Anda di halaman 1dari 7

PIDATO MELESTARIKAN BUDAYA JAWA

Assalamuaalaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati,

Para sesepuh, Para tokoh, Para pemerhati dan pelaku budaya Jawa,

Dewan Juri Penganugerahan Pelestari Budaya Jawa,

Para undangan, Rekan-rekan insan pers, dan Hadirin yang saya banggakan.

Memulai sambutan ini, perkenankan saya mengajak hadirin sekalian untuk memanjatkan puji
syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan karunia-Nya, sehingga
kita dapat menghadiri acara Penganugerahan Penghargaan untuk Pelestari Budaya Jawa
dalam keadaan sehat wal afiat.

Pada kesempatan ini, saya sungguh merasa bangga dan sangat berbahagia berkumpul
bersama para pelestari budaya jawa. Karena, acara ini pada hakikatnya, bukan hanya sekedar
pemberian penghargaan, tetapi merupakan momentum penyadaran akan pentingnya
pelestarian nilai-nilai budaya bangsa umumnya dan budaya Jawa khususnya, sekaligus
sebagai wujud komitmen kita semua untuk merawat dan menjadikan nilai-nilai budaya
sebagai pedoman dalam kehidupan kita bersama.

Acara ini sangat penting, karena kita adakan di tengah sebagian masyarakat mulai
memandang budaya bangsa lain lebih menarik, lebih hebat dari budaya kita sendiri. Bahkan,
ada sekelompok orang yang sudah menganggap budaya lokal sudah tidak relevan dengan
kemajuan globalisasi. Mereka bangga dengan budaya luar dan menganggap remeh budaya
sendiri. Mereka menganggap budayanya sendiri tidak relevan dengan kehidupan modern.

Memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal menjadi tantangan bagi kita untuk mencari
cara bagaimana mengembalikan rasa hormat kepada budaya sendiri. Sejarah membuktikan,
kemajuan suatu bangsa dapat terjadi justru apabila suatu bangsa menghargai kebudayaannya
sendiri. Mari kita lihat bagaimana China bisa maju, tanpa kehilangan identitas budayanya,
dan Jepang bisa melaju karena melandasi kehidupan modern dengan nilai dan karakter
kebudayaannya.

Para Pelestari Budaya dan Hadirin yang saya hormati.

Budaya kita, jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya mampu menjadi pendorong kemajuan.
Bila Rhonda Byrne dalam bukunya The Secret mengatakan, bahwa sumber utama kesuksesan
adalah mensyukuri apa yang telah ada, karena alam akan memantulkan kembali kebahagiaan,
maka orang Jawa sudah lama memiliki moto nrimo pawehing pandum, artinya menerima
apa yang diberi Tuhan. Jika orang lain mengatakan, bahwa sumber kesuksesan adalah terus
berusaha, mencoba, dan mencoba, maka orang Jawa telah lama memiliki moto tatag-tutug,
yang maknanya siapa yang yakin dan terus mencoba, maka dia akan sampai. Oleh karena itu,
saya tegas menolak jika ada teori perubahan sosial yang mengatakan, bahwa kebudayaan
adalah penghambat kemajuan. Yang benar adalah bahwa kebudayaan, jika dimaknai dengan
benar akan menjadi pendorong kemajuan.

Sejak lama saya sudah mengagumi budaya Jawa, yang menurut saya merupakan budaya yang
memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi. Budaya Jawa yang dipegang teguh telah menciptakan
sikap, kepribadian, dan gaya, serta perilaku orang Jawa menjadi sosok yang simpatik, halus,
santun, toleran, fleksibel, dan menyukai keharmonisan. Sosok yang cocok dengan kehidupan
bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan kegotong-royongan.

