Tradisi berpuasa telah dikenal oleh umat manusia secara universal sejak berabad-abad
lalu. Pada umumnya praktek berpuasa di”hisap”kan ke dalam ritus keagamaan, namun ada
pula berpuasa yang dilakukan tanpa tata cara agama. Secara kronologis menurut
kemunculannya, agama-agama besar seperti Hinduisme (abad ke-15 SM) menjelang hari raya
Nyepi dan hari raya Saraswati, Yudaisme (abad ke-10 SM), Konfusianisme (abad ke-5 SM),
Budhisme (abad ke-6 SM), Shinto, Kristen (abad ke-1 M) selama masa Prapaska, Taoisme
(abad ke-2 M), dan Islam (abad ke-7 M) selama bulan Ramadhan, telah mempraktekkan puasa
hingga hari ini. Demikian pula dengan agama-agama suku dan beberapa kebudayaan manusia,
semisal: Indian-Amerika, Jawa, Cina, India, Yunani, dan sebagainya. Tentu masih banyak lagi
masyarakat, juga di zaman modern ini, yang berpuasa baik pada waktu tertentu maupun situasi
tertentu.
Khusus di dalam kekristenan, secara suka rela berpuasa tetap dipraktekkan baik secara
komunal maupun personal. Puasa di dalam kekristenan berakar dari tradisi Yudaisme (dan
mempunyai kesejajaran dalam Islam), tetapi tidak sama. Walaupun ada beberapa Gereja yang
menetapkan puasa secara resmi dan ada pula yang tidak menetapkannya secara resmi, tetapi
praktek itu dengan segala tata caranya terdapat di dalam kekristenan.
Menurut asal katanya, puasa berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu: upa dan
wasa. Upa, semacam perfiks yang berarti dekat. Wasa berarti Yang Maha
Kuasa, seperti umat Hindu di Indonesia menyebut Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi upawasa,
atau yang kemudian pengucapannya menjadi puasa, tidak lain daripada cara mendekatkan diri
dengan Tuhan. Sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, puasa adalah pelatihan
mental yang bertujuan mengubah sikap dan kejiwaan manusia.
Dengan demikian, puasa - terutama dalam agama Hindu - dipahami sebagai sarana, cara, atau
metode untuk mencapai sesuatu. Dalam hal ini, mencapai sesuatu itu adalah membarui sikap.
Oleh karenanya, sifat puasa adalah sakral, karena dihubungkan dengan niat mendekatkan diri
kepada Tuhan. Puasa dapat dijalankan oleh lembaga, komunitas, atau individu.
Berdasarkan pengertiannya, puasa tidak bertujuan pada dirinya atau untuk berdiet, melainkan
bertujuan untuk membarui sikap iman melalui pelatihan spiritualitas.
Menurut sejarahnya, unsur pembentuk nilai budaya Jawa masa sekarang berasal dari 3
jaman terdahulu, yaitu jaman pra Hindu-Buddha, jaman Hindu-Buddha, dan
jaman kerajaan Jawa-Islam. Sejak jaman pra Hindu-Buddha, orang Jawa telah
mengenal bentuk organisasi desa (Suseno, 1984). Saat itu mereka telah menjalani kehidupan
dalam masyarakat yang tertata rapi sehingga terbentuk nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang
bertahan sampai sekarang.
Konsep pergaulan masyarakat Jawa tak dapat dilepaskan dari cita-cita mistik. Etika
kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik yang menyatakan kemanunggalan dan
keharmonisan antara manusia dan Tuhan itu adalah model bagi hubungan manusia dengan
masyarakat (Mulder, 1983). Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki konsep pergaulan
Prinsip rukun menuntun agar bersikap sedemikian rupa agar tidak menimbulkan
konflik. Prinsip ini menurunkan sikap gotong-royong, tolong-menolong, dan solidaritas.
Sedangkan prinsip kedua (hormat) berhubungan dengan cara bicara dan membawa diri yang
selalu menunjukkan hormat dengan orang lain. Sikap-sikap yang diturunkan oleh prinsip ini
adalah memiliki isin (rasa malu), akrab, dan musyawarah (Suseno, 1984; Geertz, 1961).
Bagi orang Jawa, hakikat manusia sebagai makhluk sosial adalah berbudaya. Ketika
tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku seperti kedua prinsip di atas, maka akan dikatakan
durung njawa (belum jadi orang Jawa yang sebenarnya) (Mulder, 1983).
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa
telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada
jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi
sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya
kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan
agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang
jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang
kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang
dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada
raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi
kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung
dengan Tuhan Sang Pemilik Kekuatan, yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi,
tapa, dan pasa (berpuasa).
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga
karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang
menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali
disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku
Negara IV:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya
pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat
yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala
godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
2. Mutih
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air
putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi
betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya
seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : ?niat
ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun ijabahi gusti
allah.?
3. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran / buah-buahan saja. Tidak
diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb.
4. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang
melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau
melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang
melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam).
Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi
kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni
puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.
7. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur
seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja!
Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama,
misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
8. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya.
Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan
tidak mempunyai rasa.
9. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak
diperbolehkan.
10. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam
sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
11. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya
diperbolehkan 3 kali saja sehari.
12. Senin-kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik
dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.
13. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.
15. Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini
dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
16. Kungkum
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi
yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Tatacara tapa Kungkum adalah sebagai beikut :
a) Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk)
didalam air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b) Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c) Menghadap melawan arus air
d) Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar
17. Ngalong
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki
diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di
dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung
dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas.
Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.
18. Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan
keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk
mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa
dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai
dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti
arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini :
” Niat ingsun Ngeluwang, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu
marang jiwa insun, lebur kaya dene banyu krana Allah Ta ala.”
Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal.
Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru
kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk
mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra
Islam-Jawa.
Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf, dalam arti, mistik. Sehingga penjelasannya
pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan nalar.
Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid
buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu,
interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap
satu jenis puasa, melainkan secara umum.
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya
Jawa yaitu:
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini
karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf.
Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf
adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka
supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang
Benar” (Nasr, 2000)