Anda di halaman 1dari 9

DPR vs DPD :

KEPINCANGAN PRAKTEK BIKAMERAL DI INDONESIA


oleh: M. Zainuddin dan Yohanes Sanak

Munculnya pemikiran tentang pentingnya penerapan sistem bikameral


dalam parlemen di Indonesia baru mulai diwacanakan pada era reformasi
beberapa tahun yang lalu. Tuntutan untuk mereformasi kelembagaan
pemerintahan terutama organisasi parlemen agar mewujudkan sistem dua
kamar kemudian diakomodir dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar
1945 pada tahun 2001. Sebagai tindaklanjut terhadap amanat konstitusi
tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan
Pemerintah membahas dan menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Kebijakan nasional tentang pembentukan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) tersebut menggariskan urgensi keberadaan DPD sebagai
kebutuhan untuk melengkapi sistem bicameral sehingga mekanisme check and
balances internal parlemen dan antar lembaga negara dapat berjalan dengan
baik.
DPD perdana baru terbentuk berdasarkan hasil Pemilu tahun 2004
dengan jumlah anggota sebanyak 128 orang, dimana setiap provinsi diwakili
oleh 4 orang1. Anggota-anggota DPD perdana tersebut merupakan tokoh-tokoh
masyarakat di daerah yang cukup terkenal dan mendapat legitimasi yang kuat
dari rakyat daerah. Karena itu keterwakilannya tidak dapat diragukan.
Rancang bangun kelembagaan DPD ditujukan sebagai lembaga
representasi rakyat daerah yang dapat menjembatani kepentingan daerah
dengan pemerintah pusat serta sebagai upaya melibatkan rakyat di daerah
dalam proses pembuatan keputusan-keputusan di tingkat nasional. Keberadaan
kamar kedua dalam lembaga legislatif di Republik ini telah memberikan warna
tersendiri bagi kehidupan demokrasi. DPD sebagai lembaga baru dalam tatanan
politik Indonesia diharapkan mampu memberikan kontrol yang efektif terhadap

1
Jumlah anggota DPD-RI hasil Pemilu Tahun 2004 dengan rincian per provinsi, lihat Indra J. Piliang dan
Bivitri Susanti (2007), Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD Di MPR RI, halaman 149-160

1
DPR serta bersama-sama dengan DPR membangun kemitraan yang seimbang
dengan pihak eksekutif.
Secara struktural, posisi DPD setara dengan DPR. Keduanya merupakan
lembaga negara yang menjalankan fungsi sebagai legislatif. Akan tetapi secara
fungsional, terjadi kepincangan diantara keduanya. Konstitusi secara tegas telah
menggariskan kewenangan DPR dan DPD dimana tugas dan kewenangan DPD
sangat terbatas. Ketimpangan ini tentu berdampak buruk bagi mekanisme politik
baik secara internal legislatif maupun dalam hubungan eksternal legislatif.
Disoptimalisasi peran DPD dalam kancah politik nasional menjadikan lembaga
tersebut tidak memiliki posisi tawar yang kuat baik dengan DPR maupun
dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Berangkat dari argumentasi yang demikian maka pertanyaan yang
kemudian muncul adalah mengapa praktek bikameral di Indonesia menjadi
pincang? Bagaimana seharusnya DPD dalam praktek bikameral yang kuat?
Berpijak pada pertanyaan-pertanyaan kunci dimaksud, tulisan sederhana ini
akan menguraikan ketimpangan kewenangan antara DPR dan DPD serta
sedapat mungkin memberikan tawaran solusi untuk membangun praktek
bicameral yang kuat.

DUA KAMAR YANG TIDAK SEIMBANG


Untuk mengantar kita pada pembahasan mengenai perbandingan
kewenangan antara kamar DPR dan kamar DPD yang tidak seimbang, maka
perlu diketengahkan beberapa pendapat ahli tentang konsep bicameral.
Menurut Andrew Heywood (2002), sistem bicameral memiliki kelebihan seperti
adanya saling kontrol antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya, lebih
efektif dalam mengawasi eksekutif, lebih representative untuk mengartikulasikan
kepentingan rakyat, serta lebih teliti dalam melaksanakan tugas-tugas legislasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa system ini juga memiliki sisi lemahnya 2. Terkait
dengan konsep bicameral, Arend Lijphart dalam Indra J. Piliang dan Bivitri
Susanti (2007 : 100) mengemukakan bahwa system bikameral memiliki dua (2)
bentuk yaitu bikameral yang kuat (strong bicameral) dan yang lemah (weak
bicameral). Setidaknya ada dua (2) indikator yang dapat digunakan untuk
2
Lihat Andrew Heywood (2002), Politics – Second Edition, New York, PALGRAVE, halaman 321

