Anda di halaman 1dari 13

Kekuasaan DPD dalam UU

Nama : Andriatul Munawir


NIS : 19010000188
No.Absen : 40
Kelas : Hukum/ II
Email : andriatul8@gmail.com
KEKUASAAN DEWAN PERWAKILAN
DAERAH DALAM SISTEM UNDANG
UNDANG DASAR 1945

Hubungan Dengan MPR dan DPR

Sebagaimana dikemukakan bahwa hubungan antara DPR, DPD, dan MPR sangat
erat. Di dalam dimensi kekuasaan dapat dinyatakan bahwa ketiga lembaga itu
berbagai kekuasaan dalam bidang legislatif sebagai bagian dari upaya untuk
mengakomodasikan aspirasi rakyat di indonesia.

Untuk pemahaman keberadaan DPD, rujukan subtantifnya adalah ketika


dilakukan perubahan fundamental di dalam rumusan UUD 1945 pasca amandemen
yaitu mekanisme baru dalam menentukan kepemimpinan nasional melalui
pemilihan Presiden secara langsung dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) uang merupalan lembaga negara bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Kedua lembaga ini bergabung menjadi Majelis Permusywaratan Rakyat.

Amandemen terhadap UUD 1945 membawa konsekuensi pada perubahan


rumusan UUD 1945 yang secara mendasar telah mengubah struktur parlemen
Indonesia. Dalam bingkai teoretik, sebelum dilakukan amandemen tersebut sistem
parlemen Indonesia dapat dikualifikasikan sebagai mekanise parlemen dengan
sistem parlemen satu kamar (uni cameral system). Namun ada juga yang menyebut
sistem parlemen Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 itu dengan sebutan satu
setengah kamar. Sebutan yang memang kurang jamak, dimaksudkan untuk
menyebut kamar pertama adalah DPR sedangkan yang setengah itu adalah MPR
yang tidak berfungsi secara langsung sebagai mekanisme perwakilan rakyat karena
tidak seluruh anggotanya diangkat dan kekuasaanya yang tidak murni di bidang
legislatif.

Namun ada pula yang barangkat dari kekuasaan yang bersumber dari
kedudukan MPR sebagai suatu lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang
sangat besar, sebagai kualifikasi sistem parlemen dua kamar (bicameral system),
dengan kekuatannya ini di dalam kinerja sebagai aplikasi kekuasaan yang dimiliki
MPR telah memperkuat proses penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan
sistem “checks and balances” terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan
eksekutif.

Sehubungan dengan hal itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat di pandang


sebagai parlemen karena konretnya bukan eksekutif apa lagi lembaga yudikatif.
Namun bukan berarti kalau tidak masuk keduanya lantas begitu saja sebagai
lembaga legislatif. Mengingat pada kekuasaannya (kendati pun tarbatas) pada
bidang peraturan perundangan, MPR dikualifikasikan sebagai lembaga legislatif.

Di dalam perpektif penjabaran dari UUD 1945, kiranya perlu di pahami


karakter keanggotaan, kdudukan, tugas dan wewenang MPR dan DPR dalam UUD
1945 hasil amandemen, yang dalam jabaran berikutnya diatur dalam aturan
pelaksaan yaitu Undang Undang. Dalam beberapa kali pergantian, materi Undang
Undang itu tetap sama yaitu tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tentang Susunan Keanggotaan, Kedudukan,
Tugas dan Wewenang MPR, DPR dan DPD, serta Pemilihan Anggota DPD.

Substansi yang kiranya berubah secara mendasar adalah bahwa di dalam


hubungannya dengan MPR, susunan dan keanggotaan MPR itu terdiri atas Anggota
DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum. Sebelumnya anggota
MPR terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan.
Utusan daerah dan utusan golongan diangkat berdasarkan peraturan perundangan.

Adapun kedudukan MMpr pada masa lalu adalah sebagai lembaga tertinggi
negara(Tap No: XX/MPRS/1966) bahkan sebagai penjelmaan rakyat yang sifatnya
superbody. Lembaga negara lainnya disebut sebagai lembaga tinggi negara berada
di bawahnya. Tetapi sebagai permusyawaratan rakyat dalam arti sebagai lembaga
negara biasa yang secara fungsional bersama dengan lembaga negara lainnya
menrefleksikan kekuasaan berdasrkan Undang Undang Dasar 1945.

