Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PSIKOLOGI NUSANTARA

MAKNA FILOSOFIS PAKAIAN PENGANTIN ADAT JAWA


 

Dosen Pengampu : 
Yohanis Franz La Kahija, S.Psi, M.Sc
Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A

Disusun oleh:
Kelompok 5

Pramestya Wahyu Ambangsari  15000118120001


Euis Ittauli Malau 15000118120045
Rahajeng Nareswari W 15000118120046
Nova Wahyuningsih 15000118130132

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

i
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makna Filosofis
Pakaian Pengantin Adat Jawa” untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Nusantara.
Terima kasih penyusun ucapkan kepada teman-teman dan pihak-pihak lain yang turut
serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini baik itu bantuan berupa ilmu, petunjuk,
maupun bantuan lainnya yang sangat bermanfaat bagi penulis sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan.
Kami mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia memberikan kritik dan sarannya
menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan pertimbangan untuk membuat makalah
selanjutnya. Namun demikian, kami sudah berusaha menyajikan makalah ini dengan sebaik
mungkin. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca, peminat keilmuan dan calon penulis
di masa mendatang.
 

Semarang, 18 April 2020

ii
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 1

1.3 Tujuan Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN 2–8

2.1 Sejarah Pakaian Adat Jawa 2

2.2 Makna Filosofis Pakaian dan Ornamen Pengantin Adat Jawa 4

2.2.1 Pengantin Pria 6

2.2.2 Pengantin Wanita 8

BAB II PEMBAHASAN 15
3.1 Kesimpulan 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jawa merupakan bangsa yang beradat santun. Mereka rapi dalam berpenampilan.
Hal tersebut dibuktikan oleh tulisan-tulisan dari masa kolonial yang menggambarkan
kehidupan masyarakat Jawa. Setiap ornamen dari busana yang dikenakan pun masing-
masing memiliki makna filosofis tersendiri. Makna tersebutlah yang kemudian
memberikan sumbangsih terhadap bagaimana kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Melalui makalah ini, penyusun berusaha untuk menyajikan informasi-informasi
yang mendukung terkait makna filosofis yang ada pada pakaian dan ornamen pengantin
adat Jawa dan kaitannya dengan kehidupan pernikahan yang akan dijalani pengantin
Jawa.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dari pakaian adat Jawa?
2. Apa saja ornamen-ornamen dari pakaian adat Jawa?
3. Apa makna filosofis yang terkandung dari setiap bagian dari pakaian adat Jawa?

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah pakaian adat Jawa.
2. Untuk mengetahui ornamen-ornamen dari pakaian adat Jawa.
3. Untuk mengetahui makna filosofis yang terkandung dari setiap bagian dari
pakaian adat Jawa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Pakaian Adat Jawa


Jawa merupakan bangsa yang beradat santun. Mereka rapi dalam berpenampilan.
Seperti yang dicatat seorang kolonial asal Inggris yang pernah memerintah Indonesia.
Sejarah Pulau Jawa (The History of Java) adalah buku yang ditulis Sir Thomas Stamford
Raffles, diterbitkan pada tahun 1817. Buku The History of Java telah menjadi salah satu
sumber sejarah penting untuk mengetahui kehidupan beragama, budaya, aturan
masyarakat Jawa pada masa lalu.
Menurut catatan Raffles, orang Jawa ternyata suka mengenakan pakaian rapi, bersih,
dan mewah. Bagi orang Jawa, berpakaian tidak bersih dan rapi dianggap sebagai suatu
aib. Lebih-lebih dalam perhelatan atau dalam pergaulan dengan orang lain. Jauh sebelum
Raffles meneliti cara berpakaian orang Jawa, orang Jawa periode kerajaan Hindu-
Buddha memiliki cara tersendiri dalam berpakaian.
Bisa dilihat dari arca raja dan ratu di kerajaan zaman dulu, mulai dari baris pertama
ada Raja Airlangga (kiri) dan raja pertama Majapahit, Wijaya (kanan). Di baris kedua
ada, Permaisuri Ken Dedes (kiri) dan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (kanan). Persamaan
dari keseluruhan adalah bahwa semua arca bertelanjang dada. Begitulah orang Jawa
pada masa itu. Dada dibiarkan terbuka, baik itu pria maupun wanita. Sebab dada bukan
merupakan aurat (sesuai dalam Islam) dari orang Jawa, sehingga merasa tidak perlu
ditutupi.

