Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Agama Sebagai Sistem Makna

Tugas Pemenuhan Absensi Pertemuan 10 & 11

Sosiologi Agama
Dosen Pengampu: Randal Liandra

Disusun Oleh :
Annisaa Radityasasti 180569201024

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
TANJUNGPINANG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................2
2.1 kmkm................................................................................................................................................2
2.2 kuijhuj..............................................................................................................................................2
BAB III.......................................................................................................................................................3
PENUTUP..................................................................................................................................................3
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................i

Page | i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi manusia. Memiliki
kepercayaan bahkan merupakan bagian dari indentitas seseorang. Agama sekarang ini sudah
berbaur dengan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Tradisi atau kebudayaan seringkali
dibahas terpisah dengan agama, bahkan tak sedikit anggota masyarakat yang salah mengartikan
suatu kebudayaan sebagai agama mauun sebaliknya.
Minimnya pengetahuan yang membahas antara agama dan budaya menjadi salah satu
penyebabnya. Mendiskusikan hingga mempertanyakan mengenai agama acap kali dianggap
sebagai suatu yang tabu. Mempertanyakan bagaimana agama bekerja dipikiran sebagaian orang
dianggap sebagai mempertanyakan agama secara keeluruhan terutama tuhan.
Di Indonesia sendiri, membahas agama dan budaya seringkali terpisah. Tak sedikit
orang yang takut untuk mendiskusikan agama, bahkan lebih jauh lagi melarang seseorang
melakukannya karena takut jika orang tersebut tidak mempercayai agama. Mempertanyakan
bagaiamana agama bekerja bagi sekelompok orang dianggap sebagai tindakan yang
melencengkan agama. Orang yang taat akan agamanya tak seharusnya mempertanyakan
bagaimana sistem agama itu sendiri.
Seperti diketahui bersama, Indonesia dulunya terdiri dari berbagai kerajaan yang
kermudian menyatu perlahan-lahan di bawah jajahan bangsa asing dikarenakan adanya satu
tujuan yang sama. Sejak masa kerajaan, perlahan masuk beberapa agama yang hingga saat ini
diakui di dalam konstitusi Indonesia. Namun dari sebelum masuknya agama-agama tersebut,
beragam kelompok masyarakat di Indonesia telah memiliki kepercayaan lokal mereka sendiri.
Contoh sederhananya adalah bagaimana kelompok masyarakat yang tinggal di pesisir akan
menyembah laut, dan mereka yang tinggal di pergunungan akan menyembah gunung dan hutan.
Kepercayaan lokal tersebut kemudian menjadi adat istiadat dan budaya bagi
penganutnya. Masuknya kepercayaan yang baru kemudian harus beradaptasi dengan adat istiadat
buadaya yang telah terbentuk hasil kepercayaan lokal yang ada. Proses adaptasi tersebut tak
jarang justru menghasilkan kebudayaan yang baru,

Page | 1
Dalam adat Jawa terdahulunya terdapat kebiasaan untuk memberikan sajen pada malam
jumat. Malam jumat kliwon dianggap mengerikan atau angker bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, terlebih orang Jawa, dikarenakan dulunya pada malam ini akan dilakukan ritual
tertentu bagi mereka yang sudah mati. Sesajen dan pembacaan ajian mantra pada batu, pohon,
hutan hingga makam seseorang dilakukan untuk mendapatkan berkat dan kemudahan hidup. Seni
menyinden tidak hanya ditujukan untuk orang-orang terhormat atau bertujuan untuk
menampilkan keindahan. Menyinden juga dulunya dilakukan untuk memberikan nyanyian ke
‘alam yang berbeda’ untuk menyenangkan mereka. Ketika Islam masuk ke Indonesia, perlahan-
lahan kebiasaan ini pun berubah. Kebiasaan memberikan sesajen dan pembacaan ajian mantra
diganti menjadi pembacaan yasin. Jika dulunya orang mengirimkan sesajen kepada anggota
keluarga yang sudah meninggal, diganti dengan mengirimkan yasin.
Agama dan budaya di Indonesia telah bersinggungan dalam waktu yang lama, namun
pembahasannya masih jarang ditemukan karena adanya anggapan tabu yang memutarinya.
Agama dan budaya tak speenuhnya perlu dipisahkan ketika dibicangkan, terlebih di Indonesia
yang pada dasarnya memiliki beragam kebudayaan.
Pada makalah ini, penulis ingin membahas mengenai agama sebagai sistem pemaknaan
dalam kebudayaan terutama kebudayaan yang ada di Indonesia. Pembahasan ini diharapkan
mampus memberikan pemahaman kepada pembaca terkait agama sebagai sistem pemaknaan dan
pemaknaannya kepada budaya yang ada di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana agama dalam sudut pandang sosiologi?


