Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

S
E
J
A
R
A
H
KELOMPOK
1
1.Adelya soffy Sembiring

2.Putri Ramadhani

3.Icha claudia

4.Aurel Agiska br.sembiring

5.Rangga Caesar Mwd

6.Arsya Herdianta
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................i
Kerajaan Samudra
Pasai...............................................................................1
Kesultanan Aceh Darusallam.......................................4
Kerajaan kerajaan islam di riau.....................................8
Kerajaan Islam di jambi...............................................14
Kerajaan Islam Di sumatra selatan...............................16
kerajaan islam di sumatra
barat..............................................................................19
1.Kerajaan samudra pasai 1

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai serta tersebut dalam Tambo Minangkabau putra dari Ahlul


Bait Sayyidina Hussein, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu dan menyebut
nama raja yang mukim dari tahun 710 Masehi hingga para anak cucu nya sebagai penyebar
agama Islam di Sumatra, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama
Sultan Malik al-Nasser.[2] Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut
dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada
tahun 696 H atau 1267 M.[5]
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah
dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan Tiongkok nama-
nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat
beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatra waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).[6][7]
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad
Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring
dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345.
Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan
bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[8][9]

Al Malikush Shaleh (1267-1297)[sunting | sunting sumber]

Makam Sultan Malikussaleh

Pada saat itu, orang-orang Islam sudah mendirikan perkampungan di tepi pantai Sumatra.
Mereka berasal dari pedagang-pedagang sumatera yang berdagang di arab dan persia. Hanya
saja, mereka belum sanggup mendirikan kerajaan yang kuat.
Pada tahun 1205, telah naik takhta seorang raja Islam di Daya, Aceh yang bergelar Sri Paduka
Sultan Johan Syah.[1] Beliau bukan penduduk asli Aceh, melainkan keturunan pedagang-
pedagang Islam yang menetap di Aceh. Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa jika dilihat dari
namanya, ada kemungkinan bahwa beliau berasal dari Gujarat. Namun demikian, tidak ada
berita mengenai kelanjutan kerajaan ini.
Kabar berita bahwa masyarakat Islam sudah ada di pantai Sumatra rupanya sampai juga ke
Mekah. Syarif Mekah mengutus seorang ulama bernama Syekh Isma'il agar datang berkunjung
ke negeri Samudra, Aceh. Sebab, di antara negeri-negeri tepi pantai Sumatra, nama Samudra
Pasai lebih terkenal. Syekh Isma'il berangkat menuju Samudra Pasai. Ia melabuhkan sementara
kapalnya di Malabar (Mu'tabar), lalu melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sampai di Aceh, syekh
Isma'il bertemu dengan seorang mantan raja yang bernama Fakir Muhammad. Mantan raja itu
ialah keturunan dari Abu Bakar, sahabat nabi.
Mereka berdua mengunjungi negeri-negeri tepi pantai Sumatra yang telah memeluk agama
Islam, yaitu Fansur (Barus), Lamiri dan Haru. Setelah itu, mereka meneruskan pelayaran ke
negeri Perlak. Disana mereka mendapat informasi bahwa negeri Samudra Pasai yang mereka
tuju rupanya telah terlewat. Terpaksalah kapal mereka dibelokkan kembali. Akhirnya, mereka
berjumpa dengan Merah Silu, kepala kampung di tempat itu.
Setelah mereka berdua mengadakan pertemuan dengan Merah Silu, beliau masuk islam. Beliau
juga diberikan nama Islam, yaitu Sultan al-Malikush Shaleh. Kemudian, mereka memberi tanda-
tanda kerajaan yang langsung dibawa dari Mekah kepada Sultan. Gelar Sultan ini langsung
diberikan oleh Syarif Mekah. Pada saat itu, Syarif Mekah ada di bawah naungan kerajaan
Mamalik di Mesir. Syarif Mekah, atas izin Sultan Mamalik, memberikan gelar Sultan kepada
Merah Silu.[1] Gelar "Al Malikush Shaleh" adalah gelar yang dipakai oleh pendiri kerajaan
Mamalik yang pertama di Mesir, yaitu Al Malikush Shaleh Ayub.
Pada zaman pemerintahan Al Malikush Shaleh, Marco Polo, seorang pengembara bangsa
Venesia, berkunjung ke Sumatra Utara. Pada saat itu, ia belum melihat banyak orang Islam di
Sumatra, kecuali di Kerajaan Perlak saja. Al Malikush Shaleh menikah dengan anak perempuan
Raja Perlak yang telah beragama Islam. Beliau memiliki dua orang putra.

