Anda di halaman 1dari 21

Sejarah Saparan Jatinom Klaten by wigpran on 11:47 AM, 03-May-11 Di tiap pertengahan bulan Sapar atau Safar penanggalan

Hijriyah, Dukuh Jatinom, Kabupaten Klaten akan diserbu berduyun-duyun masyarakt sekitar maupun luar kota untuk menyaksikan upacara Ongkowiyu atau lebih dikenal dengan Yaqowiyu untuk memperebutkan kue apem yang disusun berbentuk gunungan. Tak tanggung-tanggung, di puncak acara, apem yang total mencapai 4,5 ton itu diserbu oleh sekitar 50.000 orang yang telah berkumpul. Bisa dibayangkan semeriah apa acara tersebut, orang rela berdesak-desakan dan berlomba meraup apem yang disebarkan oleh panitia. Kebanyakan orang datang kesana berharap berkah dari Kyai Ageng Gribig, sang pelopor acara. Bahkan banyak ibu-ibu dan nenek- nenek yang nekat menceburkan diri dalam kerumunan hanya untuk mendapat kue apem dengan harapan agar usahanya lancar dan diberkahi. Tak hanya penduduk lokal, para wisatawan pun kerap datang menyaksikan kemeriahan acara ini Upacara ini berawal dari pengajian yang diadakan oleh Kyai Ageng Gribig yang pada saat mengakhiri acara selalu memanjatkan doa Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin , untuk memohon kekuatan terhadap kaum muslim. Untuk menghormati para tamu, maka dibuatlah hidangan kue apem dan makanan kecil lainnya. Dari situlah kemudian upacara ini berkembang pesat dan menjadi besar seperti sekarang ini. Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isa/ subuh/ zuhur/ ashar/ dan magrib. Konon menurut sejarah suatu hari di bulan sapar ki ageng gribig yang merupakan keturunan prabu brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci ia membawa oleh- oleh 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai bersama sang istri iapun membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat/ yang berebutan mendapatkannya sambil menyebarkan kue-kue ini iapun meneriakkan kata yaqowiyu yang artinya tuhan berilah kekuatan Makanan ini kemudian dikenal dengan nama apem saduran bahasa arab affan yang bermakna ampunan tujuannya agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada sang pencipta. Perayaan yang dipusatkan di kompleks makam Kyai Ageng Gribig ini biasanya dihadiri Bupati beserta pejabat Kabupaten Klaten agar lebih meramaikan suasana dan mendekatkan diri kepada rakyat.

saparan di jatinom Acara saparan adalah acara penyambutan kepulangan ki Ageng Gribik yang baru pulang haji dari makkah. karena yang menyambut waktu itu banyak orang maka ki Ageng Gribik membuat kue yang disebut kue apem. hal ini kemudian di jadikan tradisi masyarakat jatinomdan sekitarnya untuk menggelar upacara sebaran apem yang tahun ini dilaksanakan pada hari jum'at tanggal 20 januari 2011 selepas sholat jum'at. acara sebaran apem didahului dengan karnaval yang berupa mengarak gunungan apem keliling kota jatinom, pada kamis sore,kemudian pada hari jum'at setelah sholat jum'at apem disebar dengan cara dilempar dari menara ke arah ribuan masa yang bersiap untuk memperebutkan kue apem tersebut. pada malam jum'at juga diadakan pengajian yang biasanya berisi tentang sejarah ki Ageng gribik dalam menyebarkan ajaran islam di jatinom dan sekitarnya. kita juga bisa melakukan perjalanan untuk melihat sisa peninggalan ki ageng gribik seperti sendang dan masjid dipelampean,yang letaknya di bawah masjid gede jatinom. ada juga sebuat gua di desa belan yang biasa dikunjungi warga saat saparan.

Saparan di Jatinom Klatenada Banyak Kue Apem lho. FEB 2 Posted by learningmacapat

Sudah bulan ke dua nich ya? Setelah bulan Suro/Muharam sekarang sudah bulan Sapar nih.waduh..malah sudah hampir habis lagi nich ya bulan saparnya? Pernah tidak ke daerah pasar Jatinom, Klaten, Jawa Tengah di awal sampai pertengahan bulan Sapar? Nah, teman-teman yang ada di sekitar Boyolali, Klaten dan sekitarnya kemarin ke Pasar Jatinom belum nich? Rame nggak? Sebenarnya ada apa sich di pasar Jatinom? Penasaran ya? Learning macapat punya cerita sedikit nich Setiap bulan sapar, di Pasar Jatinom selalu dipadati pengunjung baik itu masyarakat sekitar pasar maupun dari berbagai kota disekitarnya, seperti Boyolali. Hal ini disebabkan karena mulai tanggal satu Sapar di pasar tersebut digelar semacam pasar malam atau taman hiburan yang jauh lebih ramai dari pada pasar Jatinom yang biasanya. Keramaian ini akan mencapai puncak acara sebagai hari H, yaitu hari dimana upacara adat masyarakat setempat dilaksanakan. Acara tersebut adalah Sebaran Apem atau Yaqowiyyu. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada tanggal 15 di bulan Sapar setelah tengah hari atau seusai solat jumat jika tanggal 15 bertepatan dengan hari jumat. Jika tanggal 15 tidak pas pada hari jumat, maka sebaran apem ini dilakukan pada hari jumat setelah tanggal 15. Rangkaian kegiatan ini dimulai dengan kirap kesenian menuju makam Ki Ageng Gribig baru hari berikutnya diadakan kegiatan sebaran kue apem. Dalam kegiatan ini ternyata ada sejarahnya juga lho, mengapa acara Yaqowiyyu ini di selenggarakan. Hal ini berkaitan dengan penyebaran Islam oleh tokoh agama setempat yang sekaligus menjadi ikon dari kota tersebut, yaitu Ki Ageng Gribig. Sejarah ritual ini berawal dari pembagian kue apem oleh Ki Ageng Gribig pada 15 Sapar 1511 tahun Jawa atau 15 Safar 999H. Pada waktu itu, Ki Ageng Gribig baru saja pulang dari Mekah setelah menunaikan ibadah Haji dan membawa oleh-oleh kue apem dan segumpal tanah liat dari Arafah. Beliau juga membawa oleh-oleh berupa tiga buah roti gimbal yang masih hangat untuk di bagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudsaranya yang ada. Mereka berkumpul untuk mendengar cerita dan wejanggan ilmu dari beliau. Sebelum mereka pulang, beliau membagi oleh-oleh secara merata Tetapi oleh-oleh tadi ternyata tidak mencukupi untuk semua yang