2
Dalam buku Raffles, disebutkan bahwa wanita Jawa di masa lalu sudah umum
memakai kain jenis sarung. Sarung tersebut tidak seperti kain pendek Skotlandia. Sarung
itu berupa sehelai kain bercorak dengan panjang 6-8 kaki dan lebarnya 3-4 kaki dijahit di
kedua sisinya (disambungkan), dan bentuknya seperti karung tanpa alas yang dijahit.
Kain ini biasa disebut dodot.
Wanita Jawa juga menggunakan kain yang dililitkan hingga mata kaki. Pengikat
kain dinamakan udat. Sedangkan, kain yang dililitkan mengelilingi tubuh menutupi dada
sampai dekat lengan disebut kemban (kemben).

3
Maka jelas sekali bahwa, pengaruh Islam sudah berkembang pada masa ini. Di mana
dada wanita sudah mulai ditutupi, meskipun tidak menutup aurat (sesuai dalam Islam)
secara menyeluruh.

Sementara untuk laki-lakinya masih bertelanjang dada. Karena dada bukan


merupakan aurat laki-laki.

Dalam perkembangannya, model pakaian pria dan wanita di atas hanya dipakai oleh
kalangan kawula (rakyat jelata). Sementara untuk kalangan bangsawan sudah memakai
pakaian yang kemudian dikenal: surjan, beskap, kebaya, dan ornamen lainnya. Pakaian
adat Jawa memiliki lambang tertentu bagi suku Jawa. Pakaian adat jawa memiliki ajaran
tersirat. Dalam pakaian adat Jawa terdapat ajaran akan bertindak dalam kehidupan di
dunia, yang sesuai dengan perilaku sehari-hari, kegiatan bersosial dengan sesama, diri
pribadi dan mengenai perilaku kepada Tuhan Yang Maha Esa. 
Seperti yang dikatakan Sultan Paku Buwana X, “Nyandhang nganggo hiku dadiya
sarana amemangun manungsa njaba jero. Marmane pantesen panganggonira trepna

4
pangetraping panganggon, cundhukna kalawan kahananing badanira, kalungguhan,
miwah pepangkatanira” yang artinya memakai pakaian itu sebagai sarana mempercantik
diri pribadinya sendiri baik luar maupun dalam, yang sesuai dengan posisi dan
jabatannya, serta sesuai kenyamanan pemakainya. 

2.2. Makna Filosofis Pakaian dan Ornamen Pengantin Adat Jawa


Simbol-simbol dalam perkawinan adat Jawa bersifat abstrak dan hanya berada pada
pemikiran seseorang atau kelompok tertentu yang berkaitan mengenai kehidupan
sosialnya sehari-hari. Simbol berasal dari bahasa Yunani symbolos yang berarti tanda
atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto dalam
Octaviana, 2014). Sikap hidup orang Jawa yang suka mengatakan sesuatu secara tidak
langsung menggunakan simbol sebagai komunikasi. Prosesi pernikahan adat Jawa
memiliki banyak sekali simbol yang bermakna, termasuk pada pakaian dan ornamen
yang digunakan oleh pengantin dalam upacara.
Hasil penelitian Octaviana (2014) menjelaskan bahwa prosesi-prosesi dalam upacara
pernikahan adat Jawa memiliki proses psikologis berdasarkan tahap kognitif, afektif, dan
konatif.
Tahap kognitif menjelaskan bahwa ketika seseorang paham dengan apa maksud dari
setiap simbol-simbol dalam upacara adat karena adanya suatu kepercayaan dan perasaan
dalam menjalaninya, maka ia akan lebih mudah mengimplementasikan makna-makna
tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan individu yang kesulitan memahami
atau tidak memiliki perasaan positif ketika melangsungkan prosesi, maka ia kan lebih
sulit mengimplementasikan simbol-simbol yang ada.
Upacara merupakan suatu bentuk pengekspresian kehendak atau pikiran manusia.
Dengan upacara, mengingatkan manusia tentang eksistensi dan hubungan dengan
lingkungan (Rohman, 2015). Tradisi pernikahan adat Jawa, termasuk di dalamnya model
pakaian pernikahan merupakan tradisi yang hanya dilaksanakan pada keluarga kerajaan
pada zaman dahulu, namun seiringnya perkembangan zaman tradisi ini berkembang di
dalam masyarakat. Perkawinan adat Jawa bukan hanya mengikuti agama dan
meneruskan budaya leluhur, tetapi juga berarti bagi kehidupan manusia karena nilai-nilai