Sekaitan dengan DPR maka susunan dan Keanggotaan DPR itu terdiri atas
anggota Partai Politik peserta Pemilu yang dipilih bersarkan hasil dari Pemilu yang
diselenggarakan secara periodik dengan mengacu pada substansi dan prinsip
kedaulatan rakyat, ditentukan dalam mekanisme keanggotaan DPR bahwa jumlah
seluruh anggota DPR itu adalah lima ratus lima puluh orang. Penetapan jumlah ini
diwakilkan wilayah dengan ketentuah bahwa tiap Kabupaten/kota mempunyai
wakil di DPR.

Dinyatakan juga bahwa sehubungan keberadaan DPR, kedudukan DPR adalah


sebagai lembaga negara yang kekuasaannya sebagai lambaga perwakilan rakyat
yang berbeda dengan MPR sebagai lembaga permusyawaratan. Dengan
kekuasaannya itu, DPR berfungsi sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan
untuk menyusun anggaran. Jabaran dari kekuasaan dalam bidang anggaran ini
meliputi aspek penyusunan dan selanjutnya menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, normatifnya kekuasaan ini dikerjakan bersama presiden yang
nantinya melaksanakan APBN tersebut sebagai konsekuensi kedudukan presiden
sebagai kepala eksekutif.

Sementara itu penyusunan APBN dinyatakan senantiasa memperhatikan


pertimbangan DPD yang secara riil mengetahui bagimana keadaan sebenarnya di
Daerah darimana mereka menjadi wakil Daerah. Hal ini juga dimaksudkan agar
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat berangkat dari kondisi riil di Daerah yang
kebutuhan serta orientasinya sevara teknis belum tentu sama.

Berdasarkan paparan di atas, ad sentuhan atau kebersamaan yang


merupakan tugas dan wewenang DPR dan juga merefleksikan kekuasaan lembaga
tersebut yang secara khusus berhubungan dengan kekuasaan DPD. Tugas dan
Wewenang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Menerima dan membahas usulan Rancangan Undang Undang yang


diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan
mengikutsertakannya dalam permbahasan;
b. Memperhatikan pertimbangan DPDP atas Rancangan Undang Undang
APBN dan Rancangan Undang Undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama;

c. Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan


pertimbangan DPD;

d. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh


DPD terhadap pelaksanaan Undang Undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

e. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan


pertimbangan DPD;

Dalam bingkai teoritik sebenarnya sistem perwakilan yang diaplikasikan


dengan parlemen dengan sistem dua kamar pada umumnya digunakan dalam
bentuk negara deseral. Keberadaan parlemen dengan sistem dua kamar ini
tujuannya tidak lain adalah dalam kerangka memeberikan keseimbangan
kepentingan antara “negara bagian” dengan kepentingan pemerintahan federal
sebagai representasi pemerintahan pusat. Keseimbangan ini diperlukan pada satu
sisi untuk tetap menjaga eksistensi Negara bagian sementara pada sisi lain untuk
menjaga bentuk negara serikat sebagai induk dari negara bagian (federasi).

Implementasi dari sistem perwakilan dengan dua kamar dalam sistem


pemerintahan parlementer, umumnya didasarkan atas pertimbangan teknis, yaitu
keseimbangan antar lembaga negara khususnya lembaga perwakilan agar tidak
menjadi superbody sebagai akibat dari kekuasaan yang menumpuk pada satu kamar
saja.

Demikian juga untuk lebih memberikan makna efektifitas dan efisiensi di


dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan negara, hal ini pada satu sisi
memang dapat dipandang sebagai kinerja yang kurang efektif namun pada sisi lain
memberikan jaminan terhadap kualitas produk yang dibuat sebagai akibat dari
seleksi yang lebih ketat atas produk kebijakan tersebut.
Seiring dengan dinamika perkembangan sistem ketatanegaraan, sistem dua
kamar ini tidak saja dibutuhkan dalam negara federal. Dalam kerangka tuntutan
desetralisasi yang semakin besar, pada sistem sistem dua kamar ini karena dinilai
mampu menjembatani kepentingan rakyat di Daerah secara lebih konkret dan
optimal.

Hal di atas menjadi tuntutan seiring pula dengan mengemukanya paradigma


Hak Asasi Manusia yang menghendaki lebih banyak dan lebih besarnya akomodasi
individual di dalam sistem pergaulan bersama dana parlemen dengan sistem dua
kamar dipandang mampu merepresentasikan itu jika dibanfingkan dengan sistem
satu kamar uang leih bersigat satu arah.

