Sebagaimana dikemukakan bahwa hubungan antara DPR, DPD, dan MPR sangat
erat. Di dalam dimensi kekuasaan dapat dinyatakan bahwa ketiga lembaga itu
berbagai kekuasaan dalam bidang legislatif sebagai bagian dari upaya untuk
mengakomodasikan aspirasi rakyat di indonesia.
Namun ada pula yang barangkat dari kekuasaan yang bersumber dari
kedudukan MPR sebagai suatu lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang
sangat besar, sebagai kualifikasi sistem parlemen dua kamar (bicameral system),
dengan kekuatannya ini di dalam kinerja sebagai aplikasi kekuasaan yang dimiliki
MPR telah memperkuat proses penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan
sistem “checks and balances” terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan
eksekutif.
Adapun kedudukan MMpr pada masa lalu adalah sebagai lembaga tertinggi
negara(Tap No: XX/MPRS/1966) bahkan sebagai penjelmaan rakyat yang sifatnya
superbody. Lembaga negara lainnya disebut sebagai lembaga tinggi negara berada
di bawahnya. Tetapi sebagai permusyawaratan rakyat dalam arti sebagai lembaga
negara biasa yang secara fungsional bersama dengan lembaga negara lainnya
menrefleksikan kekuasaan berdasrkan Undang Undang Dasar 1945.
Sekaitan dengan DPR maka susunan dan Keanggotaan DPR itu terdiri atas
anggota Partai Politik peserta Pemilu yang dipilih bersarkan hasil dari Pemilu yang
diselenggarakan secara periodik dengan mengacu pada substansi dan prinsip
kedaulatan rakyat, ditentukan dalam mekanisme keanggotaan DPR bahwa jumlah
seluruh anggota DPR itu adalah lima ratus lima puluh orang. Penetapan jumlah ini
diwakilkan wilayah dengan ketentuah bahwa tiap Kabupaten/kota mempunyai
wakil di DPR.
Berdasarkan aplikasi dari UUD 1945 pasca amandemen sebenarnya MPR tidak
dapat disebut sebagai parlemen, terutama dalam tugas dan wewenang secar
fungsionalnya. Kekuasaan untuk melakukan “checks and balances” dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara menjadi kekuasaan pokok. Hal ini
disebabkan MPR tidak memiliki kewenangan legislatif secara langsung sebagaimana
yang dimiliki oleh DPR. Sementara itu DPD sebagai salah satu dari dua kamar yang
terdapat dalam rumah parlemen bernama MPR, mempunyai kekuasaan untuk
melakikan akomodasi kepentingan Daerah darimana ia dipilih.
Sementara itu DPR sebagai salah satu dari dua kamar yang terdapat dalam
rumah parlemen bernama MPR ternyata juga masih memegang tugas dan
wewenang legislasi secara dominan. Ketentuan UUD 1945 bahkan meletakkan
kekuasaan legislatif pada DPR yang membawa akibat dalam proses politik, DPR
justru yang secara konkret mempunyai kekuasaan dalam bidang legislatif dan
merepresentasi fungsinya sebagai parlemen Indonesia. Hal ini juga dapat dicermati
pada kondisi obyektif bahwa meskipun DPD merupakan bagian dari MPR namun
demikian baik MPR sendiri sebagai lembaga maupun DPD tidak mempunyai
kekuasaan dalam bidang legislatif yang hanya dipunyai DPR
Dapat dicermati dari perumusan pasal yang substansinya bersifat umum dan
prosedur yang cenderung menyederhanakan prosedur yang sebenarnya sangat
menentukan terhadap substansi kinerja personal. Misalnya tentang duduknya
seseorang sebagai anggota DPD dengan hanya didasarkan pada jumlah perolehan
suara terbanyak. Tentu saja kekuatan seseorang yang terpilih dicerminkan dari
dikenal atau tidaknya oleh masyarakat pemilih.
Pada dimensi lain, ketajaman dan kejernihan dari seseorang anggota DPD
merepretasi keterwakilannya melalui aspirasi yang akan deperjuangkan seharusnya
juga menjadi pertimbangan. Benarkah seorang calon terpilih itu lebih mampu
memperjuangkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya? Padahal kemampuan
dan kecerdasan untuk memperjuangkan aspirasi ini juga menjadi inti keterwakilan
rakyat Daerah atas berbagai masalah yang dihadapi untuk dipecahkan secara
nasional di tingkat Pusat oleh anggota DPD yang mewakilinya. Dalam dimensi ini
tidak ada jaminan bahwa yang terpilih lebih mampu dan cerdas dibandingkan
dengan yang tidak terpilih.
Apa bila dicermati tugas dan wewenang DPD, maka menjadi terlihat jelas
peran dan fungsi DPD itu secara objektif tidak lebih dari sebuah lembaga yang
secara struktural bersifat subordinatif dari DPR. Demikian pula, jika lebih
dicermati lagi tugas dan wewenang MPR, maka tergambar jelas bahwa kekuasaan
MPR sangat mudah digunakan sebagai perpanjangan tangan DPR dalam
menjalankan kepentingannya. Atau dalam bahasa idealismenya membuat kebijakan
ketatanegaraan yang tidak bisa dilakukan oleh DPR secara kelembagan karena di
luar kekuasaannya. Sementara diketahui kekuatan di DPR tergantung pada
kekuatan politik yang dicerminkan dari kuatnya peran partai politik.
Masalah yang kiranya memerlukan perhatian dan catatan lebih khusus dari
keanggotaan DPD adalah sehubungan dengan kepentingan masyarakat yang
dimensinya adalah penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terutama
implementasi hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak atas
pembangunan yang layak.
Secara normatif, aturan untuk itu baik dalam konvensi internasional maupun
pada peraturan perundangan di Indonesia dinilai sudah cukup, tinggal bagaimana
aplikasinya yang sangat tergantung pada good will perangkat yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan aturan-aturan tersebut.
Secara lebih teknis issu yang akan diperjuangkan dapat denga jelas dan
mudah diakses masyarakat di Daerah, terutama masyarakat di wilayah pemilihan
anggota DPD. Tidak saja mencerminkan pola yang bersifat bottom up tetapi hal itu
juga sevagai bentuk pertanggungjawaban kinerja anggota DPD terhadap konstituen
atas perkembangan aktivitasnya.