5
yang terkandung merupakan cita-cita atau harapan dalam hidup sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
Pakaian dan ornamen pengantin adat Jawa beserta makna filosofisnya:
2.2.1. Pengantin Pria
1. Dhestar/Blangkon 

Blankon memiliki filosofi bahwa seorang laki-laki wajib memiliki pemikiran


yang kuat, tenang, berwibawa, dan tetap bijaksana. Bisa dilihat dari bentuk blankon
yang kaku, rapi, dan adem ketika digunakan. Menggambarkan pria itu tidak boleh
lemah, tetap rapi, berwibawa, dan berpikir dingin jika ada masalah-masalah yang
dihadapi sebagai pemimpin keluarga atau pun masyarakat.

2. Beskap     

6
Baju beskap ini mempunyai makna bahwasanya seorang laki-laki wajib
memperhitungkan semua perbuatan dan keputusan yang diambilnya untuk
kepentingan bersama.

3. Epek Timang

Epek (ikat/sabuk) artinya golek atau mencari. Bahwasanya dalam hidup kita
diwajibkan harus mencari apapun itu baik ilmu maupun rezeki yang disediakan oleh
Tuhan YME. Sementara timang (liontin sabuk) adalah simbol bahwa ilmu yang
dicari wajib dipahami dengan jelas dan mendalam, agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman dan keraguan dalam mengambil keputusan.

4. Nyamping atau Jarik

Jarik berupa kain mori panjang untuk menutupi badan hingga kaki. Jarik memiliki
arti jangan mudah tersinggung (serik), atau iri dengan orang lain. Ketika berhadapan
dengan permasalahan haruslah berhati-hati, tidak terburu-buru atau emosional.

7
Selain itu kain jarik juga dapat menggambarkan bahwa seorang pria harus luwes dan
fleksibel. Fleksibel dalam peraturan dan luwes dalam bergaul dengan siapa pun.
Kain jarik ini juga memberikan makna bahwa keputusan yang diambil jangan
sampai merugikan siapapun. Terlihat dari bentuknya, kain jarik fleksibel artinya
mudah dipakai dan tidak mengganggu saat berjalan tentunya.

5. Keris

Keris digunakan untuk siap siaga dalam menghadapi kondisi sesulit apa pun.
Kaitannya dengan pengantin pria, keris disini melambangkan kekuatan, seorang pria
wajib untuk menjaga keluarganya dari kondisi yang berbahaya. Apa itu serangan
fisik maupun pemikiran yang sedang ada sekarang.

6. Selop/Canela

8
Digunakan oleh pengantin pria dan wanita, canela dimaknai dari frasa canthelna
jroning nala atau simpanlah dalam hati. Canela sama dengan selop, cripu, atau
sandal. Canela digunakan di kaki, berarti menyembah sejak lahir hingga batinnya
bersujud (menyembah) kepada Tuhan. Jroning ati mung sumeleh yang berarti
bertawakal atau pasrah pada Tuhan YME.
2.2.2. Pengantin Wanita
1. Sanggul

Sanggul ini bermakna harapan agar perempuan bisa mandiri dan bersyukur atas
anugerah Sang Pencipta.

