PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arsitektur tradisional sering diartikan sebagai arsitektur adat atau bahkan diartikan sebagai
arsitektur kuno. Kata “tradisi’ berasal dari bahasa latin “tradere” yang berarti menyerahkan atau
dari kata “traditium” yang berarti mewariskan. Jadi kata tradisi dapat diartikan sebagai suatu
proses penyerahan atau pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya.Dengan
demikian maka arsitektur tradisional adalah arsitektur yang hidup dan didukung oleh beberapa
generasi secara berurutan. Karena adanya perbedaan waktu dan tingkat kemajuan jaman, maka
tak terelakkan arsitekturjuga mengalami perubahan.
Namun pola dan bentukkannya tidak akan jauh berubah dari pola dan bentuk yang terlebih
dahulu diwariskan oleh generasi sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena “tradisi” dapat
diartikan sebagai suatu “proses”, tetapi dapat pula dipahami sebagai suatu “produk” atau hasil
akhir. Lebih jauh Rapoport (1990) menjelaskan makna arsitektur tradisional lingkungan
(vernacular environment)yang terbagi dalam dua atribut yaitu karakteristik prosesdan
karakteristik produk.
Karakteristik proses menyangkut hubungan dengan proses terbentuknya lingkungan,
bagaimanakah lingkungan tersebut tercipta, proses penciptaan termasuk di dalamnya proses tak
sadar diri perancang (un-selfconscious); karakteristik produk akan berhubungan erat
denganbagaimanakah ciri-ciri lingkungan tersebut, kualitas lingkungan, persepsi pemakai serta
aspek estetika bangunan.
PEMBAHASAN
Keberadaan suku ini bukan hanya di pulau Jawa tetapi juga menyebar merata di seluruh
Nusantara.
Sejarah Masyarakat jawa menurut Babad Tanah Jawa yaitu berasal dari
kerajaan Kling. Pada masa itu kerajaan Kling sedang berada dalam situasi yang
kacau akibat dari perebutan kekuasaan. Kemudian salah satu pangeran Kling yang
tersisih pergi meninggalkan kerajaan tersebut bersama dengan para pengikutnya
yang setia.
Akhirnya utusan raja tersebut sampai di sebuah tanah yang subur, banyak
ditemukan aneka bahan pangan. Tidak sulit untuk beradaptasi dan membangun
pemukiman di sana. Semakin lama semakin banyak gelombang migrasi yang
datang. Pulau asing tersebut akhirnya diberi nama tanah jawi oleh orang-orang
yang datang, karena disana banyak ditemukan tanaman jawi.
Rumah adat Joglo dianggap sebagai salah satu rumah yang paling familiar
dibanding tipe-tipe rumah adat lainnya. Saat ini di Jawa Tengah juga masih dapat anda
temui berbagai rumah adat Joglo yang masih dirawat dengan baik.
Memang rumah Joglo terkenal dengan lambang kekayaan pemilik. Tak heran jika
pemilik rumah Joglo bukan sembarang orang. Teras yang luas serta tak bersekat menjadi
ciri khas rumah ini. Selain itu ditengah ruangan rumah Joglo juga disokong oleh empat
tiang.
Tiang-tiang inilah yang biasanya disebut sebagai Soko Guru. Tak hanya menjadi
tempat tinggal, namun rumah Joglo juga dianggap sebagai lambang kekayaan. Karena
memang rumah Joglo hanya mampu dimiliki oleh orang-orang yang berlebihan finansial.
2. Rumah Adat Panggang Pe
Ternyata rumah adat jawa Tengah yang populer tidak hanya rumah adat
Joglo. Namun, di sini anda dapat menemukan rumah adat lain, rumah adat
Panggang Pe. Rumah yang satu ini cukup terkenal di Jawa Tengah.
Rumah adat tajug merupakan rumah adat yang biasa digunakan untuk
bangunan suci seperti masjid serta bangunan-bangunan lain. Jika penggunaannya
untuk tujuan tempat tinggal tentu tidak diperbolehkan.
4. Rumah Adat Kampung
Memang
dapat dikatakan jika rumah adat Jawa Tengah umumnya menunjukkan strata
sosial pemiliknya. Hal ini seperti pada rumah adat Kampung. Memang rumah
adat yang satu ini hampir mirip rumah Panggang Pe.
Tapi, jangan salah rumah adat ini memiliki cirinya sendiri. Biasanya ciri
yang dapat anda lihat adalah pada bagian tiang. Ini karena tiang yang digunakan
biasanya adalah kelipatan empat. Lalu dimulai dari angka delapan.
Sama seperti rumah adat Kampung, rumah adat yang satu ini juga dimiliki
oleh rakyat biasa. Cara mengenali rumah adat ini juga bukan dari jumlah
penyangga seperti pada rumah adat Kampung. Namun dari bentuk atap rumah
yang berbentuk limas.