Bahkan, saya tidak hanya mengagumi budaya Jawa, tapi saya juga mengagumi gadis Jawa,
saya tertarik pada gadis Jawa. Ini terbukti, karena isteri saya adalah putri Jawa dari daerah
Pati, Jawa Tengah. Padahal saat saya masih lajang, banyak lho gadis-gadis cantik yang
mengejar saya, bukan cuma gadis-gadis, bahkan banyak orang tua yang kesengsem ingin
menjadikan saya sebagai menantunya. Mungkin, karena saat itu saya sudah kelihatan punya
tanda-tanda masa depannya akan cerah.

Walaupun banyak godaan, tapi cinta saya teguh dan tak tergoyahkan, hanya untuk seorang
putri Jawa, dan alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah SWT, nawaitu saya dikabulkan
dan saya dianugerahi seorang istri yang memegang teguh nilai-nilai budaya Jawa dan menjadi
pendamping setia saya dalam mengarungi kehidupan yang dengan segala suka duka dan pahit
manisnya.

Para pelestari budaya Jawa serta hadirin yang saya hormati.

Mengapa nilai dan budaya Jawa menarik perhatian saya?. Bukan hanya karena Jawa adalah
etnis terbesar di Republik ini, di mana secara demografis etnis Jawa berjumlah sangat besar,
sekitar 43 % dari seluruh penduduk Indonesia. Tetapi yang lebih hebat dari itu, adalah
kebesaran hati orang Jawa. Di negara lain, dengan jumlah penduduk yang dominan, etnis
Jawa sesungguhnya dapat memaksakan negara ini berdiri atas dasar kesukuan, yaitu suku
Jawa, seperti halnya terjadi di beberapa negara lain, yaitu Irlandia dengan suku Irish,
Uzbekistan dengan suku dominan Uzbek, Azerbaijan dengan suku dominan Azeri, dan
bahkan Arab Saudi yang berdiri di atas pilar Keluarga Saud atau Bani Saud.

Tetapi di Indonesia, bangsa kita berdiri justru atas prinsip persatuan dan kesatuan Indonesia
yang menghargai kemajemukan, Bhinneka Tunggal Ika, dan yang memelopori kemajemukan
itu sebagiannya justru berasal dari Jawa. Orang-orang Jawa juga berbesar hati merelakan
bahasa Jawa tidak menjadi Bahasa Nasional, tetapi justru mendukung bahasa persatuan,
yaitu Bahasa Indonesia. Padahal, Bahasa Indonesia berinduk pada rumpun bahasa Melayu.

Kebesaran hati orang Jawa ini, pasti ada sumbernya, yaitu pada nilai-nilai dan filosofi
Budaya Jawa. Dalam pandangan saya, budaya Jawa memiliki nilai-nilai dan filosofi luhur,
bila dijalankan secara konsisten dan konsekuen akan membawa begitu banyak manfaat dan
kemajuan bagi bangsa.

Orang Jawa merupakan suku yang penyebarannya paling luas di seluruh Indonesia, bahkan
melampaui batas teritorial bangsa, di Suriname misalnya, dan mampu hidup harmonis
bersama anak bangsa lainnya. Mengapa orang Jawa bisa hidup harmonis bersama suku
bangsa lain? Cara hidup yang mengedepankan harmoni, menjadikan orang Jawa dapat hidup
berdampingan secara damai dan nyaman dengan suku bangsa lain. Dalam kehidupan
bermasyarakat yang lebih luas, orang Jawa berprinsip seperti wasiat Mangkunegoro I, yang
dikenal dengan istilah Tribroto, yaitu selalu rumongso melu handarbeni, harus merasa ikut
memiliki, wajib melu hangrungkebi, wajib ikut membela dengan ikhlas, dan mulat sariro
hangroso wani, harus selalu mawas diri dan memiliki sifat berani membela kebenaran.
Filosofi itulah, menjadikan orang Jawa mudah diterima semua pihak.

