Terlebih dahulu diuraikan mengenai doktrin negara hukum yang menempatkan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar pelaksanaan kewenangan pemerintahan.
Pernyataan konstitusional dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum mengandung makna luas tentang berlakunya prinsip negara berdasarkan hukum
(rechtsstaat) seperti di berbagai berbagai negara lain. Menurut Willem Koninjnenbelt, terdapat
empat unsur penting gagasan negara hukum yaitu:[1]
Secara umum dapat dijelaskan bahwa negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat), seperti teori
yang diajarkan oleh John Locke dan Montesquieu, bertujuan agar orang yang berkuasa tidak
menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, karena itu perlu diberikan arahan untuk
membatasi kekuasaan tersebut.
Unsur pada huruf a diartikan pula bahwa semua kewenangan untuk menjalankan pemerintahan
atau perbuatan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah harus berdasarkan Undang-
Undang Dasar atau undang-undang. Jika tidak, maka perbuatan pemerintahan tersebut dianggap
tidak sah (ongeldig). Dengan demikian hanya terdapat tiga kemungkinan.[2]
Ketiga, suatu kewenangan organ yang dalam pelaksanaannya diberikan kepada organ lain,
namun tetap dijalankan atas nama organ yang memberi perintah.
Pada dasarnya keempat unsur dimaksud diwujudkan di Indonesia yang disesuaikan dengan
sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945.
peraturan yang termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang terdiri
atas: Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah (Pasal 7 ayat (1); dan
jenis peraturan lainnya (yang tidak termasuk dalam jenis dan hierarki), yang diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4) dan penjelasannya). Jenis peraturan
dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, Bank
Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, yang dibentuk oleh
undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kategori Norma Hukum
Apakah negara hukum mengenal hanya semata-mata seperti kedua jenis peraturan tersebut di
atas? Berdasarkan kajian dalam hukum administrasi dan ilmu perundang-undangan, khususnya
tentang norma, dapat diperoleh pengertian bahwa norma hukum (rechtsnorm) itu ada dalam
bentuk peraturan-peraturan (regels) dan ada pula dalam bentuk ketentuan lainnya (andere
bepalingen).
Menurut Waaldijk, peraturan-peraturan (regelingen) itu terdiri atas peraturan (regels) dan
peraturan lainnya (andere bepalingen). Yang dimaksud dengan peraturan adalah ketentuan yang
dengan sendirinya memiliki suatu makna normatif; ketentuan yang menyatakan bahwa sesuatu
harus (tidak harus) dilakukan, atau boleh (tidak boleh) dilakukan. (Regels zijn bepalingen die op
zichzelf al een normatieve betekenis hebben; bepalingen waarin staats dat iets (niet) moet of
(niet) mag). Sedangkan berbagai bentuk ketentuan lain adalah karena berhubungan dengan
peraturan, memiliki suatu makna normatif (andere soorten bepalingen, die slechts in samenhang
met regels een normatieve betekenis hebben).
Untuk membedakan kedua hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan kaidah logika (berpikir)
bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tiga macam unsur yang terdiri atas:
(i) subyek, yaitu orang pribadi (personen) maupun instansi yang boleh (tidak boleh) atau harus
(tidak harus) melakukan sesuatu. Subyek dalam norma disebut alamat/sasaran norma
(normadreesaten);
(ii) karakter, yaitu unsur peraturan yang memperlihatkan adanya norma yang mengharuskan,
membolehkan, tidak mengharuskan, atau tidak membolehkan sesuatu. Unsur karakter disebut
nexus.
(iii) obyek, yaitu unsur tingkah laku (gedraging) yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
(iv) berbagai persyaratan (voorwaarden) yang mungkin diperlukan bagi ketiga unsur di atas.
Dikotomi antara peraturan (regels) dengan ketentuan lain (andere bepalingen) membawa
paradigma yuridis bahwa di samping peraturan (hierarki dan non-hierarki berdasarkan UU
10/2004) terdapat berbagai bentuk ketentuan yang sebenarnya bukan merupakan peraturan,
namun dianggap sebagai peraturan sehingga disebut dengan istilah legislasi semu. Dalam
kenyataan sehari-hari masyarakat mengenal ketentuan lain itu secara langsung atau tidak
langsung, tertulis maupun tersirat, sehingga ketentuan lain itu dianggap juga sebagai peraturan.
Sebagai contoh, suatu pedoman yang dikeluarkan oleh seorang pimpinan, yang secara langsung
dan eksplisit diujukan kepada bawahannya, merupakan suatu ketentuan, yang dianggap sebagai
peraturan karena itu dinyatakan berlaku.
Peraturan lain itu bersifat semu dan sering disebut peraturan semu (pseudowetgeving), yang
dapat diartikan sebagai peraturan (regelingen) yang disusun tanpa dasar hukum dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang memerintahkan pembentukannya (regelingen die
niet op grond van een hoger wettelijke voorschrift worden vastgesteld).
Hakim dapat menyatakan suatu peraturan sebagai takmengikat karena peraturan itu bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi. Peraturan tersebut pada dasarnya memang suatu peraturan yang
mengikat umum. Jadi tidak semua peraturan hukum dapat dianggap sebagai peraturan mengikat
umum. Peraturan yang hanya berlaku di dalam organisasi interen pemerintah, misalnya, tidak
dianggap sebagai peraturan yang mengikat umum.
