Anda di halaman 1dari 15

Tugas Sosiologi

TRADISI KAWIN LARI SUKU SASAK

Oleh:
Daniel (XI Sos I/
Irene (XI Sos I/
Jason (XI Sos I/
Nathacia (XI Sos I/18)
Owen (XI Sos I/

SMA KRISTEN KETAPANG I


Jalan K.H. Zainul Arifin Nomor 35-37
Jakarta
2011
Tugas Sosiologi

TRADISI KAWIN LARI SUKU SASAK

Makalah ini disusun untuk memenuhi


tugas mata pelajaran Sosiologi

Oleh:
Daniel (XI Sos I/
Irene (XI Sos I/
Jason (XI Sos I/
Nathacia (XI Sos I/18)
Owen (XI Sos I/

SMA KRISTEN KETAPANG I


Jalan K.H. Zainul Arifin Nomor 35-37
Jakarta
2011

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan
segala berkat dan hikmat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Judul
yang dipilih adalah “Tradisi Kawin Lari Suku Sasak”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
dalam menyelesaikan Karya Tulis ini. Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu
Lina Waty T.D.S. selaku Kepala Sekolah SMA Kristen Ketapang I yang
memberikan banyak kemudahan selama mengikuti pendidikan di SMA Kristen
Ketapang I. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Janwar selaku guru
mata pelajaran Sosiologi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam
membimbing dan mengarahkan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah
ini. Juga kepada keluarga tercinta yang telah mendorong dan membantu serta
pengertian yang besar kepada kami, serta semua pihak yang yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini berisi tentang analisis kebudayaan suku Sasak yang ada di
Lombok, Indonesia khususnya tradisi
Makalah ini diharapkan dapat membuat para pembaca lebih mengenal
tentang tradisi suku sasak, memperkuat persatuan dan kesatuan suku-suku yang
ada di Indonesia, membangkitkan kembali minat dalam mengapresiasi
kebudayaan daerah Indonesia, serta menumbuhkan rasa bangga akan kebudayaan
Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
materi maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari para pembaca guna penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, 1 Maret 2010

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………….………………………………………………….……i
Kata Pengantar……………...…………………………………….……….…………ii
Daftar Isi………………………………………………………………………….......iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang……………………………………………………….1
1.2 Tujuan………………………………………………………………...2
1.3 Manfaat……………………………………………………………….2
1.4 Landasan Teori………………………………………………………..2
1.5 Rumusan Masalah……………………………………………………..3
1.6 Sistematika Penulisan………………………………………………….3
Bab II Pembahasan
2.1 Pembahasan Tradisi Kawin Lari Suku Sasak…………………………4
2.2 Pembahasan Hubungan Tradisi Kawin Lari Suku Sasak
dengan Masyarakat Multikultural…………………………………….
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan….………...…...…………….……………………………8
3.2 Saran….………...…...…………….…………………………………..8
Daftar Pustaka……………..…………………………………………….……….......iv
Lampiran………………………………………………………………….…...….......v

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 17.504 pulau
besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar
khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570
km² dan luas perairannya 3.257.483 km².
Mulai dari Sabang sampe Merauke, itulah Indonesia. Wilayahnya yang
membentang luas menghasilkan begitu banyak kebudayaan dari berbagai suku bangsa di
Indonesia yang beranekaragam dan unik. Setiap suku bangsa memiliki ciri khas tersendiri
dalam kebudayaan mereka, salah satunya adalah Suku Sasak di Lombok.
Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami Pulau Lombok dan menggunakan
bahasa Sasak. Sebagian besar Suku Sasak beragama Islam walaupun mulanya beragama
Hindu pada masa kekuasaan Majapahit. Hal ini dikarenakan adanya dakwah dari sunan
Giri pada abad 16 dan 17. Pada sebagian kecil masyarakat Suku Sasak terdapat praktik
agama Islam yang agak berbeda dari Islam pada umumnya, yakni Islam Wetu Telu.
Islam Wetu Telu adalah akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama
yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu. Penganut kepercayaan ini tidak
menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (salat Lima Waktu). Yang
wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau
pemangku adat (sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang).
Ada juga warga yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama
"sasak Boda", yaitu pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan dewa-dewa local
lainnya. Boda merupakan kepercayaan asli Suku Sasak.
Salah satu dari banyak kebudayaan unik yang dimiliki oleh Suku Sasak adalah
tradisi Kawin Lari. Bagaimana laki-laki dirasa lebih terhormat dengan melarikan sang
gadis pujaan daripada memintanya dari orangtuanya karena perempuan bukanlah barang
yang bisa ditawar atau diminta. Ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada kaum
perempuan Suku Sasak.