hadir. Oleh karena itu disuruhlah isterinya untuk memasak kue tadi menjadi lebih banyak agar semua yang hadir mendapat oleh-oleh. Penyebaran apem dilakukan Ki Ageng Gribig seusai Salat Jumat. Sebelum oleh-oleh dibagikan kepada para tetangga, beliau memanjatkan doa lebih dahulu agar mendapat berkah. Baru setelah itu apem tersebut disebarkan kepada para kerabat dan tetangga yang jumlahnya banyak. (Jafar Sodiq dalam Klatenonline). Telah dijelaskan diatas, bahwa pesta sebaran apem ini merupakan sejarah warisan dari Ki Ageng Gribig sebaai tokoh penyebar Islam di daerah tersebut. Kenapa harus kue apem ya? Kenapa nggak kue donat, kue lapis atau kue yang lainnya? Ternyata apem itu ada maknanya tersendiri. Apem berasal dari kata afwun atau afwan yang berarti maaf. Karena orang Jawa dulunya kuat dengan simbol-simbol, maka untuk mengajarkan permintaan maaf atau memberi maaf melalui makanan yang diciptakan oleh Ki Ageng Gribig sehingga orang lebih mudah teringat dan mengamalkannya. (Setiyo Purwanto, 2009) Unik kan cara beliau berdakwah? Kue apem beliau bagikan setiap tahun yaitu pada bulan Sapar khususnya pada mereka yang hadir dalam pengajiannya. Awalnya sih apem itu dibagikan sebagai jamuan makan dalam setiap pengajiannya. Tetapi karena semakin lama yang hadir di pengajiannya semakin banyak, jadi santrinya mulai kesulitan dalam membagikannya. Oleh sebab itu Ki Ageng Gribig memiliki ide untuk membuat panggung di tempat pengajiannya, dan kue apem dibagikan dengan cara disebarkan dari atas panggung tersebut. Jadi jamaah yang datang akan berebutan untuk mendapatkan kue apem tersebut. Beda sama sekarang ya, klo sekarang oleh-olehnya air zam-zam, sajadah dan pernak-pernik lainnya, klo kondisinya seperti sekarang, mungkin yang disebar bukan kue apem. Bisa jadi diguyur pakai air zam-zam atau yang disebar butir-butiran kurma..hehe, lain dulu lain juga sekarang. Kegiatan penyebaran apem masih dilakukan oleh masyarakat Jatinom sebagai bentuk rasa hormat dan enghargaan mereka terhadap perjuangan Ki Ageng Gribig untuk menyebarkan Islam di daereh Jatinom. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan budaya masyarakat setempat. Meskipun yang menyebar apem bukanlah lagi Ki Ageng Gribig, namun minat masyarakat untuk datang ke tempat tersebut, menyaksikan atau bahkan ikut dalam perebutan kue apem masih sangat besar. Seperti halnya kotoran kerbau kiyai Slamet di Keraton Solo, Masyarakat setempat percaya bahwa kue apem yang telah didoakan ini akan membawa berkah bagi mereka yang mendapatkannya karena ini merupakan salah satu sarana dakwah yang digunakan oleh Ki Ageng Gribig. Masyarakat disekitar tempat tersebut juga menyediakan kue apem sebagai hidangan bagi tamu yang mengunjungi rumah mereka. Dan mereka juga percaya, semakin banyak orang yang mampir atau singgah di rumah mereka maka akan semakin banyak pula rizki dan keberkahan yang akan mereka peroleh. Secara logika dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat tersebut percaya semakin banyak mereka berbagi maka semakin banyak pula mereka akan mendapat berkah, tanpa mengurangi rasa ikhlas mereka terhadap apa yang telah mereka berikan. Jadi pada dasarnya masyarakat disekitar tempat tersebut telah diajarkan bagaimana cara berbagi dengan sesama dan diajarkan untuk menjadi orang-orang yang dermawan.

Terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan tersebut, ada yang masih mempercayainya ada yang tidak itu sangat tergantung dari diri masing-masing pembaca. Namun nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam kegatan ini patut untuk dilestarikan sebagai salah satu bentuk dari keanekaragaman budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia. Hendaknya kita mengambil nilai-nilai positif dari setiap informasi yang kita dapatkan, atau tidak ditelan mentah-mentah setiap informasi yang ada. Sehingga kita dapat terus melestarikan nilai-nilai budaya yang sebenarnya sangat bernilai positif. Semoga bermanfaat..dan tetap semangat menjaga kekayaan budaya Indonesia yang sungguh sangat kaya. Diambil dari : http://klatenonline.com dan http://setiyo.wordpress.com Dengan sedikit perubahan sesuai pengetahuan kami yakalau ada informasi yang lain boleh bagibagi lewat komentar dari pembaca semuanya. Terimakasih semoga bermanfaat.

yaqowiyu1Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan (M Darori Amin, 2000:93). Sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam, terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya, muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama menerima Islam secara total dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam masalah ini, Drewes telah meneliti ulang tiga buah manuskrip lama yang berasal pada abad ke-15 atau ke-16. Ketiga manuskrip tersebut menunjukkan tentang Islam ortodoks yang dapat diterima oleh semua pihak di kalangan umat Islam. Yang kedua adalah mereka yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama (M Durori Amin, 2000). Oleh karena itu, mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, dapat dijumpai tulisan-tulisan, tradisi dan kepercayaan yang tercampur di dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah Islam sufi (mistik), yang salah satu ciri khasnya adalah bersifat toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang dibiarkan eksis sebagaimana semula, hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, islamisasi di Jawa lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Azzumardi Azra, 1994:35). Upacara ritual Saparan/Yaqowiyu di Klaten merupakan tradisi yang tidak dihilangkan oleh ulama/mubalig, tetapi dibiarkan berlanjut dengan diwarnai dan diisi dengan unsur-unsur dari agama Islam. Dari beberapa pendapat di atas, sikap dan perilaku keagamaan sebagian masyarakat Jawa sangat sinkretis, tampak pada prosesi ritual Saparan atau Yaqowiyu. Pada upacara tradisi Yaqowiyu yang dilaksanakan di Jatinom, Klaten, unsur-unsur animisme dan dinamisme tampak pada benda-benda sajen maupun benda-benda yang mempunyai kekuatan magis seperti kue apem. Sejarah ritual ini berawal dari pembagian kue apem oleh Ki Ageng Gribig pada 15 Safar 1511 H. Pada waktu itu, Ki Ageng Gribig baru saja pulang dari Mekah setelah menunaikan rukun Islam yang kelima dan membawa oleh-oleh kue apem dan segumpal tanah liat dari Arafah. Syiar Islam Dia juga membawa oleh-oleh berupa tiga buah roti gimbal yang masih hangat, untuk dibagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudara yang ada. Mereka berkumpul untuk mendengar cerita dan wejangan ilmu dari dia. Sebelum mereka pulang, beliau membagi oleh-oleh tadi secara merata. Tetapi oleh-oleh tadi ternyata tidak mencukupi untuk semua yang hadir. Oleh karena itu disuruhlah

