Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik,
karena tanpa-Nya mustahil makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai bahan pembelajaran kami, dalam mengenal
lebih jauh tentang peranan serta kedudukan wanita di Jepang. Terlebih ini adalah
tugas dari dosen yang harus kami kerjakan dan harus kami selesaikan. Semoga
dengan terselesaikannya makalah ini dapat memberikan banyak manfaat,
khususnya bagi kami, dan umumnya bagi semua yang membaca makalah ini.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Nihonjijou yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini, kepada orang tua kami yang selalu mendo’akan kami, dan kepada
seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, yang
tak bisa kami sebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat kami.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bekasi, 01 Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Wanita Jepang Zaman Dahulu:
a. Wanita Zaman Heian (794-1192) ..................................................................3
b. Wanita Zaman Meiji (1868-1912) ................................................................ 5
c. Wanita Zaman Showa (1926 – 1989) ............................................................ 7
2.2 Wanita Jepang Zaman Sekarang ........................................................................9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................13
3.2 Saran ................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Masing-


masing negara memiliki cirikhas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa
berupa kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Perbedaan itu sendiri sewaktu-
waktu juga bisa berubah maupun berkembang disetiap negara. Hal ini juga tidak
terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masayarakat yang ada pada saat
itu.
Begitu juga halnya dengan Jepang. Jepang juga memiliki cirikhas tersendiri
terhadap kehidupan sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus berkembang dan
mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Pada makalah inilah saya akan coba
membahas kehidupan wanita Jepang dari Zaman dahulu hingga zaman sekarang
ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi sosial kaum wanita di Jepang
mengalami perubahan transisi dari yang sebelumnya bisa dikatakan sangat
tradisional menjadi sangat modern.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diutarakan yaitu:
1. Wanita Jepang Zaman Dulu:
a. Wanita Jepang Zaman Heian (794-1192)
b. Wanita Jepang Zaman Meiji (1868-1912)
c. Wanita Jepang Zaman Showa (1926 – 1989)
2. Wanita Jepang Zaman Sekarang

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari makalah ini adalah agar mahasiswa dapat
mengetahui kehidupan wanita Jepang dari zaman dulu sampai sekarang
sehingga bisa bermanfaat bagi kita semua.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Wanita Jepang Zaman Dahulu

a. Wanita Jepang Zaman Heian (794-1192)

Pada zaman Heian, kehidupan dalam istana kerajaan Jepang saat itu
sungguh tak menguntungkan bagi kaum wanita. Seperti di banyak kerajaan
lainnya, para wanita keluarga raja sangat dijaga. Hidup para wanita penuh aturan
dan batasan. Dunia di luar istana nyaris tak mereka kenali. Para wanita hanya
boleh keluar ketika ada acara pesta rakyat. Pendidikan yang mereka ketahui pun
terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Dalam
suasana seperti inilah lahir novelis wanita pertama dunia, Shikibu Murasaki.
Dialah penulis Genji Monogatari (Kisah Genji), karya novel pertama dalam
sejarah.
Pada zaman ini, perempuan kerajaan menggunakan pakaian formal yang
disebut Jyunihitoe (kimono berlapis 12). Kostum dipilih berdasarkan jabatan dan
musim. Kimono perempuan menggunakan sistem kombinasi warna yang
melambangkan bunga dan tanaman yang spesifik yang ada di suatu musim atau
bulan, contohnya irome dan kasane no irome. Pada umumnya, perempuan yang

3
belum menikah mengenakan hakama warna gelap. Sementara, perempuan yang
sudah menikah mengenakan hakama dengan warna-warna cerah, umumnya
merah.

Pada zaman ini perempuan Jepang mempunyai tradisi menghitamkan


giginya. Tradisi menghitamkan gigi inidisebut Ohaguro. Praktik ohaguro dimulai
sejak zaman Kofun pada 250-380 Masehi sampai akhir abad ke-19. Tradisi ini
dulu sangat populer di kalangan para perempuan Jepang. Gigi yang hitam
merupakan lambang kecantikan pada budaya perempuan Jepang.