2. Kebaya

9
Kebaya berfungsi untuk menarik perhatian orang dalam upacara pernikahan serta
menciptakan suasana yang resmi dan khidmat.

3. Stagen

Digunakan dengan cara dilingkarkan (diubedake) pada perut. Bagian ini memiliki
arti bahwa manusia harus ubed atau serius mencari rezeki untuk mencukupi
kebutuhan. Stagen juga sebagai lambang atau simbol bahwa wanita harus mampu
menyesuaikan diri dalam kondisi apa pun. Harus siap kekurangan, mampu
menerima pasangan apapun kekurangannya, bisa menyelesaikan masalah pribadi
maupun keluarga dengan tenang dan sabar.

4. Jarik

Selain sebagai penutup aurat, kain ini juga melambangkan bahwa wanita juga
harus menghormati orang tua maupun suaminya. Kain jarik mudah dilepas dan
fleksibel cara memakainya. Kain ini juga sebagai lambang kesucian dan kehormatan
10
seorang wanita yang menjaga diri dan kehormatan keluarga. Tidak mudah tergoda
dan selalu menjaga pandangannya kepada siapapun agar tidak terjadi fitnah.

5. Paes

Paes berasal dari kata kerja, yaitu maesi, yang berarti merias dahi calon mempelai
wanita. Paes hanya bisa dilakukan oleh seorang yang ahli dalam tugas ini, agar
wajah si calon mempelai wanita terlihat lebih cantik lagi seperti gambaran wajah
seorang bidadari. Paes adalah riasan berupa lekukan-lekukan di dahi wanita yang
biasanya berwarna hitam, namun pada pengantin adat Solo basahan berwarna hijau.
Paes terbuat dari pidih, yaitu bahan campuran malam (sejenis lilin) yang bersifat
tidak terlalu kering namun juga tidak akan meleleh. Filosofi dari paes adalah
memiliki makna berupa doa dan tuntunan untuk sang perempuan.

6. Citak

11
Citak adalah hiasan berbentuk wajik yang terletak di antara alis. Hiasan ini
menjadi simbol kalau perempuan harus bisa fokus pada kewajibannya dan juga setia
pada keluarganya.

7. Centhung

Centhung adalah sepasang akseseoris dengan hiasan batu permata yang


disematkan di sisi kiri dan kanan kepala pengantin wanita. Bentuknya menyerupai
gerbang atau gapura.
Filosofi dari centhung adalah sebagai simbol bahwa sang pengantin wanita telah
siap memasuki gerbang pernikahan.

8. Cundhuk Mentul

12
Cundhuk mentul adalah ornamen atau hiasan yang menyerupai kembang goyang
dan tersemat di atas sanggul. Ornamen ini selalu berjumlah ganjil dan bentuknya
menyerupai matahari.
Filosofi dari cundhuk mentul adalah simbol yang melambangkan harapan agar
kehidupan pernikahannya selalu disinari oleh matahari, sang pemberi kehidupan.

9. Ronce Melati Tibo Dodo

Rangkaian bunga khas Solo ini digunakan pada pernikahan adat Solo Putri. Ronce
melati tibo dodo terdiri dari 3 untaian melati yang berbentuk bawang sebungkul, dan
menjalar dari sisi sanggul hingga menyentuh satu sisi dada.

10. Kalung Sungsun

13
Kalung sungsun adalah kalung yang tersusun atas tiga susun lempengan emas
berbentuk bulan sabit.
Filosofi yang terkandung dalam kalung sungsun adalah ketiga susun yang
melambangkan tiga fase kehidupan manusia yang harus dijalani, yaitu lahir,
menikah, kemudian meninggal. Selain itu, kalung ini juga memiliki makna yang
melambangkan tiga alam di mana manusia hidup, yaitu alam baka, alam perantara,
dan alam fana.