2. Bagaimana maksud dari agama sebagai sistem makna dalam budaya di
Indonesia?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk memahami agama dalam sudut pandang agama.


2. Untuk memahami agama sebagai sistem makna dalam budaya di Indonesia.

Page | 2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Agama dalam Sosiologi

Agama memiliki pengaruh yang besar pada kehidupan manusia. Hal ini karena adanya
kepercayaan dan nilau a dari agama yang memberikan motivasi kepada mereka yang menjadi
pengikutnya. Agama juga mampu mengatur kehidupan bersama bagi kelompok-kelompok yang
mengikutinya. Agama mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, namun beberapa segi
kehidupan manusia juga turut mempengaruhi agama. Studi sosiologis terkait agama dipandang
menarik karena dua alasan,
1. Agama merupakan fenomena yang penting bagi banyak orang. Praktik kehidupan
keagamaan merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi pemeluknya. Tak sedikit
ajaran-ajara, nilai dan norma yang berasal dari agama memperngaruhi tingkal laku
individu yang beragama. Dari ini, sosiologi melihat mempelajari makna agama bagi
pemeluknya.
2. Hubungan yang dimiliki agama dan masyarakat. Aspek keidupan mampu
mempengaruhi agama, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan
kehidupan keagamaan yang bersifat kontekstual. Agama yang sama bisa dihayati
secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda pula.
Tak sedikit sosiolog yang mengarahkan penelitian mereka terhadap pengaruh agama
bagi masyarakat. Max Weber sendiri membuat penelitian mengenai hubungan antara agama dan
kemajuan hidup perekonomian. Weber menemukan jika dampak yang berbeda pada agama-
agama Timur dan agama Protestan di Eropa Barat. Karl Marx melihat agama sebagai
penghambat dalam usaha memajukan kehidupan ekonomi dan lebih jauh lagi mengatakan agama
sebagai candu bagi masyarakat. Emile Durkheim mencari tahu bagaimana kepercayaan agama
mampu menyatukan manusia.
Agama dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan pembincangan disegani oleh
manusia. Dikarenakan sifatnya yang dianggap pribadi, agama tak jarang sulit untuk diteliti
dengan perspektif sosiologi yang bersifat sosial. Di satu sisi, agama memang bersifat pribadi

Page | 3
bagi individu, namun di saat yang bersamaan agama juga bersifat sosial karena sering melibatkan
orang lain.
Ada dua ciri pokok perspektif sosiologis tentang agama yang membedakan dia dari
pendekatan non-ilmiah dalam studi terkait agama yaitu empiris dan objektif. Sifat empiris
tampak ketika para sosiolog berusaha mendasarkan inteprestasinya pada data. Mereka berusaha
membuktikan bahwa penjelasan mereka tentang kenyataan sosial yang disebut agama itu
didasarkan pada pengalaman-pengalaman konkrit yang selalu bisa dicek kembali kebenarannya.
Sifat objektif tampak ketika intepretasi sosiologis tentang agama sama dibuat menurut apa
adanya (das Sein) dan bukan menurut apa yang seharusnya (das Sollen) atau apa yang
diharapkan (das Wollen). Para ilmuan sosial sama sekali tidak bermaksud untuk menilai,
menerima, atau menolak isi dari agama-agama itu. Mereka bahkan mengesampingkan pendapat
pribadi mereka dan berusaha untuk mengamati serta menafsirkan fenomena keagamaan se-
objektif mungkin.
Kenyataan sosial tentang agama yang dipahami menurut cara pandang sosiologi tidak
bisa menolak kenyataan sosial tentang agama menurut kacamata seorang beriman. Seorang
sosiolog, misalnya, tidak bisa mengkleim bahwa tidak mungkin ada wahyu atau tidak benar
bahwa wahyu itu betul-betul disampaikan oleh Allah karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Sebaliknya, seorang beriman tidak bisa mempersalahkan seorang sosiolog yang tidak menerima
bahwa wahyu tidak berasal dari Allah karena tidak bisa dibuktikan secara empiris. Masing-
masing benar menurut perspektifnya sendiri-sendiri.
Kedua cara pandang ini kadang-kadang sulit memperoleh titik temu. Persoalannya
adalah bahwa perspektif sosiologis umumnya tidak mengandaikan iman. Sedangkan seorang
beriman menerima kepercayaan-kepercayaan atau pandanganpandangan tertentu berdasarkan
iman. Iman mengandaikan bahwa makna-makna atau praktik-praktik tertentu di dalam
kehidupan keagamaan diterima begitu saja (taken for granted) dengan penuh penyerahan diri
tanpa berusaha terlalu banyak untuk mempertanyakannya. Sebaliknya, seorang sosiolog tidak
bisa menerima begitu saja makna-makna atau praktekpraktek itu kalau tidak bisa dibuktikan
secara obyektif-ilmiah berdasarkan hasil studi yang empiris.
Dalam arti tertentu sosiologi kadang-kadang harus mengesampingkan atau set aside or
bracketting pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan iman. Sosiologi, misalnya,
mempertanyakan sejauh mana fenomena tertentu itu sungguh-sungguh berasal dari Allah?

