Anda di halaman 1dari 15

SOSIOLOGI AGAMA

“AGAMA RELIGI DAN AD – DIIN”

Diajukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah sosiologi agama yang diampu oleh dosen:
Alpizar Dr., M.Si

Disusun oleh:

Fadillah (12230324928)

Renji arjuna(12230312571)

Zainab Amr (12230325332)

kelompok 2

STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULIDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2023


KATA PENGANTAR

Dengan ini mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Dengan rahmat ,kesempatan
dan hidayahnya kita dapat menyelesaikan makalah yang berjudul“Agama Religi dan Ad-diin”.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas “SOSIOLOGI AGAMA”

Penyusunan makalah ini kami sesuaikan dengan referensi yang kami dapat kami
menyadari bahwa penulisan serta isi dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan.oleh kerna
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca makalah ini untuk menyempurnakan
penulisan serta isi makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
dan bermanfaat untuk lebih mengetahui tentang pengertian dan ruang lingkup dari Sosiologi
Agama

Pekanbaru, Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
A. Pengertian Agama, Religi dan Ad-diin....................................................................
B. Perbedaan dan persamaan Agama, Religi dan Ad-diin...........................................
C. Bentuk-bentuk Agama, Religi dan Ad-diin.............................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................


A. Kesimpulan..............................................................................................................

KEPUSTAKAAN................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama, Religi, dan Ad-din dapat berkaitan dengan sejarah panjang manusia dan
kebutuhan manusia untuk mencari dan menjelaskan makna hidup, fenomena alam, dan
hubungan dengan kekuatan yang lebih besar.

Agama sering dianggap sebagai sebuah sistem kepercayaan dan praktik yang
bersifat supernatural, yang memberikan panduan moral dan etika, dan membantu manusia
mencapai pemahaman tentang diri dan keberadaan mereka. Religi, dalam arti yang sama,
mengacu pada penyembahan, kepercayaan, atau sistem spiritual yang dipegang oleh
sekelompok individu atau masyarakat.

Sementara itu, ad-din adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "agama" atau
"ketundukan" dalam konteks Islam. Dalam Islam, ad-din mengacu pada hubungan
manusia dengan Allah dan praktek-praktek agama yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian-pengertian dari Agama, Religi dan Ad-diin?

2. Apa perbedaan dan persamaan antara Agama, Religi dan Ad-diin?

3. Apa saja Bentuk-bentuk Agama, Religi dan Ad-diin ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama, Religi dan Ad-diin

Agama, Religi, dan Ad-diin sangat bervariasi di seluruh dunia. Setiap wilayah atau
negara dapat memiliki agama-agama utama yang berbeda atau keragaman praktik
keagamaan yang melibatkan berbagai agama. Agama-agama seperti Kristen, Islam,
Hindu, Buddha, dan Yahudi adalah contoh agama-agama utama yang memiliki pengikut
besar di banyak bagian dunia.

Agama dan ad-diin juga dapat memainkan peran penting dalam budaya,
pemahaman sejarah, dan hubungan sosial. Mereka dapat membentuk identitas individu
dan kelompok, mempengaruhi kebijakan publik, dan berperan dalam mengorganisir dan
mengatur masyarakat. Agama, religi, dan ad-diin adalah subyek yang kompleks dan
memiliki makna yang beragam bagi setiap individu. Hal ini juga berkaitan dengan
kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang diakui secara internasional.1

Berikut pengertian-pengertian Agama, Religi dan Ad-diin:


a. Agama

Agama yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan gama =
kacau) dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka
kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, selamat
dan tentram. Dengan demikiran prinsip dan misi agama pada hakekatnya adalah
berusaha mewujudkan kehidupan yang tidak kacau. Walaupun demikian, konsep
kedamaian dan kesejahteraan boleh jadi hanya bersifat sementara dan duniawiyah saja,
sedangkan prinsip kesejahteraan yang abadi boleh jadi tidak menjadi prioritas
keberagamaan.2

Dalam memberlakukan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan dan


kedamaian hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama yang berbeda-beda yang cenderung
menjadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam kajian ilmu agama terutama
dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan kepercayaan serta aktualisasi peribadatan
mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang didapat, misalnya balasan amal di
akhirat (Surga dan Neraka menurut agama Islam atau Nirwana dan Hukum Karma
menurut agama Hindu).3