Apa yang mereka gunakan untuk menghitamkan gigi? Para perempuan


Jepang menghitamkan gigi menggunakan cairan bernama kanemizu. Cairan ini
terbuat dari campuran kurang lebih 1,5 liter air dan setengah cawan air sake.
Setelah itu, campuran ini harus dimasukan ke dalam loyang besi yang sudah
dipanaskan sampai warnanya merah menyala. Biarkan campuran tersebut selama
5-6 hari.

Dulu, wanita jepang melakukan ohaguro, yaitu tradisi setelah 5-6 hari, akan
muncul buih pada campuran tersebut. Sisihkan campuran tersebut ke cawan kecil
dan letakan di dekat api. Saat sudah hangat, campurkan dengan bubuk besi dan
bubuk buah pohon nurude. Jadilah kanemizu yang siap dioleskan ke gigi secara
merata. Kalau digunakan secara rutin, gigi akan menjadi hitam permanen. Tidak
hanya untuk kecantikan pada zaman Heian, antara abad ke-8 hingga
12, tradisi ohaguro juga dipraktikan oleh bangsawan dan tokoh penting di
kerajaan. Tradisi tidak lagi menjadi simbol kecantikan saja. Pada masa
itu, tradisi ohaguro juga menandakan tingkat kedewasaan seorang perempuan.
Semakin hitam warna giginya, berarti perempuan tersebut semakin
dewasa. Tradisi ini juga digunakan untuk melindungi gigi dari berbagai masalah,
seperti lubang.

Saat ini, tradisi ohaguro sudah jarang dilakukan. Sayangnya, tradisi ini
mulai hilang pada zaman Meiji tahun 1870.

4
b. Wanita Jepang Zaman Meiji (1868-1912)

Di Jepang, peranan wanita kiranya sudah dimulai sejak permulaan


perkembangan masyarakat. Dalam naskah-naskah Cina kuno, Jepang disebut-
sebut sebagai “NegeriRatu”. Kata ratu ini sangat jelas menunjuk kepada sosok
wanita pemimpin atau penguasa negeri. Maka istilah “Negeri Ratu”
mengindikasikan bahwa di Jepang pada zaman kuno terdapat banyak negara kecil-
kecil yang dipimpin oleh kaum wanita. Hal ini menunjukkan kedudukan dan
peranan wanita dalam kehidupan masyarakat sangat besar. Pengertian “Negeri
Ratu” menghilang dari catatan sejarah sejalan dengan perkembangan sosial dan
politik Jepang.

Peranan wanita itu mengalami perubahan akibat pengaruh ajaran


Confusianisme yang sangat kuat dan berlakunya sistem feodal yang berlangsung
sangat lama. Kaum wanita pada awal sejarah Jepang memiliki kedudukan sosial
dan politik yang tinggi. Mereka memiliki banyak kebebasan dalam kehidupan
dan banyak menguasai kesusasteraan.

Berakhirnya masa feodal beralih ke zaman Meiji, Jepang tidak lagi


menganut kebijakan isolasi politiknya dan beralih menjadi terbuka dengan pihak
eksternal. Keterbukaan Jepang disini membuat Jepang sadar bahwasanya dirinya
telah tertinggal dengan negara-negara lain dalam segala aspek. Maka dari itu,
untuk menyusul negara-negara yang sudah maju, banyak pemuda-pemuda Jepang
yang dikirim kenegara-negara Barat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang modern
yang akan membawa Jepang untuk mengetahui dan mengembangkan hal-hal baru.

Dengan terbukanya Jepang dengan pihak luar, kondisi sosial yang terjadi
juga mengalami perubahan, dengan mulai banyaknya masyarakat yang sudah
menganutgaya hidup kebarat-baratan. Pada masa inilah kondisi wanita Jepang
mulai perlahan-lahan berubah dari nilai-nilai yang dimiliki, perlahan kaum wanita
memulai untuk berani menonjolkan dirinya sama setara seperti laki-laki.

5
Walaupun seperti itu, Jepang tetap ingin untuk tidak melupakan adat dan
budaya nya maka dari itu dibentuk Undang-Undang Minpo, Pada UU Minpo
mengatur persoalan wanita yang masih berkaitan dengan diskriminasi gender.

