Anda di halaman 1dari 13

KEBERAGAMAN ORANG ISLAM INDONESIA, KHUSUSNHYA BUDAYA LOKAL

JAWA: SANTRI, ABANGAN DAN PRIYAYI

Dosen Pengampu : Bapak M. Saiful Mujab

Disusun Oleh:

Irfa Yuhanida (2104026081)

Ma’rufatul ‘Azizah (2104026084)

Nurul Chasanah 92104026085)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2022/2023

Keberagaman orang islam di Indonesia

Islam di Indonesia terbukti dapat serta mampu berinteraksi dengan budaya lokal.
Terjadinya akulturasi budaya dan agama tidak terlepas dari kegigihan dakwah Walisongo dan
para wali lainya di Jawa. Para wali dalam melakukan Islamisasi atau menghayati agama
berdasarkan tiga hal penting yakni toleran, moderat dan akomodatif. Bagi seorang muslim,
keimanan yang dibalut dengan symbol-simbol tidaklah cukup. Orang yang telah beriman harus
disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji (akhlaq al-
karimah). Fenomena akulturasi budaya dengan agama di Jawa juga menyebabkan terjadinya dua
hal. Pertama, agama Islam dibalut dengan budaya jawa. Kedua, kebudayaan jawa yang dibalut
dengan Islam. Islam yang dibalut dengan kebudayaan Jawa, misalnya, Maulid Nabi, Rajaban,
Selikuran (pada malam yang diduga Lailatul Qadar), dan lain sebagainya.

Sedangkan budaya Jawa yang dibalut dengan Islam misalnya, sekaten, mitoni, ngupati,
ruwatan dan lain-lain. Sejatinya jika kita mau mendalami dan mengkaji tradisi budaya
masyarakat Jawa sebagaimana dicontohkan di atas sebenarnya terdapat dasarnya. Sebagai
1
muslim sudah seyogyanya jangan menyalahkan, membid’ahkan, memusyrikkan, apalagi
mengkafirkan muslim yang lain. Sejatinya muslim yang mengamalkan amalan-amalan seperti
diatas mempunyai dasar dan pegangan tersendiri. karena ulama dan walisanga ketika berdakwah
sebenarnya berprinsip dengan istilah kaidah al-muhafadzatu ‘ala al-muqadimil shaalih wal akhdu
bi al-jaddidil ashlah, menjaga tradisi lama yang positif dan mengambil tradisi baru yang lebih
positif.

Budaya Lokal Jawa

Masyarakat suku Jawa cenderung dengan orang yang menganut filosofi dan cara hidup
orang Jawa. Secara geografis suku Jawa meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Jawa Timur memiliki varian lain karena didalamnya terdapat suku Madura, suku Tengger dan
suku Osing yang terletak di Banyuwangi. Kebudayaan Jawa merupakan hasil peninggalan
sejarah kerajaan-kerajaan besar Jawa, khususnya Majapahit dan Mataram Baru.

Filosofi hidup orang Jawa yang paling mendasar banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu,
Budha, dan kepercayaan animisme dan dinamisme. Orang Jawa pada umumnya menjaga
keseimbangan, keserasian dan keserasian hidup dengan sesama dan dengan alam lingkungan.
Dalam etika sehari-hari, norma kesopanan, kesopanan, dan kesederhanaan berlaku. Oleh karena
itu, dialog bahasa Jawa memiliki beberapa tingkatan bahasa tergantung pada lawan bicaranya.
Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa hal yang menunjukkan identitas budaya Jawa,
diantaranya adalah:

1. Filosofis Hidup

Orang jawa pada umumnya memiliki banyak sekali filosofi hidup yang dijadikan
sebagai pedoman bermasyarakat. Ada 7 filosofis dasar yang menggambarkan perilaku
budaya suku Jawa, yaitu :

 Urip iku urup, (hidup itu menyala), maknanya adalah bahwa hidup sebagai manusia
haruslah memiliki manfaat bagi manusia lain dan lingkungan alam sekitar.

