Anda di halaman 1dari 47

KEARIFAN LOKAL

“PIIL PESENGGIRI”

Oleh

Kelompok 7

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2019
DAFTAR ANGGOTA

1. Nuril Huda 1913033011 Ketua


2. Alfi Rahmatia Putri 1913033007 Sekretaris
3. Miya Fitriyanti 1913033001 Anggota
4. Dewi Cahyanti 1913033003 Anggota
5. Windi Pitriani Parhamah 1913033005 Anggota
6. Tina Wulandari 1913033009 Anggota

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan karya
tulis ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafaatnya di akhirat nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun
mampu untuk menyelesaikan pembuatan karya tulis sebagai tugas dari mata
kuliah Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal dengan judul “Kearifan Lokal Piil
Pesenggiri”.

Penyusun tentu menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk karya
tulis ini, supaya karya tulis ini nantinya dapat menjadi karya tulis yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada karya tulis ini penyusun
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada Drs. H. Iskandar Syah, M.H., yang telah membimbing kami dalam
menulis karya tulis ini. Demikian, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.

Bandar Lampung, 15 September 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................. i

Daftar Anggota ............................................................................................. ii

Kata Pengantar ........................................................................................... iii

Daftar Isi ...................................................................................................... iv

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

Bab II Permasalahan

2.1 Rumusan Masalah ............................................................................. 4

Bab III Pembahasan

3.1 Kearifan Lokal Piil Pesenggiri .......................................................... 5

3.2 Sakai Sambaian dalam Adat Lampung ............................................. 9

3.3 Nengah Nyappur ............................................................................. 18

3.4 Konsep Nemui Nyimah................................................................... 20

3.5 Bejuluk Beadek, Nilai Sosial Gelar Adat Lampung ....................... 28

Bab IV Kesimpulan .................................................................................... 33

Daftar Pustaka ............................................................................................ 34

Soal .............................................................................................................. 35

Kunci Jawaban ........................................................................................... 42

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas dan memiliki keragaman


budaya. Ada banyak ragam kebudayaan di Indonesia, bahkan setiap pulau di
Indonesia memiliki ciri khas kebudayaan sendiri, seperti kebudayaan yang ada di
pulau Sumatera. Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau dari sekian banyak
pulau yang ada di Indonesia.

Provinsi Lampung adalah suatu bagian ujung Pulau Sumatera, memiliki luas
35.376,50 km². Provinsi Lampung didiami oleh dua golongan masyarakat asli dan
penduduk pendatang. Berdasarkan adat istiadatnya penduduk asli suku Lampung
terdiri dari dua kelompok, yaitu masyarakat Lampung beradat Pepadun yang
berada di daerah pedalaman dan masyarakat Lampung beradat Saibatin/Peminggir
yang berada di daerah pesisir.

Masyarakat Lampung Pepadun terbagi dalam perserikatan-perserikatan adat


yang diantaranya sebagai berikut:

1. Abung Siwou Migou (Abung Sembilan Marga) yang meliputi tanah


wilayah Way Abung (Lampung Utara), Way Rarem, Way Terusan, Way
Pengubuwan dan Way Seputih
2. Megou Pak Tulang Bawang (Marga Empat Tulang Bawang) yang meliputi
wilayah tanah Tulang Bawang Ilir yaitu Marga Tegamoan, Marga Buay
Bulan, Marga Suay Unpudan Marga Aji
3. Buway Lima Way Kanan dan Sungkai (lima keturunan Way Kanan)
meliputi daerah di Way Kanan dan Way Sungkai
4. Pubiyan Telue Suku (Pubiyan Tiga Suku) meliputi daerah Way
Sekampung Tengah dan Way Sekampung Ulu.

1
Masyarakat suku Lampung memiliki pandangan hidup yag disebut dengan
”Piil Pesenggiri” yang selalu menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari
seperti yang diungkapkan oleh Hilman Hadikusuma (1989:15).

Piil Pesenggiri memiliki lima unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu :

1. Pesenggiri; mengandung arti harga diri, pantang mundur tidak mau kalah
dalam bersikap tindak dan perilaku
2. Bejuluk Beadek; mengandung arti suka dengan nama baik dan gelar yang
terhormat
3. Nemui Nyimah; mengandung arti suka menerima dan memberi dalam suka
dan duka
4. Nengah Nyapur; mengandung arti suka bergaul dan bermusyawarah dalam
menyelesaikan suatu masalah
5. Sakai Sambaian; mengandung arti suka menolong dan bergotong royong
dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan

Piil berasal dari bahasa Arab fiil yang berarti perilaku dan pesenggiri
maksudnya keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, serta kewajiban.
Namun dalam realita saat ini filsafat ini mengalami deformasi. Piil diartikan
sebagai perasaan ingin besar dan dihargai (Julia Maria, 1993:20).

Sikap watak Piil Pesenggiri ini nampak sekali pada lingkungan masyarakat
Lampung yang beradat Pepadun. Didasari oleh pandangan Piil Pesenggiri yang
salah satu unsurnya adalah bejuluk beadek, menghendaki agar seseorang selain
mempunyai nama juga diberi gelar panggilan terhadapnya. Dikatakan oleh
pengamat Belanda pada masa lalu bahwa orang Lampung gemar dengan
kemegahan (ijdelheid).

Kabupaten Lampung Utara banyak terdapat masyarakat Lampung yang


beradat Pepadun, dimana masyarakat Lampung ini termasuk dalam golongan
Abung Siwou Megou (Abung Sembilan Marga). Salah satu tempat yang banyak
terdapat masyarakat asli suku Lampung Abung Pepadun adalah kelurahan
Kotabumi Ilir. Kelurahan Kotabumi Ilir dihuni oleh penduduk Lampung Abung

2
Pepadun dan terdapat pula penduduk pendatang yang berasal dari berbagi daerah
misalnya suku Jawa, Padang, Palembang dan lain-lain. Masyarakat di Kelurahan
Kotabumi Ilir masih cukup memegang teguh adat istiadat Lampung yaitu falsafah
”Piil Pesenggiri” karena mereka adalah penduduk suku asli Lampung Abung
Pepadun dan telah mendiami daerah ini secara turun temurun dari kakek-nenek
mereka terdahulu.

Dari uraian di atas, maka judul karya tulis yang penulis angkat dalam
penelitian ini adalah Kearifan Lokal “Piil Pesenggiri”.

3
BAB II

PERMASALAHAN

2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang


menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penjelasan tentang Kearifan Lokal Piil Pesenggiri?


2. Bagaimana Sakai Sambaian dalam Adat Lampung?
3. Bagaimana penjelasan tentang Nengah Nyappur?
4. Bagaimana konsep tentang Nemui Nyimah?
5. Bagaimana Bejuluk Beadek dalam nilai sosial gelar Adat Lampung?

4
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kearifan Lokal Piil Pesenggiri


1. Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan
pegangan bersama sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama.
Kearifan lokal atau local wisdom atau genius lokal kini semakin penting untuk
dialami, berkenaan dengan rencana pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan karakter bangsa dan ekonomi kreatif. Masing-masing daerah memiliki
kearifan lokal. Letak geografis dan perjalanan sejarah politik suatu daerah
melahirkan kearifan lokal yang berkembang di daerah tersebut. Ciri Kearifan
Lokal adalah sebagai berikut.

1. Memiliki kemampuan bertahan dari gempuran budaya lain


2. Memiliki kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar
3. Memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya
lokal
4. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan
5. Memiliki kemampuan untuk memberikan arahan dalam perkembangannya.

2. Piil Pesenggiri

Secara adat Masyarakat Lampung terbagi dalam dua kelompok, yaitu: adat
Lampung Pepadun dan adat Lampung Saibatin atau yang sering disebut Lampung
Peminggir. Oleh sebab itu, maka daerah Lampung disebut Sai Bumi Ruwa Jurai
yang berarti satu daerah (bumi) dihuni oleh dua kelompok, yaitu masyarakat adat
Pepadun dan masyarakat adat Saibatin.

Masyarakat Lampung baik yang beradat Pepadun maupun yang beradat


Saibatin, mempunyai sistem falsafah hidup. Filsafat hidup masyarakat Lampung
yang terkenal adalah filsafat hidup Piil Pesenggiri. Istilah Piil Pesenggiri terdapat

5
beberapa model penulisan dan penyebutannya, ada yang menggunakan kata
‘gikhi’, ada yang menggunakan kata ‘gighi’ dan ada yang menggunakan kata
‘giri’, namun dalam tulisan ini akan menggunakan yang terakhir yaitu ‘giri’. Hal
ini dimaksudkan selain menyesuaikan bahasa Indonesia yang baik juga agar
masyarakat etnis non-Lampung dapat lebih mudah menyebut dan memahaminya.
Selain itu, apapun istilah yang digunakan secara filosofis tidak merubah makna
dan substansinya.

Piil Pesenggiri sepertinya tak terpisahkan dari prinsip hidup masyarakat


Lampung dari era yang satu ke era yang lain. Kalau boleh ditetapkan
periodesasinya adalah terdiri dari pra Islam, masa Islam dan era modern. Dahulu
masyarakat adat budaya Lampung hanya memiliki 'piil' belaka (tanpa pesenggiri)
dengan unsur: laki-laki piilnya perempuan, perempuan piilnya harta, perhiasan
dan makanan. Anak perempuan piilnya kelakuan dan anak laki-laki piilnya adalah
perkataan.

