persembunyian
terdesak dan akhirnya menyerahkan diri setelah peristiwa tersebut.Lampung diserahkan kepada VOC
pada tahun 1682 sebagai balasan atas kemenangan Sultan Haji. Selanjutnya pada 22 Agustus 1682
terdapat surat perjanjian yang menyatakan bahwa hak monopoli perdagangan lada Lampung jatuh ke
tangan VOC.Setelah itu, VOC berhasil menguasai Banten setelah Sultan Haji meninggal pada tahun
1687. Peristiwa ini menyebabkan pengangkatan Sultan Banten harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia.Sultan Abu Fahdl Muhammad Yahya terpilih
sebagai pemegang kekuasaan setelah Sultan Haji wafat dan dilanjutkan oleh Sultan Abul Mahasin
Muhammad Zainul Abidin. Setelah itu, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin (1808-1810), Banten diserang oleh Gubernur Hindia Belanda.
Penyerangan tersebut terjadi akibat Sultan Muhammad menolak memindahkan ibu kota Banten ke Anyer
atas permintaan Gubernur Hindia Belanda. Hal tersebut menyebabkan Banten runtuh ditangan Inggris
pada tahun 1813.
Peninggalan :
1. Masjid Agung Banten
2. Istana Keraton Kaibon Banten
3. Istana Keraton Surosowon Banten
4. Benteng Speelwijk
5. Danau Tasikardi
6. Vihara Avalokitesvara
7. Meriam Ki Amuk
d. Kesultanan Cirebon
Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja. Sementara di bidang
politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram .Setelah wafat pada tahun
1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang
dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing
Gayam telah wafat terlebih dahulu .
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari
kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan menyebabkan dia
meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke
Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan
ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan
Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan
Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di
lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke
Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan
VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan
pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan .
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah,
urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian
sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian
harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar
dengan para Sultan
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari
kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan menyebabkan dia
meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke
Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan
ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan
Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan
Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di
lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke
Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan
VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan
pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan .
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah,
urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian
sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian
harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar
dengan para Sultan
Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada
hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak
berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti yang
lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk
Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Peninggalan :
1. Keraton Kanoman
2. Kesultanan Kasepuhan
3. Masjid agung Sang Cipta Rasa
4. Taman air Gua Sunyaragi
3. Kerajaan Islam di Kalimantan
a. Kerajaan Pontianak
Raja-raja :
-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, ,pinang, sarang burung,
kopra, lada, dan kelapa.
Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak melakukan
hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak kemudian menerapkan
pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak. Tidak sedikit dari para pendatang
yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan untuk bermukim sehingga
nama-nama perkampungan lebih menunjukkan ciri ras dan etnis.
Sistem Pemerintahan
Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950. Selama
kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan ini berakhir
pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak.Pada
tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang melawan kolonialisme Jepang di
Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal
16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia di Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh
tokoh-tokoh masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan dari
pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18
menterinya.
b. Kerajaan Banjar
Letak geografis : Kesultanan ini pada awalnya beribukota di
Banjarmasin lalu dipindahkan ke berbagai tempat dan
terakhir pindah ke Martapura. Ketika ibu kota kerajaan
Banjar berada di Martapura, Kerajaan ini disebut juga
Kerajaan Kayu Tangi.
1545 – 1570
Sultan Rahmatullah.
1570 – 1595
Sultan Hidayatullah.
1595 – 1620
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang
memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda
pada Tahun 1612.
1620 – 1637
1637 – 1642
1642 – 1660
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus
Kesuma belum dewasa.
1660 – 1663
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati Anum
(Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin.
1663 – 1679
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke Banjarmasin
bergelar Sultan Agung.
1679 – 1700
1700 – 1734
1734 – 1759
1759 – 1761
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi
memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.
1801 – 1825
1825 – 1857
1857 – 1859
Pangeran Tamjidillah.
1859 – 1862
1862 – 1905
Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar.
-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, ,pinang, sarang burung,
kopra, lada, dan kelapa.
Sistem pemerintahan : Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771
hingga tahun 1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa.