2
mengukur kuat lemahnya bicameral yakni pertama, cakupan kewenangan yang
dimiliki berdasarkan konstitusi, dan kedua, metode pemilihan anggotanya,
apakah dipilih secara langsung oleh rakyat atau tidak.
Bila kita meneropong praktek bikameral di Indonesia berdasarkan kedua
indikator yang diuraikan oleh Arend Lijphart, maka kita akan sampai pada suatu
kesimpulan apakah system bicameral yang diterapkan di Indonesia tergolong
kuat atau lemah. Mengacu pada indikator pertama, porsi kewenangan DPR jauh
melampaui kewenangan DPD atau dengan bahasa lain terjadi
ketidakseimbangan kewenangan diantara keduanya. Dari kacamata metode
pemilihannya, anggota DPR dipilih secara langsung dari partai politik sedangkan
anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat untuk mewakili daerah
provinsi. Artinya bahwa DPD dan DPR sama-sama memiliki legitimasi yang kuat
dari rakyat. Dengan demikian, secara garis besar jika dilihat dari segi
kewenangan, kita dapat menyimpulkan bahwa praktek bicameral di Indonesia
dikategorikan sebagai bicameral yang lemah yang disebabkan
ketidakseimbangan kewenangan antara DPD dengan DPR menurut konstitusi.
Karena itu ada kerancuan dalam praktek bicameral di Indonesia, mestinya DPD
diberi kewenangan yang sepadan dengan DPR karena keduanya sama-sama
dipilih oleh rakyat dan mendapat legitimasi yang memadai.
Andrew Heywood (2002) menjelaskan bahwa pada umumnya kamar
kedua lebih rendah dari kamar pertama akan tetapi hal tersebut biasanya terjadi
di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer 3.
Pandangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu argumentasi untuk
memperkuat DPD di Indonesia yang menganut system pemerintahan
presidensial. Hampir senada, Jimly Asshiddiqie (2005), berpendapat bahwa di
Indonesia lebih tepat untuk menerapkan praktek bicameral yang kuat (strong
bicameralism), bukan bicameral yang lemah (soft bicameralism)4. Dengan
demikian, tidak cukup alasan bagi MPR untuk melemahkan posisi DPD.

3
op cit., halaman 320
4
Para ahli menyarankan agar perlu dikembangkan strong bicameralism dimana kedua kamar dilengkapi
dengan kewenangan yang sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Jimly Asshiddiqie (2005),
Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH-UII Press,
halaman 52

3
Dalam UUD 1945 pasal 20 ditegaskan bahwa DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 20A diuraikan
tentang fungsi dan hak DPR. Fungsi DPR meliputi fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan sedangkan hak DPR mencakup hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Secara personal, setiap
anggota DPR memiliki hak untuk mengajukan pendapat, menyampaikan usul
dan pendapat serta hak imunitas.
Sementara itu, uraian mengenai tugas dan kewenangan DPD
sebagaimana termaktub dalam pasal 22D cakupannya sangat terbatas.
Lembaga baru tersebut hanya berwenang mengajukan kepada DPR Rancangan
Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD berwenang
pula ikut membahas RUU yang berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas
serta dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Selain itu, DPD dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang (UU) yang
bersinggungan dengan hal-hal tersebut dan menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak
lanjuti.
Uraian mengenai cakupan tugas, fungsi dan kewenangan tersebut
mengambarkan betapa tidak adanya keseimbangan antara DPR dan DPD.
Atribut kewenangan, fungsi dan tugas yang melekat pada lembaga DPR sangat
lengkap, sementara DPD dengan lingkup kewenangan yang sempit lebih
banyak memberikan pertimbangan kepada DPR. Kesan yang muncul, seolah-
olah DPD merupakan “bawahan” dari DPR. Padahal lembaga tersebut
dirancang sebagai institusi yang mewakili daerah di pusat dan sekaligus
sebagai “kembaran” DPR yang seyogyanya setara, sepadan dan seimbang.
Ni’matul Huda (2007)5 menjelaskan bahwa di beberapa negara, majelis
rendah biasanya diberi wewenang untuk mengambil prakarsa mengajukan