Filosofi orang Jawa dipelajari, bahkan dipakai oleh banyak orang di luar etnis Jawa. Tidak
hanya dalam urusan kehidupan secara umum, tetapi juga dalam hal kepemimpinan. Sebelum
lahir pakar kepemimpinan modern, masyarakat Jawa telah memiliki doktrin kepemimpinan
sendiri, seperti tercantum dalam kitab Ramayana karangan Yosodipuro I yang hidup di
Keraton Surakarta, abad ke-18 yang dikenal dengan istilah Hasto-Broto, yakni ciri
kepemimpinan berdasarkan sifat-sifat alam, yaitu : Suryo, matahari yang menyebarkan
energi. Condro, bulan, indah dan penuh keteduhan. Kartiko, bintang, menjadi penunjuk arah.
Maruto, angin, adil terhadap yang dipimpin. Selain itu juga Dahono, api, memberikan reward
and punishment. Angkoso, langit, berwawasan luas. Samudro, laut, menampung semua
masalah; dan Bantolo, bumi, sabar, penuh pengertian dan mencukupi.

Selain itu, masih banyak lagi filosofi kepemimpinan Jawa yang hidup dan berkembang luas
dalam masyarakat, di antaranya : menang tanpo ngasorake, yakni menang tanpa
merendahkan, tanpa membuat hina yang dikalahkan. Filosofi ini penting dan sangat relevan
di terapkan dalam ranah politik, agar kontestasi dan kompetisi politik tidak membawa
dampak negatif berupa rusaknya hubungan baik dan terganggunya keharmonisan antar-
pelaku politik; tetapi dari kontestasi dan kompetisi politik akan menghasilkan rasa respek,
tetap terjalinnya persahabatan di kalangan para politisi lintas partai dan kelompok. Dalam
bahasa yang sering saya ungkapkan, kita menghindari intrik dan fitnah politik, dan secara
sungguh-sungguh menjadikan ide dan gagasan sebagai instrumen politik, melalui perdebatan
konseptual.

Nilai kepemimpinan lainnya, adalah mikul dhuwur mendem jero, yang berarti menjadi
kewajiban untuk menjunjung tinggi pimpinan, menjaga kehormatan dan martabat pimpinan.
Falsafah ini memberikan pesan bahwa menceritakan aib pimpinan sesungguhnya
menceritakan aibnya sendiri. Falsafah ini sesuai dengan ajaran Islam yang melarang
menceritakan aib orang lain, dan bagi mereka yang melakukannya, sama dengan orang yang
memakan bangkai saudaranya sendiri.

Falsafah kepemimpinan Jawa lainnya yang penting dan sangat relevan dengan situasi ke-
kinian, adalah ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh , artinya, bahwa sebagai pemimpin,
janganlah terlalu terheran-heran terhadap sesuatu yang baru, tidak menunjukkan sikap kaget
jika ada hal-hal diluar dugaan, dan tidak boleh sombong sewaktu menjadi pemimpin. Budaya
Jawa juga mengajarkan sikap kerendah-hatian, seperti mengemuka dalam adagium Jawa yang
sangat populer dalam masyaraakat : Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso O Ngrumangsani,
jangan cepat-cepat merasa bisa, merasa mampu, tetapi terlebih dahulu, belajarlah untuk bisa
merasa.

Bahkan, ada filosofi kepemimpinan Jawa yang lain, yang kemudian lebih dipopulerkan oleh
Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, sebuah filosofi yang saya anggap sangat
penting untuk diadposi dan diterapkan oleh pemimpin dewasa ini, adalah ing ngarso sung
tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodho, yaitu
pemimpin harus mampu berdiri di depan untuk memberi tauladan lewat sikap dan
perbuatannya. Ing madyo mangun karso, berarti seorang pemimpin harus mampu berada di
tengah-tengah bawahannya, terus memberi semangat dan motivasi agar bawahan dapat
bekerja lebih baik dan lebih produktif, dan tut wuri handayani, yaitu mendorong dan
mendukung dari belakang kepada bawahannya, kepada staf dan kadernya, agar mereka berani
tampil dan maju dengan penuh tanggung jawab.