Perubahan Pasca Perubahan UUD 1945

Manakala dipandang bahwa di dalam sistem UUD 1945 pasca amademen


implikasi praktis dari keberadaan parlemen Indonesia dipandang sebagai dan
berada pada sistem dua kamar, haruslah tetap dalam konteks mewujudkan
semangat sebagaimana diuraikan di atas, yaitu bagaimana lebih mengoptimalkan
kinerja lembaga untuk lebih banyak dan lebih besar mengakomodasikan kehendak
(aspirasi) rakyat. Implikasi lebih lanjutnya juga agar penggunaan kekuasaan
Presiden dapat berjalan efektif dan seimbang dengan penggunaan kekuasaan
Parlemen dalam konteks memperkuat sistem “cheks and balances”. Presiden
sebagai kepala eksekutif tidak menjadi mengecil kekuasaanya karena diambil oleh
parlemen dan sebaliknya parlemen tidak bertindak over karena kekuatannya yang
menyebabkan tidak efektifnya kinerja presiden.

Oleh karena itu, walaupun dikualifikasikan sebagai parlemen dengan sistem


dua kamar, rumahnya harus tetap ada satu. MPR harus tetap merupakan satu
rumah yang berfungsi sebagai parlemen, terdiri atas dua kamar, yakni DPR dan
DPD. Dalam hal ini, MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara.
Fungsi kekuasaan MPR yang terdiri atas dua kamar tersebut dipandang merupakan
kekuasaan legislatif. Dengan demikian, seharusnya amandemen UUD 1945
menegaskan bahwa “kekuasaan legislatif dilakukan oleh MPR yang terdiri atas DPR
dan DPD”. Deskripsi demikian akan lebih memberikan penekanan fungsionalisasi
lembaga negara sesuai dengan tema sentral sistem ketatanegaraan Indonesia.

Berdasarkan aplikasi dari UUD 1945 pasca amandemen sebenarnya MPR tidak
dapat disebut sebagai parlemen, terutama dalam tugas dan wewenang secar
fungsionalnya. Kekuasaan untuk melakukan “checks and balances” dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara menjadi kekuasaan pokok. Hal ini
disebabkan MPR tidak memiliki kewenangan legislatif secara langsung sebagaimana
yang dimiliki oleh DPR. Sementara itu DPD sebagai salah satu dari dua kamar yang
terdapat dalam rumah parlemen bernama MPR, mempunyai kekuasaan untuk
melakikan akomodasi kepentingan Daerah darimana ia dipilih.

Sementara itu DPR sebagai salah satu dari dua kamar yang terdapat dalam
rumah parlemen bernama MPR ternyata juga masih memegang tugas dan
wewenang legislasi secara dominan. Ketentuan UUD 1945 bahkan meletakkan
kekuasaan legislatif pada DPR yang membawa akibat dalam proses politik, DPR
justru yang secara konkret mempunyai kekuasaan dalam bidang legislatif dan
merepresentasi fungsinya sebagai parlemen Indonesia. Hal ini juga dapat dicermati
pada kondisi obyektif bahwa meskipun DPD merupakan bagian dari MPR namun
demikian baik MPR sendiri sebagai lembaga maupun DPD tidak mempunyai
kekuasaan dalam bidang legislatif yang hanya dipunyai DPR

Berdasarkan sistem UUD 1945 pasca amandemen, untuk lebih


mengoptimalkan kekuasaan dalam arti penguatan Indonesia yang terdiri atas DPR
dan DPD tersebut memerlukan pemahaman koseptual bahwa keberadaan dan
kinerjanya ditentukan oleh 2(dua) mekanisme penting, yakni: sistem pemilihan
keanggotaanya, dan pembagian kewenangan di antara keduanya dalam
menjalankan tugas-tugas parlemen.

