S
E
J
A
R
A
H
KELOMPOK
1
1.Adelya soffy Sembiring
2.Putri Ramadhani
3.Icha claudia
6.Arsya Herdianta
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................i
Kerajaan Samudra
Pasai...............................................................................1
Kesultanan Aceh Darusallam.......................................4
Kerajaan kerajaan islam di riau.....................................8
Kerajaan Islam di jambi...............................................14
Kerajaan Islam Di sumatra selatan...............................16
kerajaan islam di sumatra
barat..............................................................................19
1.Kerajaan samudra pasai 1
Pada saat itu, orang-orang Islam sudah mendirikan perkampungan di tepi pantai Sumatra.
Mereka berasal dari pedagang-pedagang sumatera yang berdagang di arab dan persia. Hanya
saja, mereka belum sanggup mendirikan kerajaan yang kuat.
Pada tahun 1205, telah naik takhta seorang raja Islam di Daya, Aceh yang bergelar Sri Paduka
Sultan Johan Syah.[1] Beliau bukan penduduk asli Aceh, melainkan keturunan pedagang-
pedagang Islam yang menetap di Aceh. Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa jika dilihat dari
namanya, ada kemungkinan bahwa beliau berasal dari Gujarat. Namun demikian, tidak ada
berita mengenai kelanjutan kerajaan ini.
Kabar berita bahwa masyarakat Islam sudah ada di pantai Sumatra rupanya sampai juga ke
Mekah. Syarif Mekah mengutus seorang ulama bernama Syekh Isma'il agar datang berkunjung
ke negeri Samudra, Aceh. Sebab, di antara negeri-negeri tepi pantai Sumatra, nama Samudra
Pasai lebih terkenal. Syekh Isma'il berangkat menuju Samudra Pasai. Ia melabuhkan sementara
kapalnya di Malabar (Mu'tabar), lalu melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sampai di Aceh, syekh
Isma'il bertemu dengan seorang mantan raja yang bernama Fakir Muhammad. Mantan raja itu
ialah keturunan dari Abu Bakar, sahabat nabi.
Mereka berdua mengunjungi negeri-negeri tepi pantai Sumatra yang telah memeluk agama
Islam, yaitu Fansur (Barus), Lamiri dan Haru. Setelah itu, mereka meneruskan pelayaran ke
negeri Perlak. Disana mereka mendapat informasi bahwa negeri Samudra Pasai yang mereka
tuju rupanya telah terlewat. Terpaksalah kapal mereka dibelokkan kembali. Akhirnya, mereka
berjumpa dengan Merah Silu, kepala kampung di tempat itu.
Setelah mereka berdua mengadakan pertemuan dengan Merah Silu, beliau masuk islam. Beliau
juga diberikan nama Islam, yaitu Sultan al-Malikush Shaleh. Kemudian, mereka memberi tanda-
tanda kerajaan yang langsung dibawa dari Mekah kepada Sultan. Gelar Sultan ini langsung
diberikan oleh Syarif Mekah. Pada saat itu, Syarif Mekah ada di bawah naungan kerajaan
Mamalik di Mesir. Syarif Mekah, atas izin Sultan Mamalik, memberikan gelar Sultan kepada
Merah Silu.[1] Gelar "Al Malikush Shaleh" adalah gelar yang dipakai oleh pendiri kerajaan
Mamalik yang pertama di Mesir, yaitu Al Malikush Shaleh Ayub.
Pada zaman pemerintahan Al Malikush Shaleh, Marco Polo, seorang pengembara bangsa
Venesia, berkunjung ke Sumatra Utara. Pada saat itu, ia belum melihat banyak orang Islam di
Sumatra, kecuali di Kerajaan Perlak saja. Al Malikush Shaleh menikah dengan anak perempuan
Raja Perlak yang telah beragama Islam. Beliau memiliki dua orang putra.
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[diragukan – diskusikan][butuh rujukan] menuturkan Sultan yang diturunkan
paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah
melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya
dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia
segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang
dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.[4]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki
Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu
kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan).
Sekitar tahun 1870-an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang
asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-
Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan
terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah
dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun
berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar
(yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ,
perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu
dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan
untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur
untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[3]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah
kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat
cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, di mana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin
santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan
utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi
saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea.
Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan
yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan
alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Artikel utama: Perang Aceh
Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun
1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad
lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan
memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara
terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk
di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut
mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi
di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar pada masa
pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi
mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah
satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan
Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad
Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai
orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud.
Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski
cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini
dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah
kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari
uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan
nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi
jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.[8]
Pemerintahan
Sultan Aceh
Artikel utama: Sultan Aceh
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-
1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya
berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud
Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu
kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda
pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname
Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit,
beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam
kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah
Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan,
Gampông Jawa dan Gampông Pande.[9]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris
dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah
Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[10]
Siak Sri Inderapura merupakan kerajaan Islam, yang didirikan oleh Raja
Kecik dari Pagaruyung di Buantan. Raja Kecik memiliki gelar Sultan Abdul
Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta
Johor.