11. Gelang Naga Kelat Bahu

Gelang naga kelat bahu adalah gelang yang disematkan pada lengan atas wanita.
Naga dalam adat Jawa merupakan hewan agung yang sering dikatakan
melambangkan kekuatan.

14
Gelang ini memiliki filosofi yaitu simbol yang melambangkan bersatunya pola
rasa dan juga pikir setelah menikah, yang akan berdampak pada munculnya
kekuatan dalam hidup terutama pernikahan bagi sang perempuan.

12. Gelang Binggel Kana

Gelang binggel kana adalah gelang emas yang disematkan pada pergelangan
pengantin wanita. Gelang yang tak bermula dan tak berujung itu bagaikan sebuah
perlambangan kesetiaan yang tanpa batas. 

15
BAB III
PENUTUP

3.
3.1. Kesimpulan
Setiap budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang jika dilihat lebih dekat dan
lebih dalam tentu saja memiliki pesan dan makna tersendiri yang hendak disampaikan.
Tidak terkecuali dari hal paling mendasar seperti pakaian. Pakaian adat memiliki cerita
dan makna filosofisnya di setiap ornamen yang ada. Makna tersebut jika ditelaah lebih
lanjut membawa pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat.
Pakaian dan ornamen pada pernikahan adat Jawa di setiap bagiannya juga
meninggalkan makna filosofis yang mendalam. Mulai dari ornamen ujung kepala sampai
ujung kaki, masing-masing punya cerita sendiri-sendiri. Di tengah kemajuan zaman saat
ini, hendaknya penggunaan pakaian adat Jawa tetap autentik dan lestari. Sehingga
warisan budaya semahal ini tidak hilang walau laju modernisasi semakin dinamis
berkembang.

16
DAFTAR PUSTAKA
Gabriella, Audrey. (2019). 9 Hiasan yang Biasa Digunakan dalam Pernikahan Adat Jawa
Beserta Filosofinya. URL: https://swara.tunaiku.com/gayahidup/pernikahan/9-
hiasan-yang-biasa-digunakan-dalam-pernikahan-adat-jawa-beserta-filosofinya
Diakses pada 18 April 2020
Mustafik, M. Ali. (2017). Pakaian Adat Jawa Tengah Pria dan Wanita - Makna dan
Filosofi. https://alimustafid.com/pakaian-adat-jawa-tengah-pria-dan-wanita/
Diakses pada 18 April 2020
Nabila, Q. (2017). Keragaman kebaya pengantin gaya Solo (Studi deskriptif mengenai
makna kebaya gaya Solo dalam prosesi pernikahan di Surabaya).
AntroUnairdotNet, 17(2), 167-177.
Octaviana, Frisca. (2014). Implementasi makna simbolik prosesi pernikahan adat Jawa
Tengah pada pasangan suami istri. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Puti. (2019). Baju Adat Pengantin Jawa Tengah Beserta Maknanya.
https://www.3kencanafoto.com/baju-adat-pengantin-jawa-tengah-beserta-
maknanya/ Diakses pada 18 April 2020
Rohman, F. (2015). Makna filosofi tradisi upacara perkawinan adat Jawa Kraton Surakarta
dan Yogyakarta. Skripsi, UIN Walisongo Semarang.
Saidah, M. (2017). Unsur-unsur budaya Islam dalam tradisi pernikahan masyarakat Jawa
Timur di Desa Bangun Jaya Kecamatan Tomoni Kabupaten Luwu Timur. Skripsi,
UIN Alauddin Makassar.
Tim Penyusun MGMP Bahasa Jawa SMA/SMK Kabupaten Temanggung. (2017). Modul
bahasa Jawa Kelas 12. Temanggung: MGMP Bahasa Jawa SMA/K Temanggung
Warastuti, I. dkk. (2016). Modul Basa Jawa Kelas XI. Temanggung: MGMP Bahasa Jawa
SMA/K/MA.

Anda mungkin juga menyukai