Al Malikuzh Zhahir I (1297 - 1326)[sunting | sunting sumber]


Seorang putra Al Malikush Shaleh diberi gelar Al Malikush Zhahir, sedangkan putranya yang lain
diberi gelar Al Malikul Mansur. Azh Zahir adalah gelar yang dipakai oleh Sultan Mamalik yang
kedua di Mesir, yaitu al Malikuzh Zhair Baibars (1260 - 1277). Al Mansur adalah gelar dari Sultan
Mamalik yang ketiga, yang menggantikan Baibars, yaitu al Malikul Mansur Qalawun (1279 -
1290). Sultan Al Malikuz Zhahir diangkat sebagai sultan kedua Samudra Pasai. Nama kecil
sultan itu adalah Raja Muhammad.

Al Malikuszh Zhahir II (1326 - 1349)[sunting | sunting sumber]


Sultan ketiga Samudra Pasai bergelar Zhahir juga. Nama kecilnya adalah Raja
Ahmad. Hamka berpendapat bahwa besar kemungkinan bahwa sultan inilah yang ditemui oleh
Ibnu Batutah ketika ia singgah di negeri Pasai tatkala Ibnu Batutah diutus Sultan Delhi ke
Tiongkok pada 1345.[1] Ibnu Batutah menceritakan pengamatannya secara rinci, ketika singgah di
Pasai dalam catatan perjalanannya
Berdasarkan catatan Ibnu Batutah, Sultan Pasai bermadzhab Syafi'i. Mahdzhab itu diketahui
oleh Sultan secara mendalam. Sultan pun sanggup bertukar pikiran dengan para ulama ketika
membicarakan masalah agama.  Sultan gemar mendakwahkan agama Islam ke negeri-negeri
tetangga. Sultan juga memiliki armada kapal dagang yang besar. Ketika Ibnu Batutah singgah di
Tiongkok, ia melihat kapal dari Sultan Pasai sedang berdagang di sana. Sultan mengangkat
ulama keturunan bangsa sayid dari Syiraz sebagai qadhi di Pasai.okeeeee guysss

Zainal Abidin (1349-1406)[sunting | sunting sumber]