Ketika kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi
pemerintahan Kota Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang
melawan kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di Jawa dan
Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia di Gedung Medan Sepakat
Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk
merebut kekuasaan dari pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat
dengan lengkap 18 menterinya.
Peninggalan :
Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah
sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling
berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi
sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau
masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan
sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.
a. Kerajaan Gowa-Tallo
Raja-raja :
1. Tumanurunga (+ 1300)
2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna Berkuasa mulai tahun 1593 -
wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri
Balla'pangkana Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12
Juni 1670 17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' Lahir 31 Maret
1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
17. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir 29 November 1654, berkuasa
mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung.
(1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826
- wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat
18 Mei 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia
melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan
paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang
pada tanggal 25 Desember 1906.
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin
Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960)
merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan
Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi
Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu
padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini
berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas
filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan
Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.
Masjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali
pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud (1818), Kadi Ibrahim (1921),
Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit
mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Raja-raja :
Mulai Akhir
No Penguasa
Menjabat Jabatan
Batara Wajo
1 La Tenribali
2 La Mataesso
3 La Pateddungi to samallangi
Arung Matowa
Kehidupan politik : Dalam kerajaan wajo Pemimpin tertinggi di sebut Arung Matoa Wajo. Arung Matoa
Wajo dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh tiga orang yaitu Paddanréng atau Ranré ng
(sekutu) yaitu Paddanréng Betteng Pola, Paddanréng Tola Ténreng, dan Paddanréng Tua’. Terdapat juga
tiga pejabat tinggi Tana Wajo lain yaitu Pabbaté Lompo atau Baté Lompo (panji-panji kaum) yang juga
mewakili tiga daerah sekutu. Tugas Baté Lompo ini pada awalnya adalah untuk keamanan dalam
wilayahnya masing-masing. Seiring pertumbuhan pemerintahan mereka pun berfungsi sebagai menteri-
menteri pembantu Arung Matoa Wajo.
Pucuk pimpinan pemerintahan tertinggi Tana Wajo di sebut Petta Wajo (Pertuanan Tana Wajo)
yaitu sistem presidium yang terdiri atas Arung Matoa ditambah dengan Arung Ennenngé atau Petta
Ennenngé (enam petinggi) yang anggotanya adalah tiga orang Padanréng dan tiga orang Baté Lompo.
Lembaga pimpinan tertinggi kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung Mabbicara sebagai lembaga pembuat
undang-undang. Disamping itu juga terdapat lembaga yang disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan
tiga orang yang berasal dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil permufakatan dan
perinah dari Padanreng kepada rakyat, menyampaikan perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan
menyampaikan hasil permufakatan dan perintah dari Petta Wajo
Jadi terdapat 40 orang dalam lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung
Matoa, 6 orang Arung Ennengnge, 30 orang Arung Mabbicara, dan 3 orang Suro ri Bateng. Ke 40 orang
atau jabatan ini disebut Arung Patappuloe (pertuanan yang empat puluh) atau Puang ri Wajo (penguasa
Tana Wajo).yang selanjutnya memangku kedaulatan Tana Wajo yang disebut Paoppang,Palengenngi
Tana Wajo ( Yang dapat menelungkupkan dan menengadahkan Tana Wajo). Di bawah setiap Paddanreng
(Kepala Negeri), terdapat Punggawa atau Matoa yang menjadi pemimpin disetiap wanua asal, yaitu
Majauleng, Sabbang Paru dan Takkalalla’. matoa-matoa atau punggawa-punggawa ini sering disebut
inanna tau megae (induk dari semua orang).
Para Matoa atau Punggawa menjalankan pemerintahan secara otonom dan juga menjadi
perpanjangan tangan antara Petta Wajo dengan para Arung Lili’ (Raja-raja bawahan) di seluruh Tana
Wajo.
Peninggalan : Masjid tello,e dan makam assyiekh al-habieb jamalludin al akbar al husein, dan
didalam masjid ada peninggalan sejarah yaitu:
1. sumur jodoh
2. gedong,e
3. benteng
9. saoraja malangga
Kehidupan politik : Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Irian terdapat dua kerajaan, yakni
Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku Utara.
Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya
mencakup sejumlah pulau di kepulauan Maluku dan Irian. Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Uli Lima
yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya mencakup Pulau- Pulau Ternate, Obi, Bacan,
Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore sebagai pemimpin Uli Siwa, artinya persekutuan Sembilan
(persekutuan sembilan saudara) wilayahnya meliputi Pulau-Pulau Makyan, Jailolo, atau Halmahera, dan
pulau-pulau di daerah itu sampai dengan Irian Barat. Antara keduanya saling terjadi persaingan dan
persaingan makin tampak setelah datangnya bangsa Barat.
Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang kemudian bersekutu dengan
Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat di Maluku 1521 dan
mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah berhadapan, namun belum terjadi
pecah perang. Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol, maka pada tahun 1529
diadakan Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan
kekuasaannya di Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku. Untuk memperkuat kedudukannya di
Maluku, maka Portugis mendirikan benteng Sao Paulo. Menurut Portugis, benteng ini dibangun untuk
melindungi Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela yakni dengan
cara memonopoli dalam perdagangan, terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Ternate,
sehingga menimbulkan pertentangan. Salah seorang Sultan Ternate yang menentang ialah Sultan Hairun
(1550-1570). Untuk menyelesaikan pertentangan, diadakan perundingan antara Ternate (Sultan Hairun)
dengan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita) dan perdamaian dapat dicapai pada tanggal 27 Februari
1570. Namun perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari)
Sultan Hairun mengadakan kunjungan ke benteng Sao Paulo, tetapi ia disambut dengan suatu
pembunuhan.
Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Maluku bangkit menentang bangsa Portugis di bawah pimpinan
Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah dikepung selama 5 tahun, benteng Sao
Paulo berhasil diduduki (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak dibunuh tetapi harus
meninggalkan Ternate dan pindah ke Ambon. Sultan Baabullah dapat meluaskan daerah kekuasaannya di
Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang antara Sulawesi dan Irian; ke arah timur sampai Irian, barat
sampai pulau Buton, utara sampai Mindanao Selatan (Filipina), dan selatan sampai dengan pulau Bima
(Nusa Tenggara), sehingga ia mendapat julukan "Tuan dari tujuh pulau dua pulau".
Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara Belanda dan
Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis
dari Maluku (1605). Belanda yang tanpa ada saingan kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-
wenang, yakni:
1. Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempahrempah) kepada VOC
(contingenten).
2. Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-rempah di
pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila harga rempah-rempah
di pasaran naik/ meningkat.
3. Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yang diciptakan oleh Frederick de Houtman
(Gubernur pertama Ambon) yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan tujuan untuk
mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan di
seluruh Maluku.
Tindakan-tindakan penindasan tersebut di atas jelas membuat rakyat hidup tertekan dan menderita,
sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada tahun 1635-1646
rakyat di kepulauan Hitu bangkit melawan VOC dibawah pimpinan Kakiali dan Telukabesi. Pada tahun
1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi. Demikian juga di daerah lain, seperti Seram, Haruku dan
Saparua; namun semua perlawanan berhasil dipadamkan oleh VOC.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar; akan tetapi pada akhir abad ke-18 muncul lagi
perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan Portugis, Ternate
memegang peranan penting, maka untuk melawan VOC, Tidore yang memimpinnya. Pada tahun 1780
rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku. Selanjutnya Sultan Nuku juga
berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan Nuku meninggal (1805), tidak ada lagi
perlawaan yang kuat menentang VOC, maka mulailah VOC memperkokoh kekuasaannya kembali di
Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah
pimpinan Pattimura.
Kehidupan ekonomi : Kehidupan rakyat Maluku yang utama adalah pertanian dan perdagangan.
Tanah di kepulauan Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, banyak memberikan hasil berupa
cengkih dan pala. Cengkih dan pala merupakan rempah-rempah yang sangat diperlukan untuk ramuan
obat-obatan dan bumbu masak, karena mengandung bahan pemanas. Oleh karena itu, rem-pah-rempah
banyak diperlukan di daerah dingin seperti di Eropa. Dengan hasil rempahrempah maka aktivitas
pertanian dan perdagangan rakyat Maluku maju dengan pesat.