2
 Ojo Keminter Mengko Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko, (jangan menjadi orang yang
sombong dengan kepandaian dan jangan menyakiti orang agar tidak dicelakai),
maknanya hidup haruslah rendah hati dan selalu sportif.
 Ojo Ketungkul Marang Jenenge Kalenggahan, Kadunyan lan Kemareman, (jangan
menjadi orang yang hanya mengejar jabatan, harta dan kenyamanan), maknanya jangan
terlalu mengutamakan jabatan/pangkat, harta dan kenikmatan dunia.
 Wong Jowo Kuwi Gampang Ditekak-tekuk, (orang jawa itu mudah untuk diarahkan),
maknanya bahwa orang Jawa itu mudah untuk beradaptasi dengan berbagai situasi
lingkungan.
 Memayu Hayuning ing Bawana, Ambrasta dur Hangkara (membangun kebaikan dan
mencegah kemungkaran), maknanya adalah hidup didunia harus banyak-banyak
membangun atau memberi kebaikan dan memberantas sikap angkara murka.
 Mangan ora mangan sing penting kumpul (kebersamaan harus diutamakan), maknanya
adalah bahwa kebersamaan dan gotong royong itu lebih penting dari yang selainnya.
 Nrimo Ing Pandum, (menerima pemberian dari yang kuasa), maknanya adalah harus
selalu bersyukur terhadap apa yang sudah dimiliki dan diberikan oleh Tuhan.
2. Ajaran Kejawen

Kejawen bagi masyarakat Jawa asli sudah seperti agama tersendiri. Ajaran kejawen
pada dasarnya merupakan campuran dari seni, budaya, adat ritual, sikap sosial, serta berbagai
pandangan filosofi masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh
ajaran asli kejawen, panutan ajaran ini menjadi nilai spiritualitas tersendiri. Masyarakat Jawa
banyak memiliki kitab kejawen yang diambil dari kitab para leluhur pada masa kerajaan
Jawa.

Seperti Syekh Siti Jenar yang terkenal dengan konsep gagasan ‘manunggaling kawula
lan gusti’, merupakan salah satu tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari munculnya ajaran
kejawen. Sebagai inti ajaran, kejawen mengajarkan manusia pada apa yang disebut ‘Sangkan
Paraning Dumadhi’ (kembali kepada sang pencipta). Kemudian membentuk dan
mengarahkan manusia untuk sesuai dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti).
Bahwa setiap manusia harus bertindak sesuai dengan tindakan dan sifat Tuhan.

3
Untuk mencapai tujuan tersebut maka orang Jawa biasa melakukan ’laku’ atau
tindakan untuk membentuk pribadi yang sesuai dengan Tuhan. Diantaranya adalah dengan
melakukan ‘pasa’ atau berpuasa dan juga ‘tapa’ atau melakukan pertapaan. Disinilah letak
kejawen sebagai bentuk spiritualitas suku Jawa.

3. Wayang Kulit

Wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan suku Jawa yang cukup khas. Wayang
sendiri berasal dari kata ‘ayang-ayang´ yang berarti bayangan. Wayang kulit Jawa memiliki
perbedaan dengan wayang golek Sunda. Bagi suku Jawa, cerita pewayangan selalu
menggambarkan bentuk kehidupan manusia di dunia, yakni peperangan terhadap angkara
murka dan perjuangan untuk membangun.Hal itu sesuai dengan prinsip filosofis hidup yang
selalu dipegang teguh oleh orang Jawa.

Permainan kesenian wayang kulit mulai tersebar luas ketika para wali songo sering
menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah Islam. Pada umumnya cerita dan
penokohan pada kesenian wayang kulit diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana.
Namun dalam versi pewayangan Jawa, cerita tersebut sudah banyak dilakukan perubahan.
Wayang purwa sebutan lain bagi wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang narator yang
disebut dalang. Dalang ini bertugas untuk mengatur jalannya cerita dan memainkan gerak
para tokoh wayang kulit.

Selain memiliki unsur kesenian, wayang kulit juga dipercaya oleh orang Jawa memiliki
nilai magis tersendiri. Pagelaran wayang kulit dipercaya mampu mendatangkan kekuatan-
kekuatan magis dari arwah leluhur ataupun kekuatan magis yang berasal dari Tuhan. Maka
dari itu pagelaran wayang kulit merupakan media utama ketika orang Jawa melakukan
ruwatan. Ruwatan merupakan bentuk acara atau upacara untuk membuang ‘bala’ (kesulitan
dan kesialan). Dengan diruwat orang Jawa berharap kehidupannya bisa keluar dari segala
kesulitan dan bencana.