Dengan masuknya agama Islam dan terjadi kontak budaya dengan


masyrakat Banten, sebagai penyebar agama Islam di Lampung, maka piil pun
berubah atau tepatnya ditambah menjadi "Piil Pesenggiri". Ada kata "pesenggiri"
berhasil ditambahkan. Dan unsurnya pun berubah menjadi Nemui Nyimah,
Nengah Nyappur, Sakai Sambaian, dan Juluk Adek.

Kata Pesenggiri yang berarti persaingan sepakat untuk ditambahkan dengan


mengacu kepada ajaran Islam, yaitu fastabiqul khairoot (berlomba melakukan
kebaikan). Masyarakat adat dan budaya Lampung berhasil mempertahankan piil,
namun juga mampu mengakomodir pesenggiri, dan bahkan
mengintergrasikannya. Seperti disebutkan terdahulu bahwa ciri genius lokal
adalah memiliki kemampuan mengakomodasi dan mengintegrasikan nilai budaya
lain ke dalam budaya lokal.

Nilai-nilai piil pesenggiri demikian islami adalah hasil integrasi yang


dilakukan oleh kelompok intelektual masyarakat budaya Lampung pada saat itu.
Menghormati tamu, bekerja keras, memupuk ukhuwah, dan meningkatkan

6
kualitas diri yang itu semua merupakan ajaran Islam, yang sarat mewarnai piil
pesenggiri. Ini merupakan bukti bahwa piil pesenggiri telah mampu
mengintegrasikan nilai-nilai luar ke dalam nilai yang selama ini mereka anut.

Menurut Julia Maria yang dikutip Himyari Yusuf mengemukakan bahwa


filsafat hidup yang terkenal dan bersendikan adat pada masyarakat Lampung
adalah filsafat hidup Piil Pesenggiri. Kata Piil itu sendiri berasal dari bahasa Arab
yang berarti ‘perilaku’ dan Pesenggiri berarti keharusan ‘bermoral tinggi, berjiwa
besar, tahu diri serta tahu akan berbagai kewajibannya’. Oleh karena itu, jika
kedua istilah itu disatukan, maka filsafat hidup tersebut dapat dimaknai
‘keharusan berperilaku sopan santun atau bermoralitas, serta berjiwa besar, dan
memahami kedudukannya di tengah-tengah makhluk kesemestaan lainnya’.

Piil pesenggiri merupakan potensi sosial budaya daerah yang memiliki


makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha
memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.

A. Konsep Piil Pesenggiri

Menurut Ali Imron (2005:18) mengatakan: “Kehidupan masyarakat


Lampung sehari-hari berpedoman kepada prinsip pill pesenggiri”. Konsep pill
artinya rasa atau pendirian yang harus dipertahankan sedangkan pesenggiri pada
dasarnya mengutamakan harga diri. Jadi dapat diartikan pill pesenggiri adalah
harga diri.

Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang


diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan,
kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan
dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara
kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki Piil Pesenggiri
yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggung jawab,
kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

7
Etos dan semangat keLampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu
mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada
prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul.
Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu
yang mulia di tengah-tengah masyarakat. Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan
sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya
yang luhur yang perlu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.

Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri


dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang
jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain untuk
membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih
bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima
tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah
memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan
merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian
yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif
kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan
penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan
kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap
setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan
kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau
runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010, Falsafah Hidup Mayarakat
Lampung Sebuah Wacana Terapan).

Filsafat hidup Piil Pesenggiri secara esensial identik dengan perbuatan atau
perangai manusia yang luhur dalam makna dan nilainya. Selain itu, filsafat hidup
Piil Pesenggiri juga dimaknai sebagai sesuatu yang menyangkut harkat dan
martabat kemanusiaan, harga diri dan sikap hidup, baik secara individual maupun

8
sosial. Jika esensi tersebut benar adanya, maka filsafat hidup Piil Pesenggiri dapat
diinterpretasikan sebagai filsafat hidup yang berlandaskan dasar pada hakikat
kemanusiaan yang komprehensif dan holistik, sehingga filsafat hidup itu
merupakan pedoman untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang
sejatinya.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa secara esensial prinsip-prinsip dasar yang


disebut Piil Pesenggiri adalah suatu prinsip ingin hidup sejajar dalam
berdampingan dengan siapapun. Kesejajaran tersebut dalam arti orang Lampung
tidak ingin hidup di atas jika yang lainnya ada di bawah dan sebaliknya tidak
senang hidup di bawah jika yang lainnya ada di atas (suatu prinsip kesamaan dan
kebersamaan). Oleh karena itu, secara filosofis filsafat hidup Piil Pesenggiri
adalah identitas atau jati diri masyarakat Lampung dan makna filosofis tersebut
harus menjiwai segala aspek, kreativitas dan aktivitas kehidupan manusia atau
masyarakat Lampung.

Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa nilai-nilai luhur adat budaya


Lampung yang terlihat dalam adat ketatanegaraan, sistem kekerabatan, sistem
perkawinan, sistem musyawarah dan mufakat, peradilan adat dan sebagainya,
semuanya berlandaskan dasar atau konkretisasi dari filsafat hidup Piil Pesenggiri.
Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat hidup tersebut
harus dijadikan sebagai landasan dasar berpikir, bertindak dan berperilaku bagi
masyarakat Lampung, khususnya masyarakat Lampung Pepadun.

3.2 SAKAI SAMBAIAN DALAM ADAT LAMPUNG


1. Pengertian Sakai Sambaian Adat Lampung

Sakai Sambaian ialah salah satu unsur penting yang terdapat dalam falsafah
hidup masyarakat Lampung (piil pesenggiri), selain Bejuluk Adek, Nemui Nyimah,
Nengah Nyappur, dan Sakai Sambaian. Sakai Sambaian menurut istilah Sakai
(sesambai) berarti bergotong royong dalam mengerjakan sesuatu di antara sesama
secara silih berganti yang mengandung makna memberikan sesuatu kepada
seseorang atau masyarakat dengan cara timbal balik, sedangkan istilah Sambaian

9
mengandung makna memberikan sesuatu kepada seseorang atau masyarakat
dengan ikhlas yang tidak mengharapkan balasan apapun. Yang mengandung
makna tolong menolong, sehingga Sakai Sambaian meliputi pengertian yang
sangat luas termasuk di dalamnya bahu membahu dan saling memberikan sesuatu
yang diperlukan oleh pihak lain (Himyari Yusuf, 2013:140). Sakai Sambaian bagi
Adat Lampung terbagi dua yaitu, Lampung Saibatin dan Lampung Pepadun.

1) Sakai Sambaian adat Lampung Saibatin

Sakai Sambain berarti tolong menolong dan gotong royong, yakni memahami
makna kebersamaan atau guyub. Sakai Sambaian pada hakekatnya adalah
menunjukkan rasa partisipasi dan solidaritas yang tinggi terhadap berbagai
kegiatan sosial pada umumnya. Sebagai masyarakat Lampung akan merasa
kurang terpandang, apabila tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan
kemasyarakatan. Perilaku ini sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang
akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian tersebut memiliki
nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan
(http://bpsnt-bandung. blogspot.co.id).

2) Sakai Sambaian adat Lampung Pepadun

Sakai Sambaian ialah prinsip hidup tolong menolong dan gotong royong kepada
sesama manusia yang menunjukkan bahwa orang Lampung selalu hidup
berdampingan, saling membantu satu sama lainnya
(https://cindychristyarum.wordpress.com).

Sakai Sambaian meliputi berbagai pengertian yang luas didalamnya gotong


royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi terhadap sesuatu
yang diperlukan bagi pihak lain dan hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang
sifatnya bukan materi saja, tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan
pikiran dan sebagainya (Rusdi Muchtar, 2009:194).

Nurdin Sah Rajo mengatakan Sakai Sambaian yaitu suatu sikap seseorang,
dalam tolong menolong dan gotong royong pada kehidupan bermasyarakat

10
terutama dalam bidang kegiatan sebagai nilai dan norma-norma sosial dalam
tatanan kehidupan masyarakat. Sakai Sambaian ini yang harus selalu menjadi
pedoman setiap elemen masyarakat Lampung. Fachruddin dan Suharyadi
mengemukakan Sakai Sambaian lebih dekat dengan paham vitalitas karena yang
dituntut adalah bahwa setiap orang dalam rangka mempertahankan hidup harus
pandai menjalin kerjasama dengan pihak lain. Sedangkan Mastal menjelaskan
bahwa Sakai Sambaian adalah menunjukkan setiap orang Lampung harus siap
untuk melaksanakan kerjasama dengan pihak manapun selama kerjasama itu
untuk kebaikan bersama. Sakai Sambaian menurut mastal sering diartikan sebagai
sebabaian artinya saling dukung mendukung dalam kebenaran yang bermanfaat
bagi kepentingan bersama (Ibid, 141).

Masyarakat Lampung mempunyai kewajiban untuk mendahulukan


kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Fauzie Nurdin
menjelaskan Sakai berarti memberi sesuatu kepada seseorang atau sekelompok
berbentuk benda atau jasa, tetapi tidak mengharap balasan. Sambaian berarti
memberi sesuatu kepada seseorang atau kelompok orang berbentuk benda dan
jasa secara khususnya dengan tidak menghararapkan balasan atau imbalan. Sakai
Sambaian bermakna suka Tolong Menolong atas dasar kebersamaan baik dengan
saudara, tetangga dan masyarakat kehidupan sehari-hari (A.Fauzie Nurdin,
2009:301).

