Anda di halaman 1dari 17

VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

OPTIMALISASI FUNGSI PERTIMBANGAN DAN


PENGAWASAN DPD RI BERDASARKAN UUD NRI
TAHUN 1945
Robinsar Marbun dan Muhammad Helmi Fahrozi
Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular
Jalan Cipinang Besar No.2. 68 Jakarta Timur 13410, Indonesia
Email: fahrozy55@gmail.com

ABSTRAK

Dewan Pewakilan Daerah (DPD) adalah salah satu lembaga perwakilan di Indonesia. Untuk
menjadi anggota DPD di pilih melalui pemilihan umum sesuai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Proses pemilihan anggota DPD yang sudah
memiliki regulasi yang kuat berbanding terbalik dengan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai lembaga perwakilan pada kekuasaan legislatif di Indonesia. Dewasa ini, untuk
mengoptimalkan tugas dan fungsi DPD diperlukan kajian tentang fungsi pertimbangan dan
fungsi pengawasan DPD yang diatur oleh UUD NRI Tahun 1945, Sudut pandang penelitian
ini akan berbeda dengan penelitan lain yang telah mengkaji tentang DPD mengenai fungsi
legislasi, karena pada prinsipnya kedua fungsi DPD tentang pertimbangan dan pengawasan
yang saat ini perlu optimalisasi, agar kewenangan DPD dapat dimaksimalkan secara
komprehensif kembali. Penelitian yang akan dilaksanakan melalui pendekatan normatif
pembentukan lembaga DPD akan diperkuat dengan pendapat para ahli melalui wawancara,
sehingga ketika dipadu padankan hasil yang di dapat akan memberikan gambaran lembaga
DPD secara utuh. Penulis berharap hasil penelitian mengenai optimalisasi fungsi
pertimbangan dan pengawasan DPD ini akan menjadi hasil yang bermanfaat untuk
memperkaya literatur tentang DPD. Dikarenakan prinsipnya hasil dari penelitian ini akan
di publikasikan kepada Jurnal ilmiah baik yang belum terakreditasi maupun yang sudah
terakreditasi di tingkat nasional.

Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Optimalisasi Lembaga, Fungsi


Pertimbangan dan Pengawasan

PENDAHULUAN
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya ditulis UUD NRI 1945) mempunyai tujuan yang mendasar, bahwa perubahan
kesepakatan hukum negara (konstitusi) dirubah untuk mewujudkan negara yang lebih
demokratis. Motivasi perubahan yang dilaksanakan pasca reformasi tersebut menegaskan
bahwa hukum berdiri diatas segalanyanya, tingkah laku dan tindak tanduk masyarakat
maupun pemerintah berdasarkan hukum adalah perihal yang paling utama (Supremasi
Hukum).
Aspek hukum dalam supremasi hukum memiliki arti yang sangat luas, anatomi
supremasi hukum mempunyai cita-cita jauh dari kekuasaan yang otoriter, intisasri
40
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

supremasi hukum adalah menjamin hak-hak warga negaranya, sehingga perumusan


konstitusi melalui kesepakatan masyarakat dalam kodifikasi dasar hukum negara,
menciptakan sifat yang demokratis.1
Spektrum kekuasaan pemerintah didaerah sebelum pasca reformasi sangat terbatas,
kedudukan pemerintahan pusat untuk mengatur seluruh kebijakan pemerintahan daerah
terlihat mendominasi. Tidak terlalu banyak aspirasi daerah yang bisa direalisasikan oleh
pemerintah pusat, padahal sangat banyak kebutuhan dari masyarakat disetiap daerah yang
muncul dari perbedaan berbagai macam latar belakang, seperti perbedaan menerima
pendidikan hingga kondisi demografi disetiap daerah. Sebagai negara yang berkembang,
kondisi kebhinekaan budaya yang dimiliki Indonesia, prinsipnya perlu memiliki regulasi
yang komprehensif. Sehingga suara hak-hak rakyat didaerah dapat terpenuhi dan di
akomodir dengan baik oleh pemerintahan pusat.2
Demi tujuan kepada sebuah negara yang lebih adil, antara kekuasaan pusat dengan
kekuasaan yang ada di daerah, maka perlu adanya lembaga baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sehingga lembaga baru perlu dibentuk agar lebih mendengar
suara aspirasi dari daerah. Perkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia pasca
reformasi telah membentuk satu lembaga tinggi negara dengan yang di tuangkan dalam
UUD NRI 1945, Lembaga yang mengakomodir untuk memberikan ruang kepada daerah
melalui sistem perwakilan sebagai bagian dari pemerintahan pusat, artinya lembaga ini
dapat menjadi kanal untuk memberikan kebijakan ditingkat nasional.
Dewan Perwakilan Daerah dibentuk melalui sistem perwakilan untuk menjalankan
tugas dan tanggung jawab legislasi, cita-citanya agar kekuasaan tidak betumpu pada satu
pihak saja seperti pada zaman orde baru, dimana kekuasaan pemerintah eksekutif lebih kuat
(excutive heavy) dari pada kekuasaan lainnya.3 Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (selanjutnya disebut DPD) adalah lembaga yang lahir dari rahim demokrasi.
Norma kedudukan pembentukan DPD dituangkan pada BAB VII Pasal 22C dan Pasal 22D
UUD NRI Tahun 1945.
Penambahan keterangan kedudukan DPD kemudian dipertegas bahwa DPD menjadi
bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disebut
MPR), Pasal 2 ayat 1 memberikan keterangan bahwa MPR RI terdiri dari Dewan Perwakilan

1 Dahnial Khumarga, “Menuju Cita Supremasi Hukum,” Law Review 2, no. 3 (2003).
2 Ginandjar Kartasasmita, “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia,”
Jurnal Majelis 1, no. 1 (2009): 67–84.
3 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem

Presidensial Indonesia (RajaGrafindo Persada, 2010).