isterinya untuk memasak kue tadi menjadi lebih banyak agar semua yang hadir mendapat oleh-oleh. Penyebaran apem dilakukan Ki Ageng Gribig seusai Salat Jumat. Sebelum oleh-oleh dibagikan kepada para tetangga, dia memanjatkan doa lebih dahulu agar mendapat berkah. Baru setelah itu apem tersebut disebarkan kepada para kerabat dan tetangga yang jumlahnya banyak. Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampuradukan antara Islam di satu sisi dengan kepercayaan-kepercayaan lama di lain pihak, sehingga sulit dibedakan mana yang benarbenar ajaran Islam dan mana pula yang berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Sebaliknya ajaran-ajaran tersebut memudahkan kalangan pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa. Demikianlah, pergumulan antara Islam di satu pihak dengan tradisi dan budaya Jawa pra-Islam di pihak lain. Menolak semua tradisi dan budaya Jawa pra-Islam bagi masyarakat muslim adalah suatu kemustahilan. Sebagai anggota masyarakat Jawa, mereka terkait dengan norma dan tradisi yang berlaku. Namun, menerima semua tradisi Jawa dengan tanpa seleksi adalah langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan yang mengharuskan adanya seorang rasul yang ditugaskan untuk mengajarkan risalah dan meluruskan tradisi agar tidak terjerumus dalam bidah. Hal ini terjadi karena ada adat atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selagi hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, para ulama tidak mempermasalahkan untuk mengadopsinya.

Spoiler for jadi: jadi tradisi saparan ini adalah tradisi rayahan/sebaran apem (penyebaran kue apem) dimana penyebaran apem ini memiliki makna seperti yg saya tulis di atas. saparan di lakukan pada pertengahan bulan safar.tetapi pada prakteknya 1 minggu sebelumya yakni malem jumat/kamis sore pada minggu sblmnya sudah dilakukan acara pembukaan.jadi saparan ini berlangsung selama 1 minggu dengan acara inti sebaran apem pada hari jumat setelah sholat jumat di pertengahan bulan safar ( tgl 15)

Tayangan slide Saparan Yaaqowiyyu adalah sebuah acara adat di desa Jatinom, kecamatan Klaten yang rutin diadakan pada tiap hari Jumat yang paling dekat dengan tanggal 15 bulan Shafar pada penanggalan Hijriah. Pada tahun ini puncak acara Yaaqowiyyu dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 2009. Upacara Yaqowiyu ditandai dengan penyebaran kue apem dari dua menara yang terletak di tanah lapang dekat sendang Plampean, komplek makam Ki Ageng Gribig. Dipercaya kue apem ini mempunyai kekuatan yang membawa kesejahteraan bagi yang berhasil mendapatkannya saat acara sebaran. Kata Yaaqowiyyu sebenarnya adalah sebuah doa yang diartikan Duh Allah ingkang moho kiyat (Ya Allah, yang Maha Kuat), yang dulu selalu diucapkan oleh Ki Ageng Gribig dan para santrinya saat menyebarkan kue apem. Tradisi ini pertama kali dimulai oleh Ki Ageng Gribig, seorang ulama keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit, untuk syiar agama Islam di tanah Jawa sekitar tahun 1580. Ki Ageng Gribig yang baru saja pulang dari tanah suci Mekah setelah melaksanakan ibadah haji membawa oleh-oleh, salah satunya adalah kue gimbal. Kue tersebut kemudian dibagikan kepada anak, santri, dan warga sekitar, karena banyak maka dipotong-potong dan dibagi dengan cara disebar. Masih belum cukup juga, maka Ki Ageng Gribig memerintahkan para santri untuk membuat kembali kue gimbal tersebut. Karena tidak ada tepung gandum, maka digantilah dengan tepung beras dan jadilah kue yang dinamakan apem. Apem berasal dari kata ampunan, berupa doa agar yang mendapatkan memperoleh ampunan dari Allah. Apem tersebut dibentuk bulat yang mengandung arti sebuah tekat yang bulat dalam mempelajari dan memeperjuangkan keimanan dan keislaman di tanah Jawa.. Rangkaian acara Yaaqowiyyu diawali dengan dua gunungan apem yang di kirab dari kantor Camat Jatinom menuju masjid Agung Ki Ageng Gribig sehari sebelum acara puncak. Kemudian dilanjutkan dengan nyekar ke makam Ki Ageng Gribig dan pengajian di Masjid Gedhe peninggalan sang kyai. Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat bersama di Masjid Gedhe. Selesai jumatan, gunungan lanang,dikenal dengan nama Ki Kiyat, dan gunungan wadon, dikenal dengan nama Nyi Kiyat, yang telah disemayamkan semalam di dekat masjid, diarak menuruni tangga menuju panggung. Bupati mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem kepada pengunjung. Kemudian, petugas penyebar yang berada di dua menara segera mengikutinya dengan melemparkan ribuan apem. Ribuan pengunjung pun tanpa dikomando berebut apem, bahkan sampai terinjak kakinya atau bertabrakan gara-gara ingin menangkap apem. Banyak cara yang dilakukan warga untuk mendpatkan apem, dari membawa jaring, memakai payung sebagai penadah dan banyak lagi. Suasana rebutan apem benar-benar meriah. Bagi petugas pelempar apem di menara, mereka harus selalu waspada dengan lemparan berbagai barang dari para warga yang merasa kecewa karena tidak mendapatkan apem. Botol plastik, sandal

jepit, hingga batu bertubi-tubi menyerang para pelempar apem. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat untuk terus membagikan apem kepada para warga. Dalam waktu singkat 4 ton apem sumbangan dari para warga sekitar habis tak tersisa. Special thanks to: -Pak Panji, selaku sesepuh desa, ketua adat dan juru kunci makam, beserta seluruh keluarga. -Pak Je yang bercerita banyak hal tentang Ki Ageng Gribig dan upacara Yaaqowiyyu. -Indut, Siwi, dan Angga yang memberikan liburan luar biasa pada saya -Tim pelempar apem yang luar biasa -Seluruh warga desa Jatinom