1
Tradisi Kawin Lari yang dianut oleh Suku Sasak adalah salah satu dari banyak
kebudayaan unik yang dimiliki oleh Suku Sasak. Bagaimana laki-laki dirasa lebih
terhormat dengan melarikan sang gadis pujaan daripada memintanya dari orangtuanya
karena perempuan bukanlah barang yang bisa ditawar atau diminta. Ini juga sebagai
bentuk penghormatan kepada kaum perempuan Suku Sasak.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah membahas budaya atau tradisi kawin lari
yang dianut oleh Suku Sasak di Lombok.

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat membuat para pembaca lebih mengenal tentang
tradisi suku sasak, memperkuat persatuan dan kesatuan suku-suku yang ada di Indonesia,
membangkitkan kembali minat dalam mengapresiasi kebudayaan daerah Indonesia, serta
menumbuhkan rasa bangga akan kebudayaan Indonesia.

1.4 Landasan Teori


Teori yang dipakai sebagai landasan pembahasan permasalahan dalam makalah
ini sebagai berikut.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
(http://id.wikipedia.org/wiki/sebudayaan)

Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling
sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi)

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan

2
akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku
yang dianggap menyimpang.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Adat)

1.5 Rumusan Masalah


Permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut. Bagaimana prosesi
tradisi Kawin Lari oleh Suku Sasak di Lombok?

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan yang digunakan dalam Karya Tulis ini ialah sebagai
berikut.
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
1.4 Landasan Teori
1.5 Rumusan Masalah
1.6 Sistematika Penulisan

Bab II Pembahasan
2.1 Pembahasan Tradisi Kawin Lari Suku Sasak

Bab III Penutup


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan Tradisi Kawin Lari Suku Sasak


Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem
indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami
dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah
sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis.
Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem eksogami tidak diharamkan
oleh adat, namun perlu dicatat bahwa adat perkawinan suku sasak, telah mengalami
distorsi disana sini.
Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam
maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa
ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di
daerah-daerah yang religius dan modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas
belaka.
Ada tiga sistem perkawinan Adat Sasak, yakni:
1. Perondongan
Perondongan atau perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan
yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling
tidak ada 3 alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak
mereka, yakni:
 memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga
keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah
orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status
sosialnya lebih rendah
 melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua
mempelai
 karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat
kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial
Jepang di Lombok. Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara

4
Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan
gundik. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum
memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan
perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah preventif
dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa
kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama
“kawin tadong”. Kalau sudah mendapatkan status perkawinan
otomatis tentara Jepang tidak akan mengambilnya.
Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak
ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam
garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang dalam
bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam usia kanak-kanak atau sering juga
terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
orang tua. Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yakni:
a) Setelah adanya kesepakatan antar orang tua diadakanlah upacara
pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun
sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka
dilarang hidup bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal
mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-
masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak
setelah memasuki usia dewasa. Jadi dengan pernikahan dini
tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali
perkawinan
b) Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan
pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak
setelah dewasa anak-anak tersebut baru akan dikawinkan.
c) Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan pertunangan,
akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah
dijodohkan. Mereka akan diberitahu ketika sudah dewasa.
Jika kelak anak yang telah dikawinkan/jodohkan ini menolak

