Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik,
karena tanpa-Nya mustahil makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai bahan pembelajaran kami, dalam mengenal
lebih jauh tentang peranan serta kedudukan wanita di Jepang. Terlebih ini adalah
tugas dari dosen yang harus kami kerjakan dan harus kami selesaikan. Semoga
dengan terselesaikannya makalah ini dapat memberikan banyak manfaat,
khususnya bagi kami, dan umumnya bagi semua yang membaca makalah ini.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Nihonjijou yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini, kepada orang tua kami yang selalu mendo’akan kami, dan kepada
seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, yang
tak bisa kami sebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat kami.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diutarakan yaitu:
1. Wanita Jepang Zaman Dulu:
a. Wanita Jepang Zaman Heian (794-1192)
b. Wanita Jepang Zaman Meiji (1868-1912)
c. Wanita Jepang Zaman Showa (1926 – 1989)
2. Wanita Jepang Zaman Sekarang
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada zaman Heian, kehidupan dalam istana kerajaan Jepang saat itu
sungguh tak menguntungkan bagi kaum wanita. Seperti di banyak kerajaan
lainnya, para wanita keluarga raja sangat dijaga. Hidup para wanita penuh aturan
dan batasan. Dunia di luar istana nyaris tak mereka kenali. Para wanita hanya
boleh keluar ketika ada acara pesta rakyat. Pendidikan yang mereka ketahui pun
terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Dalam
suasana seperti inilah lahir novelis wanita pertama dunia, Shikibu Murasaki.
Dialah penulis Genji Monogatari (Kisah Genji), karya novel pertama dalam
sejarah.
Pada zaman ini, perempuan kerajaan menggunakan pakaian formal yang
disebut Jyunihitoe (kimono berlapis 12). Kostum dipilih berdasarkan jabatan dan
musim. Kimono perempuan menggunakan sistem kombinasi warna yang
melambangkan bunga dan tanaman yang spesifik yang ada di suatu musim atau
bulan, contohnya irome dan kasane no irome. Pada umumnya, perempuan yang
3
belum menikah mengenakan hakama warna gelap. Sementara, perempuan yang
sudah menikah mengenakan hakama dengan warna-warna cerah, umumnya
merah.
Dulu, wanita jepang melakukan ohaguro, yaitu tradisi setelah 5-6 hari, akan
muncul buih pada campuran tersebut. Sisihkan campuran tersebut ke cawan kecil
dan letakan di dekat api. Saat sudah hangat, campurkan dengan bubuk besi dan
bubuk buah pohon nurude. Jadilah kanemizu yang siap dioleskan ke gigi secara
merata. Kalau digunakan secara rutin, gigi akan menjadi hitam permanen. Tidak
hanya untuk kecantikan pada zaman Heian, antara abad ke-8 hingga
12, tradisi ohaguro juga dipraktikan oleh bangsawan dan tokoh penting di
kerajaan. Tradisi tidak lagi menjadi simbol kecantikan saja. Pada masa
itu, tradisi ohaguro juga menandakan tingkat kedewasaan seorang perempuan.
Semakin hitam warna giginya, berarti perempuan tersebut semakin
dewasa. Tradisi ini juga digunakan untuk melindungi gigi dari berbagai masalah,
seperti lubang.
Saat ini, tradisi ohaguro sudah jarang dilakukan. Sayangnya, tradisi ini
mulai hilang pada zaman Meiji tahun 1870.
4
b. Wanita Jepang Zaman Meiji (1868-1912)
Dengan terbukanya Jepang dengan pihak luar, kondisi sosial yang terjadi
juga mengalami perubahan, dengan mulai banyaknya masyarakat yang sudah
menganutgaya hidup kebarat-baratan. Pada masa inilah kondisi wanita Jepang
mulai perlahan-lahan berubah dari nilai-nilai yang dimiliki, perlahan kaum wanita
memulai untuk berani menonjolkan dirinya sama setara seperti laki-laki.
5
Walaupun seperti itu, Jepang tetap ingin untuk tidak melupakan adat dan
budaya nya maka dari itu dibentuk Undang-Undang Minpo, Pada UU Minpo
mengatur persoalan wanita yang masih berkaitan dengan diskriminasi gender.
6
c. Wanita Jepang Zaman Showa (1926 – 1989)
Pada tahun 1947, dituliskan dalam Undang - Undang yang melindungi
martabat individu dan kesamaan gender diantara pria dan wanita, maka
“sistem Ie” di hapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami - isteri dihapuskan.
Undang-undang yang merendahkan martabat wanita pun secara drastis berubah.
Kira – kira sampai tahun 50 showa ( 1975 ), sebagian besar wanita Jepang
tidak memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai
perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tahun 55 showa ( 1980 )
setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan
perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin.
Tugas domestik wanita tidak pernah lepas. Mereka adalah yang menyiapkan
para pemuda yang nantinya dikirim untuk perang ke luar negeri. Jendral Hideki
Tojo pernah berkomentar bahwa ibu yang bangun pukul empat untuk
mempersiapkan anaknya sekolah adalah “Ibu seperti itulah yang akan
memenangkan perang. Di kota-kota diselenggarakan lomba bayi sehat untukj
meningkatkan dan menegaskan peran mereka sebagai ibu.