1 Upacara Apem Yaawiyuu Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang dilakukan setelah selesai salat Jumat. Untuk tahun ini sebanyak 5 ton kue apem yang diperebutkan para pengunjung. Menurut kepercayaan orang banyak, apem yaaqowiyuu yang artinya Tuhan mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Bagi petani, bisa untuk tumbal sawah agar tanaman selamat dari segala bencana dan hama penyakit. Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain. Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa, yang menetap dan meninggal di Jatinom. Asal muasal kue apem itu dari Mekah yang dibawa Ki Ageng Gribig untuk oleh-oleh anak cucunya. Karena tidak cukup, maka Nyi Ageng Gribig membuat apem lagi sekaligus untuk dibagikan kepada penduduk Jatinom. Sejak itu orang daerah ini ikutan membuat apem untuk selamatan. Perayaan yaqowiyu di Jatinom, diharapkan menjadi salah satu objek wisata menarik di Klaten. Upacara ini mulai pertama kali berbentuk majelis pengajian yang dikunjungi oleh umat Islam dan masyarakat sekeliling Jatinom. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun sekali pada hari Jumat pertengahan bulan Sapar. Adanya Upacara ini dinamakan Yaqowiyu diambil dari doa Kyai Ageng Gribig sebagai penutup pengajian yang berbunyi : Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin, yang artinya : Ya Tuhan berikanlah kekuatan kepada kita segenap

kaum muslimin, doa tamu itu dihormati dengan hidangan kue roti, dan ternyata hidangannya kurang, sedang tamunya masih banyak yang belum menerimanya. Nyai Ageng segera membuat kue apem yang masih dalam keadaan hangat untuk dihidangkan kepada para tamu undangan tersebut. Majelis pengajian ini sampai sekarang setiap tahunnya masih berjalan, yang dilakukan pada malam Jumat dan menjelang sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar, setiap tahunnya Doa Kyai Ageng Gribig itu dibacakan dihadapan hadirin, para pengunjung kemudian menyebutkan Majelis Pengajian itu dengan sebutan nama : ONGKOWIYU yang dimaksudkan JONGKO WAHYU atau mencari wahyu. Kemudian oleh anak turunnya istilah ini dikembalikan pada aslinya yaiut YAQOWIYU. Sedanng di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa : gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro oro Tarwiyah. Adapun Oro oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal 8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah Tahun ini peringatan tersebut berlangsung hari Kamis (28 Januari 2010) kemarin. Rangkaian acaranya diawali gunungan apem tersebut diarak rombongan orang dari halaman Kantor Kecamatan Jatinom, dengan rute jalan protokol menuju Masjid Alit hingga Masjid Gedhe yang menjadi tempat dimakamkannya Ki Ageng Gribig. Jalur Kirab Gunungan Apem tahun ini lebih panjang daripada jalur tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, Gunungan Apem melintasi Balaikelurahan Jatinom, akan tetapi pada tahun ini kirab, melintasi jalan protokol. Rombongan terdiri atas grup drum band dari SMPN 1 Jatinom, grup reog, jajaran pejabat Pemkab Klaten yang terdiri atas perwakilan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) serta sejumlah camat yang berpakaian jawa.Sebelum sampai di Masjid Gedhe, kedua gunungan apem mampir sebentar di Masjid Alit. Di masjid ini, rombongan disambut H Sukamto, salah seorang pengurus masjid. Di masjid ini pula, dibacakan doa yang dipimpin langsung H Sukamto. Dalam doanya, dia berharap Kirab Gunungan Apem membawa berkah bagi semua warga di Jatinom. Sesampainya di Masjid Gedhe, kegiatan penyerahan gunungan apem kepada keturunan ki Ageng Gribig, keluarga Murtadho Purnomo dilakukan. Penyerahan apem diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten, Bapak Drs H Indarwanto MM kepada keluarga Murtadho Purnomo. Di masjid inilah, dua buah gunungan itu beristirahat selama semalam. dengan nyekar ke makam Ki Ageng Gribig dan dilanjutkan dengan pengajian di Masjid Gedhe peninggalan sang kyai pada hari Kamis sebelumnya. Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat bersama di Masjid Gedhe. Selesai jumatan, gunungan lanang,dikenal dengan nama Ki Kiyat, dan gunungan wadon, dikenal dengan nama Nyi Kiyat, yang telah disemayamkan semalam di dekat masjid, diarak menuruni tangga menuju panggung di lapangan Sendang Plampeyan (tanah lapang di pinggir Kali Soka, di selatan masjid dan makam Ki Ageng Gribig).

Arak-arakan terdiri dari peraga Ki Ageng Gribig, Bapak Bupati H Sunarno SE M.Hum, Muspida, kedua gunungan, putri domas, dan para pengawal. Kemudian peraga Ki Ageng Gribig memimpin doa bersama. Selanjutnya, dia menyerahkan apem yang ditempatkan dalam panjang ilang (keranjang terbuat dari janur) kepada Bupati Klaten. Bupati mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem dalampanjang ilang kepada pengunjung. Kemudian, petugas penyebar yang berada di dua menara segera mengikutinya dengan melemparkan ribuan apem. Ribuan pengunjung pun tanpa dikomando berebut apem, bahkan sampai terinjak kakinya atau bertabrakan gara-gara ingin menangkap apem. Suasana rebutan apem benar-benar meriah. Dalam waktu singkat 4 ton apem sumbangan dari para warga sekitar habis tak tersisa. Makna Kue Apem : Menurut kepercayaan orang banyak, apem yaaqowiyuu yang artinya Tuhan mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Bagi petani, bisa untuk tumbal sawahnya menjadi subur dan tanaman padi selamat dari segala bencana dan hama penyakit, bagi Pedagang agar supaya dagangannya laris bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. 2. Upacara Bersih Sendang Sinongko Dilaksanakan di desa Pokak, kec. Ceper, kab Klaten, Menurut cerita, dahulu terdapat sebuah Kadipaten yang berbatasan dengan Kadipaten Gunung Merapi di sebelah barat dan Kadipaten Gunung Lawu di sebelah timur. Rajanya bernama Adipati Ki Singodrono dengan Patihnya Ki Eropoko. Keduanya bijaksana, tekun menggeluti ilmu kebatinan dan kamuksan. Ki Eropoko mempunyai putri bernama Mas Ajeng Lulud yang cantik parasnya dan menyukai segala tari-tarian dan karawitan. Pimpinan wadyobolo di kadipaten tersebut menjadi bawahannya Nyi Roro Kidul dan setiap tahunnya di Kadipaten Gunung Merapi menyerahkan pisungsung manusia, sedang di Kadipaten Gunung Lawu berwujud hewan. Ki Singodrono dan Ki eropoko tidak setuju dengan korban manusia, maka menyebabkan keduanya muksa, Ki Singodrono muksa di Sendang Barat dan Ki Eropoko muksa di Sendang Timur. Pada suatu hari ada seorang petani mendengar suara He, ki petani agar hasil sawahmu banyak/melimpah dan cukup untuk hidup sekeluarga dan dapat sejahtera, nanti setelah panen hendaknya kamu mengadakan sesaji di sendang ini yang berwujud nasi tumpeng dengan memotong kambing lalu dimasak dengan bumbu becek dan minumannya dawet lalu dipisungpisungkan kepada Nyai Roro Kidul seperti Kadipaten Gunung Lawu. Maka sehabis panen tepatnya pada waktu hari Jumat Wage diadakan sesaji seperti apa yang telah ia dengar. Lalu tradisi ini berjalan turun temurun yang dimulai pada saat petani tadi bermimpi untuk mengadakan syukuran sesuai cerita yang berkembang dan telah diyakini oleh masyarakat, menjadi suatu kepercayaan masyarakat Desa Pokak Kecamatan Ceper. Pada perkembangannya bukan dari Desa Pokak saja namun masyarakat pada umumnya ikut dalam kegiatan bersih sendang dimaksud. Masyarakat Desa Pokak merayakan ritual Bersih Sendang sebagai ungkapan rasa syukur atas semua rejeki yang telah dilimpahkan dengan diwujudkan dengan pesta sesaji dalam bentuk nasi tumpeng dan minuman dawet dengan memotong kambing sebagai persembahan. Pemotongan kambing dilakukan di bawah pohon karet yang umurnya telah ratusan tahun dan memakai alas pelataran akar pohon, sesuatu yang di luar jangkauan manusia dan seakan tidak wajar bahwa darah yang keluar dan mengucur di pelataran akar karet tersebut seakan hilang dan tidak berbekas, lenyap begitu saja, padahal kambing