1
Bernard Raho SVD, Agama Dalam Perpektif Sosiologi. Jakarta: OBOR, 2013.
2
Ishomudin, Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
3
Adnan, Gunawan. 2020. Sosiologi Agama; Memahami Teori dan Pendekatan. Banda Aceh; Ar-
rainiry Press.
Aplikasi hubungan dengan eksistensi yang transendent melahirkan berbagai
konsep agama dan aktualisasinya. Di Indonesia berkembang pemikiran bahwa setiap
sesuatu me-miliki “roh” yang didalamnya tersimpan kekuatan magic dan mistik yang luar
biasa. Konsep animisme menjadi wujud adanya hubungan antara manusia dengan
eksistensi yang transendent dan sudah barang tentu sangat abstrak dan cenderung tidak
dapat dijelaskan realitasnya baik dari segi dogmatik maupun dari segi nalar – kemudian
berkembang menjadi dinamisme.

Prinsip-prinsip Dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit, karena ia mampu


menjelaskan wujud eksistensi yang transendent dalam beberapa eksistensi yang profan
(tidak suci dan bersifat kebendaan). Ia menganggap bahwa semua benda atau benda
tertentu memiliki kekuatan supra natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan lewat
kehebatan yang diluar kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent tersebut ternyata
tidak hanya masuk pada benda tertentu, melainkan masuk juga pada binatang atau hewan
tertentu yang kemudian dikenal dengan “Totemisme”, misalnya sapi, ular dan kucing. 4

b. Religi

Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk menggambarkan hal yang
sama dengan agama. Dalam An English Reader’s Dictionary terdapat tiga kemungkinan
kata yang berkait dengan Religion, yaitu Religi, Religion dan Religious atau
Releigiusitas.5

Pertama; Religi dalam tinjauan antropologi sering dikaitkan dengan ritual


(upacara agama/ ibadah) untuk menundukkan kekuatan gaib terutama pada masyarakat
primitif. Perwujudan dari konsep Religi tersebut adalah ritus dan peribadatan dalam
agama, pengusiran dan penundukkan kekuatan gaib berupa praktek mistik dan magic dan
masih banyak lagi – baik dalam tataran tingkat modern maupun tingkat tradisional.
Artinya sesekali pada masyarakat modern masih dijumpai ritus-ritus tertentu dan untuk
kepentingan tertentu – misalnya ritus yang didasarkan pada ramalan perbintangan
(astrologi-horoscope).

Kedua; Religi digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan yang mendasari
pri-laku Religi atau ritus-ritus tersebut. Dengan demikian Religi atau ritus dalam agama
tertentu tidak akan mungkin ada jika konsep atau aturan agamanya tidak ada. Dalam An
English Reader’s Dictionary karangan A.S. Homby dan E.C Pamwell, disebutkan bahwa
“Religion is a system of faith and worship based on such belief” (sistem kepercayaan dan
penyembahan yang dibangun berdasarkan keyakinan tertentu). Maka Religion dalam
pandangan seperti ini hanya memuat dua unsur yaitu :

4
Hendropuspito, D. 1983 Sosiologi Agama Yogyakarta: Yayasan Kansius-BPK Gunung Mulia
5
Mujtaba, Saifuddin.2007. Muhammad’s Love Message. Yogyakarta : Pustaka Marwa
 Faith (kepercayaan – artinya adanya persepsi yang sadar tentang eksistensi kekuatan
diluar manusia yang memperngaruhi kelangsungan hidup mereka).
 Worship (peribadatan/penyembahan – perlu adanya perwujudan ritus yang kongkrit
sebagai penghambaan dan ketertundukkan manusia terhadap kekuatan tersebut, misalnya
dalam bentuk sesaji, kurban dll.).