7
Namun peran domestik sebagi ibu saja tidak cukup. Jepang telah kehilangan
tenaga kerja prianya yang harus dikirim berperang ke berbagai penjuru Asia
Timur dan Asia Tenggara. Maka para ibu dan orangtua harus masuk dalam
perkumpulan rukun tetangga tonarigumi yang bertugas menjaga keamanan dan
sebagai pemadam kebakaran. Di sisi lain pekerjaan kasar para pria mulai
dikerjakan oleh para wanita, baik yang sudah dewasa maupun yang masih
bersekolah.
Wanita-wanita Jepang memang memiliki status baru yang lebih baik dalam
keluarga, namun tidak dapat dipungkiri ini terjadi dalam mobilisasi untuk perang.
8
2.2 Wanita Jepang Zaman Sekarang
Tenaga Kerja dan Kesejehteraan Jepang, dari wanita karir yang menikah,
setelah melahirkan anak ternyata hanya 30% yang kembali bekerja karena tidak
mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan rumah tangga. Bagi Jepang ini
adalah hal yang mengkuatirkan dan Jepang terdesak dalam 2 pilihan yaitu apakah
tetap memperjuangkan kesamaan gender atau sama sekali melupakannya.
Kenyataan harus memilih pekerjaan atau anak bagi kaum wanita di Jepang telah
menciptakan semacam mimpi buruk demografis.
9
Changing Reality" menjelaskan beberapa penyebab berkurangnya jumlah
pasangan yang menikah di Jepang yaitu kemajuan di bidang ekonomi sehingga
para wanita mampu hidup mandiri secara finansial meskipun tidak bersuami.
Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita
pekerja, dianggap sebagai chuto hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang.
Bagi orang Jepang, setelah menikah hanya ada 2 pilihan, yaitu menjadi ibu rumah
tangga atau tidak sama sekali.
10
2.3 Kebangkitan Wanita Jepang
Pasca Perang Dunia II, kaum wanita Jepang mulai bangkit untuk
meningkatkan peranannya dalam bidang sosial dan politik. Peranan kaum ibu
telah banyak berubah, walaupun dibandingkan dengan negara-negara industri
yang lain termasuk belum begitu luas. Kaum wanita sudah mulai meninggalkan
adat lama yang berasal dari ajaran Confusianisme. Menurut Okamura “Zaman
wanita yang cerdas sudah tiba”. Pendidikan kaum wanita sudah berkembang dan
wanita karier mengalami peningkatan. Wajib belajar telah berubah dari 6 tahun
menjadi 9 tahun. Walaupun wanita yang sampai ke tingkat pendidikan tinggi
prosentasenya sangat kecil, dan banyak yang berguguran, namun wanita terdidik
telah mengalami peningkatan.
11
pekerja wanita. Pegawai negeri wanita dinilai lebih lamban dalam kenaikan
pangkat dan dianjurkan pensiun pada usia muda dibandingkan pegawai pria.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masuk pada bagian akhir dari makalah ini, dapat disimpulkan dari
penjelasan yang terperinci dari bab sebelumnya, bahwa telah terjadi perubahan
kondisi social masyarakat terutama kaum wanita Jepang. Dimana sebelumnya
wanita Jepang dikenal sangat kental dengan budaya ketimuran yang sangat
tertutup. Yang kemudian masuk pada era modern, dimana wanita Jepang berubah
pola pikirnya dengandatangnya pengaruh-pengaruh globalisasi atau Barat, dengan
didukung oleh Konstitusi 1947 yang sangat kental dengan budaya kebaratannya.
Dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja, dengan kata lain lajur pereko
nomian negara Jepang menjadi lebih cepat. Maka tidak dapat di bantahkan bahwa
peran wanita didalam memajukan perekonomian Jepang sangatlah berpengaruh.
13
3.2 Saran
Saran Penulis ingin menyarankan kepada semua pihak untuk turut serta
membantu wanita dalam perannya di sektor publik. Dengan adanya makalah ini,
penulis berharap kendala- kendala yang menghambat karir wanita dapat sedikit
demi sedikit dihilangkan. Penulis juga berharap para wanita mampu menyadari
kemampuannya untuk berkarir Pendidikan kesetaran gender mestinya diberikan
kepada seluruh lapisan masyarakat agar keberadaan perempuan yang mulai banyak
bekerja di luar rumah tidak menjadi bentuk penindasan kultural.
14
DAFTAR PUSTAKA
https://www.aimizumizu.com/2011/11/wanita-jepang-dari-zaman-dahulu-
hingga.html
https://www.academia.edu/7101818/PERAN_WANITA_DI_DALAM_PEMBAN
GUNAN_PEREKONOMIAN_JEPANG?auto=download
file:///C:/Users/user/Downloads/5535-14364-2-SP.pdf
https://bobo.grid.id/read/08676169/tradisi-menghitamkan-gigi-di-jepang-makin-
hitam-makin-cantik?page=all
15