Setelah Sultan al-Malikuzh Zhahir meninggal, naiklah putranya Zainal Abidin. Ia naik takhta
ketika usianya masih kecil, sehingga untuk sementara, pemerintahan dijalankan oleh pembesar-
pembesar kerajaan.
Kerajaan Siam mendatangi Samudra Pasai. Awalnya, mereka masuk ke negeri Pasai secara
baik-baik. Mereka pun disambut dengan layak oleh Pasai. Mereka mengangkat sebuah peti
besar ke dalam istana, sebagai hadiah untuk Sultan Pasai. Ketika peti itu dibuka, melompatlah
empat orang pasukan Siam keluar dari peti, menangkap sultan yang masih kecil.[1] Sultan Pasai
diculik, dibawa ke kapal, ditawan di dalam istana Siam. Dannn dia sudah meningoy pendo
Orang-orang besar Samudra Pasai terpaksa datang mempersembahkan tebusan ke negeri
Siam, yaitu emas. Mereka memohon agar sultan dapat dibebaskan. Raja Siam mengizinkan,
dengan syarat, Pasai harus tetap rutin membayar emas. Akhirnya, pulanglah Sultan yang masih
muda itu ke Pasai, hingga duduk kembali di atas singgasananya.
Tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba datang pulalah pasukan Majapahit. Diserbunya
Samudra Pasai sekali lagi. Pasai takluk di bawah Majapahit. Siam pun tidak mampu melawan
Majapahit untuk mempertahankan Pasai.
Maharaja Tiongkok mengutus admiral Cheng Ho untuk datang ke Pasai pada tahun 1405. Dalam
riwayat Tiongkok, Raja Pasai pada saat itu ialah Tsai Nu Li A Pi Ting Ki (Zainal Abidin). Cheng
Ho menganjurkan agar Pasai mengakui persahabatan dengan Maharaja Tiongkok, Kaisar
Cheng Tsu. Kaisar ini baru saja merebut kekuasaan dari kaisar yang dahulu, Hwui Ti. Cheng Ho
datang membawa hadiah tanda persahabatan dari Kaisar Tiongkok. Ia pun memberikan janji
bahwa Tiongkok akan tetap membela Samudra Pasai, Malaka dan negeri-negeri lain, jika ada
serangan dari luar, asalkan mereka mengakui perlindungan dari Tiongkok.
Zainal Abidin meninggal dalam satu peperangan melawan negeri Nakur di Aceh. Permaisuri
Pasai menjanjikan bahwa ia sudi menjadi istri bagi siapa saja yang sudi berjuang menuntut bela
kematian suaminya dalam perang itu. Tampillah ke depan, seorang nelayan, untuk mengepalai
tentara yang ingin mengalahkan negeri Nakur kembali. Menurut riwayat Tiongkok, nelayan itu
menang perang, sehingga langsung diangkat menjadi raja, menggantikan raja yang meninggal,
pada tahun 1412.[1]

Akhir Samudra Pasai dan Invasi Portugis[sunting | sunting sumber]


Dalam catatan Tiongkok, putra Zainal Abidin, yang seharusnya berhak menduduki takhta
kerajaan, tidaklah merasa senang hati karena seorang nelayan berhasil merebut takhta
kerajaan. Nelayan itu dibunuhnya, ia pun naik takhta yang memang sudah menjadi haknya.
Raja Iskandar, anak dari Raja Semudra Pasai dibawa oleh Cheng Ho pada tahun 1412 untuk
mengunjungi Tiongkok dan datang menghadap Maharaja Tiongkok. Sesampainya di Tiongkok,
Raja Iskandar meninggal terbunuh. Semenjak itu, jaranglah terdengar hubungan antara Pasai
dan Tiongkok. Kunjungan terakhir Pasai ke Tiongkok tercatat pada tahun 1434.
Sementara itu, Malaka mulai naik, sedangkan Pasai mulai turun. Pelabuhan Pasai berangsur
sepi, pantainya mulai dangkal, kapal-kapal telah lebih banyak berlabuh di pelabuhan Malaka.
Sejak saat itu, pusat kegiatan Islam pindah dari Pasai ke Malaka. Banyak juga warga Samudra
Pasai yang meninggalkan kampung halamannya setelah datang serangan dari Portugis, pada
1521, Maka Sejak saat itu, semakin banyak warga Pasai yang pergi merantau ke Tanah Jawa,
terutama ke Jawa Timur, lalu menetap di sana, ke pusat kekuasaan Majapahit.
Salah seorang warga Pasai yang datang ke Jawa adalah Fatelehan (Fatahillah / Syarif
Hidayatullah). Ia merantau ke Jawa karena negerinya diserang Portugis. Di Jawa, ia berkarir
sebagai panglima perang Demak, untuk mengalahkan Galuh dan Pajajaran. Hingga akhirnya, ia
sukses mendirikan Banten dan Cirebon.
2.Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[2]

Masa Kejayaan

Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[diragukan – diskusikan][butuh rujukan] menuturkan Sultan yang diturunkan
paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah
melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya
dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia
segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang
dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.[4]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki
Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu
kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan).
Sekitar tahun 1870-an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang
asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-
Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan
terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah
dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun
berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar
(yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ,
perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu
dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan
untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur
untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[3]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah
kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat
cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, di mana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin
santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan
utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi
saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea.
Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan
yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan
alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh
Artikel utama: Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26


Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan
pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan
saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum
ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van
Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan
pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk
memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda.
Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[6]
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud
menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama
keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku
Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[7]

Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun
1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad
lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan
memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara
terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk
di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut
mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi
di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar pada masa
pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi
mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah
satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan
Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad
Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai
orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud.
Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski
cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini
dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah
kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari
uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan
nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi
jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.[8]

Pemerintahan
Sultan Aceh
Artikel utama: Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-
1903.

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya
berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud
Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu
kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda
pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname
Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit,
beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam
kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah
Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan,
Gampông Jawa dan Gampông Pande.[9]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris
dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah
Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[10]

3.Kerajaan Kerajaan islam Di Riau


KERAJAAN SIAK
Kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Siak Sri Inderapura, kerajaan ini
merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Kabupaten Siak,
Provinsi Riau, Indonesia.

Siak Sri Inderapura merupakan kerajaan Islam, yang didirikan oleh Raja
Kecik dari Pagaruyung di Buantan.  Raja Kecik memiliki gelar Sultan Abdul
Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta
Johor.

Dalam perkembangannya, di tengah tekanan Imperialisme Eropa, Kesultanan


Siak muncul menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur
Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Jangkauan pengaruh kerajaan ini cukup jauh,yakni hingga ke Sambas di


Kalimantan Barat. Kerajaan ini juga sekaligus mengendalikan jalur pelayaran
anatara Sumatera dan Kalimantan.

Kerajaan Melayu Siak berkembang dan tumbuh dari zaman berdirinya


Kerajaan Gasib yang menganut agama Hindu / Budha.

Kerajaan Gasib merupakan perpecahan Kerajaan Sriwijaya yang pernah


berpusat di Muara Takus pada abad ke XI-XII. Kerajaan Sriwijaya adalah
kerajaan yang berkembang dengan pesat dan gemilang pada zamannya.

Kerajaan Sriwijaya yang pernah berpusat di Muara Takus, runtuh pada abad
awal abad XIII, sehingga timbul kerajaan-kerajaan kecil yang masih
menganut agama Hindu / Budha seperti diLubuk Jambi, Keritang, Kandis,
Bintan dan Tumasik.

Raja Kecik sebagai pendiri kerajaan siak telah meletakkan Islam sebagai
agama resmi dikerajaan siak. Islam diresmikan semasa beliau dinobatkan
sebagai Sultan siak pertama yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah.

Kerajaan siak adalah keturunan Kerajaan Melaka yang tidak terlepas dari
kebudayaan dan keseniannya yang berasal dari Kerajaan Melayu Melaka.
Namum terdapat pengaruh unsur-unsur adat dan budaya serta kesenian dari
suku-suku yang telah lama mendiami negeri Siak.

Selain itu ada juga pengaruh dari budaya dan kesenian dari Cina, Thailand,
Arab, Persi, India serta suku-suku pendatang dari Nusantara Indonesia.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi kebudayaan asli Siak dengan


mereka sehingga terbentuk kebudayaan di kerajaan siak.

Peninggalan Kerajaan Siak

pekanbaru.tribunnews.com

Masjid Raya Pekanbaru merupakan mesjid tertua di Pekanbaru yang


dibangun pada abad ke 18 tepatnya 1762. Mesjid yang terletak di Jalan
Senapelan, Kp. Bandar, Kec. Senapelan, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau ini
memiliki arsitektur tradisional.

Di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4, mesjid
ini merupakan bukti Kerajaan Siak pernah bertahta di Pekanbaru.  Lalu tahta
itu diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah
sebagai Sultan Siak ke-5.

Sejarah berdirinya Mesjid ini dikisahkan ketika di masa kekuasaan Sultan


Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan dan menjadikan Pekanbaru
sebagai Pusat Kerajaan Siak.