41
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

Rakyat (DPR) dan DPD. DPD yang dimana anggotanya berasal dari berbagai daerah atau
provinsi tercipta sebagai lembaga perwakilan memiliki kedudukan yang sama dengan
lembaga seniornya yang terlebih dahulu tercipta sebagai lembaga perwakilan dan di usung
dari partai politik yaitu DPR.4
Secara tekstual fungsi DPD sebagai lembaga perwakilan berdiri diatas dua buah
fungsi operasional. Fungsi pertama mengenai kewenangan membentuk perundang-
undangan (Legislation Function), artinya DPD dapat mengajukan dan membahas serta
mengikuti pembahasan rangkaian pembentukan rancangan undang-undang mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam konteks lain fungsi kedua DPD dapat melaksanakan fungsi pengawasanya atas
semua perihal undang-undang yang berkaitan mengenai otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah serta APBN, pajak, pendidikan dan agama. Atas dasar kedua
fungsi yang dijalankan tersebut DPD dapat memberikan atau menyampaikan
pertimbangannya kepada DPR untuk ditindaklanjuti, apakah setiap pengajuan dan
pembahasan undang-undanag serta setelah melaksanakan pengawasan oleh DPD yang
menjadi wilayah kewenagannya dapat menjadi suatu kebijakan yang dapat di putuskan oleh
kekuasaan di bidang legislatif.
Aspek utama yang dapat dicitrakan bahwa DPD saat ini sebagai lembaga perwakilan
adalah berfungsi secara konkrit mengenai tugas pengawasan DPD tentang pelaksanaan
undang-undang yang menjadi Pertimbangan DPD yang dapat diterima oleh DPR. Tujuan
pembentukan DPD secara fiosofis lebih di dorong oleh kepentingan mewarnai kebijakan
pemerintah nasional dengan memberikan ruang baru bagi kepentingan masyarakat daerah,
kenyataan kebutuhan didaerah sangat majemuk jika dilihat dari konteks beragamnya
budaya yang ada di daerah. Fungsi DPD mengajukan RUU tentang otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

4 Ibid.

42
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

Factor penting mengenai Fungsi DPD adalah membahas rancangan undang-undang


yang berkaitan dengan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah serta RUU tentang APBN pajak, pendidikan dan agama DPD juga memiliki fungsi
pertimbangan di dalam pengangkatan pejabat publik, meskipun hanya terbatas pada
pertimbangan dalam pengangkatan anggota BPK.

PERMASALAHAN
Atas dasar urgensi fungsi DPD yang sangat besar bagi sistem ketatanegaraan di
Indonesia maka kiranya perlu bagaimana mengoptimalisasikan dalam melaksanakan fungsi
DPD sebagai lembaga perwakilan yang mana posisi atau kedudukan hierarki lembaga
bahwa DPD berada pada jajaran pemerintahan pusat, dan fungsi tersebut jika adanya
perubahan atau inovasi baru terhadap pembaharuan lembaga DPD, namun tetap tidak
kelular dari koridor konstitusi UUD NRI Tahun 1945.

METODE PENELITIAN
Penelitian dan tulisan ini dibuat dan disusun dengan menggunakan metode
penelitian normatif yuridis yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.5 Tipologi penelitian ini bersifat deskriptif-naratif,6
dengan menekankan pada penggunaan data sekunder7 yang diperoleh melalui studi
pustaka. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode kualitatif. 8 Selain itu,
penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang yang dilakukan dengan menelaah
beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi lainnya yang bersangkutan dengan
tema penelitian.

5Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Badan Penebit FHUI,

2005), hlm. 69.


6Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10: Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
7Mamudji, op.cit., hlm. 28: Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.
8Mamudji, op.cit., hlm. 32: dengan menggunakan metode kualitatif seorang peneliti bertujuan untuk

mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.