Dalam pemikiran yang cukup sederhana – ternyata untuk membuat sesuatu itu
menjadi agama hanya diperlukan dua komponen yaitu komponen kepercayaan (faith) dan
penyem-bahan (worship). Prinsip minimal pembentukan agama tersebut menyisakan
permasalahan yang cukup rumit yaitu mampukah agama tersebut mewujudkan pribadi
yang sejahtera, damai dan selamat terutama untuk untuk kehidupan akhirat yang justru
menjadi tujuan utama beragama. Sebab tidak jarang kita menemukan sekte atau aliran
yang hampir menjadi sebuah agama, tetapi mereka justru menyesatkan dan mencelakakan
pemeluknya.

Oleh sebab itu dalam pandangan saya – agama yang dibentuk berdasarkan prinsip
mini-malis tersebut perlu diwaspadai, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Nurcholis
Madjid – “Kepercayaan yang benar akan melahirkan kedamaian, kesejahteraan dunia dan
akhirat, sedangkan kepercayaan yang salah akan menyesatkan hidup, merusak dan
membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan manusia serta anti terhadap
keselamatan hidup.

Ketiga; Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang Nampak dalam


prilaku sese-orang yang terinternalisasi oleh nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama. Sikap
tersebut menjadi parameter terhadap asumsi seberapa tinggi tingkat penghayatan dan
peng-amalan mereka terhadap nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai
dan tentram, maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan
terhadap ajaran agama – demikian juga semakin keras, kasar, tidak adanya toleransi dan
jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin gersang dan tidak nampak prilaku
keagamaan dalam hidup mereka, boleh jadi sampai pada satu asumsi bahwa agama tidak
dibutuhkan oleh mereka.6

c. Ad-diin

“Ad-Diin”. Kata Ad-Diin dengan mudah dapat kita temukan di dalam al Qur’an,
karena kata tersebut adalah kesatuan tentang ajaran agama Islam. Dalam kajian ilmu
keislaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama yang bersumber pada al Qur’an dan
Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh fid-Diin” – baik itu menyangkut kepercayaan
(aqoid), peribadatan dan hukum-hukumnya (ubudiyah dan syari’ah) dan konsep-konsep
keagamaan lainnya/Muamalah siyasiyah) sebagaimana disebutkan dalam QS. At Taubah
:122.7

Belakangan rumpun Ad-Diin dikembangkan berdasarkan spesifikasi kajian,


sehingga menjadi disiplin ilmu yang bermacam-macam dengan sistematika dan
6
Ajat Sudrajat, DKK, DINUL ISLAM, UNY Press, 2016
7
Daradjat, Zakiyah dkk.2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
metodologi yang berbeda, sedangkan ad-Diin itu sendiri menjadi rumah besar bagi
rujukan dan keabsah-an keilmuan Islam. Didalam al Qur’an kita menemukan banyak
sekali kata-kata ad-Diin, namun kalau diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu :

 Aturan-aturan agama (Qs Asy Syuura : 13 dan 21 dan Qs. Al Haj : 78)
 Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam Qs. Az Zumar : 3 dan
11, Al Bayyinah : 5)
 Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4, Ash Shoffaat : 20,
Ash Shod : 78; Adz Dzaariat : 13; al Waaqiah : 56; al Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al
Infithar : 9, 10 dan 17 dan Al Muthoffifin : 11).

Ketiga unsur pengertian tersebut memilki keterkaitan yang sangat erat, Allah
dengan sifat rahman dan rahim-Nya menurunkan aturan-aturan agama untuk dijadikan
pedoman mengarungi kehidupan dunia. Pedoman tersebut memerlukan ketaatan dan
kepatuhan serta keihlasan yang maksimal dari manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal
moral yang diinginkan oleh setiap aturan. Sebetulnya Allah tidak membutuhkan ketaatan
atau kepatuhan dari manusia, sebab Allah sudah memberikan kebebasan memilih bagi
manusia – apakah manusia mau beriman atau tidak (Qs. Al Kahfi : 29), juga tidak ada
paksaan dalam agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan kebenaran dan kesesatan
(Qs. Al Baqoroh : 256). Kepatuhan dan ketaatan tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan
hasil yang maksimal dari aktifitas dan pengamalan terhadap ketentuan tersebut. Setiap
hukum dan peraturan memerlukan kesadaran dan keihlasan dari pelaku untuk
menghasilkan atau mewujudkan maksud diadakannya hukum tersebut yaitu keselamatan,
ketentraman, keteraturan dan kebenaran.8