4. Keris

Keris merupakan senjata tradisional suku Jawa. Keris sendiri selain sebagai senjata
tradisional suku Jawa juga menjadi lambang kedaulatan beberapa raja-raja di kerajaan luar
4
Jawa. Bagi orang Jawa, keris tidaklah sesederhana hanya merupaka senjata saja. Lebih dari
itu, keris merupakan senjata pusaka yang diyakini oleh sebagai orang memiliki atau
menyimpan kesaktian. Oleh sebab itu keris disebut juga sebagai ‘tosan aji’ (alat yang
memiliki kesaktian).

Dalam beberapa legenda sejarah terdapat beberapa keris yang dianggap begitu
istimewa. Keris Mpu Gandring yang direbut oleh Ken Arok, mampu menjadikan Ken Arok
sebagai penguasa kerajaan Singasari. Keris Nagasasra dan keris sabuk Inten yang terkenal
dari kerajaan Demak. Keris Sunan Kudus yang disebut ‘sunan kober’ dan merupakan senjata
pamungkas dari Arya Penangsang juga telah mampu memberikan kekuasaan.

Sebagai ‘tosan aji’, keris begitu sangat dipercayai kesaktiannya karena proses
pembuatannya yang dilakukan oleh para Mpu (sebutan bagi pembuat keris) senantiasa
diiringi dengan laku spiritualitas seperti puasa dan bertapa. Selain kemampuan meracik
kualitas bahan material, para Mpu juga memasukkan berbagai mantra dan do’a pada keris
yang dibuatnya. Bahkan jumlah ‘luk’ (lekukan) yang ada pada keris menyimpan makna
kesaktian yang tersembunyi.

5. Aksara Jawa

Suku Jawa memiliki huruf tulisan yang disebut dengan aksara Jawa. Aksara Jawa
terdiri dari 20 karakter huruf yang menyimpan makna dan filosofi masing-masing. Huruf-
huruf tersebut adalah Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha
Nga. Banyak sekali versi sejarah dan legenda yang mengemukakan asal-usul munculnya
aksara Jawa ini. Namun yang paling terkenal diantara kalangan masyarakat Jawa adalah
cerita babad Ajisaka.

Babad Ajisaka mengisahkan tentang pengembaraan seorang penguasa kerajaan Jawa


Kuno yang didampingi oleh seorang abdi (pembantu). Dalam perjalanannya, Ajisaka
meninggalkan keris miliknya di tengah hutan dan menyuruh abdinya tersebut untuk menjaga
keris tersebut dan jangan sampai diberikan kepada siapapun kecuali pada Ajisaka sendiri.
Ajisaka kemudian melanjutkan pengembaraannya seorang diri.

5
Setelah sekian waktu, Ajisaka kembali ke kerajaan dan setelah sekian lama
memerintah kerajaan ia baru teringat akan keris pusakanya yang ia tinggalkan semasa
pengembaraan. Dari situ lantas Ajisaka mengutus seorang utusan untuk pergi ke hutan
mengambil keris tersebut. Ia berpesan pada utusannya bahwa jangan sampai kembali ke
kerajaan sebelum ia membawa keris pusakanya.

Di tengah hutan utusan kerajaan ini mendapati keris pusaka Ajisaka yang tengah
dijaga oleh seorang abdi. Kedua orang yang pada hakekatnya merupakan utusan Ajisaka ini
kemudian saling berebut keris karena mereka sama-sama memegang teguh amanah perintah
majikannya. Dua orang ini kemudian terlibat pertarungan yang menjadikan keduanya tewas.
Ajisaka baru teringat kalau ia meninggalkan keris tersebut bersama dengan salah satu abdi
setianya. Ajisaka menyusul ke dalam hutan, namun ia mendapati kedua utusannya telah
tewas. Untuk menghormati utusannya yang setia inilah kemudian Ajisaka merumuskan
tulisan yang kemudian dikenal sebagai aksara Jawa. Filosofisnya,

HaNaCaRaKa : terdapat dua utusan setia

DaTaSaWaLa : saling berkelahi/bertarung

PaDaJaYaNya : sama-sama saktinya

MaGaBaThaNga : sama-sama matinya.

6. Bahasa

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang memiliki stratifikasi atau tingkatan
bahasa. Orang Jawa sangat menjunjung tinggi etika kesopanan dan kesantunan termasuk
dalam hal berbahasa. Dalam bahasa Jawa dikenal yang namanya undhak-undhuk atau tata
krama di dalam bertutur kata. Setidaknya terdapat tiga struktur tingkatan bahasa yang ada
dalam bahasa Jawa, tingkatan tersebut :

 Ngoko, bahasa ngoko merupakan bahasa yang digunakan apabila lawan bicara
merupakan orang yang sebaya umurnya atau kerabat yang sudah dekat dan akrab. Secara
khusus juga digunakan oleh orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda.

