Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PPPKN

TRADISI SAPARAN  DI  DUSUN SUMOGAWE

NAMA: MELLY SETIANI


KELAS: X MPLB2
NIS: 16120
NO: 25

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 1 SALATIGA


Jl.Nakula Sadewa Raya No.1 Dukuh, Kec.Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah
50722
Tahun Pelajaran 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Penulis sangat berharap semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sumogawe,27 Mei 2022

Melly Setiani
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

 Saparan” berasal dari kata Sapar (bulan Jawa), sehingga dapat diartikan sebagai ritual
atau tradisi tahunan yang dilaksanakan pada setiap bulan Sapar. Saparan merupakan
tradisi budaya Jawa yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur dengan tujuan agar
diberikan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Saparan atau Saparan Bekakak
adalah tradisi Jawa yang dilaksanakan saat bulan Safar pada kalender Jawa. Acara
tersebut digelar untuk mengenang jasa seorang abdi dalem kesayangan Sri Sultan
Hamengku Buwono I, yakni Ki Wirosuto yang konon hilang secara misterius saat
mencari batu gamping di Gunung Gamping bersama dengan istrinya dan kemudian
ditemukan meninggal karena diganggu makhluk halus penunggu gunung tersebut.

Saparan bekakak atau juga disebut Saparan Gamping, merupakan upacara tahunan
yang dengan simbol Bekakak. Bekakak ini merupakan korban penyembelihan yang
berupa hewan atau bahkan manusia. Namun, pada upacara adat Saparan Bekakak,
bekakak yang disembelih bukanlah manusia sungguhan, tetapi hanya tiruan, yang
berupa boneka sepasang pengantin yang dibuat duduk bersila dan bersebelahan.
Boneka ini dibuat dari bahan tepung ketan. Waktu untuk melaksanakan upacara adat
Saparan Bekakak ditetapkan setiap hari Jumat di bulan Sapar. Hari Jumat ditetapkan
di antara tanggal sepuluh hingga tanggal dua puluh. Kemudian untuk kirab temanten
Bekakak dilakukan pada pukul dua siang dan penyembelihan bekakak dilakukan pada
pukul empat sore.
1) PENGERTIAN SAPARAN

Saparan menurut pemahaman saya adalah suatu acara syukuran masyarakat


Jawa yang diadakan pada setiap desa. Acara Saparan dilakukan setiap tahun di
bulan November. Saparan berasal dari kata Sapar yang merupakan nama bulan
dalam kalender Jawa.

2) PELAKSANAAN SAPARAN

Acara Saparan dilakukan setiap tahun di bulan November. Saparan berasal dari
kata Sapar yang merupakan nama bulan dalam kalender Jawa. Mayarakat
setempat merayakan tradisi Saparan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas hasil panen warga yang melimpah dan ketentraman desa.

3) TUJUAN SAPARAN
Saparan bermula sebagai bentuk tradisi Merti Desa dengan tujuan agar desa
tersebut selalu mendapatkan kesejahteraan dan jauh dari malapetaka. Mereka
mengundang para kerabat dan kenalan untuk datang berkunjung kerumah
mereka masing-masing pada hari pelaksanaan Saparan.

4) SEJARAH SAPARAN

Tradisi ini mulanya lahir setelah 'pageblug' atau wabah penyakit yang
meatikan menyerang Desa Kopang sekitar 1918. Akibatnya, banyak
masyarakat yang meninggal akibat serangan wabah itu. Dengan maksud
supaya bencana itu hilang masyarakat setempat menggelar sebuah acara
bersama. Mulai saat itu, acara tersebut rutin digelar hingga menjadi tradisi
tersendiri bagi masyarakat Kopeng. Tradisi ini bermula saat tokoh setempat
dan juga seorang pendakwah, Kiai Ageng Gribig pulang dari Mekkah.

Menurut Hariadi Saptono dari Padepokan Ash-Shomad Internasional


Jatinom, Kiai Ageng Gribig merupakan salah satu tokoh desa yang
menyebarkan agama Islam. Selain itu, sosoknya diyakini sebagai keturunan
dari Raja Brawijaya dan hidup pada abad ke-16.