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita temukan orang-orang yang mengikuti


atau menjalankan hukum atau agama secara lahiriyah, tetapi secara batiniyah (tidak
nampak) ia mempermainkan hukum atau aturan agama. Aturan agama dapat dijalankan
secara lahiriyah dan batiniyah, maka disinilah pengertian Ad dien yang ketiga berfungsi –
Allah akan menen-tukan dengan sebenar-benarnya siapa hamba-Nya yang ikhlas dan
patuh pada saat hari pembalasan amal yaitu pada hari kiamat nanti.9

Menurut Ulama fiqih; Ad-Diin didefinisikan sebagai

‫الِّدْيُن ُهَو َو ْض ٌع ِالَهٌّي َس اِئٌق ِلَذ ِو ي ْالُع ُقْو ِل ِباْح ِتَياِرِهْم ِاَلي الَّص َالِح ِفي اْلَح اِل َو ْالَفَّالِح ِفي اْلَم ًاِل‬
(“Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan kepada manusia yang berakal
untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di
akhirat”)10
8
Ali, Abdullah. Sosiologi Islam. STAIN Cirebon: IPB Press, 2005
9
Bryan S.TURNER, SOSIOLOGI AGAMA(the new blackwell companion to the sosiology of
religion).Celeban timur;PUSTAKA PELAJAR, cet I ;2013

Drs.H.Rohadi Abdul Fatah,M.Ag , sosiologi agama,JAKARTA ; CV. Tititan Kencana


10

Mandiri, 2004
Dari pengertian tersebut terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

 Bahwa Ad Dien itu adalah aturan-aturan Allah – artinya segala bentuk hukum dari agama
itu bersumber dari Allah, Nabi Muhammad SAW hanya menyampaikan risalah tersebut
kepada manusia tanpa dikurangi atau ditambahi sedikitpun.
 Diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep manusia yang berakal dapat
dibedakan menjadi 2 bagian yaitu berakal dalam konteks syar’iyah dan berakal dalam
konstek kesadaran berfikir.11

Akil-Baligh dalam konsteks syar’iyah adalah situasi dimana hukum-hukum tentang


kewajiban dan larangan agama dibebankan kepada manusia. Indikatornya adalah ketika
manusia mampu memberikan alternatif dan solusi terhadap permasalahan hidup dengan
sadar (kemampuan akliyah) dan Baligh berarti telah sampai pada masa kematangan
reproduksi nya yaitu dengan keluar sperma bagi kaum laki-laki dan menstruasi bagi kaum
wanita. Terhadap orang yang hilang kesa-darannya baik karena gila, tidur atau lupa,
maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya – artinya tidak berhak atas dosa atau
hukuman, jika ia melakukan kesalahan.12

Sedangkan berakal dalam konteks kesadaran berfikir dapat dibedakan menjadi


dua; Pertama yaitu kemampuan mengurai setiap permasalahan dalam kerangka analitis
sistematis; misalnya dalam tinjauan sebab, akibat dan solusinya dengan dasar ilmu yang
realible – dus kemampuan tersebut lebih mengarah pada aspek intelektualitas sese-
orang. Kedua; yaitu kesadaran hati (berfikir dengan hati nurani) terkadang seseorang
memiliki kepandaian intelektual, tetapi ia tidak memiliki kepandaian “Hati Nurani/Qolb”.
Ia mengingkari hukum, melakukan zina, mencuri atau perbuatan melanggar hukum
agama lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina itu haram karena sejelek-jeleknya
perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya tidak mampu menjelaskan hal tersebut
didepan gelora Hati dan nafsu syetannya – maka ketika itu ia tidak berakal sebagaimana
firman Allah dalam Qs. Al A’raf : 178.

 Jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk memahami dan menjalankan aturan
Allah tersebut, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan
keselamatan hidup di akhirat. Artinya bahwa akal yang benar akan membawa pada
pilihan yang benar terhadap apa yang diberikan oleh Allah – dan hal tersebut menjadi
modal untuk memperoleh kebahagiaan.13

11
Dr.Zuly Qadir, Sosiologi Agama ( esai-esai agama di ruang publik).Celeban Timur; pustaka
pelajar,April 2011
12
Muhyiddin Abdusshomad, Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunah (Kajian Kitab
Kuning). Malang: Pustaka Bayan, 2005.
13
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama(suatu pengenalan awal). Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 1995
Kebahagiaan hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak. Standar keba-
hagiaan tidak dapat diukur dengan seberapa banyak ia mempunyai harta benda melain-
kan lebih mengarah kepada kenyamanan, ketentraman dan kemampuan mengendalikan
diri. Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu karena ia memiliki harta benda, melain
kan adanya kelapangan hati”. Oleh sebab itu, agama tidak menjanjikan langsung melim-
pahnya harta kekayaan melainkan kemantapan bathin yang berujung pada komit-men dan
keuletan berusaha. Bagi mereka dunia adalah tempat persinggahan sementara dan
permainan yang melenakan (Qs. Ali Imron : 185, Al An’am : 32 dan Hadid : 20), oleh
sebab itu kekayaan yang paling sempurna adalah ketenangan dalam menjalankan agama
itu sendiri (Qs. Al Maidah : 3).

Sedangkan keselamatan hidup di akhirat adalah keberhasilan seseorang dalam


mempertanggung jawabkan semua aktifitas pelaksanaan amanat hidup sebagai hamba
Allah (Qs. Adz Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (Qs. Al Baqoroh : 30) yang sesuai
dengan yang diperintahkan oleh Allah. Pada masa tersebut, manusia tidak dapat mohon
bantuan kepada sesamanya, sebab pada hari itu semua dihisab amal-nya dengan seadil-
adilnya. Harta benda dan anak istrinya yang dulu dibanggakan, sudah tidak dapat
dibanggakan lagi – yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya” dzat yang Maha Kuasa (Qs.
Al Baqoroh : 48, 123 dan 281)

Di samping Ad-Diin, terdapat juga kata “Millah” sebagaimana disebut dalam


beberapa ayat al Qur’an, misalnya Qs. Al Baqoroh : 130 dan 135. Secara subtantif kata
“millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya hidup” yang dikembangkan oleh para
Nabi sebelum Nabi Muhammad. Oleh sebab itu keluasan cakupan Millah tidak dapat
melebihi cakupan Ad-Diin, karena Millah bisa saja dikembangkan berdasarkan nilai
subtansial dari Ad-Diin, sedangkan Ad-Diin terkadang tidak memasukkan millah dari
beberapa Nabi atau Rasul sebelumnya, misalnya Diinul Islam yang dibawa Nabi
Muhammad tidak memasukkan ajaran atau berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi Dawud.

Terdapat 10 ayat yang menjelaskan penggunaan kata “Millah” dan kesemuanya


dikaitkan dengan cara dan gaya hidup Nabi Ibrahim/‫( ملة ابراهيم‬Qs. Al Baqoroh :130 dan
135, Ali Imron : 95, An Nisa’ : 125, Al A’am : 162, Yusuf : 37-38, An Nahl : 123, Al
Haji : 78 dan Shad : 7). Nabi Ya’kub yang merupakan cucu nabi Ibrahim, juga
memberikan justifikasi jalan hidup kepada anak-anaknya dengan prinsip “millah
Ibrahim” yang bebas dari unsur kemusyrikan, yaitu :

Dengan demikian subtansi Millah Ibrahim memiliki kesesuaian dengan prinsip-


prinsip tauhid yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah.

Pengertian Millah sebagai jalan hidup atau style sebuah masyarakat juga nampak
pada penggunaan kata millah dengan bentuk lain sebagaimana tersebut pada Qs. Al
Baqoroh : 120, Al A’raf : 87-88, Ibrahim : 13 al Kahfi : 20. Secara khusus dalam Qs. Al
Baqoroh : 120 – kata-kata Millah dikaitkan dengan gaya hidup atau bahkan keyakinan
kaum Yahudi dan Nasrani yang datang sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalah
Islam.14

B. Perbedaan dan Persamaan Agama, Religi dan Ad-diin

a. Persamaan

Agama, Religi atau Ad-Diin memiliki kesamaan pandangan dalam 3 hal walaupun pada
titik tertentu, aplikasi dan realitas spiritualnya berbeda. Ketiga hal tersebut adalah :