Pemindahan pusat kerajaan yang diikuti dengan pembangunan Istana Raja,


Balai Kerapatan Adat, dan Mesjid adalah adat dari Raja Melayu saat itu.

Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur


pemerintahan, adat, dan ulama yang biasa disebut “Tali Berpilin Tiga”.

Kerajaan Indragiri
dictio.id

Kerajaan Indragiri yang berada di bawah kemaharajaan Melayu sebelum


tahun 1641 berhubungan erat dengan Portugis. Tetapi setelah Malaka
diduduki oleh VOC, kerajaan Indragiri mulai berhubungan dengan VOC
yang mendirikan kantor dagangnya di Inderagiri berdasarkan perjanjian 28
Oktober 1664.

Pada masa pemerintahan Sultan Indragiri XVII, undang-undang Inderagiri


disusun. Sultan Indragiri I adalah Sultan Abdul Jalil Syah.
Pada tahun 1765 Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan
ibukotanya ke Japura. Tetapi tanggal 5 Januari 1815 dipindahkan lagi ke
Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII.

Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk
Ketapang tahun 1784. Kekuasaan politik Inderagiri berhasil dihilangkan
berdasarkan perjanjian Tractat van Vrede en Vriendschap pada tanggal 27
September 1838.

Perjanjian tersebut menandakan bahwa kekuatan politik Indragiri telah


dikuasai oleh Hindia-Belanda. Berarti jalannya pemerintahan kerajaan
Inderagiri ditentukan oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Peninggalan Kerajaan Indragiri

veniwidyasti.blogspot.com

Rengat adalah salah satu rumah peninggalan Kerajaan Indragiri. Rmah


tersebut adalah “Rumah Tinggi” yang berada di kelurahan Kampung Besar
Kota, Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu.

Rumah Tinggi dibangun oleh Raja Haji Muhammad yang bergelar Tengku
Togok pada tahun 1885 M, dan hingga saat ini masih terwarisi dan berdiri
megah.

Tapi sangat disayangkan saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan


butuh perhatian dari berbagai pihak.

Kerajaan Kampar
dictio.id

Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka.


Namun sejak masa pemerintahan Sultan Abdullah di Kampar, kerajaan
Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I sebagai pemegang
kekuasaan Kemaharajaan Melayu.

Akibatnya dari masalah itu,Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya


ke Kampar. Tapi Abdullah minta bantuan berhasil mempertahankan Kampar
karena meminta bantuan dari Portugis.

Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, Kampar ada di


bawah pembesar-pembesar kerajaan.
Ada Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan utusan ke Kemaharajaan
melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di
Kampar ditempatkan raja.

Hasil permohonan tersebut dikirimlah seorang pembesar dari Kemaharajaan


melayu, yaitu Raja Abdurrahman yang bergelar Maharaja Dinda I dan
berkedudukan di Pekantua.

Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela


Utama dengan Kerajaan Siak dan Kuantan adalah perdagangan.

Akan tetapi, pada masa pemerintahan penggantinya, Maharaja Dinda II


memindahkan ibu kota kerajaan Kampar tahun 1725 ke Pelalawan.

Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak pada tanggal 4


Februari 1879. Dengan terjadinya perjanjian pengakuannya, Kampar berada
di bawah pemerintah Hindia-Belanda.

Peninggalan Kerajaan Kampar

situsbudaya.id

Banyak bukti peninggalan sejarah yang menggambarkan kebesaran Kerajaan


Kampar. Salah satunya adalah Masjid Kubro yang terdapat di Desa Koto
Perambahan, Kecamatan Kampar Timur ini.

Mesjid ini dibangun pada masa Sultan Mahmud raja dari Malaka. Dimana
sekitar abad ke 15, Kerajaan malaka diserang oleh Portugis.

Raja Malaka beserta pengikutnya melarikan diri, hinggaa khirnya ia menetap


dan tinggal di kampar serta membentuk Kerajaan baru yang disebut Kerajaan
Kampar.