Page | 4
Ataukah fenomena tertentu tidak lebih dari sebuah fenomena manusiawi semata-mata. Hal ini
sama sekali tidak berarti bahwa sosiologi menganggap semua tingkah-laku dan pengalaman
keagamaan sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi sematamata. Harus diakui bahwa pasti ada
dimensi-dimensi kehidupan beragama yang tidak bisa diinterpretasikan secara sosiologis.
Sebaliknya harus pula diakui bahwa pola tingkah laku dan pengalaman keagamaan juga bersifat
manusiawi dan karena itu bisa menjadi obyek kajian dan penelitian sosiologis

Agama memainkan peranan yang sangat penting di dalam kehidupan sosial. Ada tiga
perspektif yang bisa digunakan untuk menganalisis agama, yakni analisis teori fungsionalis
struktural, analisis teori konflik, dan analisis teori interaksionisme simbolik.

1. Analisis Teori Fungsionalis Struktural

Teori Fungsionalis Struktural memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari
berbagai elemen. Ketika satu elemen tak terhubung dengan elemen yang lain dan
berfungsi denga tidak baik maka akan menyebabkan kemacetan pada sistem secara
keseluruhan. Agama sebagai salah satu elemen dalam sistem sosial turut berkontribusi
dalam menentukan keberfungsian masyarakat secara keseluruhan. Agama memiliki
peran yang cukup penting dalam menciptakan masyarakat masyarakat yang terintergrasi
atay integrase sosial /equilibrium. Terdapat tigas fungsi agama yang turut ikut
menciptakan masyarakat yang terintegrasi atau equilibrium.

 Agama menciptakan kohesi sosial. Agama mempromosikan kesatuan atau kelekatan


sosial antar pemeluknya melalui nilai dan norma yang dihayati bersama simbol
keagamaan. Dalam agama modern, nilai dan norma agama tersebut dirumuskan
dalam doktrin yang disebarkan melalui khotbah, dakwah, pelajaran agama dan
sebagainya. Dalam masyarakat modern, nilai dan norma tersebut disebarkan melalui
adat istiadat, mitologi hingga beragam tabu. Simbol-simbol keagamaan bisa
ditemukan dalam modern maupun dalam agama asli pada masyarakat pra-insudtri.

 Agama berfungsi melakukan kontrol sosial terhadap pemeluknya. Norma agama


umumnya diasalkan pada wujud yang tertinggi seperti Tuhan dan Dewa-Dewi
sehingga memiliki kekuatan yang tinggi dan bertahan dalam jangka waktu yang

Page | 5
lama. Dalam menjamin kepatuhan penganutnya, dilakukan kontrol sosial. Kontrol
sosial ini dilakukan dengan dua acara, yakni menetapkan doktrin-doktrin yang
menimbulkan rasa takut bagi yang melanggar, yang kedua adalah menentukan
hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran.