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok


orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam
prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan Sambaian
bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk
kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan
balasan. Sakai Sambaian berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya
memahami makna kebersamaan atau guyub (Ali Asan, 2017).

Suratman Kepala Menganai (ketua pemuda) Sakai Sambaian pada


hakikatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi

11
terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya
terutama dalam kegiatan pemuda-pemudi yang menjalankan kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan Sakai Sambaian. Sebagai masyarakat Lampung akan
merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu
kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi
kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela
apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat
lain yang membutuhkan. Kemudian Chaidar juga menjelaskan Sakai Sambaian
adalah keharusan berjiwa sosial, gotong royong, dan berbuat baik terhadap sesama
manusia. Sakai Sambaian adalah nilai dasar filsafat tolong menolong dan gotong
royong dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Sakai (siap dinilai) dan Sambai
(siap menilai) menunjukkan bahwa setiaop seseorang setiap saat harus selalu siap
melakukan penilaian terhadap lingkungannya, dan pada saat yang bersamaan
bersedia menjadi bagian dari lingkungan itu untuk di evaluasi, sehingga memiliki
kemampuan bersaing dalam menciptakan sesuatu yang lebih baik.

Sakai Sambaian adalah salah satu unsur yang terkandung dalam falsafah
hidup orang Lampung, yang menjadi pedoman atau pegangan hidup mereka, yang
ikut membentuk pola sikap dan Tata kelakuan (akhlaqul karimah) mereka
(masyarakat Lampung) dalam pengamalan kehidupan sehari-hari, prinsip tolong
menolong dan bergotong royong inilah yang selalu dijunjung tinggi masyarakat
Lampung.

2. Kedudukan dan Fungsi Sakai Sambaian Bagi Masyarakat Lampung

Kedudukan Sakai Sambaian dilihat dari falsafah hidup masyarakat


Lampung (piil pesenggiri) yang di dalamnya mengandung unsur Sakai Sambaian
sebagai nilai dan norma-norma sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung dilihat dari fungsinya, gotong royong
ada yang bersifat jaminan sosial, gotong royong berupa tolong menolong yang
terbatas di dalam lingkungan keluarga, tetangga, seperti acara perkawinan,
mendirikan rumah pribadi, dan sebagainya yang dilakukan secara sukarela.

12
Gotong royong yang bersifat umum sepertiperbaikan jalan, rumah ibadah, dan
fasilitas-fasilitas sosial lainnya ( Nurdin Sah Rajo,2017 : 26 ). Kedudukan dan
fungsi Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung terbagi dua yaitu, Lampung
saibatin dan Lampung Pepadun.

1) Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung Saibatin

Sebagai kedudukan prinsip nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang dalam
masyarakat Adat Lampung sejak lama dan mempunyai arti sosiologis yang sangat
penting bagi masyarakat Lampung. Sebagaimana fungsinya terutama ia mampu
menjadi sarana, yang dapat menghubungkan antara si kaya dan si miskin, Sakai
Sambaian mampu digunakan untuk mengahpuskan jurang pemisah perbedaan,
kelas-kelas, sosial dan masyarakat (Hadikusuma, Hilman, dkk,1996 : 23).

2) Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung Pepadun

Sebagai kedudukan prinsip nilai pedoman masyarakat Lampung dalam kegiatan


kemasyarakatan, dan fungsi Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung dapat di
mamfaatkan untuk melahirkan konsep keadilan sosial yang benar-benar berakar
dalam kehidupan masyarakat sebagai sosialisasi bersama untuk pencegahan
terjadinya Konflik Suku, Agama dan Lain-lain. Nurdin Sah Rajo mengatakan
bahwa Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung Pepadun di Tiyuh karta
kecamatan Tulang Bawang Udik Kabupaten Tulang Bawang Barat, ialah sebagai
pedoman hidup bermasyarakat Lampung yang mana suatu keharusan saling
membantu kegiatan-kegiatan adat istiadat dan kegiatan pernikahan dan lain-lain
pada umumnya dimana masyarakat Lampung malu ketika memang tidak bisa
memberikan sumbangsih baik tenaga, pikiran maupun materi.

Dengan demikian dapat ditafsirkan secara konstektual bahwa gotong royong


merupakan perilaku sosial yang konkret dan merupakan suatu tata nilai kehidupan
sosial yang turun temurun sampai sekarang ini, terutama dalam kehidupan
masyarakat Lampung yang hidup di pedesaan ( Himyari Yusuf : 142).

13
Ali Asan, fungsi Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung sebagaimana
pengertiannya tolong menolong dan gotong royong yang penerapannya dalam
kehidupan masyarakat di tiyuh karta dalam hal ini untuk kegiatan untuk kebaikan
bersama dalam masyarakat sehingga menjadi mudah dan ringan suatu pekerjaan
apabila saling bekerjasama dan sebagai pendangkal konflik tentunya. Lebih
konkret lagi gotong royong dan tolong menolong dalam perspektif islam
dikemukakan Assiba’I bahwa Allah memerintahkan manusia supaya tolong
menolong dan bergotong royong untuk menciptakan pengayoman secara merata
dan meliputi segala bidang yang sangat luas untuk mencapai kesejahteraan
bersama dalam masyarakat, antara lain pengayoman tersebut terkait dengan
berbagai bidang kehidupan, seperti bidang spiritual, bidang akhlak, dan bidang
kehidupan lainnya.

3. Makna Filosofi Sakai Sambaian

Sebagai upaya memperluas pemahaman dan pembuktian mengenai filosofi


Sakai Sambaian merupakan kelanjutan dan bagian dari falsafah hidup masyarakat
Lampung. Oleh karena itu Sakai Sambaian dapat dikatakan sebagai wujud nyata
dari sebagian nilai-nilai yang terkandung dalam falsafat hidup piil pesenggiri.
Filosofi Sakai Sambaian sebagai bagian dari falsafah hidup masyarakat Lampung
Saibatin adalah sebagai berikut.

1) Sakai Sambaian mengandung filosofi yang terikat satu dengan lainnya dari
beberapa unsur yang terdapat dalam falsafah hidup orang Lampung (piil
pesenggiri) yang mengandung arti keharusan bergotong royong dan tolong
menolong terhadap sesama.
2) Filosofi Sakai Sambaian (sesambai) Lampung Pepadun tidak jauh beda
mengadung filosofi yang sama dengan Lampung Saibatin, secara kodrati
manusia bersifat bermasyarakat sosial, hidup bersama dalam tatanan
aturan adat Lampung sebagaimana pedoman hidup orang Lampung (piil
pesenggiri) (Hadikusuma, Hilman, dkk : 24).

14
Sebagaimana telah sering dikemukakan bahwa secara faktual manusia tidak dapat
hidup dengan kesendirian atau tanpa orang lain. Muthahhari mengemukakan
sesungguhnya secara hakiki dan kodrati kehidupan manusia besifat
kemasyarakatan (sosial). Sistem kemasyarakatan akan tetap eksis sepanjang masih
ada rasa saling membutuhkan sesama manusia (Muthahhari Murtadha, 1992:151).
Khaldun sebagai spsiolog Muslim seperti yang dikutip oleh Raliby,
mengemukakan bahwa sesungguhnya organisasi kemasyarakatan dari umat
manusia atau peradaban itu dapat diterangkan oleh kenyataan bahwa Allah telah
menciptakan dan menyusun manusia itu menurut satu bentuk yang hanya dapat
tumbuh dan mempertahankan hidup dengan bantuan dari luar dirinya. Raliby
menambahkan adalah di luar kemampuan seseorang untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidup secara sendiri saja. Jelaslah seseorang tidak dapat berbuat
banyak tanpa penggabungan beberapa tenaga dari kalangan sesama manusia,
dengan bekerjasama, bergotong royong, tolong menolong (keharusan
berhubungan sesama manusia), maka berbagai kebutuhan hidup manusia dapat
terpenuhi dan hal ini tentunya sangat relavan dengan prinsip nenggah nyappur dan
Sakai Sambaian (Himyari Yusuf, Op. Cit. h. 151).

Ditambah pula bahwa secara esensial setiap individu manusia itu pasti
berhajat pada bantuan orang lain, karena itu organisasi masyarakat adalah satu
kemestian bagi jenis manusia. Tanpa organisasi kemasyarakatan maka wujud
umat manusia tidaklah sempurna dan keinginan Tuhan hendak memakmurkan
dunia makhluk manusia dan menjadikan manusia khalifah-khalifah-Nya di bumi
ini tentulah tidak akan terbukti. Pada intinya pandangan khaldun tersebut
menggambarkan bahwa manusia tidak mungkin hidup layak kecuali harus
berhubungan dengan manusia lain (sesama) dan itu semua secara filosofis
merupakan scenario atau rencana Tuhan yang menciptakan manusia itu sendiri,
sehingga dengan scenario yang bersifat kodrati dan fitrah itu kehidupan manusia
memiliki suatu keharusan berhubungan dengan sesama manusia dan artinya antara
manusia yang satu dengan lainnya adalah niscaya bersifat korelasi (Raliby,
Osman, 1965: 153).