Dengan berpedoman kepada nilai-nilai kepemimpinan Jawa tersebut, saya meyakini, tidak
akan ada pemimpin yang pinter nanging keblinger , yaitu pemimpin yang pintar tapi
keblinger, salah besar atau salah jalan, atau pemimpin yang lali marang asale, pemimpin
yang lupa dengan asal usulnya. Nilai-nilai budaya Jawa tersebut sangat relevan di tengah
suasana kegaduhan politik nasional yang kerap terjadi dewasa ini. Saya yakin, bila nilai-nilai
luhur tersebut kita terapkan, pasti tidak terjadi kegaduhan politik, bahkan sebaliknya budaya
politik kita semakin bermartabat, karena semua pihak saling menghargai dan menghormati,
menjaga kesantunan dan fatsun politik, serta lebih fungsional dan produktif.

Para tokoh pelestari budaya Jawa dan hadirin yang saya hormati.

Kekaguman saya pada nilai-nilai dan filosofi budaya Jawa tersebut, membuat saya terpanggil
untuk ikut aktif mengambil kepeloporan dalam ikhtiar melestarikan dan internalisasi nilai-
nilai luhur budaya Jawa. Saya juga terpanggil untuk memberikan penghargaan kepada
mereka yang mengabdikan dirinya untuk melestarikan budaya Jawa, khususnya kesenian
Jawa.

Saya meyakini, masih cukup banyak orang Jawa yang menekuni jalan hidupnya di bidang
kebudayaan, di bidang kesenian. Mereka mengabdikan hidupnya untuk melestarikan budaya
Jawa, mengembangkan kesenian Jawa, agar jangan sampai budaya Jawa mati, karena
kematian budaya Jawa sesungguhnya adalah kematian seluruh orang Jawa, bahkan
kematian bangsa Indonesia. Walaupun jalan hidup yang ditempuh tersebut adalah jalan
yang sunyi, jalan yang jarang dilalui orang, karena tidak menarik, tidak populer, dan tidak
mendatangkan uang yang banyak, namun mereka tetap melakoninya dengan penuh
kesungguhan, karena rasa cintanya kepada budaya Jawa.

Keberpihakan dan kepedulian para pelestari budaya Jawa tersebut, sangat pantas
mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang tinggi. Apabila sampai saat ini budaya Jawa
masih hidup dan berdenyut di tengah-tengah masyarakat, apabila masih ada anak-anak muda
bangsa aktif menekuni berbagai bidang kebudayaan dan kesenian Jawa, sesungguhnya hal itu
hanya dapat terjadi, karena kerja para pelestari budaya Jawa. Untuk itu, sudah seharusnya,
jasa dan pengabdian mereka diberikan penghargaan sebaik-baiknya.

Karena itu, saya merasa tergerak oleh dedikasi dan semangat yang pantang menyerah dari
para pemerhati dan pelestari budaya Jawa, yang dengan segala cara tetap nguri-nguri
filosofi dan budaya Jawa, jangan sampai hilang ditelan modernisasi dan globalisasi. Saya
ingat salah satu pesan para leluhur Jawa, yaitu : ojo nganti wong Jowo ilang jawane kari
jahile, jangan sampai orang Jawa hilang kejawaannya, yang tinggal hanyalah kebodohan;
karena tidak memahami filosofi Jawa. Jangan sampai kita kehilangan identitas, yang
menyebabkan kita lupa siapa diri kita sebenarnya.

Untuk mewujudkan niat tersebut, saya membentuk sebuah Tim Dewan Juri untuk menilai
aneka kesenian Jawa yang sangat populer dan merakyat. Setelah membahas secara intensif,
Tim Dewan Juri menetapkan 5 (lima) Kesenian Rakyat yang sangat populer dalam
masyarakat, yaitu Wayang Kulit, Ketoprak, Ludruk, Reog, dan Keris. Kelima kesenian inilah
yang menjadi kategori pemilihan Tokoh Pelestari Budaya Jawa. Mungkin di lain waktu jenis
kesenian rakyat ini bisa ditambahkan kategori lain, seperti Batik, Tembang, dan Sastra Jawa.