Memasuki masa kekalahan Jepang di Perang Dunia kedua,membuat Jepang


mengalami reformasi yang mana di tandai dengan peristiwa Konstitusi 1947,
dimana konstitusi negara Jepang di ubah secara total dan dibentuk oleh Amerika
Serikat sebagai pihak yang mengalahkan Jepang.

Perubahan-perubahan yang dilakukan diantaranya adalah mendemokratisasikan


Jepang di dalam keseluruhan aspek. Perubahan konstitusi ini juga kemudian
mengatur mengenaiemansipasi wanita. Dimana pada pasal ini menjelaskan
bahwasanya laki-laki maupun perempuan setara dan tidak ada diskriminasi dalam
hal apapun. Jelas peristiwa perubahan konstitusi Jepang mendukung sekali
emansipasi wanita mengenai kesetaraan gender, di tinjau dari teoriyang digunakan
di makalah ini, Feminisme.

Paham ini sangat kental dengan perbincangan mengenai gender yang


mengutamakan penyetaraan antara kaum pria danwanita dalam segala aspek. dan
melihat peristiwa tersebut di dalam paham feminismeJepang telah berhasil untuk
menciptakan kesetaraan gender antara pria dan wanitadengan menyepakati
konstitusi 1947 tersebut

Selama masa feodal kedudukan kaisar hanya sebagai pemimpin tertinggi


agama dan lambang persatuan bangsa, kekuasaan dalam politik diambilalih oleh
shogun. Telah disebut di atas bahwa tahta kekaisaran Jepang didominasi oleh
kaum pria. Antara tahun 794 sampai dengan tahun 1973 hanya ada dua orang
kaisar wanita yang memerintah Jepang. Ada dua periode panjang dalam
pemerintahan Jepang tanpa kaisar wanita, yaitu tahun 794 – 1600 dan tahun 1868
– 1973.

6
c. Wanita Jepang Zaman Showa (1926 – 1989)
Pada tahun 1947, dituliskan dalam Undang - Undang yang melindungi
martabat individu dan kesamaan gender diantara pria dan wanita, maka
“sistem Ie” di hapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami - isteri dihapuskan.
Undang-undang yang merendahkan martabat wanita pun secara drastis berubah.

Kira – kira sampai tahun 50 showa ( 1975 ), sebagian besar wanita Jepang
tidak memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai
perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tahun 55 showa ( 1980 )
setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan
perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin.

Pada awal masa Showa Jepang berada dalam peperangan. Pemerintahan


sipil yang diambil alih oleh militer mengalihkan perhatian kepada usaha-usaha
penaklukan (perang) Asia Timur. Secara hukum tidak ada perubahan sigifikan
terhadap hak-hak wanita. Justru terjadi eksploitasi wanita (sebagaimana warga
negara lainnya) oleh negara atas nama mobilisasi nasional untuk perang.

Tugas domestik wanita tidak pernah lepas. Mereka adalah yang menyiapkan
para pemuda yang nantinya dikirim untuk perang ke luar negeri. Jendral Hideki
Tojo pernah berkomentar bahwa ibu yang bangun pukul empat untuk
mempersiapkan anaknya sekolah adalah “Ibu seperti itulah yang akan
memenangkan perang. Di kota-kota diselenggarakan lomba bayi sehat untukj
meningkatkan dan menegaskan peran mereka sebagai ibu.

7
Namun peran domestik sebagi ibu saja tidak cukup. Jepang telah kehilangan
tenaga kerja prianya yang harus dikirim berperang ke berbagai penjuru Asia
Timur dan Asia Tenggara. Maka para ibu dan orangtua harus masuk dalam
perkumpulan rukun tetangga tonarigumi yang bertugas menjaga keamanan dan
sebagai pemadam kebakaran. Di sisi lain pekerjaan kasar para pria mulai
dikerjakan oleh para wanita, baik yang sudah dewasa maupun yang masih
bersekolah.
Wanita-wanita Jepang memang memiliki status baru yang lebih baik dalam
keluarga, namun tidak dapat dipungkiri ini terjadi dalam mobilisasi untuk perang.