Kerajaan Sriwijaya yang pernah berpusat di Muara Takus, runtuh pada abad
awal abad XIII, sehingga timbul kerajaan-kerajaan kecil yang masih
menganut agama Hindu / Budha seperti diLubuk Jambi, Keritang, Kandis,
Bintan dan Tumasik.
Raja Kecik sebagai pendiri kerajaan siak telah meletakkan Islam sebagai
agama resmi dikerajaan siak. Islam diresmikan semasa beliau dinobatkan
sebagai Sultan siak pertama yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah.
Kerajaan siak adalah keturunan Kerajaan Melaka yang tidak terlepas dari
kebudayaan dan keseniannya yang berasal dari Kerajaan Melayu Melaka.
Namum terdapat pengaruh unsur-unsur adat dan budaya serta kesenian dari
suku-suku yang telah lama mendiami negeri Siak.
Selain itu ada juga pengaruh dari budaya dan kesenian dari Cina, Thailand,
Arab, Persi, India serta suku-suku pendatang dari Nusantara Indonesia.
pekanbaru.tribunnews.com
Di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4, mesjid
ini merupakan bukti Kerajaan Siak pernah bertahta di Pekanbaru. Lalu tahta
itu diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
sebagai Sultan Siak ke-5.
Kerajaan Indragiri
dictio.id
Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk
Ketapang tahun 1784. Kekuasaan politik Inderagiri berhasil dihilangkan
berdasarkan perjanjian Tractat van Vrede en Vriendschap pada tanggal 27
September 1838.
veniwidyasti.blogspot.com
Rumah Tinggi dibangun oleh Raja Haji Muhammad yang bergelar Tengku
Togok pada tahun 1885 M, dan hingga saat ini masih terwarisi dan berdiri
megah.
Kerajaan Kampar
dictio.id
situsbudaya.id
Mesjid ini dibangun pada masa Sultan Mahmud raja dari Malaka. Dimana
sekitar abad ke 15, Kerajaan malaka diserang oleh Portugis.
Meski mesjid ini telah direnovasi berulang-ulang kali, namun wujud asli dari
mesjid tersebut tetap dipertahankan.
Menurut penuturan Datuk Somok, bukti lain kerajaan Kampar kala itu adalah
peninggalan berupa keris, tombak, meriam, lelo, pedang, peti dll. Namun
benda- benda itu ikut raib ketika istana itu di robohkan pada tahun 70an.
Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk Paduka
Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang Kayo
Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo
Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala ialah Orang
Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri Panjang
Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer yang setelah
wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan Panembahan
Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang
Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo
Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam
sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500
hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun
1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565.
Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan diganti kan
oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh
Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa
pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah orang-orang
VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka membeli hasil-
hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni
Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun
kemudian ialah pada 1636 loji tersebut ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau
menjual hasilhasil buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi
dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC
Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerjasama dengan Mataram. [ Kerajaan-
Kerajaan Islam di Riau ]
Mesjid Agung Palembang yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610, tetapi
karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi kerenggangan.
Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah
kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659
terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan
Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang
dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan
bangsabangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. [ Kerajaan Islam
di Jambi ]
Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian
dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini
masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung
mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa pemerintahan
putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin
pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-
tokoh, antara lain, Abdussamad alPalimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas
Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad
Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin
Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam
Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta
kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.
Daftar Isi
1. Kerajaan Pagaruyung
2. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pagaruyung
3. Pengaruh Islam di Kerajaan Pagaruyung
Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatera Barat masih sukar
dipastikan. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar
abad ke-7 (674 M) ada kelompok orangorang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh
W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatera.
Islam yang datang dan berkembang di Sumatera Barat diperkirakan pada akhir abad
ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar
Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar
akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam
naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau
yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang
Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di
daerah Kerinci. Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat
seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-
barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus,
dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal
dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.
Kerajaan Islam di Sumatera Barat
Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa
terdapat kedamaian, samasama saling menghargai antara kaum adat dan kaum
agama, antara hukum adat dan syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah
“Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul
pembaruan Islam di daerah Sumatera Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah
dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan
golongan agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang
berkedudukan di Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi
tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para
panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi
kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-
minuman keras. Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di antaranya turut
serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri”
berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat
Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua
dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan
al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah
yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji
Piabang dari Tanah Datar. Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di
kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan
ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan.
Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang
akhirnya melalui pertemuan beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam
dibentuklah kelompok yang disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah
memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri
dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer,
Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku
Kubu Senang. [ Kerajaan Islam di Jambi ]
Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri
itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan
ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu
kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia
terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya
celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri,
memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya. Tahun 1830-1838,
ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara
besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-
pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol,
pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir
1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah
Minangkabau atau di Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke
Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan
ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.