yang dipotong tidak kurang dari 100 ekor kambing dan berjenis kelamin laki-laki. Pada malam sebelum pemotongan kambing diadakan tahlil di pelataran sekitar sendang. 3. Upacara Bersih Desa Tanjungsari Dilaksanakan di desa Ceper, kec. Ceper, Kabupaten Klaten Alkisah pada waktu pecahnya kerajaan Majapahit ada 2 (dua) orang putri kerajaan yang bernama Roro Tanjungsari dan Roro Payung Gilap yang lolos dari kerajaan dan tersesat sampai di sebuah desa yang masih berupa hutan. Karena sedih dua putri tersebut menangis terus menerus dan tidak makan minum lalu kedua putri tersebut hilang bersama raganya (muksa). Dengan hilangnya kedua putri di tempat itu timbullah pohon Dlimo, sedang buahnya setelah masak seperti emas maka desa tersebut diberi nama Dlimas. Masyarakat di Desa Dlimas pada waktu itu hidup serba kekurangan dan dapat diibaratkan sehari bisa makan, tiga hari tidak bisa makan. Pada suatu hari ada salah satu penduduk yang mendapat ilham apabila ingin kehidupannya menjadi baik maka pohon Dlimo tersebut harus dirawat (dipelihara). Alkisah setelah pohon tersebut dipelihara dengan baik ternyata kehidupan masyarakat di Desa Dlimas menjadi baik, dan setelah pohon Dlimo itu mati di tempat tersebut ditanami pohon Tanjung dan di dekat pohon Tanjung dibuat dua arca yaitu Tanjungsari dan Payung Gilap. Dengan perubahan nasib/kehidupan masyarakat Desa Dlimas dari serba kekurangan menjadi serba kelebihan maka timbullah kepercayaan bahwa pada tiap-tiap bulan Syura yang jatuh pada hari Jumat Wage diadakan upacara selamatan dan Tayuban dan dilakukan setelah sholat Jumat dengan cara para penduduk membawa hidangan/ambeng dan dibawa di suatu tempat di bawah pohon Tanjung. Setelah upacara selamatan selsai maka dilanjutkan dengan upacara Tayuban/Janggrungan. Upacara ini diberi nama Tanjungsari/Tanjungsaren karena dilakukan di bawah pohon Tanjung. Sedang upacara Tayuban (Janggrungan) dilakukan karena kedua putri tersebut pada waktu di Kraton kesenangannya menari Srimpi. Tari Tayub di Dlimas ini sangat berlainan karena sifatnya upacara suci, penari ini dilakukan putra dan putri mula-mula suami istri, perkembangan sekarang pada waktu upacara si istri tidak datang lagi mengingat di rumah banyak tamu yang datang. Upacara tersebut diteruskan malammalam berikutnya dengan pertunjukan ketoprak, wayang orang, wayang kulit, dan lain-lain. Banyak masyarakat dari daerah lain yang berdatangan untuk berjualan, mendirikan stand kerajinan, permainan anak-anak dan lain-lain sehingga terwujud suatu pasar malam yang berlangsung beberapa hari. Upacara tradisional Tanjungsari terus berkembang dan pengunjungnya bertambah banyak. Upacara ini sudah menjadi kepercayaan penduduk Dlimas dan mereka yang bekerja di luar Kota Klaten pun berusaha untuk datang/pulang untuk mengikuti upacara tersebut. 4. Upacara Padusan Dilaksanakan di Desa Cokro, Kec. Tulung & Desa Jambean, Kec. Karanganom Kab klaten, Upacara Padusan ini biasanya dilakukan di obyek wisata Pemandian Jolotundo, Sumber Air Ingas, Ponggok, Lumban Tirto dan Tirto Mulyono sehari sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kegiatan ini didatangi oleh beribu-ribu pengunjung yang memiliki kepercayaan bahwa mereka harus mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Menurut kepercayaan budaya dan kebiasaan tradisional orang Jawa pada umumnya bagi yang menganut agama Islam, mempunyai anggapan bahwa sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan perlu mensucikan diri. Masyarakat Jawa menyebutnya dengan Padusan yaitu mandi di pemandian tersebut di atas agar puasanya dapat berjalan lancar, berjalan dengan baik sehingga banyak pengunjung yang datang ke obyek wisata pemandian tersebut.