Peninggalan :
1. Istana Sultan Ternate
2. Benteng kerajaan Ternate dibangun pada tahun 1540 oleh Francisco Serao, seorang panglima Portugis
yang pernah mendarat di Ternate.
3. Masjid di Ternate
4. Makam Sultan Baabullah
Sedangkan menurut sumber lain Islam masuk ke Ternate di sekitar tahun jatuhnya kerajaan Hindu
Majapahit 1478, jadi sekitar akhir abad ke-15. Sumber lain berdasarkan catatan Antonio Galvao dan
Tome Pires bahwa Islam masuk ke Ternate pada tahun 1460-1465. Dari beberapa sumber tadi dengan
demikian dapat diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 selanjutnya masuk ke Papua
pada abad ke-16, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk sejak abad ke-15 Sebagaimana
disebutkan situs Wikipedia.
Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan Maluku. Dalam hal
ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja
Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas sejarah masuknya
Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di
Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang
perebutan pengaruh kekuasaan antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara
(Kesultanan Ternate dan Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir
inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan
Semenajung Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru
yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. DDengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam
ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam masuk ke Raja
Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak serta sebagian besar wilayah pantai selatan daerah Kepala Burung
pada umumnya termasuk kaimana di dalamnya adalah wilayah lingkup pengaruh kedua kesultanan itu
(Onim 2006; 83) Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W Arnold
seorang orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis, Spanyol,
Belanda dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching of Islam yang dikutip oleh Bagyo
Prasetyo disebutkan bahwa pada awal abad ke-16, suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat
lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah tunduk kepada Sultan Bacan salah seorang
raja di Maluku kemudian Sultan Bacan meluaskan kekuasaannya sampai Semenanjung Onim (Fakfak), di
barat laut Irian pada tahun 1606, melalui pengaruhnya dan pedagang muslim maka para pemuka
masyarakat pulau-pulau tadi memeluk agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih menganut
animisme, tetapi rakyat pesisir adalah Islam.
Karena letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian dunia
Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau tambang
yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi incaran para
pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan
perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fakfak dengan pusat kerajaan Ternate dan Tidore,
sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut. Ambary hasan, dalam
tulisannya yang dikutif oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa sejarah masuknya Islam di Sorong dan
Fakfak terjadi melalui dua jalur.
Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja yang berkuasa diantaranya
Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam wilayah kabupaten Kaimana). Masing-
masing raja tersebut mendirikan mesjid dan mesjid tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk
menyebarkan agama Islam. Akan tetapi mesjid yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu pada
umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak bisa lagi ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya
mesjid yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Ati-ati adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun
1931 oleh Raja ke-9. Mesjid tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang
yang nampak adalah mesjid yang baru ( Tim peneliti, 1999).
Selanjutnya adalah mesjid yang didirikan oleh Raja Fatagar yaitu mesjid Merapi terletak di kampung
Merapi, dalam mesjid terdapat bedug yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat mesjid terdapat
makam Raja Fatagar I dan II, makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di dalam
pagar dan kelompok yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh masuknya Islam yaitu
ditemukan rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja
dan adanya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah tersebut. Diantara mesjid tua yang masih
bertahan hingga saat ini adalah mesjid Patimburak yang ada di distrik Kokas, menurut informasi mesjid
tersebut didirikan pada tahun 1870.
Dari beberapa sumber disimpulkan bahwa Islam masuk ke kabupaten Fakfak menurut beberapa sumber
sekitar pertengahan abad ke-15. Proses masuknya yaitu melalui jalur perdagangan, perkawinan,
pendidikan non formal dan politik. Islam masuk ke wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh kesultanan
Ternate dan Tidore sebagai basis Islamisasi di Indonesia bagian timur.
Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat dilihat dengan adanya temuan mesjid kuno
dibeberapa tempat yaitu mesjid Merapi, Werpigan, Patimburak, gong, rebana, tongkat cis, songkok raja.
Islam juga menancapkan pengaruhnya didaerah Kokas, Fakfak salah satu buktinya adalah keberadaan
sebuah Masjid Tua yaitu Masjid Patimburak.