43
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

PEMBAHASAN
Perpektif Politik, Hukum serta Kewenangan dan Peranan DPD
Kewenangan dan perana DPD ditunjukkan dalam eksekusi fungsi dan tugas, yaitu:
legislasi, pengawasan dan fungsi nominasi. Tugas dan fungsi itu mengaitkan langsung dan
tidak langsung dengan tata pemerintahan. Seperti dikatakan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan dan negara di negara hukum terutama dalam sistem kontinental harus
berdasarkan prinsip azas legalitas. Artinya setiap keputusan tndakan negara harus
mendapat persetujuan parlemen. Kedudukan dan fungsi DPD harus memenuhi azass
legalitas. Namun bagaimana pemenuhan azas legitimitas fungsi dan peranan DPD, artinya
sedalam apa kehadiran DPD berikut tugas dan fungsinya dimengerti dan hasil
pelaksanaannya dirasakan manfaatnya oleh rakyat dan masyarakat daerah di Indonesia.
Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenagan menjalankan pemerintahan dalam
konteks berbangsa dan bernegara yang bertumpu pada keadilan harus memenuhi syarat,
Efektif, legitimate, yuridis, legal, menghormati dan menjunjung tinggi nilai moral dan etik
dalam menjalankan tugas dan fungsi, mendasarkan teknik dan teknologi untuk
mengembangkan dan menjaga mutu
Wewenang untuk menjalankan pemerintahan memiliki dimensi politik dan hukum.
Wewenang bukan hanya berdimensi politik yang menunjukkan hak unutk berbuat atau
tidak berbuat, tapi wewenang harus berdimensi hukum yang menunjukkan hak untuk
memenuhi tugas dan kewajiban. Wewenang yang dijalankan pemerintah adalah proses dan
bentuk memperjuangkan hak dan kewajiban bagi pemberi layanan (pemerintah) dan untuk
yang dilayani yaitu rakyat dan masyarakat.
Kedua hal itu harus dalam kondisi dan dijalankan secara seimbang, proporsional
agar kewenangan dapat dijalankan berkelanjutan dan menghasilkan produk yang optimal
kewenangan lembaga original legislator seperti Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR)
Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan lembaga
delegated legislator seperti eksekutif yakni Presiden berserta Jajaran kabinetnya serta
lembaga lembaga yang berada di bawahnya, artinya dalam melaksanakan fungsi
kelembagaan harus dijamin memiliki komunikasi social politik dan berlangsung efektif.
Dengan begitu kewenangan dapat dijalankan secara efektif dan menghasilkan
produk yang optimal. DPD dalam hal ini juga harus menjalankan kewenagan seiring tugas
dan fungsinya secara proporsional dan menguatkan fungsi check and abalances hubungan
interaksi kelembagaan tersebut. Keadaan yang tidak cukup baik dalam wilayah politik dan

44
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

hukum menyangkut kewenangan DPD menurut tugas dan fungsinya; legilasi, pengawasan
nominasi, dan isu serta permasalahan yang timbul, misalnya pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah dalam berbagai aspek telah menggambarkan kondisi dimana DPD belum
berfungsi optimal, baik dan benar.
Solusi yang baik dan benar sampai saat ini belum dapat dilakukan efektif menjangkau
kepentingan rakyat dan masyarakat. Berbagai problem pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah mendorong lebih aktif dan pro aktif melakukan dan mewujudkan
kewenangan dan peranannya fenomena politik dan hukum menganai pemilihan umum
kepala daerah juga memiliki kondisi pro dan kontra, bahwa hubungan pemerintah dan
pusat artinya belum sepenuhnya efektif, komunikasi social politik masih mengalami
distorsi, sehingga pesan kebijakan pusat kerap tidak direspon baik oleh pemerintah daerah;
dan aspirasi daerah dalam berbagai bidang pembangunan belum diakomodasi secara
proporsional dan efektif oleh pemerintah pusat.
Keadaan ini menyebabkan pelaksanaan pembangunan di daerah dan hasil
pelaksanaannya tidak terdistribusi dengan abik, sehingga kesenjangan sosial ekonomi
daerah antar daerah masih terasa. Maka desentralisasi dan otonomi daerah yang
diharapkan mendekatkan dan melancarkan pelayanan publik dan mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah tidak tercapai secara optimal. Dewan
Perwakilan Daerah mesti meresponnya dengan langkah yang berencana mendasarkan
kebijakan dan program yang pro rakyat dan masyarakat untuk menemukan solusi.
Penyerapan anggaran untuk pelaksanaan pembangunan di daerah sangat lambat,
karena pejabatnya khawatir dan takut menyalahi ketentuan peraturan perundang-
undangan dan berujung terkena sanksi hukum. Hal ini sebagai perbuatan untuk
menjalankan tugas dan fungsi yang mengabbaikan kewenangan untuk pelayanan rakyat.
Fenomena ini berlangsung sampai saat ini, DPD sepertinya belum cukup merespon keadaan
yang sudah seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawabnya fungsi pengawasan
khususnya pengawasan terhadap pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah belum
nampak dijalankan, dikalangan masyarakat umum terlihat DPD sangat kurang netral dalam
politik.
Dewan Perwakilan Daerah yang berhaluan politik kebangsaan dalam praktek
cenderung bias kepentingan kepada politik kekuasaan, misalnya; terbelahnya DPD dalam
dua kubu sikap dan tindakan DPD terbaca memihak pada satu kubu. Sehingga peranan DPD
bias akan kepentingan yang mengarah pada keuntungan bagi lembaga DPD sendiri. Hal ini

45
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

menjadi salah satu faktior yang kurang positif bagi aktualisasi peran DPD. Misalnya,
dukungan terhadap usulan dana aspirasi DPR pada pemerintah.
Kewenangan DPD dalam pelaksanaannya tugas dan fungsi tereduksi oleh
keberpihakan perlu ditinjau kembali, karena dapatmenguatkan dugaan tentang adanya
sebuah kekurangan atau adanya kelemahana pada aspek legitimasi DPD dan azas yuridis
lembaga negara berdasarkan persyaratan standart kewenagan DPD yang memperjuangkan
terwujudnya keadilan sosial.