5. Upacara Ruwahan/Jodangan Dilaksanakan di Desa Paseban, Kec. Bayat Kabupaten Klaten, Upacara Ruwahan/Jodangan dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon pada tanggal 27 Ruwah di Desa Paseban Bayat. Hal ini terjadi karena masyarakat khususnya di Bayat tidak dapat melupakan jasa-jasa Kyai Ageng Pandanaran yang telah ikhlas meninggalkan jabatan dan harta kekayaan, semata-mata untuk mencari kebahagiaan dan kesempurnaan di akhirat. Beliau diangkat menjadi wali pada hari Jumat Kliwon tanggal 27 Ruwah setelah menjadi wali penutup, menggantikan wali Syeh Siti Jenar selama 25 tahun. Maka tiap-tiap tanggal 27 Ruwah ditetapkan sebagai hari Jodangan/Ruwahan, timbullah suatu kepercayaan dari masyarakat bahwa pada hari Jodangan/Ruwahan semua penduduk membuat hidangan/kenduri yang ditempatkan pada Jodang untuk dibawa bersama-sama naik ke Makam Kyai Ageng Pandanaran dengan diiringi Reog atau Rodad. Para penduduk berkumpul di gapura pertama yang tercantum sengkalanMurti Sariro Jlengging Ratu (berarti tahun berdirinya gapura 1488). Setelah perlengkapan lengkap mulailah para wanita nyunggi tenong dan para pria memikul jodang diiringi dengan Reog/Rodad berjalan perlahan-lahan menuju gapura kedua yang bernama Segoro Muncar yang di sebelah kanan gapura terdapat langgar sedang di kirinya terdapat sebuah bangunan yang disebut Balai Rante. Iring-iringan berhenti sejenak. Reog/Rodad berhenti di Balai Rante untuk terus mengadakan pertunjukan, sedang pembawa jodang terus menaiki undak-undakan. Tangga batu berakhir pada sebuah Masjid yang terdapat bangsal pria yaitu Bangsal Jawi, setelah melewati gapura Pangrantunan sampai pada bangsal wanita yaitu Bangsal Jero. Dengan melalui tiga gapura lagi yaitu Pangemut, Pamuncar, dan Bale Kencur sampailah pada pendopo Praboyekso. Disinilah para pembawa jodang berhenti untuk mengadakan upacara selamatan dengan membaca tahlil dan doa. Setelah upacara selesai para sesepuh/orang terkemuka menaiki tangga batu yang di kiri kanannya terdapat sepasang Gentong Sinogo dan setelah melalui gapura terakhir sampailah pada Gentong Intan tempat dimana Sunan Tembayat dimakamkan dengan kedua istri beliau. Para sesepuh dan pemuka agama dan orang-orang terkemuka mengadakan upacara penggantian Singep ini, upacara tradisional Jodangan/Ruwahan dianggap telah selesai dan diteruskan kembul bersama, hidangan dibagi-bagikan pada semua yang datang dan sebagain dibawa turun untuk pemain Reog/Rodad. Upacara Jodangan/Ruwahan ini berjalan tiap-tiap tahun setelah sholat Jumat dan satu minggu sebelum hari pelaksanaan diadakan upacara membersihkan makam yang berada di komplek makam Sunan Tembayat, satu minggu sebelum hari pelaksanaan tempat ini sudah ramai dikunjungi orang. 6 Upacara Syawalan Dilaksanakan di Desa Krakitan, Kec. Bayat Klaten, Alkisah pada jaman dahulu di Wirotho tanah Jeporo berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Sang Ratu Worosingo. Dalam menjalankan pemerintahan Sang Ratu selalu memegang keadilan, jujur dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Sang Ratu mempunyai putera satu-satunya yang bernama Pangeran Adipati Patohan yang selalu dididik dalam kejujuran dan diharapkan dapat menggantikan Sang Ratu sebagai Raja. Di lain pihak terdapat Kerajaan Keling yang dipimpin Sang Prabu Dewi Wahdi yang sangat cantik jelita. Sang Prabu adalah seorang raja yang kaya raya yang pada waktu menyetujui puterinya untuk dipersunting Pangeran Patohan. Pada suatu hari Sang Prabu memerintah Sang Patih disertai beberapa prajurit dengan diam-diam meletakkan peti kencana yang berisi emas dan berlian di tanah Kerajan Kerajaan Wirotho dengan maksud untuk membuktikan kejujuran Sang Ratu yang tersohor tidak berkeinginan memiliki harta orang lain. Pada suatu hari Pangeran Patohan disertai abdi kinasihnya Kyai Sidhoguro

dan para punggowo projo baru tegar jalan keliling kerajaan. Tiba-tiba kaki kuda yang dinaiki Pangeran Sidhoguro menginjak peti kencono yang mengakibatkan Pangeran Patohan terjatuh dan terkilir kakinya. Sesampainya di kerajaan Kyai Sidhoguro melaporkan apa yang telah terjadi kepada Sang Ratu namun Sang Ratu tetap menyalahkan puteranya dan harus dihukum meskipun Sang Pangeran merupakan putera satu-satunya. Hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu, dan kaki Sang Pangeran sebelah kiri dipotong sampai pergelangan tapak kaki dan diharuskan meninggalkan kerajaan. Sang Pangeran diikuti oleh abdi kinasihnya Kyai Sidhoguro menuju ke Gunung Botak Kalikuning, sesampainya di tempat tersebut dengan tekun mereka mengobati kaki Sang Pangeran dengan memasukkan dalam ember tanah yang di dalamnya ada airnya. Akhirnya Sang Pangeran Sembuh dan mendidikan Kadipaten. 7. Upacara Maleman

Alkisah pada bulan bulan romadhon adalah merupakan bulan suci, bulan yang penuh rahmat dan barokah bagi umat Islam, upacara ini konon kisahnya bermula di sekitar Masjid Mlinjon, pada malam 21 bulan romadhon, menurut keyakinan kaum muslimin adalah malam turunnya : Lailatulqodar yang artinya malam yang lebih baik dari seribu malam. Malam itu malam yang penuh selamat sejahtera sampai terbit fajar. Pada malam malam itu Masjid Mlinjon dipenuhi oleh kaum muslimin untuk menunaikan sholat tarawih yang diteruskan dengan tadarusan Al Quran sampai larut malam menjelang suhur, bagi masyarakat umum ikut menghormati malam bahagia itu dengan jalan jalan atau cegah lek sampai larut malam bahkan ada yang sampai terbit matahari dengan harapan agar mendapat Lailatulqodar. Disekitar Masjid Mlinjon itu banyak orang yang berjualan, mendirikan stand kerajinan, mainan anak anak maka lokasi tersebut menjadi ramai. Maka keramaian tanggal malam 21 Romadhon merupakan tradisi tiap tiap tahun diadakan. Pada suatu ketika Sinuhun Paku Buwono ke X berkenan sholat tarawih di Masjid Mlinjon serta menyaksikan adanya keramaian tersebut dan alun alun Klaten dekat nDalem Kadipaten (sekarang gedung RSPD). Upacara tradisional Maleman di alun alun ini berjalan baik, bahkan dari tahun ke tahun semakin berkembang keramaiannya. Upacara tradisional Maleman di alun alun Klaten berjalan rutip tiap tiap tahun yang dimulai dari tanggal 12 Romadhon sampai dengan Hari Raya Idhul Fitri yang diteruskan dengan Upacara Syawalan di Jimbungsekarang upacara tmaleman dilaksanakan di monumen juang 45 Klaten utara dengan menampilkan nuansa islami 8. Upacara Memuli Dilaksanakan di Desa Bawak, Kec. Cawas Klaten, Upacara Memuli merupakan upacara yang dilaksanakan setahun sekali, khususnya pada saat setelah panen ketiga. Upacara ini dimaksudkan untuk memanjatkan puji syukur ke Hadirat Yang Maha Esa atas limpahan berkah-Nya karena mereka (masyarakat) telah dikaruniai keberhasilan dalam bentuk panen padi yang ketiga dalam setahun. Upacara Memuli memiliki karakteristik yang serupa dengan upacara Bersih Desa. 9. Upacara Sadranan