5
melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-
anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian
menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap
menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa
tertentu. Pengusiran ini kemudian disebut “bolang” = buang.
Untuk itu terlarang bagi anak perempuan yang telah dijodohkan
atau yang telah dikawin tadong untuk keluar dari rumah.
Mekanisme ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam
perkembangan selanjutnya sistem pingit ini berlaku untuk seluruh
anak gadis, baik yg telah berjodoh maupn yang tidak.
Alasan pemingitan adalah agar tidak dilarikan oleh laki-laki lain
dan menghindari terjadinya kasus-kasus asusila pada si gadis yang
nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan utamanya adalah
melindungi.
2. Mepadik Lamar (melamar)
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tempat
lain. Setelah calon mempelai bersepakat melakukan pernikahan, calon
mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta
dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam prakteknya
sering sekali memerlukan waktu yang panjang dan merepotkan sehingga
sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang
bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat
tidak populer.
3. Merarika
Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya
namun cara ini adalah yang umum dipergunakan oleh masyarakat Sasak.
Merarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang
panjang. Merarik sering dikonotasikan dengan mencuri gadis (perempuan)
dalam arti melarikan perempuan untuk dijadikan isteri oleh laki-laki. Jadi
perbuatan mencuri gadis bukan merupakan kejahatan.

6
Filosofinya menurut pengertian yang umum diketahui, merarik dalam
persepsi masyarakat Sasak merupakan suatu bentuk “penghormatan”
kepada kaum perempuan. Bagi mereka, perempuan tidak bisa disamakan
dengan benda yang bisa di tawar-tawar atau diminta. Mencuri gadis
dengan melarikan dari rumah menjadi prosesi pernikahan yang lebih
terhormat dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Ada rasa kesatria
yang tertanam jika proses ini dilalui. Terlebih lagi kelas bangsawan yang
di sana menyandang gelar Lalu dan Raden. Dikatakan bahwa dengan
melarikan gadis pihak laki-laki ingin menunjukkan keberanian dan
kesetiaannya sebagai calon suami yang siap mempertaruhkan nyawanya
demi calon mempelainya. Saat ini kata merarik secara praktis sudah
menjadi “istilah” yang artinya sama dengan “kawin”, tidak peduli
dilakukan dengan cara kawin lari atau melamar
Caranya cukup sederhana, jika keduanya saling menyukai dan tidak ada
paksaan dari pihak lain, gadis itu tidak perlu memberitahukan kepada
kedua orangtuanya. Bila ingin menikah langsung aja bawa gadis itu pergi
dan tidak perlu izin. Mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan
dengan membawa beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi
kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring.
Gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke
kerabat laki-laki. Setelah sehari menginap, pihak kerabat laki-laki
mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemberitahuan
bahwa anak gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat tetapi tempat
persembunyian gadis itu dirahasiakan. Nyelabar, istilah bahasa setempat
untuk pemberitahuan itu dan dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tanpa
orangtua pihak lelaki. Rombongan Nyelabar terdiri lebih dari 5 orang dan
wajib mengenakan berpakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung
datang kekeluarga perempuan. Rombongan terlebih dahulu meminta izin
pada Kliang atau tetua adat setempat. Rombongan tidak diperkenankan
masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk bersila di halaman depan,
juru bicara rombongan itu yang nanti menyampaikan pemberitahuan.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tradisi Kawin Lari yang dianut Suku Sasak sangatlah menarik dan unik. Terlebih
lagi maksud dari tradisi Kawin Lari ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada
kaum perempuan. Kaum perempuan bukanlah objek tetapi subjek. Kamu perempuan
bukanlah barang yang hanya sekedar ditawar atau diminta, tetapi perlu diperjuangkan
untuk mendapatkan sang gadis pujaan hati. Perempuan sangatlah berharga dan harus
diberikan penghargaan serta penghormatan yang layak.

3.2 Saran
Pembaca diharapkan lebih mengapresiasi tradisi Kawin Lari, terlebih lagi nilai-
nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut. Karena selain sebagai bentuk pelestarian
budaya Indonesia juga sebagai bentuk penghargaan kepada kaum perempuan.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi
http://id.wikipedia.org/wiki/Adat
http://id.wikipedia.org/wiki/sebudayaan
http://id.shvoong.com/social-sciences/1927569-adat-perkawinan-suku-sasak-lombok/
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20070212120143

iv
LAMPIRAN

v
6

Anda mungkin juga menyukai