Setelah pulang dari melaksanakan ibadah haji, Kiai Ageng Gribig


membagikan oleh-oleh berupa kue untuk para santrinya.

Namun karena jumlah tersebut tidak mencukupi, Kiai Ageng Gribig pun
membuat kue yang dibagikan kepada seluruh santri. Kue tersebut terbuat dari
tepung beras dengan gula, santan, dan kelapa.

“Lalu tradisi itu menjadi besar karena banyak muridnya, banyak


peziarah yang datang ke situ, lalu setiap Bulan Sapar membagi-bagikan apem,”
ucap Hariadi.

Tradisi membagikan apem ini kemudian berlanjut. Setiap tahun, warga


membawa bungkusan-bungkusan berisi apem. Hariadi menuturkan, tradisi ini
merupakan ungkapan syukur warga kepada Tuhan.

 RANGKAIAN SESAJI UPACARA SAPARAN

1) Kupat lepet bermakna bahwa agar segala kesalahan dimaafkan oleh


Tuhan Yang Maha Kuasa.
2) Sega golong bermakna agar jiwa semua anggota keluarga satu
brayat selalu kukuh dan selamat.
3) Lauk pauk bermakna pengharapan agar apa yang dihajadkan dapat
terkabul
4) Pisang raja sebagai persembahan kepada Tuhan
5) Nasi wuduk bermakna agar para penyelenggara dan peserta upacara
selamat
6) Ingkung ayam bermakna untuk mensucikan seluruh warga
masyarakat atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak
disengaja.
7) Kambing ( wedhus kendhit ) merupakan sesaji pokok dalam saparan
bermakna untuk memberi gambaran seperti apa yang pernah
dilakukan para wali sewaktu berbuka puasa dengan lauk sate
kambing.
Setelah dibacakan doa oleh Rois, kepala kambing tadi di tanam dan
diadakan kenduri yang diikuti para penyelenggara dan peserta,
sedangkan kaki kambing ditanam di empat penjuru sebatur,
sedangkan daging kambing yang dimasak kaum aki–laki dimakan
bersama- sama seluruh peserta upacaraSaparan Kalibuka.

5) PENUTUP

NILAI MORAL:

(1) masyarakat masih mempertahankan tradisi Saparan karena masyarakat


terikat dengan tradisi Saparan. Masyarakat berharap agar mendapatkan
berkah, dan dijauhkan dari malapetaka
(2) pelaksanaan tradisi Saparan dimulai dengan bersih lingkungan, bersih
kubur, dandan kali. Selanjutnya perayaan utama yaitu slametan yang
diklasifikasikan menjadi tiga bagian dan dilaksanakan secara berurutan,
yaitu perayaan komunal, perayaan individu dan perayaan yang bersifat
hiburan. Perayaan komunal yaitu do’a bersama, perayaan individu
dilaksanakan di rumah masing-masing dengan tujuan mempererat tali
persaudaraan. Perayaan hiburan bertujuan untuk meramaikan suasana
Saparan.
(3) Nilai-moral dalam tradisi ini yaitu nilai religius, gotong- royong, peduli
terhadap lingkungan, kerja keras, kekeluargaan, silaturahmi, rasa
solidaritas dan kerukunan.
(4) Nilai-moral yang terdapat dalam tradisi Saparan diimplementasikan
oleh masyarakat Desa Nogosaren dalam kehidupan sehari-hari. Nilai
religius diimplementasikan melalui kegiatan keagamaan yaitu pengajian
yang rutin dilaksanakan setiap Jumat. Sementara itu, nilai gotong-royong,
peduli terhadap lingkungan, kerja keras, kekeluargaan dan solidaritas dan
kerukunan masyarakat

SARAN:

(1) kepada perangkat desa supaya dapat membuka komunikasi dengan


pemerintah daerah.
(2) kepada pemerintah Kabupaten Semarang diharapkan mampu
memanfaatkan tradisi Saparan sebagai salah satu potensi wisata budaya di
Kabupaten Semarang.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai