0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
75 tayangan6 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia menurut beberapa sumber hukum seperti UU 1950, Ketetapan MPRS 1966, dan Ketetapan MPR 2000.
2. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut meliputi Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.
3. Ada beberapa tanggapan terhadap pengaturan
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Tugas Individu Ilper B Reg FH UI; Rangkuman Bab V, Hierarki Peraturan Perundang-Undangan RI - Mirza (2019).docx
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia menurut beberapa sumber hukum seperti UU 1950, Ketetapan MPRS 1966, dan Ketetapan MPR 2000.
2. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut meliputi Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.
3. Ada beberapa tanggapan terhadap pengaturan
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia menurut beberapa sumber hukum seperti UU 1950, Ketetapan MPRS 1966, dan Ketetapan MPR 2000.
2. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut meliputi Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.
3. Ada beberapa tanggapan terhadap pengaturan
NPM : 1706049200 Program Studi : S1 Hukum Reguler Kelas : Ilmu Perundang-Undangan B
TUGAS ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
RANGKUMAN BAB V: HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan merupakan sebuah tata susunan
perundang-undangan yang menjadi sumber tertib hukum di Indonesia. Tata susunan perundang-undangan dirumuskan secara berjenjang dan berlapis-lapis yang berisi peraturan perundang-undangan hierarki tinggi sampai dengan rendah; dimana yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada yang lebih tinggi, sesuai dengan Stufentheorie menurut Hans Kelsen. Hierarki peraturan perundang-undangan dalam sejarahnya tidak pernah diatur secara tegas, baik dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) Tahun 1949, Undang- Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950, serta UUD 1945 setelah amandemen. Sampai saat ini, hierarki tersebut sebatas diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, Pasal 20 UUD 1945 setelah amandemen, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum dan setelah amandemen, dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen; yang isi rumusannya berupa tiga jenis peraturan perundang- undangan, berupa Undang-Undang (UU) , Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu, pengaturan mengenai hierarki tersebut juga diatur dalam beberapa peraturan. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai peraturan tersebut beserta tanggapannya. I. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan UU No.1 Tahun 1950 Dalam Pasal 1 dirumuskan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat, yaitu: a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; b. Peraturan Pemerintah; dan c. Peraturan Menteri. Selanjutnya, Pasal 2 menyebutkan bahwa “tingkat kekuatan peraturan- peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1.” UU No.1 Tahun 1950 lahir dalam suasana konstitusi UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, sehingga Presiden hanya bertindak sebagai Kepala Negara yang tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur. Disini dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah, bukan di bawah Keputusan Presiden (Keppres).
II. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 merupakan suatu usaha dari MPRS sebagai lembaga tertinggi negara dalam menangani masalah tertib hukum di Negara Republik Indonesia, dan secara tidak langsung mengatur pula mengenai tata susunan norma hukum sekaligus menjadikannya sebagai dasar dalam kebijakan pengembangan perundang-undangan selanjutnya di Indonesia. Ketetapan MPRS tersebut tidak menjelaskan hal-hal mengenai garis-garis besar tentang kebijakan Hukum Nasional namun menentukan sumber tertib hukum Indonesia, yaitu Pancasila. Terdapat suatu pengakuan adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Berdasarkan Lampiran I Ketetapan MPRS tersebut, perwujudan dari segala sumber hukum Indonesia adalah sebagai berikut: a. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 b. Dekrit 5 Juli 1959 c. Undang-Undang Dasar Proklamasi d. Surat Pemerintah 11 Maret 1966. Norma-norma hukum yang termasuk dalam sistem norma menurut Ketetapan MPRS tersebut berturut-turut adalah UUD 1945, Ketetapan (Tap) MPR, UU, PP, Keppres, dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain. Terdapat beberapa tanggapan terhadap kandungan Ketetapan No.XX/MPRS/1966, yaitu:
Di dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 menetapkan bahwa
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dinyatakan “tetap berlaku” tetapi perlu “disempurnakan”. Hal yang perlu disempurnakan yaitu Lampiran II A tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan: a. UUD 1945 UUD 1945 tidak tepat jika dikatakan sebagai peraturan perundang- undangan, karena UUD 1945 memiliki dua kelompok norma hukum, yaitu Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Staatsfundamentalnorm dan Batang Tubuh UUD 1945 yang merupakan Staatsgrundgesetz. b. Tap MPR o Tap MPR merupakan Staatsgrundgesetz yang berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara yang sifat norma hukumnya masih secara garis besar, merupakan norma hukum tunggal, dan tidak dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi. o Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan perundang-undangan karena mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan berbeda daripada norma yang terdapat dalam Undang-Undang. o Sifat-sifat norma dari Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagai norma konstitusi yang mengatur lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi dalam negara, serta tata cara pembentukannya, tata hubungan sesamanya, dan lingkup tugas masing-masing, serta mengatur secara dasar tata hubungan antara warga negara dengan negara secara timbal balik. c. Keppres o Keputusan Presiden yang bersifat einmahlig tidak tepat karena suatu Keputusan Presiden dapat juga bersifat dauerhaftig. o Keputusan yang bersifat einmahlig adalah yang bersifat penetapan (beschikking), dimana sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai (einmahlig), sedangkan norma dari suatu peraturan perundang-undangan selalu bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus menerus (dauerhaftig). d. Peraturan Menteri Peraturan Menteri sebaiknya diganti peristilahannya dengan Keputusan Menteri karena dapat diaartikan secara luas yaitu baik yang berarti peraturan dan juga berarti penetapan. e. Instruksi Menteri Penyebutan “Instruksi Menteri” tidak tepat, karena suatu instruksi itu bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris. Sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak, dan berlaku terus menerus. f. Peraturan Daerah Peraturan Daerah juga termasuk dalam jenis peraturan perundang- undangan dan tidak selalu merupakan peraturan pelaksanaan saja. Dalam Ketetapan MPRS tersebut, terdapat istilah-istilah yang harus diperbaiki, yaitu: a. Istilah “tata urutan” diganti dengan istilah “tata susunan” karena “tata susunan” lebih mencerminkan suatu jenjang dari peraturan perundang- undangan yang mengandung suatu fungsi dan materi muatan yang berbeda. b. Istilah “bentuk” sebaiknya diganti dengan istilah “jenis”, yang artinya macam dari peraturan perundang-undangan. c. Istilah “perundangan” adalah tidak tepat, sebaiknya digunakan istilah “perundang-undangan”, oleh karena UUD 1945 menyebutkan kata Undang-Undang untuk peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. d. Istilah “dan lain-lain” tidak tepat, oleh karena istilah itu dapat diartikan secara luas; seolah-olah peraturan tersebut tidak terbatas jumlahnya dan peraturan-peraturan lainnya pun disamakan dengan peraturan perundang-undangan.
III. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR tersebut disebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia adalah UUD 1945, Tap MPR, UU, PERPU, PP, Kepres, dan Peraturan Daerah (Perda). Pengaturan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan dalam Ketetapan MPR tersebut tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan dalam Pasal 1-4 Ketetapan MPR tersebut. Terdapat beberapa tanggapan terhadap Ketetapan MPR No.III/MPR/2000, yaitu:
Masalah sumber hukum dan tata susunan peraturan perundang-undangan
o Dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dan menurut ayat (3) sumber hukum tersebut adalah Pancasila (Pembukaan UUD 1945) dan Batang Tubuh UUD 1945, sedangkan Pasal 2 dinyatakan bahwa tata urutan Peraturan Perundang-undangan dimulai dari (termasuk) UUD 1945. Selain itu dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis. o Sumber tertib hukum peraturan perundang-undangan Indonesia menurut Ketetapan MPR tersebut: 1. Ketetapan MPR Apabila dilihat dari sifat dan karakteristik suatu norma hukum, Ketetapan MPR juga tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan, oleh karena Ketetapan MPR masih merupakan Aturan Dasar Negara. 2. PERPU Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menjelaskan bahwa PERPU adalah suatu peraturan yang mempunyai kedudukan setingkat dengan UU, tetapi dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. 3. Permasalahan yang berhubungan dengan Peraturan dan Keputusan lainnya Permasalahan yang timbul adalah dalam hal: Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Peraturan atau Keputusan BPK, Peraturan atau Keputusan Menteri, Peraturan atau Keputusan BI, Peraturan atau Keputusan Badan, Lembaga, atau Komisi, dan Peraturan di tingkat Daerah. Peristilahan o Kata “tata urutan” peraturan perundang-undangan sebenarnya lebih tepat diganti dengan “tata susunan”, oleh karena istilah “tata susunan” kita mengacu kepada suatu hierarki dari peraturan perundang-undangan tersebut. o Istilah “sumber hukum” sebenarnya lebih tepat apabila diganti dengan “sumber tertib hukum”, karena sumber tertib hukum tidak hanya diartikan sebagai sumber atau dasar dari suatu hukum atau peraturan, akan tetapi sumber dan dasar tersebut juga membentuk suatu “tertib” atau “orde” yang sering disebut dengan “hierarki”.
IV. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Undang-Undang
No.10 Tahun 2004 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu: UUD 1945, UU/PERPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Pada Pasal 7 ayat (2), Peraturan Daerah meliputi: Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Desa/peraturan yang setingkat. Terdapat beberapa tanggapan terhadap UU No.10 Tahun 2004 1. UUD 1945 UUD 1945 tidak tepat untuk dikatakan sebagai peraturan perundang- undangan, karena terdiri atas dua kelompok norma hukum, yaitu Staatsfundamentalnorm dan Staatsgrundgezetz. 2. Ketetapan MPR Ketetapan MPR merupakan aturan dasar negara yang mengandung jenis norma yang lebih tinggi dan berbeda daripada norma yang terdapat dalam UU. 3. Peraturan Presiden Penggunaan istilahnya tidak tepat, sebab dalam suatu keputusan terdapat pengaturan dan penetapan. 4. Peraturan Desa Peraturan Desa dapat bersifat mengatur dan mengikat umum, dalam arti peraturan di bidang penyelenggaraan pemerintahan saja, tetapi tidak sebagai Peraturan Perundang-undangan. 5. Peraturan-peraturan lainnya Tidak semua lembaga negara atau pejabat mempunyai kewenangan membentuk peraturan yang bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai Peraturan Perundang-undangan. Adapun lembaga negara yang berwenang yaitu: MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, dan Kepala Desa atau yang setingkat.