5
Ni’matul Huda (2007), Lembaga Negara Masa Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, UII Press,
halaman 97

4
rencana anggaran dan pendapatan negara, sedangkan majelis tinggi berperan
dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Jadi pada prinsipnya kedua kamar
tersebut memiliki kedudukan yang sederajat, tidak saling membawahi baik
secara politik maupun secara legislatif.
Point penting yang perlu dicatat adalah bahwa DPR memegang
kekuasaan membentuk UU, sementara DPD tidak memilikinya. DPD juga tidak
memiliki ruang gerak yang cukup luas untuk ikut terlibat secara aktif dalam
proses pembahasan dan penetapan berbagai RUU dan RAPBN serta
pelaksanaan fungsi kontrol terhadap kebijakan eksekutif.
Ketidakseimbangan kewenangan, fungsi dan tugas antara kedua kamar
dimaksud kemudian menjadikan sistem bikameral yang dianut parlemen
Indonesia tidak efektif. Mekanisme politik check and balances antar kamar pun
tidak berjalan. Kepincangan inilah yang menyebabkan sistem bikameral menjadi
lemah.

MENGOBATI KEPINCANGAN
Keseimbangan kewenangan antara DPR dan DPD menjadi conditio sine
qua non bagi upaya mewujudkan praktek bikameral yang kuat. Praktek
bikameral yang kuat akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi prospek
demokrasi bangsa kita. Bila posisi tawarnya seimbang maka keduanya akan
memiliki peran yang sama dalam proses pengambilan keputusan hingga tahap
akhir. Faktanya, DPD tidak berwenang membuat undang-undang,
kewenangannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR dalam fungsi
legislasi untuk bidang tertentu, lalu ikut membahas namun tidak ikut dalam
tahap akhir penetapannya. Demikian pula halnya dengan bidang anggaran dan
pengawasan, sangat sedikit cakupan kewenangannya.
Ada rumor yang berkembang bahwa apabila DPD memiliki power yang
sama dengan DPR, dikhawatirkan akan terjadi kemandegan dalam proses
pengambilan keputusan di legislatif serta potensial menimbulkan konflik politik
antara kedua lembaga dimaksud. Argumentasi yang demikian barangkali terlalu
berlebihan karena DPD yang sama kuat dengan DPR justru mempermudah
pelaksanaan tugas-tugas parlemen. Di samping itu, secara kuantitas, jumlah
anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR (pasal 227 ayat 2, UU
5
No.27 Tahun 2009). Artinya bahwa dengan jumlah yang tidak sebanding, kecil
kemungkinan DPD akan menghambat proses pengambilan keputusan legislatif.
Kendati demikian, ketimpangan ini tidak membuat DPD menyerah pada
kondisi politik yang tengah berlangsung. Beberapa waktu lalu, berbagai media
cetak dan media elektronik melansir berita tentang upaya DPD
memperjuangkan amandemen UUD 1945 dan revisi UU susduk MPR, DPR,
DPD dan DPRD guna memperluas cakupan kewenangannya. Kendati DPD
telah berusaha maksimal, hasilnya tetap saja belum memuaskan. UUD 1945
belum diamandemen untuk yang kelima kalinya guna menampung tuntutan
akan penguatan DPD. Sementara revisi UU Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD telah dilakukan namun tidak memberikan kelegaan kepada DPD karena
UU tersebut tetap mengacu pada konstitusi negara yaitu UUD 1945. Pergantian
UU Nomor 22 Tahun 2003 dengan UU Nomor 27 Tahun 2009 sama sekali tidak
menyentuh substansi kewenangan DPD. Ruang gerak yang diberikan masih
tetap sempit, tidak ada keleluasaan bagi DPD untuk ikut melaksanakan fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan seperti halnya DPR.
Untuk mengobati kepincangan praktek bikameral di Indonesia maka jalan
satu-satunya adalah mengamandemen UUD 1945 terutama pasal-pasal yang
mengatur tentang cakupan kewenangan DPD. Persoalan yang muncul adalah
apakah ada kemauan politik dari pihak DPR untuk mengamandemen pasal-
pasal dimaksud? Apakah DPR rela membagikan kekuasaannya kepada DPD
sehingga kemudian keduanya bersanding dengan posisi yang seimbang di
parlemen? Ataukah DPR memang belum siap untuk disaingi DPD yang masih
tergolong sangat muda?
Secara konstitusional, kewenangan untuk mengamandemen UUD 1945
ada di tangan MPR. Putusan MPR untuk melakukan amandemen atau tidak
ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sebagaimana kita ketahui bahwa
MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. Dengan demikian kompisisi MPR
didominasi oleh anggota DPR yang jumlahnya mencapai 560 orang sedangkan
DPD hanya mencapai 132 orang (hasil Pemilu 2009). Dengan komposisi yang
demikian, dapat dipahami bahwa putusan MPR sangat bergantung pada DPR.
Jika DPR memiliki kerelaan dan political will untuk menyeimbangkan