 Agama memberikan makna kepada manusia yang mengalami krisis hidup. Manusia
sering kali mengalami situasi-situasi batas seperti kematian, sakit berkepanjangan,
kecelakaan, bencana alam, situasi kaos, frustrasi, putus asa, dan ketak-bermaknaan
di dalam hidup. Dalam situasi-siatuasi seperti itu kepercayaan keagamaan
menawarkan makna-makna dan tujuan-tujuan hidup yang melampaui tujuan di
dunia ini. Setiap agama tentu memiliki teodiceteodice sehingga kendati berada
dalam situasi krisis seseorang masih mampu bertahan dan melanjutkan hidup karena
maknamakna yang diberikan oleh agama

2. Analisis Teori Konflik

Analisis teori konflik tentang agama umumnya berasal dari pandangan Karl Marx. Marx
melihat agama sebagai satu instrumen yang digunakan oleh para penguasa untuk
mempertahankan statusquo yang menguntungkan diri mereka sendiri dan merugikan
kaum buruh. Selain itu, Marx juga melihat agama sebagai candu bagi masyarakat.
Agama mengalihkan perhatian manusia dari penderitaan yang riil yang sekarang dialami
dengan menjanjikan kehidupan yang lebih berbahagia di dalam dunia yang akan datang
asalkan saja mereka bertahan di dalam penderitaan. Sebenarnya Marx mengakui bahwa
agama mempunyai kekuatan untuk mempersatukan masyarakat tetapi di dalam
pandangannya, kesatuan tersebut hanya melanggengkan ketidak-adilan atau perbedaan
yang terlalu menyolok antara orang kaya dan orang-orang miskin. Karena itu Marx
menganjurkan revolusi atau perubahan radikal sehingga kedua kelompok itu bisa sama-
sama memperoleh keuntungan.

Marx turut menjelaskan bagaiamana agama mampu membuat orang-orang berkuasa


tetap berkuasa. a. Caranya adalah dengan menciptakan doktrin sedemikian rupa
sehingga dipercaya bahwa kekuasaan yang mereka miliki adalah sesuatu yang sakral dan
berasal dari Allah dan karena itu harus ditaati. Orang yang tidak patuh pada kekuasaan

Page | 6
yang sudah dilegitimasi sebagai sesuatu yang suci itu akan mendapat hukuman di dalam
kehidupan yang akan datang. Pada saat akhir hidupnya ketika berpindah ke Inggris,
Marx mengamati bagaimana raja-raja secara tradisional dimahkotai oleh Pimpinan
Gereja Anglican. Hal tu menunjukkan kedekatan atau aliansi antara raja dan pimpinan
agama. Konsekuensinya adalah ketika kekuasaan dilegitimasi sebagai sesuatu yang suci
maka rakyat harus patuh pada kekuasaan walaupun kekuasaan itu telah menciptakan
banyak ketidak-adilan sosial. Mereka bertahan dalam situasi ketidak-adilan karena takut
akan mendapat hukuman yang lebih berat dalam kehidupan yang akan datang.

Max Weber tidak sependapat dengan Karl Marx yang melihat agama sebagai
penghalang bagi kemajuan ekonomi. Sebaliknya dalam studi Weber tentang etika
protestan dan semangat kapitalisme di Eropah Barat dia menemukan bahwa agama
mempunyai kontribusi dalam kebangkitan kapitalisme di Eropah Barat. Berdasarkan
ajaran agamanya, orang-orang Protestan berhasil mengembangkan sebuah etika yang
disebut etika prostestan yang berdampak pada perkembangan ekonomi kapitalisme di
Eropah Barat. Ada kritik-kritik terhadap pendapat baik yang berasal dari Karl Marx
maupun terhadap karya Weber di Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik-
kiritik itu akan dibahas secara khusus dalam uraian tentang pandangan Marx dan Weber
mengenai agama.

3. Pandangan Fenomenologi – Interaksionisme Simbolik

Peter L. Berger, salah seorang pendukung teori fenomenologi, telah banyak memberikan
kontribusi dalam studi tentang agama. Pemikiran Berger tentang agama dipengaruhi
oleh teori interaksionisme simbolik yang melihat masyarakat sebagai terus berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol budaya. Menurut beliau, masyarakat adalah hasil
atau produk manusia, tetapi produk manusia yang memaksa penciptanya untuk
mengikuti kemauannya. Dengan kata lain, masyarakat dengan segala komponennya
termasuk agama merupakan sesuatu yang dikonstruksi manusia tetapi pada gilirnya
memengaruhi manusia itu untuk melakukan apa yang diinginkannya.