Urgensi Optimalisasi Pembaharuan Dewan Perwakilan Daerah


Tuntutan desentralisasi atau otonomi daerah mengharuskan adanya perubahan yang
mendasar dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang selama ini diambil secara
terpusat, kini masyarakat dan daerah harus diikutsertakan untuk merumuskan berbagai
kebijakan mengenai kehidupan mereka. Masyarakat ingin ikut menentukan nasibnya
sendiri. Dalam kerangka itu, kehadiran DPD sebagai wakil geopolitik mampu menjaring
aspirasi masyarakat daerah untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan politik
pada tingkat nasional. Dengan cara itu, masyarakat daerah akan puas dan merasa sebagai
bagian dari negara dan ikut bertanggung jawab terhadap maju mundurnya negara ini.
Kehadiran DPD melalui amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tahun 2001 dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, melahirkan
suatu konsep baru mengenai sistem perwakilan. Sebelumnya sistem perwakilan yang dianut
adalah satu kamar, kini mengarah ke sistem dua kamar, namun belum terwujud sepenuhnya
karena DPD memiliki kewenangan yang sangat lemah apabila dibandingkan dengan
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ada dua alasan lahirnya lembaga DPD, yaitu: pertama, kebutuhan untuk
mengartikulasikan aspirasi masyarakat daerah secara struktural. Adanya badan khusus
yang merepresentasikan wilayah-wilayah, diharapkan mampu mengakomodasi
kepentingan masyarakat di daerah melalui institusi formal di tingkat nasional. Kedua,
memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan demokratisasi melalui mekanisme checks and
balances antara kedua kamar. Keberadaan sistem bikameral pada lembaga perwakilan
rakyat diharapkan semakin meningkatkan kualitas fungsi legislasi dan pengawasan.
Dewan Perwakilan Daerah seharusnya merupakan salah satu kamar dari sistem
perwakilan dua kamar yang diberi nama MPR. Fungsi MPR dilaksanakan oleh DPR dan
DPD. Kewenangan kedua kamar ini dibedakan secara tegas, yaitu DPD lebih berkaitan

46
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

dengan hal-hal kedaerahan, sedangkan DPR melaksanakan fungsi legislasi dengan materi
dalam skop nasional. Fungsi pengawasan DPD harus diberikan secara sempurna yakni tidak
bersifat persuasif melainkan imperatif. Demikian juga hasil pengawasan tidak perlu
dilaporkan kepada DPR melainkan harus ditindaklanjuti sendiri. DPD juga berwenang ikut
dalam membahas RAPBN dalam rangka memperjuangkan kepentingan daerah.
Untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan, maka DPD sebagai badan
perwakilan diberikan hak-hak tertentu, seperti hak-hak yang diberikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Hak-hak DPD dalam rangka pengawasan mengikuti hak-hak badan
perwakilan pada umumnya, yakni :
1. Hak mengajukan pertanyaan, yaitu hak badan perwakilan rakyat untuk mengajukan
pertanyaan kepada pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan. Pertanyaan dapat dilakukan secara lisan dan juga bisa
dilakukan secara tertulis.
2. Hak meminta keterangan, hak ini disebut juga hak interpelasi, sebagai bentuk
pengendalian terhadap jalannya pemerintahan, hak interpelasi mempunyai bobot
pengaruh yang lebih efektif daripada pertanyaan biasa. Dalam tanya jawab interpelasi
terdapat perdebatan yang bersifat kritis dan terbuka.
3. Hak angket, adalah hak penyelidikan yang dilakukan oleh badan perwakilan rakyat untuk
memperoleh pandangan mengenai suatu hal untuk memperoleh keterangan tentang
suatu penyelewengan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk penyimpangan
dalam bidang keuangan.
4. Hak mengajukan pernyataan pendapat, merupakan resultante dari pelaksanaan hak
bertanya, hak interpelasi, dan hak angket. Biasanya badan perwakilan dalam melakukan
fungsi pengawasan menemukan adanya penyimpangan, maka yang pertama dilakukan
adalah mengajukan pertanyaan kepada pemerintah. Apabila jawaban atas pertanyaan
tersebut tidak/kurang memuaskan dari pemerintah, maka dilanjutkan dengan hak untuk
meminta keterangan dari pemerintah. Jika, dari pelaksanaan hak meminta keterangan
ini menimbulkan kecurigaan, maka badan perwakilan dapat menggunakan haknya untuk
mengadakan penyelidikan secara tuntas terhadap hal-hal yang masih dinilai tidak beres
dan yang menimbulkan kecurigaan itu. Hasil dari penyelidikan ini, kemudian melahirkan
hak badan perwakilan mengajukan pernyataan pendapat kepada pemerintah.