Meski mesjid ini telah direnovasi berulang-ulang kali, namun wujud asli dari
mesjid tersebut tetap dipertahankan.

Menurut penuturan Datuk Somok, bukti lain kerajaan Kampar kala itu adalah
peninggalan berupa keris, tombak, meriam, lelo, pedang, peti dll. Namun
benda- benda itu ikut raib ketika istana itu di robohkan pada tahun 70an.

Begitupun dengan catatan–catatan manuskrip juga tidak ditemukan lagi.


Satu-satunya  yang tersisa dan disimpan dengan baik yaitu cap/stempel sultan
yang dipegang turun–temurun oleh pemangku dan disimpan di
rumah siampu atau rumah suku.
Ada 13 sultan yang pernah memimpin. MakamSultan terakhir terdapat di
Desa Koto Perambahan, dan sampai kini makam tersebut masih terawatt.

Kerajaan Tanjung Negeri


travellboy.wordpress.com

Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan


dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung
Negeri. Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja Wangsa
Jaya setelah mangkat dari tahun 1686-1691 M.

Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung


Negeri yang diserang wabah penyakit, sehingga membawa banyak korban
jiwa rakyatnya.

Meskipun sudah banyak rakyat yang menderita, para pembesar kerajaan


belum mau memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Pada masa ini,
belum ada kesepakatan dari para pembesar kerajaan untuk memindahkan
pusat kerajaan dari Tanjung Negeri.

Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus


berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.

Peninggalan Kerajaan Tanjung Negeri

Peninggalan Tanjung Negeri sampai saat ini belum bisa teridentifikasi,


karena kerajaan ini bukanlah kereajaan yang cukup besar
. 4.Kerajaan di jambi

Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di daerah


Jambi diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13.
Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi masih terbatas pada perorangan.
Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan
Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk
Paduka Berhala. Konon menurut Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala
adalah orang dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal
dengan sebutan Ahmad Salim. Ia menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang
sudah Muslim, turunan raja-raja Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang
Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal. Karena itu kemungkinan besar
penyebaran Islam sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau pertengahan abad ke-
15.

Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk Paduka
Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang Kayo
Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo
Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala ialah Orang
Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri Panjang
Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer yang setelah
wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan Panembahan
Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang
Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo
Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam
sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500
hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun
1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565.
Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan diganti kan
oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh
Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa
pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah orang-orang
VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka membeli hasil-
hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni
Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun
kemudian ialah pada 1636 loji tersebut ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau
menjual hasilhasil buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi
dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC
Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerjasama dengan Mataram. [ Kerajaan-
Kerajaan Islam di Riau ]

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan


antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat
bantuan VOC dan akhirnya menang. Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu
VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian pada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11
Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-perjanjian tersebut
menguatkan monopoli pembelian lada, dan sebaliknya VOC memaksakan untuk
penjualan kain dan opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor
dagang VOC oleh rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart
terbunuh pada 1690 dan Sultan Jambi dituduh terlibat. Oleh karena itu, Sultan Sri
Ingalogo ditangkap dan diasingkan mula-mula ke Batavia dan akhirnya ke Pulau
Banda. Sultan penggantinya ialah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar
Sultan Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan
ia dengan sejumlah pengikutnya pindah ke Muaratebo, membawa keris pusaka
Sigenjei, keris lambang bagi Raja-Raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan.
Sejak itulah terus-menerus terjadi konflik yang memuncak dengan pemberontakan
dan perlawanan Sultan Thâhâ Sayf al-Dîn yang dipusatkan terutama di daerah
Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran yang sengit, Sultan Thaha
gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di Muaratebo.
5.Kerajaan islam di sumatra selatan
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14,
mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas
Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah
kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau Emas”.
Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi
pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh
kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang
sebagai tanah asalnya. Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah
pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti
diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang
berjumlah lebih kurang 10.000 orang. Tetapi banyak yang mati dalam serangan
membantu Demak terhadap Portugis di Malaka. Mereka berdagang dengan Malaka
dan Pahang dengan jung-jung sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditi yang
diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur,
emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya. Meskipun kedudukan Palembang sebagai
pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, namun nama tokoh yang tercatat
menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan
Abdurrahman Khalifat alMukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo
Abdurrahman/Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706. Palembang berturut-turut
diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran
Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Mesjid Agung Palembang yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin  