Selanjutnya, Tim Dewan Juri bekerja secara profesional, akurat, dan independen dan
mencatat lebih 50 tokoh yang memiliki pengabdian yang tinggi dalam pengembangan dan
pelestarian kesenian-kesenian tersebut. Kemudian Dewan Juri melakukan seleksi secara
ketat, obyektif, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya terpilih 5 orang tokoh
pelestari budaya Jawa untuk mendapatkan penghargaan yang diserahkan pada acara ini. Perlu
saya kemukakan, bahwa penghargaan di bidang budaya ini melengkapi penghargaan
BAKRIE AWARD yang telah saya berikan selama ini setiap tahun kepada para tokoh di
bidang ilmu pengetahuan dan pengabdian masyaraka.

Para tokoh pelestari budaya Jawa serta hadirin yang saya hormati.

Secara kultural, seni budaya Jawa merupakan salah satu budaya tertua yang sangat
berpengaruh. Seni budaya wayang, misalnya, telah menjadi seni rakyat yang menyebar di
Indonesia. Bahkan, Wayang diakui oleh UNESCO menjadi Warisan Budaya Dunia. Selama
ini seni wayang telah menjadi sarana edukasi yang sangat diminati rakyat. Melalui seni
wayang, pesan luhur kebudayaan Jawa disampaikan oleh para Dalang yang dibungkus
melalui guyonan-guyonan segar. Melalui wayang, nilai-nilai disampaikan tanpa kesan
menggurui. Dengan demikian, wayang bukan sekedar tontonan, tetapi sarana untuk
menyampaikan tuntunan.

Demikian juga dengan Keris, atau lebih luas adalah Senjata Pusaka. Keris bagi orang Jawa
adalah simbol kewibawaan dan keagungan, bukan hanya personal tetapi juga komunal. Keris
juga diyakini mempunyai kekuatan gaib dan keunggulan. Karena itu, di zaman Kerajaan Jawa
masa lalu, ada simbol pusaka kerajaan, seperti Keris Nogo Sosro dan Sabuk Inten dan
pusaka-pusaka lainnya. Sebagian orang Jawa bahkan percaya bahwa senjata menyatu
bersama pemiliknya. Itulah yang menjelaskan berbagai peristiwa tentang Aryo Penangsang
dan Ki Ageng Mangir. Sebagaimana sering dikisahkan dalam seni ketoprak, Aryo
Penangsang terbunuh oleh Keris Setan Kober miliknya sendiri, dan Ki Ageng Mangir
terbunuh setelah senjata pusaka Kyai Nogo Baruklinting disembunyikan oleh Retno
Pembayun.

Selain itu, pada kesempatan ini diberikan juga penganugerahan kategori budaya Jawa
lainnya, yaitu Ketoprak, Reog dan Ludruk. Berbeda dengan wayang yang sumber ceritanya
adalah Kisah Ramayana dan Mahabarata, Ketoprak lebih sering mementaskan legenda dan
sejarah Tanah Jawa. Melalui ketoprak, diajarkan pelajaran sejarah dan legenda yang hidup di
masyarakat, sehingga masyarakat memahami sejarahnya sendiri. Sumber cerita diambilkan
dari karya kesusasteraan dan cerita lisan yang berkembang dalam masyarakat luas.

Sedangkan Ludruk, berkembang di daerah Surabaya dan sekitarnya, masuk dalam bagian
sub kultur Arek. Sumber cerita ludruk adalah fenomena masyarakat sehari-hari. Ludruk
memotret fakta-fakta dalam masyarakat dengan menyisipkan pesan-pesan moral sekaligus
kritik sosial. Melalui ludruk, rakyat diajak merenungkan kembali kehidupan sosial kita,
apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai kita atau sudah bergeser. Ludruk juga menjadi alat
perjuangan pada masa kemerdekaan. Kita mengenal Cak Durasim, tokoh Ludruk Organisatie
(LO) yang melontarkan sindiran melalui kidungan yang sangat populer hingga dewasa ini :
pegupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro (artinya : ikut Nippon tambah
sengsara). Kidungan ini membangkitkan perlawanan masyarakat terhadap penjajah Jepang.
Tokoh Ludruk ini akhirnya meringkuk dalam tahanan, sampai pada tahun 1944, Tuhan
memanggilnya.