47
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

Berkaitan dengan itu, pengaturan dalam Pasal 22 D ayat (3) Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang MD3 perlu dilakukan
perubahan seperti berikut ini
“Dewan Perwakilan Daerah melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama
serta menindaklanjuti sendiri hasil pengawasannya”.
Selanjutnya, perlu ditambahkan satu ayat baru mengenai hak-hak DPD dalam
rangka pengawasan, yang rumusannya sebagai berikut:
“Dalam melaksanakan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Daerah
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan, hak
angket, dan hak mengajukan pernyataan pendapat”.
Pengaturan seperti tersebut, akan memperkuat kedudukan DPD dalam rangka
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, harapan akan adanya
checks and balances di antara lembaga perwakilan dapat terwujud.

Sifat Subordinasi Menuju Perubahan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah


Penataan lembaga-lembaga negara pasca Amandemen Keempat Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di era reformasi masih terus di diskusikan
dalam rangka mencari format ideal sistem ketatanegaraan Indonesia yang sekarang ini
berada dalam perspektif demokrasi konstitusional. Pergeseran kekuasaan yang terjadi
sebagai akibat amandemen menimbulkan implikasi sebagai berikut: Pertama, gagasan
pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif;
Kedua, gagasan pemilihan Presiden secara langsung yang berkaitan dengan konsep
pertanggungjawaban Presiden secara langsung kepada rakyat; Ketiga, gagasan
restrukturisasi parlemen menjadi dua kamar (bicameralism) dalam rangka menampung
aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang sejalan dengan makin luasnya otonomi
kepada daerah-daerah.
Berdasarkan perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, gagasan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusung semangat
perubahan, yaitu (a) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI, dan

48
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; (b) meningkatkan agregasi dan


akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional
berkaitan dengan negara dan daerah; (c) mendorong percepatan demokrasi pembangunan
dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Hanya saja pada realitanya semangat di atas sulit dicapai dengan keterbatasan
kewenangan yang dimiliki DPD saat ini. Dalam tradisi bikameral, biasanya dikembangkan
sistem bikameral yang kuat (strong becameralism), dalam arti kedua kamar dilengkapi
dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Namun,
dalam kaitan dengan pembentukan DPD cenderung menganut soft-bicameralism atau
sistem “satu setengah kamar” sebagaimana tercantum dalam pasal 22D ayat 1, 2 dan 3,
yaitu:
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU
APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama.
(3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya
itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Selain itu, konstruksi kelembagaan DPD dalam melaksanakan fungsi legislasi,
anggaran dan pengawasan, sangat tergantung pada DPR, misalnya dalam pasal 248
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa fungsi DPD:

49
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

1. Pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,


hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
2. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama.
Baik dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 maupun dalam pasal 248 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, secara eksplisit
menyatakan bahwa tugas DPD dibatasi pada sembilan kewenangan dan ini merupakan
suatu bobot yang sangat penting untuk menjamin kepentingan daerah dalam dinamika
politik nasional. Namun, alangkah baiknya dalam melaksanakan fungsi tersebut, DPD
mempunyai kewenangan yang utuh dan otonom.
Karena jika dalam pembentukan Undang-Undang pada lingkup kewenangannya,
DPD tidak otonom, maka kehadiran DPD dalam melaksanakan fungsi checks and balances
terhadap pemerintah sangat lemah dan kurang berpengaruh. DPD terkesan sebagai
lembaga yang tersubordinasi dalam sistem parlemen, sehingga struktur ini seolah ada dua
tingkat parlemen. Demikian pula, jika DPD hanya diikutsertakan dan hanya memberikan
pertimbangan, maka itupun bukan suatu kewajiban, boleh diikut sertakan boleh tidak, dan
boleh diterima atau didiamkan pertimbangan yang disampaikan, karena DPD tidak ikut
memutuskannya.
Penataan fungsi perwakilan oleh DPD dapat sebagaimana amanat Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas harus dilakukan dalam semangat
kekuatan seimbang dari DPR dan DPD agar keduanya saling berinteraksi dan melengkapi
menjadi postur perwakilan politik yang semakin kuat dalam menjamin keefektifan

50
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

pemerintahan. Penguatan DPD ditempatkan dalam konteks memberikan ruang bagi


terciptanya sistem perwakilan politik Indonesia yang efektif, karena DPD dan DPR sama-
sama menjalankan fungsi setiap hari.
Namun, DPD tidak dapat bekerja maksimal, karena kewenangan yang melekat pada
dirinya sangat terbatas. Sebagai lembaga perwakilan, DPD sewajarnya juga memiliki hak
yang sejajar baik dalam melaksanakan fungsi legislasi, fungsi kontrol dan anggaran dalam
sistem pemerintahan presidensial. Pemberian kewenangan yang lebih otonom kepada DPD
akan menegaskan posisi akuntabilitas DPD terhadap kepentingan daerah sebagai bentuk
perwakilan berdasarkan teritori mengingat Indonesia memiliki keragaman daerah yang
tinggi dan kompleks.

Pandangan Responsif Sosiologi Hukum untuk Optimalisasi Fungsi Dewan


Perwakilan Daerah
Pada prinsipnya jumlah anggota DPD sama dengan jumlah provinsi di Indonesia dan
tidak boleh melebihi spertiga jumlah anggota DPR RI sesuai Pasal 22C ayat 2 perubahan
ketiga UUD NRI Tahun 1945, kemudian dalam ayat 3 mengenai kewenangan DPD bahwa
lembaga yang menjadi bagian dari bicameral sistem itu paling tidak bersidang sedikitnya
sekali dalam setahun, secara struktural dalam lembaga tinggi negara terkait kedudukan,
peranan dan susunan DPD diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 pada ayat ke 4, bahwasannya
sebagai pembuat undang-undang yang tidak sepenuhnya melakukan kegiatan legislasi
seprti pada teori legislasi pada umunya, namun tetap di sejajarkan sturktur sama dengan
lembaga DPR.
Status legalitas dan yuridiksi DPD ini menunjukkan sangat memungkinkan adanya
hubungan atara DPD dengan lembaga DPR akan berjalan dengan tidak efektif, begitu pula
pada aspek dukungan politis dan segala saran dan prasarana atau fasilitas antara DPR
dengan DPD bahwa sejatinya fasilitas DPD sangat jauh dari kata proporsional, maka atas
dasar tersebut dapat saja menghambat akan kinerja dan terlaksananya tugas dan tanggung
jawab berjalan secara optimal.
Kehadiran lembaga adalah fungsi dari kepentingan aspirasi rakyat dan masyarakat.
Asumsinya lembaga mendorong dan memfasilitasi bagi tumbuh dan berkembangnya
kepentingan dan aspirasi sehingga berbagai kondisi tentang hal itu di ketahui disadari dan
wajib ditindaklanjuti. DPD sebagai lembaga tinggi negara diharapkan secara normatif dan

51
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

aktif memperhatikan kepentingan dan aspirasi rakyat dan masyarakat demi terwujudnya
kehidupan, kesejahteraan sosial yang makin baik dan berkualitas.
Semua aktivitas DPD dalam melaksanakan kewenangan dan peranan adalah
gambaran realitas hukum atau realitas peraturan di Indonesia yang tidak mesti sesuai
dengan harapan. Di masyarakat, peraturan perundang undangan (rule of law) memiliki
sifat yang relative, karena kondisi normatifnya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
kesadaran, sikap dan respon masyarakat itu terhadap program kegiatan yang dibalut, dan
dipedomani dengan ketentuan aturan hukum. Kewenangan DPD secara yuridis dan politik
idealnya berlangsung sinergis, kedudukan dan peranan DPD adalah legalistik konstitutional
dalam UUD 1945, dan secara politis memiliki kekuasaan untuk dijalankan menurut tugas,
peranan dan fungsi yang diemban untuk mencapai tujuan tertentu.
Secara kongkrit dinyatakan bahwa kewenangan DPD diwujudkan menurut peranan
langsung dan proporsional sesuai ketentuan fungsi legal, misalnya desentralisasi dan
otonomi daerah dan sebagainya. Oleh karena itu semua yang sesuai dengan kapasitas fungsi
politik dengan menjalankan peranan secara baik dan benar, sehingga pencapaian tujuannya
efektif. Namun jika hasil pelaksanaan fungsi dan peranan DPD itu harus bermuara ke DPR,
dan fungsi itu tidak didukung secara proporsional dengan fasilitas yang dibutuhkan, maka
DPD tida dapat menjalankan fungsinya secara menyeluruh.
Sosok anggota DPD dipilih dalam pemilu, bersamaan dengan pemilihan anggota
legislatif. Setiap provinsi dipilih satu orang dari calon yang maju oleh para pemilih di
provinsi yang bersangkutan. Dari pelaksanaan yang telah berjalan tercatat bahwa calon
anggota DPD cenderung tidak begitu diketahui atau dikenal oleh masyarakat umum sebagai
konstituen atau pemilih di daerahnya masing-masing. Sedang calon anggota dari daerah
pemilihan sendiri adalah sosok elite sosial politik yang juga kurang dikenal rekam jejak dan
karakteristik sosial dari sosok perorangannya.
Calon yang terpilih adalah sosok anggota DPD yang mewakili daerahnya, sosok
anggota DPD tidak mesti dapat mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat.
Meraka warga masyarakat daerah yang dinilai masyarakat sebagai perwakilan yang mampu
mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi, dan mampu mengakomodasi masyarakat yang
tidak muncul dalam bursa pemilihan.
Proses pemilihan itu belum menjamin terakomodasi dan terealisasinya aspirasi
kepentingan masyarakat. Kedudukan DPD berada di pusat pemerintahan tidak mempunyai
organ struktural di daerah, sementara kepentingan dan aspirasi masyarakatnya yang harus