1. Pengakuan adanya yang Maha Kuat – yang berada diluar jangkauan manusia (immaterial
atau transendent) dalam bahasa Islam disebut dengan Allah (Tuhan).
2. Adanya kehidupan sebagai tempat pembalasan amal manusia, baik itu langsung maupun
tidak langsung, misalnya Surga dan Neraka (Islam) atau Nirwana dan Hukum Karma
(Hindu-Budha).
3. Adanya peribadan atau ritual yang merupakan perwujudan hubungan antara manusia
dengan yang Maha Kuat – tentu dengan berbagai bentuk dan tata caranya.

b. Perbedaan

1. Tata nilai yang dikembangkan oleh Ad-Diin (agama samawi) berasal dari Wahyu Allah,
sedangkan Agama dan Religi berasal dari refleksi manusia terhadap peristiwa yang
terjadi dilingkungannya.
2. Kebenaran yang dibawa oleh Ad Dien bersifat mutlak/absolut – karena ia datang dari
Allah (Qs. Al Baqoroh : 147 dan Ali Imron : 60) , sedangkan Agama dan Religi bersifat
Dzanny (spekulatif/sementara) – karena ia datang dari manusia yang lemah, tak berilmu
dan hanya persangkaan saja ( Qs. Al Baqoroh : 78-79).
3. Ad-Diin menjamin bagi pengikutnya dengan “keselamatan dan kebahagiaan” (Qs. Ali
Imron : 85), sedangkan Agama dan Religion tidak menjaminnya bahkan di antaranya ada
yang berujung dengan kebodohan, kesengsaraan bathin dan kesesatan hidup (Qs. Al
Baqoroh : 170 dan Al Anbiya’ : 52-54).
4. Ad-Diin mengajak pada pemeluknya untuk menghambakan kepada Pencipta sekalian,
sedangkan agama dan Religion terkadang mendorong pada penghambaan kepada sesama
makhluk dan belenggu-belenggu Thogut lainnya.

C. Bentuk-bentuk Agama, Religi dan Ad-diin


Agama dan agama religi dapat mengambil banyak bentuk yang berbeda di seluruh
dunia. Beberapa agama besar dan sistem kepercayaan meliputi:

14
Muniron dkk. 2010. Studi Islam. Jember :STAIN Jember Press.
1. Islam (ad-Diin): Salah satu agama besar yang memahami ad-Diin sebagai
keyakinan dalam satu Allah (tawhid) dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran.

2. Kristen: Kristen adalah agama yang didasarkan pada ajaran Yesus Kristus dan
Alkitab, terutama Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

3. Hinduisme: Hinduisme adalah agama kuno India yang memiliki berbagai aliran,
keyakinan, dan praktik spiritual, termasuk reinkarnasi dan karma.

4. Buddha: Buddhisme berpusat pada ajaran Siddhartha Gautama (Buddha) dan


mengajarkan pencarian pencerahan melalui meditasi dan pemahaman tentang sifat
penderitaan.

5. Yudaisme: Yudaisme adalah agama tertua yang mengikuti Taurat dan Kitab Suci
Ibrani, serta memiliki banyak cabang, termasuk Ortodoks, Konservatif, dan Reform.

6. Sikhisme: Sikhisme adalah agama monotheistik yang didirikan di India dan


menekankan keyakinan pada satu Tuhan, sejalan dengan ajaran Guru Nanak.

7. Agama-agama Tradisional: Di seluruh dunia, terdapat berbagai bentuk agama


tradisional yang terkait dengan kepercayaan dan praktik lokal, seperti agama suku-
suku asli dan agama-agama tradisional Afrika.

8. Agnostisisme dan Ateisme: Beberapa orang mungkin tidak memiliki keyakinan


agama atau berpendapat bahwa keberadaan atau ketiadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan.

9. Agama-agama baru: Beberapa agama dan aliran kepercayaan baru terus muncul
seiring berjalannya waktu, seperti New Age, Wicca, dan lainnya.