Yang agak berbeda adalah Reog Ponorogo. Reog lebih mirip sendratari, yaitu suatu
pertunjukan tari yang mengisahkan sejarah akhir Majapahit. Kesenian reog beberapa tahun
yang lalu sempat menghebohkan, karena negara tetangga juga menganggap reog sebagai
kebudayaan mereka. Kita harus tegaskan, bahwa reog adalah kesenian otentik ponorogo,
bagian dari kebudayaan nasional bangsa Indonesia.

Bapak, Ibu dan hadirin yang berbahagia.

Saya sendiri, telah lama belajar banyak tentang filosofi Jawa yang luhur dan budaya Jawa
yang adiluhung. Saya beruntung karena tidak perlu jauh-jauh belajar, bisa berguru kapan saja,
karena saya belajar dari istri saya, putri Jawa. Tetapi kalau hanya belajar dari istri saya saja,
rasanya belum cukup. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar para sesepuh dan pinisepuh
dapat memberikan piwulang, agar saya yang sekarang ini tengah mengemban amanat sebagai
Ketua Umum DPP Partai Golkar dapat membawa Partai ini menjadi harapan bangsa
Indonesia dan menjadi partai yang mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan
bangsa, termasuk dalam upaya pelestarian budaya bangsa, khususnya budaya Jawa.

Melalui para sesepuh, saya mengetahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Jawa
sebenarnya telah bergeser ke atas, ke tingkat yang lebih tinggi, bukan sekedar bermakna
etnis, tetapi sudah dimaknai sebagai sebuah ciri dan karakter yang luhur. Orang yang suka
berderma disebut Njowo sebagai lawan dari pelit. Seorang anak yang patuh kepada orang
tuanya disebut Njowo. Seorang kakak yang penyayang kepada adiknya dikatakan Njowo
marang adine. Dengan cara berfikir seperti itu, para sesepuh berkesimpulan bahwa menjadi
Wong Jowo adalah takdir, tetapi menjadi Njowo adalah pilihan.

Terakhir, sebelum saya mengakhiri sambutan ini, saya menyampaikan pesan singkat tentang
kondisi bangsa dan negara kita saat ini. Kondisi bangsa dan negara kita saat ini memang
belum sampai ke tingkatan ideal seperti yang kita harapkan semua; belum seperti cita-cita
para Pendiri Bangsa. Kita semua tahu, bahwa negara kita belum gemah ripah loh jinawi toto
tentrem kerto raharjo. Jangan sampai karena kecewa terhadap kondisi negara dan bangsa,
kita justru ikut-ikutan merusaknya, karena itu tidak memperbaiki kondisi, bahkan tambah
membuat kerusakan makin berat. Prinsipnya, adalah Jika malam menjadi gelap, karena
lampu padam, tidaklah penting kita mengutuk kegelapan, yang lebih penting adalah
menyalakan lilin, agar suasana menjadi terang.

Jika zaman ini dianggap zaman edan, janganlah kita ikut menjadi edan, ikut menjadi lupa dan
terlena, kemudian merusaknya. Tetapi kita harus tetap selalu ingat dan waspada, seperti pesan
dari Pujangga besar Jawa, Ronggowarsito, yaitu : sa bejo-bejoning wong kang lali, isih bejo
wong kang eling lan waspodo, maksudnya : sebaik-baiknya orang yang lupa, masih lebih
baik orang yang ingat dan waspada.

Para tokoh pelestari budaya dan Hadirin yang saya hormati.

Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan. Saya ucapkan selamat kepada para tokoh
pelestari budaya Jawa yang terpilih, semoga ke depan pengabdian Saudara-saudara makin
meningkat bagi kemajuan bangsa. Amien!
Sekian, terima kasih, dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Matur sembah nuwun,

Billahi taufiq wal hidayah,

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Anda mungkin juga menyukai