15
Asy’arie mengemukakan bahwa bagi manusia kerjasama dan tolong
menolong sangat diperlukan karena manusia satu sama lainnya memiliki
kemampuan dan keahlian yang berbeda. Bahwa menyatukan kemampuan dan
keahlian yang berbeda tersebut manusia dapat mengatasi tantangan hidup yang
semakin hari semakin komplek dan bergerak sangat cepat (Asy’arie, Musa, 1999:
152).

Unsur Sakai Sambaian yang mengandung makna keharusan berjiwa sosial,


gotong royong berbuat baik terhdap sesama manusia. Oleh karena itu Sakai
Sambaian bagian dari falsafah hidup masyarakat Lampung. Dalam uraian
mengenai filosofi Sakai Sambaian adat Lampung yang mana piil pesenggiri
mengandung arti pantang mundur tidak mau kalah dalam sikap, tindakan dan
prilaku. Unsur Sakai Sambaian mengandung arti suka menolong dan bergotong
royong dalam hubungan kekerabatan dan tetangga (Damanhuri Fattah, 2015: 8).

Dari data yang terungkap pada pembahasan diatas terlihat bahwa budaya
saling membantu masih menyatu dalam sikap hidup dan pergaulan sosial
masyarakat Lampung terutama pada masyarakat di tiyuh karta dan pada
umumnya, baik dalam mewujudkan kebutuhan hidup sehari-hari, membangun
sarana sosial, maupun dalam acara-acara seremonial yang dilakukan oleh anggota
masyarakat. Bahkan menurut tokoh adat masyarakat Tiyuh Karta Nurdin sah rajo
(gelar suttan gayo pikiran), orang Lampung biasanya merasa malu jika tidak
terrlibat dalam kegiatan yang bernuansa sosial sekalipun hanya dalam kadar yang
tidak memadai (sekadarnya). Dalam prakteknya, anggota masyarakat (etnis
Lampung) yang dinilai jarang terlibat dalam kegiatan yang bernuansa gotong
royong, atau kurang memiliki kepedulian sosial akan memperoleh sanksi sosial
dari masyarakat lingkungannya. Jika sewaktu-waktu dia sendiri mempunyai hajat
(acara besar) yang melibatkan masyarakat ramai, biasanya masyarakat merasa
tidak merasa memiliki keharusan untuk terlibat dalam acara itu. Apa yang
terungkap diatas menjadi sebuah petunjuk bahwa nilai budaya Sakai Sambaian
(keharusan untuk saling membantu secara tulus), masih menyatu dalam sikap
hidup orang Lampung. Secara normative nilai budaya itu mengahruskan adanya

16
sikap hidup saling membantu dalam segala suasana dan kelompok sosial, tanpa
melihat latar belakang etnis, budaya dan agama. Dengan demikian filsafat sosial
Sakai Sambaian dapat menjadi modal budaya bagi perwujudan masyarakat yang
memiliki kepedulian sosial, ditengah masyarakat yang semakin individualistik dan
materialistik. Kepedulian sosial yang tumbuh subur ditengah kehidupan sosial
akan menjadi pranata penting bagi tumbuhnya kekuatan internal dalam
membangun kohesi sosial yang disebabkan beberapa faktor (Rizani Puspawidjaja,
2006: 15).

Realitas kebiasaan saling membantu dan saling tolong menolong diatas


menjadi satu indikator sosial bahwa dalam ruangan psikologi masyarakat masih
terdapat perasaan dan bahkan kesadaran interelasi antara satu dengan yang lain,
antara individu dengan individu, antara keluarga dengan keluarga dan antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain. Interelasi ini merupakan bentukan atau
produk dari nilai budaya ‘Sakai Sambaian’ yang menjadi dorongan internal
(internal spirit) dari prilaku itu. Suasana psikologis yang kemudian termanifestasi
dalam sikap dan prilaku sosial dalam bentuk kebiasaan saling tolong menolong,
bahu membahu, bergotong royong, dalam banyak jenis kegiatan hidup
bermasyarakat merupakan sebuah indikator masih terpeliharanya solidaritas sosial
di tengah masyarakat etnis Lampung. Setiap individu, keluarga dan kelompok
kecil berfungsi sebagai unit sosial yang saling berinteraksi membangun sebuah
komunitas besar yang diwarnai oleh solidaritas.

Hanya saja seperti terungkap dalam pembahas diatas bahwa sikap hidup
yang di dasari makna filsafat sosial Sakai Sambaian dikhawatirkan akan terancam
baik oleh serbuan nilai-nilai modern yang menawarkan pola hidup yang serba
praktis, efisiensi waktu, tenaga dan biaya (tanpa mempertimbangkan nilai dan
fungsi sosial), serta perubahan lingkungan alam yang menyebabkan adaptasi sikap
budaya. Seperti kebiasaan saling membantu dalam membangun rumah, item
kegiatan saling membantu semakin berkurang jumlahnya karena semakin
berkurangnya bahan pembuatan rumah yang tersedia di lingkungan sekitar.
Pengurangan unit-unit kegiatan yang bernuansa Sakai Sambaian, akan

17
berimplikasi berkurangnya kegiatan yang berfungsi (functional) dalam
membangun solidaritas masyarakat yang menyatu dalam kehidupan mereka
sehari-hari (onoing solidarity) (Rusdi Muchtarh 329-330).

3.3 Nengah Nyappur

Sejak zaman tumbai, orang Lampung mempunyai ajaran-ajaran berupa


peranti adat, filsafat, dan nilai sosial. Ajaran-ajaran itu dapat berfungsi untuk
mengontrol sistem tingkah laku manusia melalui sistem sosial dan sistem
kepribadian. Sistem tingkah laku tersebut nilai-nilainya kemudian menjadi budaya
yang mengakar dan mendarah daging.

Budaya lokal tersebut saat ini atau oleh bahasa anak millennial disebut
sebagai zaman now sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan, karena memiliki
potensi positif untuk menunjang pembangunan sumber daya manusia yang
berwawasan budaya.

Sifat-sifat yang terdapat dalam nilai sosial orang Lampung dapat dilihat dari
ungkapan pantun Lampung (adi-adi) yang berbunyi: Tanda ni hulun Lampung,
wat piil pusanggiri (Tandanya orang Lampung, memiliki kehormatan). Mulia hina
sehitung, wat malu rega diri (Mulia atau hina diperhitungkan, ada rasa malu dan
harga diri). Juluk Adok ram pegung, Nemui Nyimah muwari (Gelar adat dipegang
teguh, ramah tamah dan bersaudara). Nengah nyampur mak ngungkung, sakai
sabaian gawi (Bergaul tidak terbatas, saling membantu dan gotong royong).
Terdapat lima nilai sosial orang Lampung yang ada dalam pantun (adi-adi)
tersebut, salah satu diantaranya adalah Nengah Nyappur.

Dari segi bahasa, Nengah berasal dari kata benda kemudian berubah
menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan Nyappur berasal dari
kata benda cappur/campor dan menjadi kata kerja nyappur/nyampor yang berarti
membaur. Sehingga, secara harfiah Nengah Nyappur dapat diartikan sebagai sikap
suka bergaul, bersahabat dengan siapa saja, aktif dalam pergaulan bermasyarakat,
tidak individualistis, dan mempunyai sikap toleransi antara sesama.

18
Nengah Nyappur menerangkan orang Lampung itu semestinya
mengutamakan nilai kekeluargaan yang didukung dengan sikap suka bergaul dan
bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul
dan golongan. Di mana sikap suka bergaul tersebut menumbuhkan semangat
bekerja sama dan tenggang rasa yang tinggi antarasesama.

Nilai sosial Nengah Nyappur dalam adat istiadat orang Lampung tersebut
memiliki corak keagamaan yang sangat kental. Adat Lampung yang hubungannya
sangat erat dengan hukum agama dalam hal ini Islam dapat dilihat dari dasar
filosofi Nengah Nyappur yakni terdapat dalam kitab suci Alquran Surah Al
Hujarat Ayat (13).

“Sesungguhnya, kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan
kami menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa supaya kamu saling
mengenal...”

Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka


bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap
toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang
lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-
gejala sosial. Sikap Nengah Nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang
tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran
demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk
kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk
mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap Nengah Nyappur
menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap Nengah Nyappur
melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan sekaligus merupakan embrio dari
kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap
perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik,
maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup
Nengah Nyappur secara wajar dan positif.

19
Sikap Nengah Nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi,
sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian
menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk
kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk
mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah Nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk


mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus
mempunyai penge-tahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan
melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan
demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya
untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan
dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam
adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan
informasi dengan tertib dan bermakna.

3.4 Konsep Nemui Nyimah


1. Filosofi Nemui Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi
kata kerja Nemui yang berarti bertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah
berasal dari kata benda “simah” kemudian menjadi kata kerja “nyimah” yang
berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah Nemui Nyimah
diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan
menerima dalam arti material maupun non material sesuai dengan kemampuan
(Abdulsyani, 2010).