8
2.2 Wanita Jepang Zaman Sekarang

Seiring berjalannya waktu, saat perekonomian Jepang mengalami apa


yang mereka sebut dengan bubble economy, banyaknya tersedia pekerjaan bagi
wanita. Angkatan kerja wanita ini berharap lebih berperan di tempat kerjanya dari
pada dirumah. Tahun 1985 parlemen Jepang mengeluarkan UU yang menjamin
kesamaan gender di lapangan kerja. Walaupun dibandingkan 10 tahun yang lalu
sudah semakin banyak wanita yang bekerja penuh. Dari masa ke masa grafik
pekerja wanita (usia menikah 27 tahun) Jepang yang keluar dari lapangan kerja
terus meningkat. Kemudian di usia 40 tahun keatas grafik wanita memasuki
lapangan kerja mulai meninggi lagi. Hal ini dikaitkan dengan adanya kelahiran
dan masa membesarkan anak –anak oleh ibu-ibu Jepang.

Tenaga Kerja dan Kesejehteraan Jepang, dari wanita karir yang menikah,
setelah melahirkan anak ternyata hanya 30% yang kembali bekerja karena tidak
mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan rumah tangga. Bagi Jepang ini
adalah hal yang mengkuatirkan dan Jepang terdesak dalam 2 pilihan yaitu apakah
tetap memperjuangkan kesamaan gender atau sama sekali melupakannya.
Kenyataan harus memilih pekerjaan atau anak bagi kaum wanita di Jepang telah
menciptakan semacam mimpi buruk demografis.

Tahun fiskal 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di


Jepang sebanyak 25.5 juta yang 41.4% (9.3 juta) adalah pekerja wanita paruh
waktu, bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Dan dari seluruh total
lapangan kerja paruh waktu, 77.4 persen diduduki oleh tenaga kerja wanita (Japan
A Pocket Guide 2004, Foreign Press Centre Japan).

Munculnya paham feminisme juga menyebabkan banyak wanita Jepang


yang semakin berkurang keinginnya untuk menikah, karena tidak mau terikat
tradisi dengan menjadi ibu rumah tangga dan prosedur pernikahan yang
merepotkan serta memakan banyak biaya. Seorang penulis Jepang, Sumiko Iwao
dalam bukunya yang berjudul "Japanese Women: Traditional Image and

9
Changing Reality" menjelaskan beberapa penyebab berkurangnya jumlah
pasangan yang menikah di Jepang yaitu kemajuan di bidang ekonomi sehingga
para wanita mampu hidup mandiri secara finansial meskipun tidak bersuami.

Dari beberapa alasan itu terlihat bahwa perkembangan ekonomi telah


mejadi alasan utama bagi wanita Jepang untuk menunda pernikahannya. Hal ini
secara tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi di
Jepang memiliki peranan besar dalam perubahan pola pikir masyarakat Jepang
terhadap pernikahan, khususnya bagi wanita Jepang modern.

Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita
pekerja, dianggap sebagai chuto hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang.
Bagi orang Jepang, setelah menikah hanya ada 2 pilihan, yaitu menjadi ibu rumah
tangga atau tidak sama sekali.

Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang.


Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan
mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban. Bagi wanita pekerja
Jepang (wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak), bisa mencapai
jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu.

10
2.3 Kebangkitan Wanita Jepang
Pasca Perang Dunia II, kaum wanita Jepang mulai bangkit untuk
meningkatkan peranannya dalam bidang sosial dan politik. Peranan kaum ibu
telah banyak berubah, walaupun dibandingkan dengan negara-negara industri
yang lain termasuk belum begitu luas. Kaum wanita sudah mulai meninggalkan
adat lama yang berasal dari ajaran Confusianisme. Menurut Okamura “Zaman
wanita yang cerdas sudah tiba”. Pendidikan kaum wanita sudah berkembang dan
wanita karier mengalami peningkatan. Wajib belajar telah berubah dari 6 tahun
menjadi 9 tahun. Walaupun wanita yang sampai ke tingkat pendidikan tinggi
prosentasenya sangat kecil, dan banyak yang berguguran, namun wanita terdidik
telah mengalami peningkatan.