Dilaksanakan di Desa Ringinputih, Kec. Karangdowo Klaten, Upacara Sadranan merupakan upacara yang dilaksanakan setahun sekali, khususnya pada saat setelah panen dengan suguhan khas berupa tari Tayub. Upacara ini dimaksudkan untuk memanjatkan puji syukur ke Hadirat Yang Maha Esa atas limpahan berkah-Nya karena mereka (masyarakat) telah dikaruniai keberhasilan dalam bentuk panen padi yang melimpah. Upacara Sadranan memiliki karakteristik yang serupa dengan upacara Bersih Desa.

Tradisi lokal Ciblon

Ciblon Ciblon adalah jenis kesenian yang hanya dapat dilakukan di dalam air, baik kolam maupun sungai. Ciblon biasa dilakukan dengan menepuk-nepukan tangan ke dalam air sehingga menghasilkan suara yang nyaring dan enak didengar. Ciblon ini biasa dilakukan oleh warga yang tinggal di pinggir sungai, untuk menghilangkan kelelahan setelah mencuci, ciblon biasanya dilakukan sambil mandi di sungai atau di kolam. Di pluneng, seni ciblon dipentaskan sebagai pertunjukan kesenian pada umumnya. pentas seni Ciblon diselenggarakan setiap tahun sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas terssedianya air yang melimpah di wilayah Pluneng. Pentas seni Ciblon diselenggarakan apada malam hari di pemandian Tirtomulyana dihadapan ratusan penonton. bersama dengan musik ciblon ini biasanya diiringi oleh lagu-lagu daerah, yang isinya tentang ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Pementasan Seni ciblon juga disertai dengan pementasan seni rakyat yang lain, seperti karawitan, tarian, srunthul, dolanan anak, dan sarasehan. Padusan Padusan diartikan sebagai mandi besar sebelum menyambut bulan Ramadahan, dalam tradisi rakyat yang diselenggarakan setiap tahunnya ini, para warga di Pluneng berkumpul di Pemamandian untuk bersuci menyambut bulan Ramadahan secara bersama-sama, mereka terjun ke dalam air dan mandi bersama, tanpa membeda-bedakan status sosial, hal ini ditujukan untuk mempererat hubungan antar warga sekaligus sebagai ritual pensucian diri. Nyadran / Sadranan Nyadran merupakan tradisi lokal di Kelurahan Pluneng yang diadakan setiap tahunnya, tepatnya beberapa hari sebelum bulan Ramadhan. Tradisi Nyadran diadakan oleh penduduk lokal sebagai tanda syukur ke hadirat Tuhan YME atas rezeki yang telah dilimpahkan. Nyadran juga diselenggarakan sebagai upacara untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Hidangan dalam tradisi Nyadran berupa nasi, sayuran dan buah-buahan. Merti Desa

Merti Desa merupakan sebuah prosesi tradisi lokal dalam bentuk kegiatan bersih desa. Kegiatan ini dilakukan werga secara gotong royong, tujuannya supaya senantiasa mendapat berkah dan perlindungan dari Tuhan YME. Sambatan Sambatan merupakan kegiatan yang dilakukan para warga secara gotong royong dalam rangka memperbaiki salah satu rumah warga. hal ini menunjukkan bahwa di dukuh Pluneng aspek kagotongroyongan dan solidaritas masih sangat kental. Kumbakarnan Tradisi ini merupakan kegiatan yang dilakukan para warga dalam rangka mempersiapkan hajatan yang akan diadakan salah satu warganya, khususnya hajatan perkawinan. Dalam tradisi kumbakarnan, para warga dikumpulkan dan diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Istilah Kumbakarnan sendiri muncul karena pada tradisi ini, warga yang datang disediakan makanan yang berlimpah, layaknya ketika raja Kumbakarna akan diangkat menjadi senopati perang dalam perang Bharatayuda. Miwit Miwit merupakan tradisi lokal yang diadakan oleh para petani, tradisi miwit dilaksanakan sebelum petani mulai memanen padi di sawahnya, tradisi ini diadakan secara individual, yaitu petani yang akan panen memasak berbagai macam sayur(biasanya gudangan atau pecel) untuk dibagikan kepada anak-anak yang mengikuti miwit. Upacara Miwit diadakan di sawah yang akan dipanen padinya. Sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME, petani meletakkan sebungkus nasi lengkap dengan sayuran di sudut-sudut sawah.

Klaten - Tradisi Wiwitan merupakan tradisi yang dijalankan oleh petani sehari sebelum memanen ladangnya. Tradisi ini juga merupakan wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan lahan yang subur dan hasil panen yang melimpah. Tradisi ini merupakan tradisi turun menurun yang dilaksanakan petani di beberapa daerah di Jawa. Dahulu tradisi ini ditunjukan untuk menghormati Dewi Sri, Dewi Padi dan Kesuburuan. Tradisi ini dilaksanakan di pinggir pemantang sawah yang akan dipanen oleh pemilik sawah, biasanya yang disiapkan dalam tradisi ini antara lain adalah kemenyan, sabut kelapa, dua bungkus kembang setaman, bungkusan nasi, jajan pasar, satu paket besar nasi dan lauk pauknya. Setelah semua dipersiapkan, maka sang pemilik tanah membakar kemenyan di atas serabut kelapa, memanjatkan doa dan mantera, kemudian memotong beberapa batang padi yang menunduk kuning dan selanjutnya membungkus nasi beserta lauknya yang terdiri dari nasi putih, nasi menggono, seperempat potong telur rebus, ikan teri goreng dan buah buahan yang ada di bungkusan untuk diletakkan di setiap sudut sawah yang akan dipanen, menurut kepercayaan setiap sudut sawah ini ada penunggunya yang bernama Kyai pojok. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan menikmati hidangan oleh seluruh keluarga di tepian sawah yang turut dibawa dalam upacara ini. Biasanya makanan yang dibawa adalah nasi, ingkung ayam, sambal gepeng dan lain sebagainya dalam bungkusan daun pisang. Setelah acara makan selesai, sang pemilik sawah memotong padi seikat untuk dibawa kerumah sebelum esok memanen secara keseluruhan. Prosesi wiwitan juga dilakukan oleh Petani Desa Kepurun, Kecamatan Manisrenggo, Klaten, Selasa (26/4/2011). Menurut Gandu Wahyudi, Camat Manisrenggo Klaten mengatakan, tujuan acara ini tidak lain sebagai bentuk terimakasih petani kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panen raya di lahan mereka. Dalam kesempatan ini Gandu juga bersyukur dapat melakukan panen yang melimpah di tengah musibah serangan wereng yang melanda di beberapa wilayah di Klaten. Di tengah serangan wereng, petani di Kepurun justru panen raya, ujar Camat Manisrenggo dalam sambutannya. Wiwitan merupakan acara rutin yang digelar setiap musim panen tiba. Konon, tradisi itu telah ada sejak ratusan tahun silam. (imm/imm)