Nemui Nyimah berarti sikap pemurah atau tangan terbuka. Nemui Nyimah
ini merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap
keakraban dan kerukunan serta silaturahim. Nemui Nyimah juga dapat diartikan
sebagai sikap sopan santun. Pemahaman tentang sikap sopan santun di setiap
daerah tentunya berbeda-beda, hal ini disebabkan karena perbedaan adat-istiadat,
kultur atau budaya juga kebiasaan yang ada di suatu daerah. Nilai Nemui Nyimah

20
dalam hal ini sopan santunnya orang Lampung dapat dicontohkan misalnya
dengan bertamu. Dalam unsur menghormati tamu maka seseorang itu selain harus
berperilaku baik tetapi juga harus mampu menyajikan sesuatu. Bagi masyarakat
Lampung lazimnya macam panganan dan minuman, sehingga yang terselubung
dalam Nemui Nyimah ini adalah kepemilikan. Hal ini memungkinkan untuk
menyuguhi tamu tersebut, dengan kata lain seseorang harus berketerampilan,
berpenghasilan, dengan kata lain berproduksi. Apapun yang mereka punya akan
diberikan untuk tamu tersebut agar dapat memantaskan tamu yang sudah
berkunjung. Dengan demikian, Nemui Nyimah yang diartikan sopan santun ini
memiliki makna sosial, yang bertujuan untuk membangun hubungan antar
manusia yang dapat saling menghargai, saling terbuka juga mengembangkan
harmoni sosial di tengah masyarakat.

Nemui Nyimah adalah salah satu dari empat unsur falsafah hidup orang
Lampung yakni Piil Pesenggiri. Ketiga unsur lainnya, yakni Juluk Beadek,
Nengah Nyappur, dan Sakai Sambaian. Piil Pesenggiri ini adalah semacam
tatanan moral yang merupakan pedoman bersikap dan berperilaku masyarakat
adat Lampung dalam segala aktivitas hidupnya. Nemui Nyimah merupakan
ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan
kerukunan serta silaturahmi. Nemui Nyimah merupakan kewajiban bagi suatu
keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi,
dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip
keterbukaan, kepantasan dan kewajaran. Pada hakekatnya Nemui Nyimah
dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan
kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen
budaya Nemui Nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap
dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan
sosial yang berlaku. Bentuk konkrit Nemui Nyimah dalam konteks kehidupan
masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial
dan rasa setia kawan. Suatu kelompok sosial diharapkan memiliki fungsi dari
salah satu unsur Piil Pesenggiri ini, sebab kita sebagai makhluk sosial harus

21
memiliki sifat tangan terbuka dalam menerima perbedaan yang dapat membuat
kita lebih kuat dan setia satu sama lain. Tidak hanya itu ketika Nemui Nyimah
masih melekat di diri kita, maka yang tercipta adalah rasa keperdulian terhadap
nilai-nilai kemanusiaan antara lain motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan
orang lain.

2. Fungsi Nilai Nemui Nyimah dalam Kehidupan Masyarakat Lampung


Adat Saibatin

Fungsi Nemui Nyimah dalam kehidupan masyarakat Lampung adat Saibatin


antara lain :

1) Fungsi nilai Nemui Nyimah dalam memelihara stabilitas hubungan


masyarakat atau kerukunan

Dalam hal ini Nemui Nyimah berfungsi untuk memelihara stabilitas hubungan
yang ada didalam masyarakat, khususnya masyarakat Lampung adat Saibatin.
Stabilitas hubungan atau kerukunan dapat diwujudkan melalui gotong royong,
saling menolong antarsesama, kerja bakti lingkungan, bersih desa dan disaat
sedang mendapatkan musibah, seperti sakit atau yang sedang berduka.

2) Fungsi nilai Nemui Nyimah dalam kegiatan musyawarah atau hippun


pemekonan

Musyawarah yang dilakukan oleh masyarakat adat Lampung khususnya Saibatin


dilakukan untuk mencapai sebuah kata mufakat. Kesepakatan yang idealnya
sebagai tujuan dari musyawarah harus terlaksana agar tidak ada lagi perbedaan,
baik itu pendapat, ide tau gagasan yang muncul dari individu yang berbeda.
Nemui Nyimah pun dapat berfungsi dalam kegiatan ini, sebab Nemui Nyimah
memberlakukan prinsip keterbukaan, saling menghargai juga saling menerima.
Keterbukaan yang dimaksud dalam kegiatan musyawarah ini ialah keterbukaan
dalam setiap pendapat, gagasan, juga kejujuran dalam setiap perkataan. Saling
menghargai maksudnya adalah menghargai setiap masukan, pendapat atau ide dari

22
setiap anggota musyawarah, serta menerima setiap keputusan yang
sudahdisepakati dalam kata mufakat.

3) Fungsi nilai Nemui Nyimah dalam memelihara kepedulian atau solidaritas


sosial

Fungsi Nemui Nyimah juga dapat memelihara kepedulian antar sesama


masyarakat atau sebagai solidaritas sosial. Wujudnya bisa dalam bentuk
kerjasama yang dilakukan antarwarga dalam membangun tiyuh/pekon/desa,
seperti membangun jembatan, jalan dan sebagainya. Solidaritas sosial di bentuk
dengan cara turut serta berpartisipasi dalam setiap kegiatan agar dapat
terwujudnya keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan antar sesama
manusia.

4) Fungsi nilai Nemui Nyimah untuk memperluas jaringan pergaulan

Dalam kehidupan sosial, pergaulan atau memperluas jaringan sosial sangat


diperlukan, agar kita dapat mengisi kekurangan satu sama lain. Tentunya,
pergaulan atau jaringan sosial yang kita bangun harus dilandasi dengan sebuah
rasa kepercayaan satu sama lain, dari kepercayaan timbul saling menghargai dan
saling menerima kekurangan satu sama lain. Dalam menjalin pertemanan,
kekurangan dan kelebihan teman harus dapat kita hargai, agar kita pun dapat
dihargai juga diakui keberadaannya, agar kita juga merasa dipentingkan dalam
hidupnya, sehingga kehidupan yang rukun juga harmonis dapat tercipta dengan
baik.

5) Fungsi nilai Nemui Nyimah sebagai penunjang tingkat efektivitas


pelayanan publik

Dalam hal ini fungsi nilai Nemui Nyimah berperan sebagai penunjang efektivitas
pelayan publik, yakni dengan menerapkan prinsip-prinsip yang ada didalam
Kepmenpan nomor 63 tahun 2003 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan
publik. Dimana dalam prinsip-prinsip pelayanan publik itu ada sebuah prinsip
dimana aparatur pemerintah harus memiliki sikap sopan dan santun, ramah-tamah

23
serta ikhlas. Dengan terlaksananya prinsip-prinsip yang sesuai dengan
Kepmenpan tersebut efektivitas dalam pelayanan publik akan tercapai, dan indeks
kepuasan masyarakat akan terwujud. Sebab dalam menghadapai era globalisasi
yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara hendaknya memberikan
pelayanan dengan berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan,
sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan
jasa pelayanan publik yang dilakukan para aparatur instansi pemerintah harus bisa
menerapkan fungsi dari Nemui Nyimah ini, sebab suatu pelayanan publik akan
terasa kefektivitasannya jika masyarakat merasa puas ketika mendapatkan
pelayanan yang baik, santun, serta saling menghargai.Nemui Nyimah juga dapat
memperlancar sebuah kegiatan administrasi pelayanan publik, manakala ketika
ingin membuat atau mengurus surat- surat penting, pertama disambut dengan
salam, senyum, sapa. Lalu, bicara yang santun yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah tersebut, serta sikap ramah-tamah yang idealnya dilakukan oleh
seorang pelayan publik atau abdi masyarakat, khususnya di kantor kecamatan
Teluk Betung Selatan. Aparatur pemerintah diharapkan mampu berorientasi
dengan nilai Nemui Nyimah ini, karena menerapkan Nemui Nyimah banyak
menimbulkan efek positif, baik untuk penerima pelayanan maupun yang
memberikan pelayanan. Dengan begitu, kita bisa menilai bahwa suatu efektivitas
dari pelayanan publik juga berasal dari suatu sikap atau perilaku yang dilakukan
oleh aparatur pemerintah tersebut. Fungsi nilai Nemui Nyimah dalam kehidupan
sehari-hari dapat menunjang intensitas dalam pergaulan, sebab ketika kita
berteman pastinya kita membutuhkan rasa nyaman, rasa peduli terhadap sesama,
terbuka satusama lain dan yang pasti saling menerima kekurangan satu sama lain.
Nemui Nyimah tidak hanya dengan orang yang sudah dekat dengan kita saja, akan
tetapi dapat juga kita implementasikan dengan kelompok etnislain. Ramah tamah,
sifat saling terbuka dan peduli terhadap sesama sangat dibutuhkan dalam
kehidupan masyarakat, terutama kita sebagai makhluk sosial yang membutuhkan
bantuan orang lain. Seperti yang dikemukakan Aristoteles, bahwa manusia
merupakan zoon politicon yang berarti manusia dikodratkan hidup bermasyarakat
dan berinteraksi satu sama lain. Bahwa hakikat seorang manusiapun tidak dapat

24
hidup sendirian, melainkan membutuhkan bantuan orang lain untuk tetap dapat
bertahan hidup dengan masyarakat lain dan lingkungan sekitar.

3. Nemui Nyimah dan Filsafat Hidup Pill Pesenggiri

Mengenai kebudayaan Lampung kita harus menjaga yang mana wujud


kebudayaan mulai dari wujud Ideal dan mana kelakuan yang tergolong dari
terwujudnya fisik, dalam kebudayaan Lampung ada unsur dari Piil Pesenggiri
adalah Falsafah hidup masyarakat Lampung yang berarti harga diri hidup orang
Lampung yang didalam nya ada didalam nya mencakup Bejuluk Beadek, Nemui
Nyimah, Nengah Nyappur dan Sakai Sambayan.