52
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

diakomodasi kepentingan dan aspirasinya tinggal dan hidup di daerah maka dimungkinkan
terjadi kondisi diproporsional akomodasi dan pelayanan terhadap kepentingan dan aspirasi
masyarakat di daerah.
Dewan Perwakilan Daerah memiliki prinsip cita cita yang dapat berkomunikasi
dengan sosial politik di daerahnya dapat berjalan dengan lebih baik ketimbang DPR, namu
realitasnya hari ini kondisi secara formal terjadi komunikasi yang kurang maksimal,
disebabkan karena eksistensinya yang tidak terlalu cenderung terdengar oleh masyarakat
dan juga kondisi informal yang terjadi secara efisiensi dan efektifitas pemahaman yang
diterima oleh masyarkat tidak terwujud akan adanya lembaga DPD yang menjadi
representatif daerah di tingkat pemerintahan pusat.
Harapan masyarakat akan kewenangan dan peranan DPD tersebut bisa berdampak
buruk terhadap citranya di masyarakat. Perjalanan mengaktualisasikan kewenangan dan
peran DPD selama hampir satu dekade dirasakan kurang berjalan dengan lancer, bahkan
beberapa kali kesempatan lembaga DPD tersandung akan tindakan kriminal yang
memerlukan beberapa anggotanya perlu di lanjutkan sanksi-sanksi pidana yang seharusnya
tidak perlu terjadi. Proses formal yang dilaksanakan DPD sebagai bagian dari pemerintahan
pusat dibidang legislatif lebih dipandang sebagai lembaga ‘asesori’ saja, Fenomena social
politik yang di lalui DPD mengindikasikan betapa besar tantangan mewujudkan
kewenangan dan peran DPD
Makna utama dari pembentukan DPD adalah sebagai instrument perubahan sosial,
dan juga sebagai sarana dan prasarana bagi pembangunan nasional dibidang sosial, politik,
ekonomi dan sebagainya. Misal saja dilihat dari aspek politik DPD di gadang-gadang akan
menjadi poros penting untuk perubahan dan mendorong laju pembaharuan pembangunan
nasional.
Selain itu di dalam bidang hukum DPD memiliki fungsi dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang menjadi salah satu unsur perubahan sosial, sehingga
berangkat dari beberapa aspek penting DPD sejatinya meiliki peranan yang sangat penting,
oleh karena itu sebagai lembaga tinggi negara dalam pemerintahan pusat DPD perlu
penguatan dan optimalisasi fungsi agar dapat bersinergi dengan lembaga lainnya, Roscou
Pound mengungkapkan teorinya bahwa hukum adalah sarana bagi keberhasilan perubahan
sosial.
Sejatinya teori pound tersebut dapat di aplikasikan di Indonesia dan khususnya
kepada lembaga DPD, namun dengan syarat kehidupan demokrasi dapat berjalan dengan

53
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

lebih baik dahulu serta berkembang dengan natural, sehingga dapat dihayati dalm interaksi
social pada masyarakat dan sudang barang tentu dalam komunikasi politik pada jajaran
lembaga lembaga negara yang lainnya.
Sistem hukum di setiap negara memiliki kekuasaan paksa terhadap kepputusan yang
ditunjukkan pada struktur hubungan sosial di masyarakat, namun seringkali pada
kenyatannya hubungan social itu tidak terjadi sesuai yang diharapkan seperti pada
kenyatannya, hal ini disebabkan karena adanya faktor sistem eksternal yang berpengaruh
sangat kuat yang tidak mampu dijangkau pengawasannya.
Berdasarkan pemikiran yang telah digambarkan sebelumnya diuraikan dalam
penulisan ini, muncul sebuah pemikiran akan adanya responsifitas pembaharuan
alternative untuk menghadapi tantangan bagi lembaga DPD, terkait mewujudkan fungsi
optimalisasi dibidang pengawasan dan pertimbangan yang menjadi tugas utama lembaga
DPD sendiri.
Untuk mewujudkan upaya peranan kewenangan yang lebih optimal sehingga dapat
menyerap kepentingan dari aspirasi masyarakat yang berkembangsecara dinamis, guru
besar hukum universitas airlangga pernah menyatakan bahwa, setiap stakeholders dalam
melaksanakan roda pemerintahan bernegara dan berbangsa maka DPD harus lebih peka
dan kritis dalam melakukan tindakan, dalam berfikir serta dalam melakukan kebijakan yang
dimiliki dari kekuasaan sebagai lembaga di tingkat pusat. Dalam melaksanakan peranan
dan kewenangan muaranya adalah meng akoomodasi kepentingan dan aspirasi masyarakat
demi terwujudnya kesejahteraan hidup rakyat yang berkeadilan sosial.
DPD sejatinya memerlukan adanya mekanisme dalam sistem hubungan, interaksi
dan komunikasi sosial politik yang kondusif bagi terwujudnya sinergi dan kemitraan
peranan antara lembaga-lembaga tinggi negara seperti kepada lembaga kekuasaan legislatif
agar dapat bersinergi terlebih dahulu secara maksimal sesuai dasar negara Pancasila dan
amanat UUD NRI Tahun 1945 untuk menguatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dan
bermasyarakat. DPD diharapkan lebih peka dan kritis secara bertanggung jawab dari DPD
dalam menjalankan kewenangan dan peranan karena pada akhirnya akan bermuara yang
mengartikulasikan kepentingan masyarakat daerah, bukan hanya golongan maupun
kelompok tertentu di daerahnya.
Pada aspek lain sebagai lembaga tinggi menjadi bagian dari lembaga Majelis
Permusyawaratan rakyat, perlu peninjauan kembali mekanisme interaksinya dan
komunikasi social politiknya agar setiap kewenangan yang dimiliki dari peran DPD dan DPR