6
 Madya, bahasa madya merupakan bahasa yang digunakan kepada lawan bicara yang
umurnya lebih tua atau sekadar penghormatan kepada orang yang sama sekali kurang
dikenal.
 Krama, bahasa krama merupakan tingkatan tertinggi dalam bahasa Jawa. Digunakan
untuk berbicara kepada orang yang yang lebih tua atau dituakan, serta kepada orang yang
memiliki status sosial tinggi di masyarakat.

Bahasa Jawa sendiri masih terbagi kedalam beberapa dialek yang berbeda-beda.
Seperti dialek orang Jawa di Jawa Timur dengan orang Jawa di Jawa Tengah atau Jawa Barat,
memiliki struktur pengucapan dan logat yang berbeda. Namun prinsip undhak undhuk masih
tetap berlaku meskipun dialek dan pengucapan memiliki perbedaan.

7. Seni Tarian

Orang Jawa dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya. Sangat banyak sekali seni
tari yang merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa masyarakat Jawa. Bahkan antara orang
Jawa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, memiliki tarian khasnya masing-masing.
Benang merah seni tari suku Jawa terletak pada tata tari yang luwes, kalem dan santun.
Menggambarkan filosofis hidup suku Jawa yang cenderung menerima, selalu adaptif dengan
segala situas dan kondisi serta mengutamakan tata krama.

Sebagaimana kepercayaan yang dianut suku Jawa, dalam kesenian tari yang
diciptakan pun tidak terlepas dari unsur magis dan sakralitas. Kesenian tari seperti reog, tari
sintren, tari kuda lumping, merupakan contoh kesenian tari yang sangat kental dengan
kekuatan supranatural. Di lingkungan keraton Jogjakarta dikenal tari ‘bedhaya ketawang’
yang sangat disakralkan oleh orang Jawa disana. Sakralitas ini berkaitan dengan
kepercayaan bahwa tari bedhaya ketawang ini sengaja diciptakan oleh Nyi Roro Kidul
penguasa laut selatan sebagai bentuk suguhan bagi penguasa Kerajaan keraton Jogja
penguasa tanah Jawa.

Tarian ini ditarikan oleh 9 orang wanita dan hanya dipentaskan untuk acara-acara
tertentu saja yang berkaitan dengan hajat keraton/kerajaan. Pagelaran tari bedhaya ketawang
diiringi oleh musik gamelan yang ritmenya sangat halus dan pelan. Gerakan tarinya pun juga
7
sangat halus, sehingga membuat orang yang melihatnya seolah-olah tersihir dengan gerak
dan alunan musiknya. Dipercaya bahwa ketika dilakukan pagelaran tari ini, secara
supranatural Nyi Roro Kidul selalu hadir dan ikut menari bersama dengan 9 wanita yang
menarikan tarian ini.

Santri, abangan dan priyayi

Seorang peniliti dan antropolog asal Amerika Serikat, Clifford Geertz membuat sebuah
penilitian yang akhirnya dibuat menjadi buku yang berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa. Clifford Geertz melakukan penilitian di kota Mojokuto, Jawa Timur tentang
tiga tipe budaya yang berada di kota tersebut. Penilitian ini dijalankan selama 6 tahun lamanya,
baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Geertz meniliti 3 golongan yang berada di
Mojokuto yang mempengaruhi sistem keagamaan dan kebudayaan di kota tersebut, 3 golongan
tersebut adalah Abangan, Santri, dan Priyayi. Pembagian ini menurut Geertz, merupakan
pembagian yang dibuat oleh orang-orang Jawa sendiri

Abangan, Santri, dan Priyayi walaupun masing-masing merupakan struktur sosial yang
berlainan, tetapi masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dalam mewujudkan adanya
sistem sosial Jawa yang berlaku umum di Mojokuto. Walaupun demikian, nampaknya yang lebih
menjadi perhatian Geertz adalah masalah perpecahan dalam sistem sosial orang Jawa yang ada di
Mojokuto.

A. Varian Agama Abangan

Yang pertama adalah Abangan, bila mewakili sikap, menitikberatkan segi-segi


animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-
unsur petani di antara penduduk. Istilah abangan oleh Clifford Geertz diterapkan pada
kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar
dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk.