A. SEJARAH RUMAH ADAT JOGLO
Sebenarnya, nama rumah adat Jawa Tengah bujan hanya Rumah Joglo. Ada 4
bentuk tempat tinggal tradisional yang ada di Jawa Tengah yaitu bentuk Panggangpe,
bentuk Kampung, bentuk Limasan, dan bentuk Joglo. Bentuk Joglo memang lebih
dikenal jika dibandingkan dengan bentuk lainnya.
Rumah Joglo, pada jaman dahulu, merupakan simbol status sosial dan hanya
dimiliki oleh orang yang mampu atau kaya. Bahan-bahan untuk membuat Joglo memang
jauh lebih mahal dan lebih banyak. Selain membutuhkan biaya, waktu yang dibutuhkan
juga cukup banyak.
Dan karna hal itulah anggapan rumah Joglo hanya boleh dimiliki oleh bangsawan,
raja, dan pangeran pun berkembang. Hingga masyarakat biasa yang memiliki penghasilan
rendah tidak mampu dan tidak berani untuk membuatnya. Masyarakat dengan
penghasilan rendah umumnya akan membuat rumah Panggangpe, Limasan, atau
Kampung yang lebih hemat biaya dan waktu.
Sekarang, rumah Joglo bisa dimiliki oleh berbagai kalangan. Bahan-bahan yang
lebih variatif dengan harga terjangkau sudah banyak di ual di dipasaran. Hal itu membuat
pembuatannya menjadi hemat biaya dibandingkan jaman dahulu dahulu kala.
Kayu jati selalu menjadi primadona untuk dijadikan bahan utama dalam
pembuatan rumah joglo. Ketahanan, keawetan, dan kekuatan kayu jati membuat kayu jati
menjadi pilihan paling utama pada saat itu. Rumah Joglo yang terbuat dari kayu jati
bahkan masih bisa bertahan hingga saat ini. Sekarang, pembuatan rumah Joglo dilakukan
dengan mencampur jenis-jenis kayu tertentu dengan berbagai macam alasan, salah
satunya untuk menghemat biaya karna harga kayu jati saat ini semakin tinggi.
Sirkulasi udara di rumah Joglo sangat baik. Atap yang dibuat bertingkat-tingkat
menyimpan makna tersendiri. Ketinggian atap Joglo yang bertahap mempunyai hubungan
dengan pergerakan manusia dengan udara yang dirasakan olehnya .
Selain bentuk atap bertingkat, salah satu hal yang menjadi ciri khas dari rumah
Joglo yaitu bentuk atapnya. Atap rumah Joglo adalah perpaduan dari dua bidang atap
segitiga dengan dua bidang atap trapesium. Di atap-atap itu mempunyai sudut kemiringan
yang beda. Atap Joglo selalu ada di tengah dan diapit oleh atap serambi.
Gabungan dari atap Joglo dan serambi itu ada dua macam. Gabungan pertama
memiliki nama Lambang Sari. Atap Joglo Lambang Sari merupakan atap Joglo yang
disambung dengan atap serambi. Gabungan kedua yaitu gabungan dengan menyisakan
lubang-lubang udara pada atap. Gabungan ini memiloki nama Atap Lambang Gantung.
D. FILOSOFI RUMAH ADAT JOGLO
Pemberian nama Joglo pada rumah adat Jawa Tengah ini syarat dengan berbagai
macam makna. Kata Joglo diambil dari kata “tajug” dan “loro”. Makna dari kata itu
adalah penggabungan dua tajug. Atap rumah Joglo memang berbentuk tajug yang
menyerupai gunung.
Pendapa.
Pendapa ada tepat di bagian depan. Hal ini menunjukkan bahwa sifat orang Jawa yang
ramah dan terbuka. Supaya tamu bisaduduk, umumnya pendapa dilengkapi dengan tikar.
Penggunaan tikar dimaksudkan agar tidak ada terjadi kesenjangan antara tamu dan
pemilik rumah.
Pringgitan.
Bagian ini merupakan tempat di mana pagelaran pertunjukan wayang diadakan.
Umumnya dipakai saat upacara ruwatan. Di sini, pemilik rumah juga menyimbolkan diri
sebagai Dewi Sri. Dewi Sri merupakan dewi yang dianggap sebagai sumber dari segala
kehidupan, kesuburan, dan juga kebahagiaan.
Dalem atau ruang utama keluarga.
Di sini, ada kamar-kamar yang disebut senthong. Jaman dulu, sentong hanya dibuat tiga
bilik saja. Kamar pertama untuk keluarga laki-laki, kamar kedua dikosongkan, dan kamar
ketiga untuk keluarga perempuan. Mengapa kamar kedua dikosongkan?