Salah satu bukti otentik keberadaan Islam di tanah papua yang masih terpelihara rapi adalah Masjid
Patimburak. Masyarakat setempat mengenal masjid ini sebagai Masjid Tua Patimburak. Menurut catatan
sejarah, masjid ini telah berdiri lebih dari 200 tahun yang lalu, bahkan merupakan masjid tertua di
Kabupaten Fakfak. Bangunan yang masih berdiri kokoh dan berfungsi hingga saat ini dibangun pada
tahun 1870, seorang imam bernama Abuhari Kilian. Pada masa penjajahan, masjid ini bahkan pernah
diterjang bom tentara Jepang. Hingga kini, kejadian tersebut menyisakan lubang bekas peluru di pilar
masjid. Menurut Musa Heremba, penyebaran Islam di kokas tak lepas dari pengaruh Kekuasaan Sultan
Tidore di wilayah Papua. Pada abad XV, kesultanan Tidore mulai mengenal Islam. Sultan Ciliaci adalah
sultan pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itulah sedikit demi sedikit agama islammulai
berkembang di daerah kekuasaan Kesultanan Tidore termasuk kokas.
KERAJAAN ISLAM DI PAPUA
1. Kerajaan Waìgeo
2. Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)
3. Kerajaan Salawati (marga Arfan)
4. Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)
5. Kerajaan Fatagar (marga Uswanas)
6. Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
7. Kerajaan Atiati (marga Kerewaindzai)
8. Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)
9. Kerajaan Patipi
10. Kerajaan Arguni
11. Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
12. Kerajaan Kowlai/Kerajaan Namatota
13. Kerajaan Aiduma
14. Kerajaan Kaimana
PENELUSURAN SEJARAH AWAL ISLAMISASI DI TANAH PAPUA , BEBERAPA TEORI
MENGENAI KEDATANG ISLAM DI TANAH PAPUA , TERDAPAT 7 TEORI YAITU :
Teori Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagaian rakyat asli Papua, khususnya
yang berdiam di wilayah fakfak, kaimana, manokwari dan raja ampat (sorong). Teori ini memandang
Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan disebarkan oleh kerejaan ternate dan tidore
atau pedagang muslim dan da’I dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari
Papua itu sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatak bahwa agama
Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka meyakini kisah
bahwa dahulu tempat turunya nabi adam dan hawa berada di daratan Papua.
Teori Aceh
Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun
2006, menyimpulkan bahwa Islam datang pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai dengan
hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati Fakfak. Penetapan
tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja
Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw), mubaligh Abdul
Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374 M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di
makamkan di belakang masjid kampong Rumbati pada tahun 1374 M.
Teori Arab
Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di tanah Papua, yaitu pertamakali
di Wilayah jazirah onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan
gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada abad pertengahan abad XVI,
sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.
Selain dari sejarah lisan tadi, dilihat dalam catatan hasil Rumusan Seminar Sejarah Masuknya Islam dan
Perkembanganya di Papua, yang dilaksanakan di Fakfak tanggal 23 Juni 1997, dirumuskan bahwa:
Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun 1500-an (abad XVI), dan diterima oleh
masyarakat di pesisir pantai selatan Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)
Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab (Mekkah).
Teori Jawa
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan bahwa orang
Papua yang pertama masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan siti hawa farouk yakni
seorang mublighat asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti nama menjadi Bayajid,
diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari silsilah keluarga tersebut, maka
Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga Arfan yang pertama masuk Islam.
Teori Banda
Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khusunya di Fakfak dikembagkan oleh pedagang-
pedagang Bugis melalui banda yang diteruskan ke fakfak melalui seram timur oleh seorang pedagang dari
Arab bernama haweten attamimi yang telah lama menetap di ambon. Microb juga mengatakan bahwa
cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakuka oleh dua orang mubaligh dari banda yang bernama
salahuddin dan jainun, yaitu proses pengIslamanya dilakukan dengan cara khitanan, tetapi dibawah
ancaman penduduk setempat yaitu jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh,
namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun
masuk agama Islam.