Hal di atas disebabkan syarat penting untuk mendukung alasan pengguanaan


parlemen dua kamar, adalah anggota kedua kamar dalam parlemen harus benar-
benar mewakili aspirasi yang berbeda satu sama lain sehingga kedua kamar dalam
parlemen memang merupakan gabungan kepentingan seluruh rakyat. Tujuan akhir
dari kondisi demikian tidak lain adalah untuk lebih memaksimalkan kinerja
lembaga sehingga lebih besar lagi aspirasi rakyat yang bisa diperjuangkan serta
diwujudkan setelah melalui mekanisme internal.
Di dalam perspektif pelaksanaan sistem pemilihan anggota DPD, acuannya
adalah Undang Undang. Untuk DPD perdana yang mengukir sejarah untuk pertama
kalinya ada dalam sistem ketatanegaraan RI diatur dalam Undang Undang No. 22
Tahun 2003. Dapat dimengerti karena untuk pertama kalinya, boleh dinyatakan
masih dalam mencari bentuk.

Dapat dicermati dari perumusan pasal yang substansinya bersifat umum dan
prosedur yang cenderung menyederhanakan prosedur yang sebenarnya sangat
menentukan terhadap substansi kinerja personal. Misalnya tentang duduknya
seseorang sebagai anggota DPD dengan hanya didasarkan pada jumlah perolehan
suara terbanyak. Tentu saja kekuatan seseorang yang terpilih dicerminkan dari
dikenal atau tidaknya oleh masyarakat pemilih.

Padahal secara normatif keberadaan DPD dalam parlemen adalah untuk


mengakomodasikan keperntingan Daerah di mana seseorang itu dipilih. Sangat
mungkin tokoh yang sebenarnya lebih paham dan piawai dalam kinerjanya tidak
terpilih karena kurang dikenal atau ada kekuarangtepatan lobi. Tokoh yang
sebenarnya mumpuni ini akan sulit menduduki kursi DPD. Sangat berbeda halnya
dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang sepenuhnya tergantung pada
kekuatan politik. Pastinya tergantung pada pengorganisasian partai politik sebagai
sarana penyaluran aspirasi rakyat yang dilaksanakan melalui Pemilu.

Kondisi di atas membawa akibat lebih lanjut yaitu sulitnya melakikan


prosedur akuntabilitas antara kostituen pemilih dengan anggota DPD uang terpilih.
Apa dasar kostituen memilih dan seberapa tajam ketepatan anggota terpilih dapat
mewakili kontituen, menjadi diskusi panjang yang berujung pada keharusan
membenahi sistem pemilihan dengan tidak semata berangkat dari banyaknya
perolehan suara.

Pada dimensi lain, ketajaman dan kejernihan dari seseorang anggota DPD
merepretasi keterwakilannya melalui aspirasi yang akan deperjuangkan seharusnya
juga menjadi pertimbangan. Benarkah seorang calon terpilih itu lebih mampu
memperjuangkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya? Padahal kemampuan
dan kecerdasan untuk memperjuangkan aspirasi ini juga menjadi inti keterwakilan
rakyat Daerah atas berbagai masalah yang dihadapi untuk dipecahkan secara
nasional di tingkat Pusat oleh anggota DPD yang mewakilinya. Dalam dimensi ini
tidak ada jaminan bahwa yang terpilih lebih mampu dan cerdas dibandingkan
dengan yang tidak terpilih.

Di dalam perspektif pelaksanaan pembagian kewenangan antara DPR dan


DPD dalam menjalankan tugas dan kewenangan parlemen, dapat dikonstruksikan
bahwa parlemen di Indonesia ternyata tidak menggunakan sistem dua kamar. Akan
tetapi justru menggunakan sistem tiga kamar, yakni: MPR, DPR dan DPD. Hal
tersebut diperlihatkan dengan adanya tugas dan wewenang ang berbeda dari
masing-masing lembaga terebut, walaupun dalam faktanya kamar MPR terjadi
karena adanya penggabungan antara anggota DPR dan anggota DPD.

Apa bila dicermati tugas dan wewenang DPD, maka menjadi terlihat jelas
peran dan fungsi DPD itu secara objektif tidak lebih dari sebuah lembaga yang
secara struktural bersifat subordinatif dari DPR. Demikian pula, jika lebih
dicermati lagi tugas dan wewenang MPR, maka tergambar jelas bahwa kekuasaan
MPR sangat mudah digunakan sebagai perpanjangan tangan DPR dalam
menjalankan kepentingannya. Atau dalam bahasa idealismenya membuat kebijakan
ketatanegaraan yang tidak bisa dilakukan oleh DPR secara kelembagan karena di
luar kekuasaannya. Sementara diketahui kekuatan di DPR tergantung pada
kekuatan politik yang dicerminkan dari kuatnya peran partai politik.