Kamar kedua yang disebut dengan krobongan ini dipakai sebagai tempat untuk
menyimpan pusaka sebagai pemujaan kepada Dewi Sri. Kamar ini dianggap sebagai
bagian rumah yang paling suci. Walaupun kamar ini dikosongkan, kamar ini tetap diisi
lengkap dengan tempat tidur dan perlengkanya.
Sebagai tambahan pengetahuan tentang adat jawa tengah, simak penjabaran dibawah ini tentang
baju adat jawa tengah, tarian adat jawa tengah dan macam-macam rumah adat jawa tengah
Jawi Jangkep.
Kebaya.
Batik.
Kanigaran.
Surjan dan Beskap.
Basahan.
Joglo
Rumah Panggang pe
Rumah Tajug
Rumah Kampung
Rumah Limasan
E. SISTEM STRUKTUR PADA RUMAH ADAT JOGLO
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah tradisional Jawa terdiri
atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang
sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu,
selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar
atap rumah bisa
berbentuk pencu.
Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman
seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat
pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya
terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Bagian denah
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu
kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama.
Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di
tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan.Pada
ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin
salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan
dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada
waktuwaktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua
bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada
ruang jagasatru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang
keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga
berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan
Tuhan.Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru
melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat
manusia
System penghawaan
Penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan
dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk
atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan
atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap
ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam
pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh
manusia itu sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir,
sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih
merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke
tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume
ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar. Seperti teori yang ada
pada fisika bangunan.
Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang
lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume
udara yang kecil.
Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami
perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat
dilihat kalau penghawaan pada rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh
manusia pada cuaca disekitarnya.Untuk membedakan status sosial pemilik rumah,
kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya
dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah
pendopo dalam rumah.
Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat dibedakan
menjadi 4 bagian :
Di bagian tengah pendapa terdapat empat tiang utama yang dinamakan sakaguru.
Ukurannya harus lebih tinggi dan lebih besar dari tiang-tiang / saka-saka yang lain. Di kedua
ujung tiang-tiang ini terdapat ornamen / ukiran.
Di bagian paling atas tiang sakaguru inilah biasanya terdapat beberapa lapisan balok kayu
yang membentuk lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam. Pelebaran
ke bagian luar ini dinamakan elar. Elar dalam bahasa Jawa berarti ‘sayap,. Sedangkan pelebaran
ke bagian dalam disebut ‘tumpang-sari’. Elar ini menopang bidang atap, sementara Tumpang-
sari menopang bidang langit langit joglo (pamidhangan).
Untuk lebih lengkapnya, detail dari rangka joglo adalah sebagai berikut :
1. Molo (mulo / sirah / suwunan), balok yang letaknya paling atas, yang dianggap sebagai
“kepala” bangunan.
2. Ander (saka-gini), Balok yang terletak di atas pengeret yang berfungsi sebagai penopang
molo.
3. Geganja, konstruksi penguat / stabilisator ander.
4. Pengeret (pengerat), Balok penghubung dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka
rumah bagian atas yang terletak melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan dengan
blandar.
5. Santen, Penyangga pengeret yang terletak di antara pengeret dan kili.
6. Sunduk, Stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan / goyangan.
7. Kili (Sunduk Kili), Balok pengunci cathokan sunduk dan tiang.
8. Pamidhangan (Midhangan), Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok / tumpang-sari
pada brunjung.
9. Dhadha Peksi (dhadha-manuk), Balok pengerat yang melintang di tengah tengah
pamidhangan.
10. Penitih / panitih.
11. Penangkur.
12. Emprit-Ganthil, Penahan / pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang
terhimpit.
13. Kecer, Balok yang menyangga molo serta sekaligus menopang atap.
14. Dudur, Balok yang menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan penangkur
dengan molo.
15. Elar (sayap), Bagian perluasan keluar bagian atas sakaguru yang menopang atap.
16. Songgo-uwang, Konstruksi penyiku / penyangga yang sifatnya dekoratif
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Rumah Joglo, pada jaman dahulu, merupakan simbol status sosial dan
hanya dimiliki oleh orang yang mampu atau kaya. Bahan-bahan untuk membuat
Joglo memang jauh lebih mahal dan lebih banyak. Selain membutuhkan biaya,
waktu yang dibutuhkan juga cukup banyak.
Dan karna hal itulah anggapan rumah Joglo hanya boleh dimiliki oleh
bangsawan, raja, dan pangeran pun berkembang. Hingga masyarakat biasa yang
memiliki penghasilan rendah tidak mampu dan tidak berani untuk membuatnya.
Masyarakat dengan penghasilan rendah umumnya akan membuat rumah
Panggangpe, Limasan, atau Kampung yang lebih hemat biaya dan waktu.
B. SARAN