Teori Bacan
Kesultanan bacan dimasa sultan mohammad al-bakir lewat piagam kesiratan yang dicanangkan oleh
peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau moloku kie raha (empat kerajaan Maluku: ternate, tidore,
bacan, dan jailolo) lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui keturunannya keseluruh penjuru
negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, philipina, Kalimantan, nusa tenggara, Jawa dan Papua.
Menurut Arnold, raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang memerintah tahun
1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah barat lautnya, seperti waigeo,
misool, waigama dan salawati. Kemudian sultan bacan meluaskan kekuasaannya sampai ke semenanjung
onin fakfak, di barat laut Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim
maka para pemuka masyarakat pulau – pulau tadi memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat
pedalaman masih tetap menganut animisme, tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.
Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti – bukti peninggalan nama – nama tempat dan
keturunan raja bacan yang menjadi raja – raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka diduga kuat bahwa
yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan
kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil di kepulauan raja ampat itu.
Raja-raja :
b. Kesultanan Bima
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di
ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima). Secara
geografis Kabupaten Bima berada pada
posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan
70°30” Lintang Selatan.
Raja-Raja
Kehidupan Budaya
• Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini
masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris
kehilangan makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa
kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara
Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
• Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo
Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita
Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.
• Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota
Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus dan hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan
Qur’an (TPQ) oleh warga setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara
NTB, mesjid yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh
diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa Sulawesi Selatan untuk
mensyi’arkan Agama Islam di Bima.
Kehidupan Sosial
• Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli yang mendiami Bima
adalah orang Donggo. Mereka mendiami daerah dataran tinggi. Kepercayaan asli orang Donggo adalah
animisme, yang mereka sebut dengan marafuyu. Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh
agama kristen dan islam.
• Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam dengan sistem peladangan
yang berpindah-pindah. Oleh karena itu rumah mereka juga berpindah-pindah (tidak tetap).
• Suku lain yang mendiami Bima adalah orang Dou Mbojo (migran dari daerah Makasar).
Kehidupan Ekonomi
• Pada saat itu kerajaan Bima sangat berkembnag pesat disegi pertanian maupun perternakan
dan perikanan.Dibidang perternakan Kerajaan Biima tidak mau kalah dengan kerajaan lain,Raja Indra
Zamrud juga mengembnagkan bidang perternakan yaitu kuda,kerbau dan sapi.Dalam kitab
Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1356.
Faktor Kemunduran
• Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu,
Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara
Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada
pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah
Mahkota, Pedang dan Funitur.
Peninggalan
1. Perkuburan Tolobali terletak di Bima yakni berupa dua buah kuburan yang kijingnya berbentuk kubah.
Kubah kuburan ini memiliki kesamaan bentuk dengan kuburan Sultan Goa di Sulawesi Selatan. Dua
kuburan ini merupakan kuburan ulama besar yang berjasa dalam mengajarkan agama Islam di Bima yaitu
Syeikh Umar dan Syeikh Banta.
Pada saat itu, Sultan sangat menghormati dan mencintai ulama sehingga didatangkanlah Syeikh Umar
dari Banten untuk mengajarkan ajaran Islam di Bima. Kedatangan Syeikh Umar dan Syeikh Banta terjadi
setelah dua ulama dari Makassar -Datuk Dibandang dan Datuk Ditiro- pulang lagi ke daerahnya.
2. Kuburan Dana Traha terletak di atas bukit bagian selatan kota Bima yang merupakan kompleks
perkuburan raja-raja Bima beserta keturunannya. Sultan Abdul Kahir yang merupakan sultan pertama di
Bima juga dimakamkan di tempat ini.
3. Kuburan Bata yang terletak di Rasanae Bima merupakan kuburan para bangsawan Bima pada masa
lalu.
4. Kuburan Kecil di pulau Kambing merupakan makam wakil sultan Bima di Manggarai yang meninggal
tahun 1223 H.
5. Masjid lama Bima yang dibangun oleh Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah yang hidup sekitar tahun
1762 sampai 1819 Masehi.
6. Kuburan Wazir merupakan kuburan perdana menteri Abdul Samad Ompu La Muni yang terletak di
bukit Dana Traha yang terletak di sebelah selatan Kota Bima.