Perubahan sosial yang tajam terjadi seiring dengan perkembangan industri


yang cepat, situasi itu mempengaruhi kedudukan dan fungsi wanita dalam
masyarakat. Kesamaan hak antara pria dan wanita dalam hubungannya dengan
politik, ekonomi dan sosial dijamin undang - undang yang berlaku sejak 1947.
Diskriminasi tidak dibenarkan UU, dan wibawa kaum wanita diberikan lebih
besar daripada sebelumnya. UU memberikan persamaan hukum bagi kaum wanita
secara sepenuhnya, yaitu meliputi soal perkawinan, perceraian, hak milik,
warisan, pilihan tempat tinggal, dan soal keluarga yang lain.

Kaum wanita tidak lagi terkungkung di dalam urusan rumah tangga,


mereka sudah mulai mengerjakan pekerjaan di luar rumah tangga, seperti di
bidang industri, pertanian, perikanan, dan kehutanan. Di kota-kota besar Jepang,
wanita mengerjakan pekerjaan industri rumah di rumah mereka sendiri.
Pembatasan-pembatasan terhadap wanita memang masih dapat dijumpai pada
pola pengupahan, kenaikan pangkat dan masa kerja. Pada perusahaan swasta,
dalam pekerjaan yang sama upah wanita tidak sampai 50% dibandingkan pekerja
pria. Wanita yang menangani manajemen atau pekerjaan yang bertanggung jawab
sangat sedikit, ini dipakai sebagai alasan untuk memberi gaji rendah kepada

11
pekerja wanita. Pegawai negeri wanita dinilai lebih lamban dalam kenaikan
pangkat dan dianjurkan pensiun pada usia muda dibandingkan pegawai pria.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masuk pada bagian akhir dari makalah ini, dapat disimpulkan dari
penjelasan yang terperinci dari bab sebelumnya, bahwa telah terjadi perubahan
kondisi social masyarakat terutama kaum wanita Jepang. Dimana sebelumnya
wanita Jepang dikenal sangat kental dengan budaya ketimuran yang sangat
tertutup. Yang kemudian masuk pada era modern, dimana wanita Jepang berubah
pola pikirnya dengandatangnya pengaruh-pengaruh globalisasi atau Barat, dengan
didukung oleh Konstitusi 1947 yang sangat kental dengan budaya kebaratannya.

Maka terjadi perubahan drastis yang terjadi


di kalangan wanita Jepang. Tidak berlaku lagi prinsip wanita yang tertutup
seperti pada masa feodal, di era modern ini dengan didemokratisasikannya Jepang
maka kebebasan untuk berekspresi tidak lagi di atur dan mengenai kesenjangan
antara pria dan wanita dihapuskan menjadi posisi pria dan wanita rata/sama di
hadapan negara.

Kesetaraan berlaku juga di dalam ketenagakerjaan, maka dari itu wanita


Jepang modern banyak dan menempati peran yang tinggi di dalam
ketenagakerjaan.

Dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja, dengan kata lain lajur pereko
nomian negara Jepang menjadi lebih cepat. Maka tidak dapat di bantahkan bahwa
peran wanita didalam memajukan perekonomian Jepang sangatlah berpengaruh.

13
3.2 Saran
Saran Penulis ingin menyarankan kepada semua pihak untuk turut serta
membantu wanita dalam perannya di sektor publik. Dengan adanya makalah ini,
penulis berharap kendala- kendala yang menghambat karir wanita dapat sedikit
demi sedikit dihilangkan. Penulis juga berharap para wanita mampu menyadari
kemampuannya untuk berkarir Pendidikan kesetaran gender mestinya diberikan
kepada seluruh lapisan masyarakat agar keberadaan perempuan yang mulai banyak
bekerja di luar rumah tidak menjadi bentuk penindasan kultural.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://www.aimizumizu.com/2011/11/wanita-jepang-dari-zaman-dahulu-
hingga.html

https://www.academia.edu/7101818/PERAN_WANITA_DI_DALAM_PEMBAN
GUNAN_PEREKONOMIAN_JEPANG?auto=download

file:///C:/Users/user/Downloads/5535-14364-2-SP.pdf

https://bobo.grid.id/read/08676169/tradisi-menghitamkan-gigi-di-jepang-makin-
hitam-makin-cantik?page=all

15

Anda mungkin juga menyukai