54
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

untuk menjernihkan, mencerahkan dan mengembangkan spiritualitas kewajiban


menghormati dan menjunjung tinggi dan mengartikulasikan nilai kedaulatan rakyat yang
dapat dimanifestasikan dalam kebijakan public dan program program serta dapat
dilaksanakan pemimpin eksekutif dengan segenap jajaran pusat maupun daerah. DPD
prinsipnya uga membutuhkan politik hukum yang mempedomasni pelaksanaan tata negara
dan tata kelola pemerintahan serta pengembangan dan pelaksanaan demokrasi perwakilan
di Indonesia
Dalam menjalankan roda pemerintahan DPD terus memahami kewenangan dan
peranan yang wajib dijalankan sesuai dengan amanat konstitusi, azas legalitas yuridis dan
legitimate dan dapat menjalankannya dengan konsisten, baik dan benar agar mencapai hasil
optimal dan efektif untuk itu, DPD perlu melakukan refleksi wewenang kedudukan, peranan
dan program-program kegiatan yang telah dilaksanakan serta melakukan evaluasi seluruh
aspek secara jujur dan ikhlas serta terbuka agar kedepan kewenangan dan peranannya lebih
proporsional dan tepat sasaran.
Dari berbgai macam sifat dan bentuk kepentingan dan aspirasi rakyat dan aspirasi
rakyat dan masyarakat daerah dengan dinamika yang terjadi wajib dipahami, didentifikasi,
digali dan ditemukan dari sumber sumber yang benar, tapat dan relevan
Sesuai dengan kewenangan DPD dan perannya maka wajib mengembangkan dan
memiliki pusat data yang menghimpun data kuantitatif maupun kualitatif, bersifat individu
kelompok social maupun kelembagaan agar dapat dipergunakan untuk membuat rencana
program kegiatan secara cepat, dapat dilaksanakan, membuat sosial yang diperlukan secara
tepat, benar, baik, efektif dan efisien, data yang diperoleh oleh badan pusat statistic daerah,
laporan dan dokumen kebijakan, peranan dan perencanaan program yang dilaksanakan,
dokumen hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan daerah (Musrembangda),
dokumen kegiatan dan partisipasi masyarakat dari lembaga pemerintah di daerah juga dari
lembaga swadaya masyarakat, dan dari tokoh masyarakat daerah DPD lebih meluaskan
jaringan kerjasama individu sosial dan kelembagaan pada pemerintah daerah masing-
masing, LSM daerh dan nasional, berbagai tokoh masyarakat didaerah dan dipusat,
setidaknya DPD perlu memiliki komite didaerah yang membantu dan mendukung
mengatualisasikan kewenganan dan perannya secara lebih efektif dan optimal.

55
VOLUME 5 Nomor 1 Tahun 2021

PENUTUP
Pemikiran tentang optimalisasi fungsi kewengan Dewan Perwakilan Daerah pada
aspek pengawasan kiranya perlu perbaikan dalam peraturan perundang-udangan yang
utama yakni adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang ke Lima, artinya perubahan yang membutuhkan proses tidak mudah ini seperti
dorongan social dan politik memang perlu dilakukan agar pengawasan yang dijalankan DPD
betul betul optimal dan berdasarkan dasar hukum yang kuat. Tidak hanya fungsi
pengawasan yang menjadi tugas dan tanggung jawab DPD terhadap keuangan negara yang
disalurkan kepada daerah, dan juga pengawasan akan berjalannya peraturan perundang
udangan yang terkait akan kepentingan daerah, fungsi dan tanggung jawab DPD yang
menjadi lembaga pertimbangan, apabila ingin berjalan dengan optimal maka sekiranya
DPD harus menjalin komunikasi social dan politik yang efektif dan baik kepada lembaga
legislatif ‘teman sejawatnya’ yakni Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila seluruh kebijakan
atau keputusan yang menjadi bargaining pertimbangan DPD bahwa berujung pada
lembaga DPR sudah sepantasnya untuk DPD dapat melaksanakn politik hukum yang
konsisten untuk berhubungan dan bersinergi dengan baik oleh DPR.

DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah Arifin, DKK, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, Konsorsium reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerja sama dengan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), (Jakarta, Sekretariat Jendral
MKRI, 2005
Indra J Piliang dan Bivitri Susanti, Untuk apa DPD RI, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta,
2007
James A. Gardner, The Sociological Jurisprudence of Roscoe Pound, 1996
Kartasasmita, Ginandjar. “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan
Indonesia.” Jurnal Majelis 1, no. 1 (2009): 67–84.
Khumarga, Dahnial. “Menuju Cita Supremasi Hukum.” Law Review 2, no. 3 (2003).
Muhammad Ali safaat, DPD Sebagai Lembaga Perwakilan Daerahdan Proses Penyerapan
Aspirasi,2010
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam
sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010
Perubahan Keempat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

56

Anda mungkin juga menyukai