Dalam pandangan Peter L. Berger, agama adalah hasil kontruksi sosial masyarakat sama
seperti institusi-institusi lain di dalam masyarakat namun diberikan kualitas keilahian

Page | 7
dan dikaitkan dengan Wujud Tertinggi. Anggota-anggota masyarakat mempelajari arti
dari yang suci itu melalui proses sosialisasi seperti berdoa sebelum makan, sumpah di
bawah kitab suci, meresmikan perkawinan melalui upacara keagamaan, mengikuti
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Berger menjelaskan bahwa alasan
utama masyarakat menciptakan atau mengkonstruksi yang suci adalah untuk
melegitimasi dan menguatkan pola-pola kehidupan sosial. Agama dimasukkan ke dalam
kegiatan seperti sumpah, perkawinan, atau pelantikan dan lain-lain untuk meligimasi dan
memberi kekuatan pada kegiatankegiatan karena dikaitkan dengan kekuatan
supernaturan atau Wujud Tertinggi. Hal itu bisa dipahami karena masyarakat dengan
segala komponen yang ada di dalamnya adalah ciptaan manusia dan karena itu dia
terancam rapuh dan bisa bubar kapan saja. Oleh sebab itu diberikan kekuatan ilahi
dengan melibatkan kekuatan supernatural.

Dengan cara seperti ini perkawinan yang sebenarnya merupakan satu peristiwa sekular
diberi legitimasi sebagai sesuatu yang suci dan merupakan hukum Tuhan dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan itu diatur oleh hukum Tuhan. Misalnya,
suami tidak boleh hidup bersama sebelum diresmikan oleh upacara keagamaan.
Hubungan intim yang dilakukan sebelum perkawinan dianggap sebagai dosa. Simbol-
simbol dari yang suci itu digunakan dalam situasi-situasi krisis, perang, atau bencana
alam. Orang yang mungkin tidak biasa berdoa, tetapi dalam situasi-situasi batas seperti
sakit berkepanjangan atau kematian yang beruntun akhirnya menggunakan simbol-
simbol keagamaan seperti berdoa atau melakukan ritual-ritual tertentu.

Namun demikian Peter L. Berger menjelaskan bahwa kemampuan dari Yang Suci itu
untuk memberikan legitimasi atau ketahanan pada masyarakat akan tetap terjaga sejauh
Yang Suci yang dikonstruksi secara sosial itu tidak dikenal oleh masyarakat. Dengan
kata lain, Yang Suci itu tetap mempunyai kekuatan yang luar biasa kalau masyarakat
tidak tahu bahwa sebetulnya Yang Suci itu merupakan hasil konstruksi sosial. Konsep
tentang perkawinan yang suci akan kehilangan kekuatannya kalau warga masyarakat
tahu bahwa perkawinan adalah peristiwa sekular semata-mata dan legitimasi suci yang
dibeikan kepadanya merupakan hasil konstruksi sosial. Karena itu setiap warga

Page | 8
masyarakat tidak akan mengatakan bahwa simbol-simbol keagamaan itu adalah ciptaan
manusia dan sesungguhnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

2.2 Agama Sebagai Sistem Makna dalam Budaya

Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Selain itu, ada pendirian lain mengenai asal kata dari “kebudayaan”, yaitu bahwa kata tersebut
adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, yang mempunyai arti yaitu daya dari budi,
kekuatan dari akal. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan oleh generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstrak dan luas.

Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud, antara lain:

1. Sebagai suatau kompleks dan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma,


peraturan dan sebgainya.
2. Sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
3. Sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Kebudayaan itu secara sosial terdiri dari struktur-struktur makna dalam terma-terma
berupa sekumpulan simbol yang dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat
hidup di dalamnya ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian
menghilangkannya. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang fisik, sekalipun memang terdapat hal
objektif di dalamnya. Kebudayaan digambarkan sebagai pola makna-makna (a pattern of
meanings)atau ide-ide yang termuat di dalam simbol, yang dengannya masyarakat menjalani
pengetahuan mereka (kognisi) tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran itu melalui
simbol-simbol itu.

Page | 9
Agama sebagai sistem kebudayaan artinya simbol/tindakan simbolik yang mampu
menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam
diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan
melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada akhirnya perasaan dan
motivasi itu akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.

Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya tidak akan dapat berdiri sendiri,
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Agama sebagai suatu
pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan
budaya merupakan suatu kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu
sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama dan budaya
saling mempengaruhi kebudayaan, kelompok masyarakat dan suku bangsa.