Masalah yang kiranya memerlukan perhatian dan catatan lebih khusus dari
keanggotaan DPD adalah sehubungan dengan kepentingan masyarakat yang
dimensinya adalah penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terutama
implementasi hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak atas
pembangunan yang layak.

Secara normatif, aturan untuk itu baik dalam konvensi internasional maupun
pada peraturan perundangan di Indonesia dinilai sudah cukup, tinggal bagaimana
aplikasinya yang sangat tergantung pada good will perangkat yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan aturan-aturan tersebut.

Pada berbagai fakta menunjukkan, berbagai peristiwa di Daerah masih


dengan mudah dijadikan komoditas politik. Sejatinya dalam kondisi seperti itu
anggota DPD dari Daerah yang bersangkutan berada di depan untuk mencari dan
menemukan solusinya. Termasuk memberikan pemahaman bahwa dirinya (yang
berasal dari peristiwa itu) tahu persis peta masalah dan kemungkinan
penyelesaiannya. Ketidakberdayaan anggota DPD, tercermin dari mekanisme
internal yang lemah, kelemahan manajerial, ketiadaan presssure dan
ketidaksiapan menghadapi berbagai permasalahan adalah kenyataan objektif yang
kiranya menjadi dasar penguatan kekuasaan DPD di masa yang akan datang.

Tanpa bermaksud untuk mencari kambing hitam, sistem ketatanegaraan


Indonesia berada pada kondisi tidak sebagaimana mestinya pada masa lalu dan
dalam jangka waktu yang cukup lama. Untuk itulah, strategi perbaikan kondisi
masyarakat secara tepat sangat fibutuhkan karena pada umunya kapasitas
masyarakat madai (civil sicety) berbagai daerah di Indonesia tidak sama dan masih
lemah. Dibutuhkan kecerdasan membaca peta masalah khususnya yang menjadi
ciri khas Daerah untuk diperjuangkan oleh anggota DPD. Tidak sekedar berjuang
tetapi lebih jau juga menata link dalam sistem yang mencerminkan
profesionalisme dan solusi yang tepat atas masalah yang ada.

Lebih meningkatkan Peran DPD

Di dalam hubungannya dengan lebih berfungsinya DPD, kiranya perlu


dipertimbangkan agar kedudukan MPR diubah menjadi parlemen yang menjalankan
kekuasaan legislatif, yang terdiri atas DPR dan DPD. Hal demikian membawa
konsekuensi pada masing-masing lembaga. Baik dari DPR maupun DPD harus
menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan secara berbeda.
Perbedaan dalam mengimplementasikan kekuasaan di bidang legislasi dan
anggaran masing-masing, di dasarkan pada materi muatan dari Rancangan Undang
Undang (RUU) dalam tahapan yang berbeda kiranya patut dijadikan dasar
penguatan kekuasaan DPD.

Untuk RUU yang berkaitan kepentingan daerah, semisal penguatan kebijakan


otonomi daerah, pengaturan yang adil dan jelas tentang kewenangan yang menjadi
dasar bagi keharmonisan hubungan antara Pusat dan Daerah. Penetapan kriteria
dan prosedur pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah dan perumusan
yang adil dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta pengaturan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah
masih perlu dilakukan pembahasan tahap pertama oleh DPD. Untuk kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tahap akhir oleh DPR. Dengan demikian
kedudukannya berbeda meskipun sama-sama sebagai lembaga legislatif.

Secara teknis, memerlukan catatan pada kekuasaan legislatif mencangkup


kegiatan mengkaji, merancang, membahas, dan mengesahkan RUU menjadi
Undang Undang. Untuk menghindarkan timbulnya sengketa dan perebutan
kekuasaan atas bidang ini, kiranya kepentingan antara DPR dan DPD dibutuhkan
dukungan satu Sekretariat Jendral yang melayani kepentingan administrasi teknis
DPR dan DPD. Hal demikian jauh dari maksud memperpanjang birokrasi. Hal ini di
samping akan melahirkan satu Badan legislatif internal yang terdiri daripada
kinerja anggota parlemen juga akan menambah bobot kualitas kinerja anggota
perwakilan yang mempunyai kekuasaan berbeda tersebut.