Julia Maria yang dikutip Iswatiningsih mengatakan bahwa falsafah hidup


Pill Pesenggeri merupakan falsafah hidup yang bersedikam adat dan menjadi ikut
serta terpelihara dengan baik serta adat Lampung ditata secara baik. Falsafah
secara keseluruhan Piil Pesenggiri dapat dirangkai menjadi sebagai berikut:

“Bila sesorang ingin memiliki harga diri, maka pandai-pandailah menghormati


orang lain (Nemui Nyimah), pandai-pandailah bergaul (Nenggah Nyappur),
rajinlah bekerja hingga berprestasi dan berprestise (Juluk adek), itulah prinsip dan
itulah harga diri itu (Bupiil bupesenggiri). Antara kelompok Pepadun dan Saibatin
ternyata tidak memiliki perbedaan yang menonjol, yang semula dibedakan oleh
lokasi hunian antara di pesisir dan pedalaman. Mereka yang dipedalaman pun
ternyata bertempat tinggal ditepian sungai-sungai besar, sehingga kita dapat
menduga bahwa sebenarnya tantangan yang mereka hadapi adalah sama, sehingga
falsafahnya ternyata relatif sama”.

VERSI PEPADUN VERSI SAIBATIN

Juluk adok Khopkhama Delom


Bekhekhja
Nemui Nyimah Bupudak Waya
Nengah Nyappur Tetengah Tetengah
Sakai Sambayan Khepot Delom Mufakat

25
Masyarakat Lampung dalam sistem adat terbagi dalam dua kelompok adat,
yaitu kelompok masyarakat Lampung yang beradat Pepadun, dan kelompok
masyarakat Lampung yang beradat Saibatin. Masyarakat Lampung Pepadun dan
Saibatin memilki banyak keragaman budaya, dimana kebudayaan sendiri adalah
hasil budaya atau kebulatan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hidup
bermasyarakat. Menurut Sutrisno dan Rita Hanafie yang dikutip Baharudin, antara
manusia, masyarakat dan kebudayaan ada koneksitas yang erat. Tanpa
masyarakat, manusia dan kebudayaan tidak mungkin berkembang, tanpa manusia
tidak mungkin ada kebudayaan, tanpa manusia tidak mungkin ada masyarakat.

Nemui Nyimah dalam Lampung itu artinya mengunjungi untuk


bersilatuhrami serta ramah menerima tamu. Budaya ini masih dilakukan
masyarakat Tiyuh ini, Nemui Nyimah ada dalam acara-acara:

1) Yasinan, dalam acara rutin ini setiap malam Jum’at bergilir di rumah
masyarakat khusus bapak-bapak agar tali persaudaraan mereka tetap
berkomunikasi dalam kegiatan tersebut.
2) Gotong Royong, yang di sertai tokoh agama dan tokoh adat terkadang
dilakukan setiap hari minggu, walau tidak semua melaksanakannya tetapi
budaya ini tetap diterapkan. Dalam gotong royong tersebut tak lupa pula
suguhan-suguhan makanan ringan agar makin terasa keakraban dan
kekeluargaan seperti halnya yang diajarkan nenek moyang masyarakat
Lampung. Di satu sisi selain menerapkan budaya Nemui Nyimah juga
melatih dan menjaga kesopanan dalam tutur kata dan bersikap terhadap
sesama makhluk sosial.
3) Pengajian, yang dilakukan ibu PKK setiap hari Jum’at jam 14.00 di
masjid.
4) Kumpulan Mulli Menghanai, kegiatan ini dilakukan oleh Mulli Menghanai
atau pemuda-pemudi saat ada acara di suatu tempat untuk bermusyawarah
tentang kegiatan yang berjalan di Tiyuh Gedung Ratu dan mempererat tali
silatuhrami.

26
5) Ngakuk Majew, dimana dalam acara ini jika di rumah lelaki yaitu ngambil
majew (calon pengantin wanita), jadi seluruh masyarakat Tiyuh
berkunjung silatuhrami untuk mengetahui majew (calon pengantin wanita).
Pernikaahan, dalam acara ini muli mekhanai membantu mengurangi beban
dalam acara membuat bumbu atau kue.
6) Begawi Cakak Pepadun, pelaksanaan hajatan atau proses pelaksanaan
penobatan sultan (penyimbang). Dalam acara ini budaya Nemui Nyimah
sangat diterapkan, yang tua baik bapak-bapak maupun ibu-ibu dan muli
menghanai. Acara ini acara besar Lampung yang diadakan saat tertentu
saja.
7) Sunatan, acara yang sering dilakukan khusus anak lelaki saja. Tetapi dalam
acara ini ada perkumpulan keluarga karena sudah membesarkan anak
lelakinya. Dalam acara ini budaya Nemui Nyimah diterapkan agar acara
berjalan lancar dan sesuai keinginan.

Dari sudut pandang sosial logis, Nemui Nyimah adalah suatu sikap
pergaulan hidup yang memungkinkan orang Lampung hidup berbaur dengan
masyarakat yang ada disekitarnya. Sudah menjadi kebiasaan adat Lampung,
memberi penghormatan atau melayani seorang tamu yang datang maupun bujang
gadis, ulun tuhou. Dalam hal budaya Nemui Nyimah (berkunjung) ketempat
seseorang sebaiknya tidak datang dengan tangan hampa. Kegiatan Nyemui
Nyimah diatas selalu diterapkan di Tiyuh Gedung Ratu meskipun ada beberapa
masyarakat yang tidak aktif dalam kegiatan tersebut karena alasan sibuk dan lain-
lain. Melalui kegiatan tersebut dapat mempertahankan nilai-nilai yang terdapat
dalam budaya Nemui Nyimah. Kandungan nilai-nilai yang terdapat di Nemui
Nyimah tentunya sangat relevan dengan ajaran agama Islam, yang terkandung
dalam hadits Rasulullah :

Dalam sebuah hadits diungkapkan, “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang
lebih besar pahalanya dari pada Shalat dan shaum?” tanya Rasul pada para
sahabat. “Tentu saja”, jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, “Engkau
damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaran yang terputus,

27
mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai
kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka
adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barang siapa yang ingin dipanjangkan
umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali
silaturahmi” (HR Bukhari Muslim).

3.5 Bejuluk Beadek, Nilai Sosial Gelar Adat Lampung

Nilai sosial adalah konsepsi abstrak tentang apa yang baik sehingga harus
dianut dan apa yang buruk sehingga harus dihindari. Contoh dari nilai sosial yang
dianut oleh orang Lampung adalah Piil pesenggiri, Sakai Sambaian, Nemui
Nyimah, Nengah Nyappur, dan Bejuluk Beadek.

Nilai sosial tersebut kemudian telah menjadi falsafah hidup yang turun
temurun dan mendarah daging terwarisi sejak dari zaman dahulu, berpuluh-puluh
bahkan beratus tahun lamanya hidup berkembang menjadi adab, adah, dan adat.
Membudaya mengakar serta melekat meskipun terkadang mulai tergerus
perubahan zaman. Nilai-nilai tersebut kadang hilang ditinggalkan namun ada yang
masih tetap terwarisi, terpelihara dan terjaga bahkan menarik untuk digali, dari
mana, untuk apa, apa urgensinya dan bagaimana implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari.

Dalam sistem kekerabatan keluarga dan hubungan masyarakat adat pada


masyarakat adat Lampung ada istilah yang namanya tutokh, juluk, dan adek.
Tutokh adalah panggilan untuk sistem kekerabatan yang bersifat
bertingkat/berkasta/memiliki stratifikasi. Contoh tutokh orang Lampung seperti:
kanjang, kunjung, kanjeng, anjeng, agen, regen, anjung, tuan, pun, puan, uwan,
wan, wanda, kanda, pusat, gusti, kiyay, batin, tati, titah, itah, papahan, sumbahan,
rajo, ajo, menak, minak, agungan, kagungan, baginda, ginda, junjun, junjunan,
ahi, ahun, ahuya, susi, sus, ses, radin, adin, uda, udo, cikwo, yunda, dan
sebagainya. Tutokh tersebut sangat banyak karena Lampung hampir banyak
menyerap bahasa panggilan dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa
termasuk panggilan uni, teteh, dan daing.

28
Sedangkan Juluk adalah nama lain atau gelar yang diberikan kepada
seseorang yang masih kecil atau belum menikah yang sifatnya juga bertingkat.
Juluk tersebut diberikan melalui proses ruyang-ruyang mandi pagi. Proses
pemberian gelar dilakukan dengan cara nyanang yaitu menabuh canang disaksikan
tokoh-tokoh adat dan perwatin dalam rapat permusyawaratan adat. Dan saat
pemberian gelar adat tersebut dibacakan pula pepancor, yaitu sejenis pantun yang
biasa dibacakan pada saat pemberian gelar-gelar adat pada masyarakat adat
Lampung. Juluk adalah nama kecil panggilan adat Lampung biasanya pemberian
dari kakek yang melekat terus sampai kemudian ia mendapat adek.