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610, tetapi
karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi kerenggangan.
Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah
kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659
terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan
Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang
dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan
bangsabangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. [ Kerajaan Islam
di Jambi ]

Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian
dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini
masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung
mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa pemerintahan
putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin
pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-
tokoh, antara lain, Abdussamad alPalimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas
Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad
Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin
Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam
Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta
kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan


Mahmud Badaruddin II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli
1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).
Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang
terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit
Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi
melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima
Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke
Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan
daerah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan
penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad
Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian
diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.
6.Kerajaan Islam Di sumatra barat
slam di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah ini sudah sejak awal
masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan pada
bagian ini ialah Kerajaan Islam di Sumatera Barat. 

Kerajaan Islam di Sumatera Barat

Daftar Isi

1. Kerajaan Pagaruyung
2. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pagaruyung
3. Pengaruh Islam di Kerajaan Pagaruyung

Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatera Barat masih sukar
dipastikan. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar
abad ke-7 (674 M) ada kelompok orangorang Arab (Ta’shih) dan disebutkan  oleh
W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatera.
Islam yang datang dan berkembang di Sumatera Barat diperkirakan pada akhir abad
ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar
Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar
akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam
naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau
yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang
Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di
daerah Kerinci. Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat
seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-
barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus,
dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal
dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.
Kerajaan Islam di Sumatera Barat

Perkembangan agama Islam di Sumatra Barat menjadi sangat pesat setelah


kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang
berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatra. Sehingga
pada abad ke-13, Islam mulai memasuki Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan daerah
pesisir Sumatra Barat lainnya. Islam kemudian juga masuk ke daerah pedalaman
atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut "darek". Di kawasan darek pada saat
itu berdiri kerajaan Pagaruyung, dimana kerajaan tersebut mulai mendapat pengaruh
Islam sekitar abad ke-14. Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat yang ada
di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah
memeluk agama Buddha dan Hindu terutama sebelum memasuki abad ke-7.
Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16 hubungan antara
daerah Sumatera Barat dengan berbagai negeri terjalin dalam hubungan
perdagangan antara lain dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman
merupakan salah satu daerah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Aceh dan
demikian pula sejak penggantinya. Pada abad ke-17 M, terdapat ulama terkenal di
Sumatera Barat salah seorang murid Abdurrauf al-Sinkili yang terkenal bernama
Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan tak disangsikan
lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syattariyah
yang diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran tasawufnya
cenderung kepada syariah dan dapat dikatakan sebagai ajaran neo-sufisme. Syaikh
Burhanuddin dalam masyarakat setempat dikenal sebagai Tuanku Ulakan.
Penyebaran Islam yang bersifat pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi
mencapai klimaksnya pada awal abad ke-19. [ Kerajaan Islam di Sumatera Selatan ]

Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa
terdapat kedamaian, samasama saling menghargai antara kaum adat dan kaum
agama, antara hukum adat dan syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah
“Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul
pembaruan Islam di daerah Sumatera Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah
dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan
golongan agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang
berkedudukan di Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi
tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para
panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi
kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-
minuman keras. Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di antaranya turut
serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri”
berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat
Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua
dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan
al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah
yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji
Piabang dari Tanah Datar. Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di
kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan
ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan.
Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang
akhirnya melalui pertemuan beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam
dibentuklah kelompok yang disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah
memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri
dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer,
Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku
Kubu Senang. [ Kerajaan Islam di Jambi ]

Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri
itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan
ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu
kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia
terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya
celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri,
memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya. Tahun 1830-1838,
ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara
besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-
pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol,
pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir
1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah
Minangkabau atau di Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke
Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan
ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

Anda mungkin juga menyukai