Setiap agama dan sistem kepercayaan memiliki karakteristik unik, praktik, dan
ajaran yang berbeda, dan banyak di antaranya memegang peran penting dalam budaya
dan masyarakat di berbagai belahan dunia.15

15
Mariasusai Dhafamoni, Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.
BAB III
KESIMPULAN

Dalam memberlakukan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan dan


kedamaian hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama yang berbeda-beda yang cenderung
menjadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam kajian ilmu agama terutama
dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan kepercayaan serta aktualisasi peribadatan
mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang didapat, misalnya balasan amal di
akhirat (Surga dan Neraka menurut agama Islam atau Nirwana dan Hukum Karma
menurut agama Hindu). Oleh sebab itu dalam pandangan saya – agama yang dibentuk
berdasarkan prinsip mini-malis tersebut perlu diwaspadai, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Madjid – “Kepercayaan yang benar akan melahirkan
kedamaian, kesejahteraan dunia dan akhirat, sedangkan kepercayaan yang salah akan
menyesatkan hidup, merusak dan membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan
manusia serta anti terhadap keselamatan hidup. Sebetulnya Allah tidak membutuhkan
ketaatan atau kepatuhan dari manusia, sebab Allah sudah memberikan kebebasan
memilih bagi manusia – apakah manusia mau beriman atau tidak (Qs. Al Kahfi : 29),
juga tidak ada paksaan dalam agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan
kebenaran dan kesesatan (Qs. Al Baqoroh : 256). (“Agama adalah ketentuan-ketentuan
Allah yang diberikan kepada manusia yang berakal untuk mendapatkan kehidupan yang
bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat”) • Bahwa Ad Dien itu adalah aturan-
aturan Allah – artinya segala bentuk hukum dari agama itu bersumber dari Allah, Nabi
Muhammad SAW hanya menyampaikan risalah tersebut kepada manusia tanpa dikurangi
atau ditambahi sedikitpun. Secara akal dia tahu bahwa zina itu haram karena sejelek-
jeleknya perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya tidak mampu menjelaskan hal
tersebut didepan gelora Hati dan nafsu syetannya – maka ketika itu ia tidak berakal
sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al A’raf : 178 • Jika ia mampu menggunakan akal
secara benar untuk memahami dan menjalankan aturan Allah tersebut, maka ia akan
mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. 2.
Adanya kehidupan sebagai tempat pembalasan amal manusia, baik itu langsung maupun
tidak langsung, misalnya Surga dan Neraka (Islam) atau Nirwana dan Hukum Karma
(Hindu-Budha).

KEPUSTAKAAN

Adnan, Gunawan. 2020. Sosiologi Agama; Memahami Teori dan Pendekatan. Banda Aceh; Ar-
rainiry Press.

Ajat Sudrajat, DKK, DINUL ISLAM, UNY Press, 2016

Ali, Abdullah. Sosiologi Islam. STAIN Cirebon: IPB Press, 2005

Bernard Raho SVD, Agama Dalam Perpektif Sosiologi. Jakarta: OBOR, 2013.

Bryan S.TURNER, SOSIOLOGI AGAMA(the new blackwell companion to the sosiology of


religion).Celeban timur;PUSTAKA PELAJAR, cet I ;2013
Daradjat, Zakiyah dkk.2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.

Drs.H.Rohadi Abdul Fatah,M.Ag , sosiologi agama,JAKARTA ; CV. Tititan Kencana Mandiri,


2004

Dr.Zuly Qadir, Sosiologi Agama ( esai-esai agama di ruang publik).Celeban Timur; pustaka
pelajar,April 2011

Hendropuspito, D. 1983 Sosiologi Agama Yogyakarta: Yayasan Kansius-BPK Gunung Mulia

Ishomudin, Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Mariasusai Dhafamoni, Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.

Mujtaba, Saifuddin.2007. Muhammad’s Love Message. Yogyakarta : Pustaka Marwa

Muhyiddin Abdusshomad, Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunah (Kajian Kitab
Kuning). Malang: Pustaka Bayan, 2005.

Muniron dkk. 2010. Studi Islam. Jember :STAIN Jember Press.

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama(suatu pengenalan awal). Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,


1995

Anda mungkin juga menyukai