Adek adalah nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang (orang
Lampung) yang telah menikah yang sifatnya juga bertingkat/berkasta. Proses
pemberian gelarnya pun hampir sama yakni dilakukan dengan cara nyanang yaitu
menabuh canang disaksikan tokoh-tokoh adat dan perwatin dalam rapat
permusyawaratan adat. Adek tersebut didapat dan “diterangkan” melalui prosesi
begawi mupadun adat atau minimal melalui begawi nguruk di way (begawi kecil
dalam sistem hukum adat Lampung Pepadun, khususnya Lampung Marga
Sungkai Bunga Mayang).

Dengan prosesi begawi mupadun atau begawi nguruk di way tersebut


seseorang mendapatkan adek sehingga sah secara adat untuk dapat diterima dalam
pergaulan adat (nyelesai ko rasan adat) karena telah menyelesaikan acara adat di
tiyuh kediamannya disaksikan tokoh-tokoh adat paksi, perwatin, tuha raja bidang
suku dari tiyuh dan marga lainnya di sekitar.

Bejuluk Beadek merupakan jalan tradisional untuk mencapai kemegahan


maka orang Lampung akan berusaha untuk melaksanakan upacara adat cakak
pepadun (naik tahta adat) untuk mendapatkan juluk yang berarti nama yang
diberikan kepada seorang anak yang beranjak remaja beranjak remaja dan adek
yang bearti gelar yang diberikan kepada seseorang setelah dia dewasa (mapan).
Keduanya diberikan melalui momentum upacara yang sakral yang didukung oleh
kerabat adat dan kerabat keluarga serta tetangga. Baik juluk ataupun Adek

29
diberikan setelah yang bersangkutan mampu, menunjukan prestasi-prestasi baru.
Juluk contohnya, setelah anak menampakan keinginan keras untuk mewujudkan
konsep diri atau cita-cita, maka juluk diberikan sesuai dengan cita-citanya. Kelak
kalaupun cita-citanya berhasil maka ia telah mencapai sesuatu yang baru dan ia
berhak diupacarai dengan sebuah upacara puncak yang dikenal dengan istilah
cakak pepadun. Perubahan yang penting dalam kehidupan manusia yaitu
perencanaan cita-cita dan pecapaiannya. Kedua momentum ini bagi falsafah piil
pesenggiri tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja, melainkan harus diperingati
karena keduanya merupakan pembaharuan yang pasti dilalui oleh manusia. Itulah
sebabnya bejuluk beadek diterjemahkan dengan inovasi. Inovasi yang dilakukan
secara terus menerus antara idealitas hingga menjadi realitas dikehidupan manusia
harus diwarnai dengan unsur-unsur piil pesenggiri lainnya yaitu: nemui nyimah,
nengah nyappur, sakai sambaian hingga pada saatnya kelak apa yang menjadi
cita-cita (idealita) benar-benar menjadi kenyataan (realita). Gawi adat atau yang
didalamnya terdapat rangkain syaer adalah suatu proses upacara adat masyarakat
Lampung pepadun guna mengambil gelar raja atau pangeran atau perubahan dari
juluk menjadi adek. Juluk sendiri berarti panggilan, biasanya masyarakat
Lampung baik lelaki maupun wanita memiliki juluk yang diberikan oleh orang
tuanya sejak ia kecil. Juluk akan berubah menjadi adek sutan atau pangeran jika
seseorang tersebut dirasa memiliki kecukupan untuk mendapatkan gelar raja
ataupun pangiran.

Thabrani selaku budayawan Lampung mengatakan bahwa bejuluk beadek


dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Lampung dikarenakan setia pada
pribadi harus menjalankan kehidupannya seperti juluk atau adek yang diberikan
kepadanya. Seperti contohnya, seorang anak lelaki tertua disuatu keluarga diberi
juluk ajo atau rajo yang berarti raja atau yang dihormati, maka orang tua anak
tersebut berharap anaknya akan menjadi orang yang dihormati dengan segala
kebaikan yang ia miliki. Begitu juga pada anak tersebut, diberi juluk ajo maka dia
harus membimbing adik-adiknya sebagaimana raja membimbing atau mengayomi
masyarakatnya, ketika anak tersebut tumbuh besar dan sudah sampai pada

30
waktunya ia menikah maka orangtuanya akan melaksanakan gawi adat untuk
mengambil gelar anaknya menjadi pangeran maka anak tersebut akan
mendapatkan adek yang dirasa sesuai dengan prilakunya, tentu saja adek
tersebut.berdasarkan hasil diskusi para tokoh adat dengan harapan kehidupannya
akan sebaik adek yang diberikan kepadanya. Semestinya ketika sudah diberi juluk
memang harus diteruskan dengan adek nya, karena ini memang sudah menjadi
budaya yang dijalankan dari nenek moyang hingga saat ini. Apapun halangannya
masyarakat Lampung pepadun akan tetap mempertahankan harga dirinya dengan
melaksanakan gawi adat demi kesempurnaan budayanya. Namun seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman, Dahlan Warga Negara sendiri
sebagai tokoh adat masyarakat Lampung pepadun mengatakan sudah terdapat
keringanan yang diciptakan dari hasil diskusi. tokoh adat, bagi masyarakat
Lampung Pepadun yang ingin memenuhi kebutuhan budayanya dengan
mengambil adek yang harus dijalankan dengan mengadakan gawi adat namun
terdapat keterbatasan dalam hal ekonomi maka ia bisa melakukannya dengan gawi
matah atau membayar denda apa-apa saja hal yang tidak bisa ia penuhi dalam
pelaksanaan gawi adat.

31
BAB IV

KESIMPULAN

Kearifan lokal adalah sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan
pegangan bersama sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama.
Ditinjau dari kelima ciri kearifan lokal yaitu, kemampuan bertahan dalam
gempuran budaya lain, kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar, dan
memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya lokal maka
Piil Pesenggiri pantas untuk disebut sebagai genius lokal, lokal wisdom atau
kearifan lokal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, masyarakat adat Lampung


memiliki kearifan lokal, yaitu Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri mengandung
pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata
pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan, dan keadilan. Piil
Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan nilai pribadi. Seseorang
yang memiliki Piil Pesenggiri yang kuat berarti mempunyai keyakinan penuh
dalam mempertanggungjawabkan masalah-masalah kehidupan bermasyarakat. Piil
Pesenggiri didukung oleh unsur-unsurnya yaitu, Nemui Nyimah, Nengah
Nyappur, Sakai Sambaian, dan Bejuluk Beadek. Keempat unsur tersebut
mengandung berbagai nilai yang ditujukan untuk mempertahankan atau
memelihara serta menegaskan kehormatan dan harga diri seseorang maupun
kelompok.

Sakai Sambaian meliputi berbagai pengertian yang luas didalamnya


gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi terhadap
sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain dan hal ini tidak terbatas pada sesuatu
yang sifatnya bukan materi saja, tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan
pikiran dan sebagainya.

Nengah Nyappur menerangkan orang Lampung itu semestinya


mengutamakan nilai kekeluargaan yang didukung dengan sikap suka bergaul dan
bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul

32
dan golongan. Di mana sikap suka bergaul tersebut menumbuhkan semangat
bekerja sama dan tenggang rasa yang tinggi antarasesama.

Nemui Nyimah berarti sikap pemurah atau tangan terbuka. Nemui Nyimah
ini merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap
keakraban dan kerukunan serta silaturahim. Nemui Nyimah juga dapat diartikan
sebagai sikap sopan santun.

Bejuluk Beadek merupakan jalan tradisional untuk mencapai kemegahan


maka orang Lampung akan berusaha untuk melaksanakan upacara adat cakak
pepadun (naik tahta adat) untuk mendapatkan juluk yang berarti nama yang
diberikan kepada seorang anak yang beranjak remaja beranjak remaja dan adek
yang bearti gelar yang diberikan kepada seseorang setelah dia dewasa (mapan).

Dari kelima hal diatas merupakan Kearifan Lokal yang ada di Lampung
yang tentunya perlu untuk kita jaga, pelihara, dan melestarikannya. Semakin
menuju ke sini, maka zaman akan semakin modern. Tetapi hal itu jangan
membuat budaya kita terkikis oleh zaman tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Sandika. 2018. Nilai-Nilai Piil Pesenggiri Syaer Masyarakat Megou Pak
Tulang Bawang dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter. Diunduh pada
tanggal 16/09/2019. Dilaman web:
http://digilib.unila.ac.id/33005/3/TESIS%20TANPA%20BAB%20PEMBAHA
SAN.pdf

Bangsawan, Rozali. 2017. Implementasi Sakai Sambaian dalam Pembentukan


Akhlak Masyarakat di Tiyuh Karta Kecamatan Tulang Bawang Udik
Kabupaten Tulang Bawang Barat. Diunduh pada tanggal 15/09/2019. Dilaman
web: http://repository.radenintan.ac.id/2645/1/Skripsi_Full.pdf

Hasan, Zainudin. 2017. Nengah Nyappur, Nilai Sosial Pergaulan (1). Diakses
pada tanggal 15/09/2019. Dilaman web: http://www.lampost.co/berita-nengah-
nyappur-nilai-sosial-pergaulan-1

Himyari Yusuf. (2016). Nilai-nilai Islam dalam Falsafah Hidup Masyarakat


Lampung. Diunduh pada tanggal 15/09/2019. Dilaman web:
http://www.ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/download/340
/196

Nurhayati. 2018. Budaya Nemui Nyimah Masyarakat Lampung Pepadun dalam


Perspektif Filsafat Moral. Diunduh pada tanggal 15/09/2019. Dilaman web:
http://repository.radenintan.ac.id/4057/1/Skripsi%20Full.pdf

Tim Dosen FKIP Unila. Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal. Bandar Lampung:
Lotus Press

Timbasz, Ghozali. 2018. Budaya Perkawinan Adat Lampung Pepadun dalam


Perspektif Dakwah Pengembangan Masyarakat Islam di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah. Diunduh pada tanggal 16/09/2019.
Dilaman web: http://repository.radenintan.ac.id/3439/21/BAB%20%20I-
Acc.pdf

34
SOAL

PILGAN

1. Upacara adat Lampung cakat pepadun (naik tahta adat) untuk mendapatkan
gelar merupakan pelaksanaan...

A. Nemui Nyimah
B. Sakai Sambaian
C. Bejuluk Beadek
D. Titie Gamatei

2. Suatu proses upacara adat masyarakat Lampung Pepadun dalam mengambil


gelar raja atau pangeran disebut acara...