6
kewenangannya dengan DPD maka amandemen UUD 1945 dapat segera
dilakukan.
Apabila amandemen UUD 1945 telah dilakukan, maka proses
penyesuaian UU Nomor 27 Tahun 2009 akan lebih mudah untuk dilakukan.
Penyesuaian substansi UU tersebut untuk memperkuat DPD tidak dapat
lakukan tanpa amandemen konstitusi. Substansi yang perlu mendapat perhatian
untuk penguatan DPD adalah pasal 223, 224 dan pasal 225 tentang fungsi,
tugas dan wewenang DPD. Namun, kembali lagi, harus menunggu amandemen
UUD 1945 terlebih dahulu. Mungkinkah hal itu akan terjadi? Jawabannya ada
pada DPR.
Dalam melaksanakan tugas-tugas parlemen, DPR tidak dapat berjalan
sendiri karena banyak sekali kepentingan partai politik yang melekat dalam
individu anggota DPR. Perjuangan politiknya tidak lagi murni untuk kebutuhan
rakyat, melainkan cenderung kepada kepentingan partai politiknya. Sementara
DPD tidak terkontaminasi oleh kepentingan partai politik manapun karena ia
mewakili daerah. Karena itu, kiblat politiknya adalah kepentingan rakyat
di daerah yang diwakilinya.
Sehubungan dengan itu, upaya reposisi dan refungsionalisasi DPD
melalui amandemen UUD 1945 menjadi sebuah keharusan mutlak bila segenap
komponen bangsa ini menginginkan agar lembaga-lembaga negara termasuk
DPD dapat berfungsi secara optimal. Sejak awal, komitmen membangun
bicameral dalam parlemen Indonesia bukan untuk sekedar menunjukkan
kepada dunia bahwa Indonesia telah berdemokrasi dengan baik. Yang lebih
penting dari itu ialah kehadiran sistem dua kamar untuk saling melengkapi dan
saling mengontrol satu sama lain agar menghasilkan sebuah keputusan yang
optimal baik di bidang legislasi, anggaran maupun pengawasan.
Dalam praktek bicameral di Indonesia, posisi tawar DPD terhadap DPR
masih sangat lemah karena cakupan kewenangan yang dimiliki oleh DPD
sangat sempit. Padahal, anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat dalam
pesta demokrasi yang dinamakan Pemilu. Dengan demikian DPD memiliki
legitimasi yang cukup kuat, bahkan lebih kuat bila dibandingkan dengan DPR
yang dipilih berdasarkan Daerah Pemilihan (DAPIL) dalam wilayah provinsi

7
sedangkan DPD dipilih menurut wilayah provinsi. Artinya wilayah pemilihan DPD
lebih luas bila dibandingkan dengan wilayah pemilihan DPR.
Berdasarkan argumentasi yang dibangun, maka setidaknya ada 2 (dua)
hal yang dapat disarankan yakni; pertama, MPR perlu mengamandemen UUD
1945 guna mengakomodir hal-hal yang berkaitan dengan perimbangan
kewenangan antara DPR dan DPD. Berhubung komposisi MPR didominasi oleh
anggota DPR maka saran tersebut sekaligus ditujukan kepada DPR agar rela
menyeimbangkan kewenangannya dengan DPD. Kedua, apabila DPR belum
memiliki sikap tersebut, diharapkan agar komponen-komponen politik
intermediary seperti media massa, LSM, kaum intelektual, dan lain sebagainya
mampu mengontrol bahkan dapat mendesak DPR guna melakukan perubahan
dimaksud.

DAFTAR PUSTAKA

8
Asshiddiqie, Jimly, (2005), Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH.UII Press

Ball, Alan R., (1993), Modern Politics and Government, London, Macmillan
Press

Blondel, J., (1995), Comparative Government – An Introduction, Maylands


Avenue, Prantice Hall

Budiarjo, Mariam, (2001), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka


Utama

Heywood, Andrew, (2002), Politics – Second Edition, New York, PALGRAVE

Huda, Ni’matul, (2007), Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi,


Yogyakarta, UII Press

Pamungkas, Sigit, (2009), Perihal Pemilu, Yogyakarta, JIP - UGM

Piliang, Indra J. dan Bivitri Susanti (2007), Untuk Apa DPD RI, Jakarta,
Kelompok DPD di MPR RI

Pito, Toni Andrianus, Efriza dan Kemal Fasyah, (2006), Mengenal Teori-Teori
Politik – Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Bandung, Nuansa

__________,(2009), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,


DPR dan DPD, Bandung, Citra Umbara

__________,(2008), UUD 1945 dan Konstitusi Indonesia, Indonesia Legal


Centre Publishing

Anda mungkin juga menyukai