Abangan masih menerapkan pola tradisi jawa dalam kehidupan mereka. Salah satunya
yaitu tradisi slametan. Tradisi slametan adalah tradisi yang dijalankan untuk memenuhi
semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau
dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti
8
nama, membuka pabrik, sakit, dan lain-lain. Semuanya itu memerlukan slametan. Yang
memiliki hajat dalam slametan akan mengundang semua yang tinggal di sekitar seseorang
yang punya hajat tersebut. Makna dari slametan adalah tak seorang pun merasa berbeda dari
yang lain, tak ada seorang pun yang merasa rendah dari yang lain, dan tak ada seorang pun
punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain.

Orang-orang abangan sendiri masih mempercayai hal-hal mistis yang mereka yakini
berada di sekitar mereka. Orang Abangan masih percaya dengan kekuatan makhlus halus
seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang dan lain-lain. Hal ini memberikan rangkaian
imajinasi yang piktografi simbolis, pengalaman yang seperti teka-teki, dan dalam kerangka
mana bahkan hal-hal yang ganjil nampaknya tak bisa dihindari.

Jadi bolehlah disimpulkan bahwa varian agama abangan mengacu kepada bahasa
sehari-hari disebut tradisi rakyat yang pokok, tradisi kaum tani. Inti ritual-ritualnya terdiri dari
slametan, atau perjamuan untuk lingkungan tetangga, yang diadakan dengan tujuang agar
slamet, yakni satu keadaan psikologis tanpa gangguan-gangguan emosional. Dengan satu
kompleks kepercayaan-kepercayaan tentang roh dan praktek penyembuhan, varian agama
abangan mencerminkan pemberian tekanan pada aspek-aspek animisme dari sinkretisme Jawa
secara keseluruhan.

Menurut Geertz, maka benarlah orang abangan menurut pengertian orang Jawa
mengacu pada satu kategori sosial yang empiris, yakni mereka yang tidak melibatkan diri
secara aktif dalam agama Islam, akan tetapi benar pula bahwa deskripsi Geertz mengenai soal
itu agak menyesatkan, mungkin karena asumsinya bahwa tradisi abangan adalah identik
dengan tradisi rakyat (folk tradition).

B. Varian Agama Santri

Golongan kedua yang dibahas dalam buku ini adalah golongan santri. Menurut Geertz,
santri dimanifestasikan dalam pelaksanaan yang cernat dan teratur, ritual-ritual pokok agama
Islam, seperti kewajiban salat lima kali sehari, salat Jumat, di masjid, berpuasa selama bulan
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji. Artinya, dalam menjalankan peribadatan agama
Islam, kalangan santri tidak mencampur adukkan unsur-unsur lain selain agama Islam seperti
9
kalangan abangan. Ciri-ciri santri lebih dikenal sebagai tradisi Islam untuk mempermudah
pandangan kita terhadap kaum santri.

Varian agama santri diasosiasikan dengan pasar, yang merupakan salah satu dari
ketiga inti sosial-kultural. Kedua inti lainnya adalah desa dan pemerintahan birokrasi. Untuk
profesi yang banyak dianut oleh kaum santri, di daerah perkotaan santri biasanya berprofesi
sebagai pedagang atau tukang, terutama penjahit. Sedangkan di desa, santri berprofesi sebagai
petani, jadi tidak semua petani di desa adalah orang abangan, di sana terdapat pula petani-
petani yang santri.

Oleh karena keterlibatan secara aktif dalam agama Islam, kepercayaan-


kepercayaannya, nilai-nilai dan normanya merupakan cciri khas santri, wajarlah untuk
memperkirakan bahwa di kalangan penduduk Mojokuto, santri terdapat dalam setiap kategori
sosial yang utama, golongan ningrat dan rakyat biasa, pedagang dan petani tua muda, yang
tradisional dan yang modern, yang terpelajar dan yang tidak terpeleajar, seperti juga wajar
untuk memperkirakan adanya orang abangan dalam setiap kategori itu.

Santri tidak harus didapati hidup berkelompok dalam satu lingkungan rukun tetangga,
meskipun kelompok-kelompok rumah yang dihuni oleh orang-orang santri mungkin saja
ditemukan di pelbagai tempat di kota atau daerah pedalaman, seperti di masjid dan tempat
tnggal para kiai. Kelompok rumah-rumah di sekitar masjid meliputi apa yang dikenal sebagai
kauman dan kompleks tempat tinggal santri-santi sekitar rumah kiai yang disebut pesantren.

Untuk mengidentifikasikan seorang disebut sebagai santri memang agak sulit, semua
tertgantung kepada pengertian orang itu sendiri mengenai santri. Banyak yang menganggap
santri adalah seorang yang taat kepada agama, seroang yang secara teratur dan dengan patuh
melakukan ritual-rital yang diwajibkan, seorang murid pesantren, seorang yang mempunyai
pengetahuan tentang isi Quran dan sebagainya. Tidak ada proses inisiasi yang dapat dipakai
sebagai pegangan untuk mengetahui idenfitikasi santri, tidak ada keanggotaan yang formal.
Dengan demikian, maka meskipun secara relatif sudah jelas apa itu ciri-ciri tradisi agama
santri, seringkali tidak terlalu jelas siapa-siapa saja yang dianggap sebagai santri.

C. Varian Agama Priyayi


10
Yang terakhir adalah kaum priyayi, Dr.Geertz berasumsi bahwa kaum priyayi adalah
kaum yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi.
Golongan Priyayi adalah kaum elite yang sah, memanifestasikan satu tradisi agama yang khas
yang disebut sebagai varian agama priyayi dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa.
Dalam kaitannya dengan kedudukan kaum priyayi dalam struktur sosial di Mojokuto,
Dr.Geertz melukiskan mereka sebagai satu golongan pegawai birokrasi yang menurut tempat
tinggal mereka merupakan penduduk kota. Di masa lampau, mereka dianggap merupakan
bagian dari aristokrasi keraton. Istilah priyayi mengacu kepada orang-orang dari kelas sosial
tertentu, yang menurut hukum merupakan kaum elite tradisional. Ia mengacu kepada orang-
orang yang menurut hukum dianggap berbeda dari rakyat biasa.

Kaum priyayi dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan
yang terdiri dari pelbagai tingkat menurut hirarki hak dan kewajiban. Gelar-gelar tersebut
seperti Raden, Raden Mas, Raden Panji, Raden Tumenggung, Raden Ngabehi, Raden Mas
Panji, dan Raden Mas Aria. Gelar-gelar tersebut dicantumkan dalam bentuk singkatan di
depan nama orang yang bergelar itu. Bukan hanya pria, kaum wanita juga berhak mempunyai
gelar seperti Raden Roro, Raden Ajeng, dan Raden Ayu.

Sebagai elite dalam masyarakat Jawa, kaum priyayi mempunyai lebih banyak
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, tradisional atau modern, dibandingkan rakyat
biasa. Orang-orang priyayi dididik untuk mengetahui tata krama dalam perilaku mereka, pola-
pola tingkah laku yang diasosiasikan dengan priyayi.

Dalam kepercayaan, priyayi mendapat bermacam macam kepercayaan agama dan


bukan hanya satu tradisi agama yang merupakan varian dari sistem agama orang-orang Jawa
pada umumnya. Priyayi Santri adalah sebutan untuk priyayi yang secara aktif melibatkan diri
dalam agama Islam. Ketaatan mereka kepada agama dapat diungkapkan dalam mistik atau
dengan jalan menekuni tulisan-tulisan tentang Islam. Kedua, Priyayi Abangan adalah sebutan
untuk priyayi yang tidak begitu menghiraukan tentang Islam. Sebagian dari mereka malah
sama sekali tidak memperdulikan soal agama. Tetapi ada pula priyayi yang bukan orang tidak
beragama. Mereka mungkin saja memeluk agama leluhur mereka yaitu agama Jawa.

11
Jadi, menurut Geertz kepercayaan-kepercayaan agama, nilai-nilai dan nerma-norma
priyayi pada dasarnya tidak berbeda dari kalangan yang bukan priyayi. Tetapi dengan
pengecualian selain hal-hal yang berkaitan dengan Islam, priyayi mampu mengungkapkan
kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai mereka secara lebih nyata dan dengan demikian
memiliki bentuk tradisi agama yang lebih maju, lebih sophisticated. Sedangkan tradisi yang
terdapat di kalangan rakyat biasa mempunyai bentuk yang lebih kasar.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://ilmuseni.com/seni-budaya/kebudayaan-suku-jawa

Resume Buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Karya clifford Geertz
https://www.academia.edu/10335800/Resume_Buku_Abangan_Santri_Priyayi_dalam_Masyarakat_Jaw
a_Karya_Clifford_Geertz

13

Anda mungkin juga menyukai