Sebaran Apem merupakan tradisi menyebarkan kue apem yang nantinya akan di perebutkan. Tradisi ini diadakan pada tiap hari Jumat bulan Sapar dalam penanggalan jawa. Menurut cerita tradisi ini

berawal ketika Kyai Ageng Gribig tokoh ulama penyebar islam didaerah Jatinom pulang naik haji membawa roti apem dari Mekah yang masih hangat, sampainya dirumah roti apem tersebut masih hangat. Roti apem tersebut akan dibagi2kan kepada murid2nya, akan tetapi tidak mencukupi, kemudian Kyai Ageng Gribig menyuruh salah satu muridnya untuk membuat roti apem lagi yang lebih banyak agar mencukupi untuk dibagi2kan kepada murid2nya dan warga sekitar. Sebaran apem pada tahun ini (2012) dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2012 bertepatan dengan tanggal 19 Safar 1433 H. Panitia sebaran apem telah menyediakan sekitar 5 ton roti apem untuk disebarkan kepada orang2 yang telah menunggu. Prosesi sebaran dilaksanakan setelah solat jumat. Setelah solat jumat gunungan apem di bawa menuju panggung tempat nantinya apem disebar. Dari tahun ke tahun tradisi sebaran apem tidak pernah sepi dari warga yang ingin berebut roti apem

Yaqowiyu, Perayaan Sebar Apem di Bulan Sapar

Berebut Apem (Sumber: JIBI/SOLOPOS/ Sunaryo Haryo Bayu) Terlambat. Selang sehari setelah Perayaan Yaqowiyu yang juga dikenal sebagai Tradisi Saparan usai, saya baru mendapat kabar tentang upacara sebar apem di Desa Jatinom, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten ini. Sebagai warga Klaten saya telah mengenal gelaran tahunan ini sejak lama, namun dari lahir sampe betisnya segede talas gini, saya baru sekali menyaksikan secara langsung lautan manusia yang berebutan kue apem di tanah lapang pas siang hari bolong. Saat itu saya masih kinyis-kinyis hanya bisa takjub menyaksikan prosesi ini dari kejauhan. Itu pun sudah cukup berdesakan. Setelah sekian tahun tidak pernah tertarik untuk melihat dari dekat salah satu upacara tradisional di Kota Klaten ini, kali ini saya ingin melihat tidak hanya lebih dekat namun lebih dalam tentang Upacara Yaqowiyu yang diadakan pada bulan sapar ini. Meskipun tahun ini saya kelewatan, namun entah kenapa saya masih begitu penasaran tentang helatan ini. Kemungkinan, sih, karena menurut kalender jawa saya lahir di bulan Sapar sehingga ada suatu kedekatan tersendiri.#ngasal Selama ini saya mengenal Yaqowiyu selalu berhubungan dengan ngalap berkah, dimana ratusan bahkan ribuan manusia yang saling berebut apem yang disebarkan oleh panitia. Konon, menurut cerita yang saya dengar selama ini, apem-apem itu merupakan simbol akan memperoleh rejeki melimpah. Sebagai contoh, apabila petani yang mendapatkan apem itu dan menanam di sawah, maka panen akan sukses. Memang tidak bisa dipungkiri apabila terjadi salah kaprah. Dulu, saya pun sempat bingung sekaligus takjub sekaligus pula bertanya-tanya. Kok nanam apem bisa bikin panen sukses ya? Okay, namun saya tidak akan membahas lebih jauh tentang fenomena ini.

Menyebar Apem (Sumber: Kabar Jatinom) Perayaan Saparan sebagai salah satu bentuk upacara tradisional di tanah jawa merupakan salah satu perhelatan yang menarik untuk dikunjungi. Apalagi keunikan sebar apem itu sangat khas sekali. Dan, ditambah pula dengan kirab yang sengaja dilakukan sebelum acara inti digelar. Berbagai atraksi budaya pun ikut serta. Terlebih sebenarnya Upacara Yaqowiyu ini memiliki makna yang dalam, dimana setahu saya Yaqowiyu itu sangat berhubungan dengan Ki Ageng Gribig, salah satu penyebar agama islam di Jawa, termasuk Klaten. Yaqowiyu bertujuan untuk melestarikan peninggalan dari Ki Ageng Gribig. Sehingga dengan adanya Yaqowiyu diharapkan generasi sekarang bisa melestarikan, memperluas dan menyampaikan ajaran-ajaran beliau. Sedangkan penyebaran apem merupakan simbol perintah kepada manusia untuk saling memaafkan. Dengan saling memaafkan melalui cara saling bersedekah memberikan apem akan mewujudkan masyarakat yang jauh dari sikap iri, dengki, kekerasan dan sikap negatif lainnya. (Sumber: Solopos) Sedangkan menurut sumber lainnya, yaitu blog Seputar Klaten, apem merupakan saduran dari bahasa Arab Affan, yang bermakna Ampunan. Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Dengan makna yang sebenarnya begitu dalam dari sebuah helatan Yaqowiyu atau Saparan atau Sebar Apem ini diharapkan memang upacara tradisional ini tetap berada dalam jalur yang benar dan bisa bermanfaat baik untuk kemajuan sektor pariwisata kota Klaten. Upacara tradisional sebar apem itu sangat unik! Dan, saya harus bikin pasang alarm untuk ngeliat Yaqowiyu di tahun depan.

*Gunungan Apem Lanang (Ki Kiyat) dan Gunungan Apem Wadon (Nyi Kiyat)*

Anda mungkin juga menyukai