Agama menjadi wadah untuk menetapkan makna. Agama tidak hanya memberi
interpretasi atas kenyataan, tetapi pada waktu yang sama mempengaruhi kenyataan itu. Agama
sebagai wadah yang berusaha memasukkan pengalaman hidup sehari-hari ke dalam makna-
makna yang tersedia. Selanjutnya, makna-makna tersebut mengarahkan dan mempengaruhi
kehidupan seseorang dan menghubungkan individu dengan kelompok sosial yang lebih luas.
Agama sebagai sistem kebudayaan menjadi salah sumber kekuatan dan jalan keluar atas chaos
yang seringkali dihadapi oleh setiap manusia. Kekuatan yang diberikan agama terhadap manusia
yang terancam oleh chaos yang mengerikan dan menakutkan itu dapat diterima, dijalani dan
diderita. Kebuntuan secara intelektual, tekanan emosional yang tidak dapat ditanggung oleh
manusia, dengan beragama hal semacam itu mendapatkan jalan keluarnya. Kegembiraan yang
diberikan agama kepada manusia berbanding sama dengan chaos yang mengancam eksistensi
manusia itu.

Menurut Kuntowijoyo (2001: 196), agama dan budaya adalah dua hal yang saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi, baik dalam mengambil bentuk, simbol, maupun isi/nilai.
Proses penerimaan Islam dalam masyarakat tradisional, terutama masyarakat Jawa, akulturasi
antara agama dengan budaya lokal cukup kuat. Masyarakat Jawa berhasil mengembangkan
kebudayaan yang kaya raya dengan menyerap dan memanfaatkan unsur-unsur agama dan
kebudayaan HinduBudha, dengan menyesuaikannya dengan tradisi Kejawen

Page | 10
Indonesia merupakan negara dengan keaneka ragaman suku bangsa yang dibungkus
dalam tradisi serta adat istiadat setempat. Dalam setiap pengaplikasiannya disetiap daerah,
masing-masing budaya memiliki nilai sejarah dan corak bentuknya diwarnai oleh berbagai
unsur-unsur budaya dan agama. Fenomena antara agama dan budaya terjadi secara natural dan
intens di masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat Jawa, tak jarang hal ini telah
melahirkan sikap keagamaan masyarakat muslim di Jawa yang sangat variatif, seperti halnya
kemunculan sikap keagamaan dari sebagian komunitas muslim tertentu yang dengan semangat
membara untuk melakukan purifikasi Islam dari kemungkinan praktik akulturasi budaya
setempat, sementara sebagian kelompok lainnya berupaya membangun pola dialektika antar
budaya dan agama secara harmonis dan intensif. Karena dari beberapa komuitas tersebut telah
memiliki keyakinan bahwa hakikat Islam yang mereka yakini adalah berasal dari samawi ,
sementara yang lain meyakininya bahwa Islam itu adalah manifestasi pertemuan antara budaya
dan agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa fakta tersebut terjadi secara sistematik dari waktu ke
waktu.

Dalam istilah ilmu agama, agama dapat dianggap sebagai akumulasi pengalaman
manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan realitas (Realitas Mutlak), yang di
yakini menguasai dan menentukan nasibnya. Pengalaman manusia beragama kemudian
mengekspresikan diri dalam tiga sifat yaitu:

- pemikiran (teoritis), seperti dogma (keyakinan), doktrin, ajaran dan konsep-konsep


- praktis atau perbuatan yaitu ibadat dan berbagai tingkah laku keagamaan
- sosiologi atau kelompok, yakni berbagai bentuk persekutuan atau kelompok
keagamaan
Hal ini karena agama selalu hadir dalam kehidupan masyarakat, maka pengalaman
beragama senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu, yaitu antara agama “murni” di satu
pihak dengan ruang dan waktu sedangkan pihak lain senantiasa terjadi interaksi dan
pengaruhmempengaruhi sehingga agama tampil dengan wajah yang berbeda dari waktu ke
waktu, dari tempat yang satu dengan yang lainnya, sekalipun esensi dan dasar-dasar agama
tetaplah sama. Faktor kontektual sangat mempengaruhi tempilan agama dalam kurun waktu dan
tempat tertentu seperti yang telah di perhatikan oleh ilmuan sejarah agama-agama. Agama
menurut Spencer mengatakan bahwa pada dasarnya agama berisi “keyakinan akan adanya