Di dalam hal presiden berinisiatif mengajukan RUU maka berdasarkan hasil


penilaian atas materi muatan RUU oleh Badan legislatif ditentukan apakah RUU
tersebut dibahas lebih dahulu oleh DPR atau DPD. Hal ini tentu tergantung pada
substansi dan condongnya pada kekuasaan yang mana di antara keduanya. Namun
demikian, agar teknis pelaksanaan kerja tersebut berlangsung secara lebih tertata
dan profesional masih perlu diatur secara detail mekanisme hubungan “checks and
balances” antara kedua kamar parlemen tersebut termasuk mekanisme hubungan
dengan presiden. Hubungan dimakdud misalnya tercermin pada substansi yang
memerlukan pengaturan terlebih dulu tentang apakah presiden mempunyai hak
veto atas keputusan yang diambil oleh kedua lembaga.

Demikian pula untuk lebih memfungsikan DPD, kiranya juga diperlukan


pengingkatan bobot kekuasaannya di dlaam kerangka lebih luas yaitu
mengakomodasi kepentingan Daerah. Bagaimana mengakomodasi kepentingan
Daerah dimaksud melalui prosedur akuntabilitas publik tentu menjadikan apa yang
akan diperjuangkan anggota DPD semakin berkualitas.

Secara lebih teknis issu yang akan diperjuangkan dapat denga jelas dan
mudah diakses masyarakat di Daerah, terutama masyarakat di wilayah pemilihan
anggota DPD. Tidak saja mencerminkan pola yang bersifat bottom up tetapi hal itu
juga sevagai bentuk pertanggungjawaban kinerja anggota DPD terhadap konstituen
atas perkembangan aktivitasnya.

Profesionalisme kinerja sebagai refleksi dari kekuasaan DPD juga dapat


dicermati di sini, ketika anggota DPD itu secara individual (dan secara berkelompok
sesuai dengan Daerah Pemilihan) merepresentasi kekuasaanya di dalam praktik. Di
dalam kapasitasnya sebagai Wakil, kedudukan sebagai pilitisi yang mewakili
kepentingan daerah dan masyarakat di luar kekuatan Paertai Politik diuji di sini.
Seberapa tajam ia dapat merepresentasikan amanah yang diemban berdasarkan
kekuasaan yang dimilikinya.

Pengaturan prosedur akuntabilitas yang jelas ini menjadi bagian penting di


dalam kerangka mengindari terputusnya konunikasi politik antara kepentingan
masyarakat di Daerah dengan anggota DPD yang mewakilinya. Ada kesan umum
yang sebenarnya juga objektif bahwa selama ini masyarakat hanya dijadikan objek
pembenaran terhadap hal-hal yang dilakukan oleh anggota DPD.

Demikian pula pengaturan akuntabilitas juga dimaksudkan untuk mencegah


pemborosan dalam proses politik. Bagaimanan pun kehadiran lembaga itu melalui
pemilihan anggota secara umum memerlukan biaya dan perubahan sosial pada
masyarakat. Jika hal itu kemudian tidak membawa pengaruh terhadap peningkatan
kualitas hidup masyarakat yang diwakili, tentu dipertanyakan untuk apa
keberadaan anggota DPD. Yang idealnya memperjuangkan kepentingan rakyat
Daerah di mana ia dipilih.

Secara teknis, kiranya perlu dibuatkan mekanisme partisipatif. Dengan


mekanisme ini, dimaksudkan untuk dapatnya masyarakat mengakses secara jelas
dan terbuka akan adanya suatu kebijakan nasional, khususnya untuk mengetahui
“kelemahan dan kekuatan” serta “ancaman dan peluang” dari suatu Undang
Undang atau kebijakan nasional yang berdampak penting bagi daerah. Hal ini
sangat relevan berkenaan dengan idealisme agar masyarakat mengetahui batas
kekuasaan DPD yang keanggotaannya dengan susah payah telah dipilih.

Di dalam hubungannya dengan hal diatas, kiranya rakyat di Daerah juga


dapat lebih memahami pentingnya prosedur dan fasilitas yang menjamin
tersalurkan secara baik aspirasinya sampai proses legislasi diparlemen serta
memahami cara memanfaatkan mekanisme dan fasilitas tersebut termasuk hak
masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban DPD. Jika hal demikian dapat
diwujudkan, akan terjalin hubungan yang harmonis dan indah antara Wakil dan
yang diwakili, khusunya DPD.

Anda mungkin juga menyukai