A. Gawi Adat
B. Pesta Lampung
C. Nemui Nyimah
D. Piil Peesenggiri

3. Dalam kitab Kuntara Raja Niti Bejuluk Beadek di atur dalam pasal....

A. 11
B. 12
C. 13
D. 14

4. Bejuluk Beadek diberikan kepada anak saat usianya...

A. Dini
B. Balita
C. Tua
D. Remaja dan Dewasa

5. Nama upacara saat pemberian Bejuluk Beadek yaitu...

A. Gawi Adat

35
B. Cakak Pepadun
C. Aqiqahan
D. Pesta Lampung

6. Falsafah hidup masyarakat Lampung adalah Piil Pesenggiri, salah satunya


adalah yang mengatur tentang sikap, pergaulan dan gotong royong, yaitu...

A. Bejuluk Buadek
B. Nemui Nyimah
C. Nengah Nyappur
D. Sakai Sambaian

7. Pada awalnya Nengah Nyappur berasal dari kata benda yang diubah menjadi
kata kerja "negah" yang berati "berada di tengah" dan "cappur" menjadi "nyappur"
sehingga mempunyai arti...

A. Bergaul
B. Berkawan baik
C. Bercampur
D. Berbaur

8. 1. Toleransi antar sesama

2. Mendahulukan diri sendiri

3. Mengutamakan musyawarah dan mufakat

4. Sabar tawakal dan rajin ibadah

5. Mempunyai jiwa dan semangat kerja keras yang tinggi

6. Selalu mengalah pada siapapun

Yang merupakan sikap yang mencerminkan penerapan Piil Pesenggiri Nengah


Nyappur ialah...

A. 1, 2 dan 3

36
B. 4, 5 dan 6
C. 2, 4 dan 5
D. 1, 3 dan 5

9. Salah satu sikap yang menunjukkan sikap Nengah Nyappur yaitu...

A. Berjalan menunduk ketika ada orang yang lebih tua


B. Menyapa tetangga apabila bertemu di suatu tempat
C. Berani tampil di gelanggang atau berkompetisi
D. Rutin mengisi kotak amal setiap shalat jumat

10. 1. Memberikan pendidikan dan pengajaran tentang kebudayaan daerah pada


generasi muda

2. Adanya dukungan dari berbagai pihak

3. Mengadopsi budaya asing ke dalam negeri

4. Mempunyai motivasi dan merasa memiliki kebudayaan sendiri

5. Mengembangkan modern culture di dalam negeri

Yang merupakan upaya pelestarian kearifan lokal adalah...

A. 1, 2 dan 4
B. 1, 2 dan 3
C. 1, 4 dan 5
D. 1, 3 dan 4

11. Pada hakekatnya Sakai Sambaian adat Lampung Saibatin adalah...

A. Menjalin kerja sama dengan orang lain


B. Bermanfaat bagi kepentingan bersama
C. Menunjukkan rasa partisipasi dan solidaritas yang tinggi terhadap berbagai
kegiatan sosial pada umumnya
D. Hidup tolong menolong dan gotong royong

37
12. Apakah kedudukan Sakai Sambaian bagi masyarakat Lampung Saibatin...

A. Sebagai prinsip nilai pedoman masyarakat Lampung dalam kegiatan


kemasyarakatan
B. Sebagai prinsip nilai nilai yang telah hidup dan berkembang dalam
masyarakat adat Lampung sejak lama dan mempunyai arti sosiologis yang
sangat penting bagi masyarakat Lampung
C. Untuk menciptakan pengayoman secara merata
D. Untuk mencapai kesejahteraan bersama dalam masyarakat

13. Apakah julukan seorang anak lelaki tertua di suatu keluarga...

A. Kiyay
B. Minak
C. Sembahan
D. Rajo atau Ajo

14. Berikut ini yang bukan termasuk ciri kearifan lokal adalah...

A. Memiliki kemampuan bertahan dari gempuran budaya lain


B. Memiliki kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar
C. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan
D. Memiliki sistem falsafah hidup

15. Kata Pesenggiri yang berarti...

A. Persaingan sepakat
B. Ajaran Islam
C. Fastabikul Khoirot
D. Kehidupan masyarakat

16. Pengertian Piil Pesenggiri adalah...

A. Potensi sosial budaya


B. Pandangan hidup
C. Bekerja keras

38
D. Mengutamakan harga diri

17. Sejak zaman tumbai, orang Lampung mempunyai ajaran berupa...

A. Mengutamakan nilai kekeluargaan


B. Sakai Sambaian bagawi
C. Poranti adat, filsafat dan nilai sosial
D. Kebudayaan

18. Masyarakat Lampung merupakan bentuk...

A. Sikap Nengah Nyappur


B. Toleransi
C. Bejuluk Beadek
D. Kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja

19. Sikap Nengah nyapur juga menunjukkan sikap...

A. Sopan
B. Ingin tau yang tinggi
C. Musyawarah
D. Tolong menolong

20. Yang dimaksud pepancor adalah...

A. Sejenis pantun yang biasa di bacakan pada saat pemberian gelar gelar adat
pada masyarakat adat Lampung
B. Nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah menikah
yang sifat nya bertingkat/berkasta
C. Panggilan untuk sistem kekerabatan yang bersifat
bertingkat/berkasta/memiliki stratifikasi
D. Nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang yang masih kecil
atau belum menikah yang sifat nya juga bertingkat.

39
21. Nemui berasal dari kata benda yaitu...

A. Tamu
B. Pendatang
C. Temui
D. Nyemui

22. Dibawah ini yang tidak termasuk unsur-unsur dalam Piil Pesenggiri adalah...

A. Nemui Nyimah
B. Bejuluk Beadek
C. Sakai Sambaian
D. Titie Gamatei

23. Bentuk konkrit Nemui Nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat lebih
tepat diterjemahkan sebagai...

A. Sikap kepedulian sosial dan rasa setia kawan


B. Tolong menolong dan gotong royong
C. Bertamu
D. Menjamu Tamu

24. Sakai Sambaian dalam versi Saibatin disebut juga...

A. Bupudak Waya
B. Tetengah Tetengah
C. Khepot Delom Mufakat
D. Khopkhama Delom Bekhekhja

25. Masyarakat Lampung terbagi menjadi dua kelompok adat, yaitu...

A. Kaya dan Miskin


B. Pepadun dan Saibatin
C. Dialek A dan Dialek O
D. Kota dan Desa

40
ESSAY

1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Lampung yang selalu mengutamakan


musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan segala permasalahan yang
timbul di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakatnya sendiri?
2. Jelaskan tentang bejuluk Beadek, menurut pendapat anda!
3. Jelaskan karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi?

41
KUNCI JAWABAN

PILIHAN GANDA

4. C 6. C 11. C 16. A 21. C


5. A 7. D 12. B 17. C 22. D
6. B 8. D 13. D 18. D 23. A
7. D 9. C 14. D 19. B 24. C
8. B 10. A 15. A 20. A 25. B

ESSAY

1. Masyarakat mempunyai falsafah hidup yaitu Piil Pesenggiri, yang terdiri dari 4
tokoh bahasan yaitu:
1. Bejuluk buadek
2. Nemui nyimah
3. Nengah nyappur
4. Sakai sambaian

Masyarakat lampung masih sangat mematuhi falsafah hidupnya salah satunya


adalah Nengah Nyappur yang mengatur tentang kehidupan masyarakat
Lampung antar sesama, seperti toleransi dan gotong-royong, juga yang lainnya.
Pada intinya yang melatar belakangi masyarakat Lampung untuk
menyelesaikan permasalahan dengan cara musyawarah dan mufakat adalah
merupakan implementasi dari falsafah hidup masyarakat Lampung itu sendiri
dia itu Nengah Nyappur yang berarti berbaur.

2. Bejuluk Beadek merupakan jalan untuk mencapai kemegahan Orang Lampung


untuk melaksanakan Upacara adat Cakak Pepadun (Naik tahta adat) untuk
mendapatkan juluk adek yang berarti Nama yang di berikan kepada anak yang
memasuki usia remaja atau dewasa yang sudah Mapan dalam kehidupan dan
mempunyai keahlian dalam bidang-bidangnya.
3. Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian
yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif

42
kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan
penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu
membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi,
bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan
berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan
gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang.

43

Anda mungkin juga menyukai