Page | 11
sesuatu yang Maha Kekal yang berada diluar intelek”, begitu juga dangan Max Muller, dia
melihat seluruh agama sebagai “ usaha untuk memahami apa-apa yang tidak dapat dipahami dan
untuk mengungkapkan apa yang tidak dapat diungkapkan, sebuah keinginan kepada sesuatu yang
tidak terbatas”.
Seperti dalam Agama Islam yang selalu mengajarkan kepada penganutnya untuk selalu
berperilaku baik, saling menghormati, silahturahmi, musyawarah, bersosialisasi, dan melarang
penganutnya untuk berbuat perbuatan yang buruk atau tercela. Karena Islam sebagai suatu ajaran
Ilahi yang bersumber dari wahyu mengandung nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari bagi umat
manusia baik dalam aktifitas politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Maka dalam
tradisi Islam adalah yang datang dari segala hal untuk melahirkan jiwa Islam. Karena secara
eksistensial, bila keagaman dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian
melahirkan apa yang di sebut “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan dalam
perilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Dengan demikian,
agama sebagai sakral menjadi subtansi atau inti kebudayaan yang menjadi semangat agama.
Fenomena pluralitas kultural yang telah berjalan dalam lingkup kehidupan sosial telah
membangun tradisi yang melekat dalam masyarakat. Maka ketika fenomena pluralitas kultural
dan pemahaman agama menjadi menonjol dapat dilihat dari manifestasinya dalam budaya.
Dengan adanya penggunaaan tradisi maka setiap individu akan selalu mengingatkan
tentang eksistensi mereka dengan lingkungan karena melalui tradisi sajen masyarakat akan
terbiasa untuk menggunakan simbol-simbol bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran
untuk berbagai kegiatan sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, simbol
yang ada dalam sajen adalah hal yang sangat mereka kenal dan pahami karena sudah mereka
pahami di kehidupan sehari-hari. Pada kenyatannya setiap manusia memiliki pemikiran yang
berbeda-beda dengan di dorong oleh faktor internal dan eksternal yang kemudian menjadi
subyektif sehingga kebenaran pemikiran itu pun relatif. Banyak pendapat tentang kepercayaan
pelaksanaan sajen tersebut pun muncul dari hasil pemikiran, yaitu kebenaran mitos, rasional, dan
kebenaran ilmiah. Mitos adalah sebuah pemikiran yang sederhana dikala seseorang tidak bisa
berfikir dengan rasional dan tidak mampu menjawab dengan akalnya.
Pada kenyatannya setiap manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda dengan di
dorong oleh faktor internal dan eksternal yang kemudian menjadi subyektif sehingga kebenaran
pemikiran itu pun relatif. Banyak pendapat tentang kepercayaan pelaksanaan sajen tersebut pun

Page | 12
muncul dari hasil pemikiran, yaitu kebenaran mitos, rasional, dan kebenaran ilmiah. Mitos
adalah sebuah pemikiran yang sederhana dikala seseorang tidak bisa berfikir dengan rasional dan
tidak mampu menjawab dengan akalnya.

Page | 13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Agama dan budaya memiliki keterkaitan yang kuat. Agama bisa dikatakan sebagai
sistem penting dalam masyarakat. Agama turut pula mempengrahui kebudayaan yang ada dalam
suatu kelompok. Baik agama dan budaya merupakan identitas bagi individu. Memisahkan
perbiincangan antarra agama dan budaya hanya karena rasa tabu merupakan hal paling rendah
yang bisa dilakukan seseorang. Sebagai simbol dan identitas dari seseorang, keduany memiliki
peran yang amat penting dalam sistem. Bagaimana seseorang mengolah keduanya akan
memberikan dampak dalam jangka yang panjang. Budaya yang dihadirkan dari agama cenderung
mampu bertahan lebih lama dalam masyarakat dan mampu dengan lebih ketat mengontrol
perilaku penganutnya. Landasan aturan agama yang datang dari Wujud Tertinggi mampu
menjadi kontrol bagi keberlangsung sistem.

Page | 14
DAFTAR PUSTAKA

MARKHOMAH, A. F. (2019). Skripsi. MAKNA AGAMA DALAM RITUAL SAJEN PADA


TRADISI PERNIKAHAN DI DESA BLENGORKULON KEC.AMBAL KAB. KEBUMEN.
PURWOKERTO: FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA.

Raho, B. (2019). SOSIOLOGI AGAMA. Yogyakarta: Ledalero.

Page | i

Anda mungkin juga menyukai