Jika suatu peraturan hanya berlaku ke dalam, peraturan itu takmengikat dalam arti seperti yang
dimaksudkan dalam istilah “peraturan yang mengikat umum”. Peraturan itu khususnya tidak
mengikat organ lain di luar organ yang mengeluarkannya, dan peraturan itu pun tidak
memberikan hak orang atau badan hukum. Syarat bahwa suatu peraturan yang mengikat harus
ditujukan ke luar, dapat ditafsirkan bermacam-macam. Buijs menyebut peraturan yang berlaku
ke luar sebagai peraturan yang memuat ketentuan yang memiliki sifat keumuman, langsung,
serta segera melibatkan masyarakat (… regels extern werkend die een regeling behelsden die het
karakter van algemeenheid droegen en waarbij het publiek rechtsreek en onmiddelijk was
betrokken)
Dari uraian di atas secara teoritik dapat dipahami adanya “peraturan lain” di luar hierarki dan
non-hierarki (berdasarkan UU 10/2004, Pasal 7) yang sebenarnya juga muncul dalam
pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari.
Tugas Pemerintahan
Dalam bahasan hukum administrasi negara[5] terdapat konsep cakupan tugas pemerintahan
yang berkembang menurut proses kausalitas dari bentuk-bentuk negara tertentu. Dengan
mengutip pendapat Sondang P. Siagian mengenai peranan dan fungsi yang berbeda bagi
pemerintahan, Marbun & Mahfud MD menguraikan tiga bentuk negara sebagai berikut:[6]
- bentuk political state, yang menegaskan kekuasaan berada ditangan raja (teori monarkhi
absolut)
- bentuk legal state, yang menentukan bahwa pemerintah hanya sebagai pelaksana peraturan).
Pemikiran ini berdasarkan teori pemisahan kekuasaan oleh John Locke (1632 – 1704)[7] dan
Montesquieu[8] (1689 – 1755). Negara hanya menjadi wasit dan melaksanakan berbagai
keinginan masyarakat yang telah disepakati bersama melalui pemilihan atas berbagai alternatif
yang diputuskan negara secara demokratis-liberal;
- bentuk welfare state, yang menentukan bahwa tugas pemerintah diperluas untuk menjamin
kesejahteraan umum dengan memberikan discretionary power dan freies Ermessen) kepada
pemerintah. Ini berarti bahwa pemerintah diserahi tugas bestuurzorg yaitu penyelenggaraan
kesejahteraan umum.
Dari tiga alternatif bentuk negara di atas, terlihat bahwa konsep “tria politika” berpengaruh
terhadap UUD 1945, namun bentuk negara yang dirancang oleh para founding fathers tidaklah
menganut sepenuhnya teori tersebut, dalam arti pemisahan kekuasaan, sehingga memiliki
kekhasan sistem ketatanegaraan Indonesia.[9] Dengan mencermati alinea dalam pembukaan
UUD1945, dapat dipahami tujuan pembentukan pemerintah Indonesia antara lain adalah
“memajukan kesejahteraan umum”, mirip sekali dengan bentuk ketiga (walfare state), sebagai
dasar pemberian kewenangan diskresi yang lebih luas kepada Pemerintah.
Salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata usaha
negara yang digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum
pemerintahan. Selain dari dari sarana berupa keputusan tata usaha negara (beschikking), sarana
tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:
Peraturan perundang-undangan dan keputusan tata usaha negara yang memuat pengaturan yang
bersifat umum;
Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels);
Rencana (het plan);
Penggunaan sarana hukum keperdataan; dan
Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha
negara yang bersifat “naar buiten gebracht schriftelijk beleid” (menampakkan keluar suatu
kebijakan tertulis) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau
pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-
peraturan kebijaksanaan tersebut dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari
kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.
Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen membuat peraturan tentang hal-hal yang belum
ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan.
Pencakupan demikian disebut discretionary power.[11]
Freies berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Freies artinya
orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sementara itu Ermessen berarti
mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang
memiliki kebebasan menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.
Istilah ini kemudian secara khusus digunakan di bidang [emerointahan, sehingga freies Ermessen
(diskresioner) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagoi pejabat
atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa terikat sepenuhnya pada
undang-undang.[12]
Meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebasss tanpa terikat
sepenuhnya pada undang-undang, namun dalam kerangka Negara hukum harus dipahami bahwa
unsure-unsur freies Ermessen dalam Negara adalah sebagai berikut:[13]
- kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD 1945, yaitu kewenangan membuat
peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang dan yang berisi
masalah-masalah untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang (Pasal
5 ayat (2) UUD 1945);
- droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit)
sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat enunsiatif.
Untuk melaksanakan tiga bentuk kewenangan berdasarkan freies Ermessen pemerintah dilarang
berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat
detournement de pouvoir (melakukan sesuatu di luar tujuan kewenangan yang diberikan) atau
disebut juga onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh pemerintah). Sebab
setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena detournement de pouvoir atau
onrechtmatige overheidsdaad dapat dituntut di muka hakim baik melalui peradilan administrasi
negara maupun melalui peradilan umum.[14]
Kamus Hukum Bahasa Belanda istilah Pseudowetgeving (legislasi semu) berarti regelstelling
door een betrokken bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke wettelijke
bepaling die bevoegdheid bezit.[15] (Perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh organ
pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas
memberikan kewenangan kepada organ tersebut).
Definisi di atas memberikan pengertian bahwa legislasi semu mengandung beberapa unsur,
yaitu:
legislasi merupakan tata aturan (regelstelleing), yang berarti tampak dari luar seolah-olah dia
adalah tata aturan biasa seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan yang dikenal jenis,
bentuk dan tata urutannya. Disebut “legislasi semu” karena menyerupai peraturan perundang-
undangan, namun sebenarnya bukan perundang-undangan;
Legislasi semu dibuat oleh organ pemerintahan yang bersangkutan (betrokken bestuursorgaan),
yang berarti legislasi semu dibentuk, diterbitkan atau dibuat oleh badan-badan pemerintahan
(badan tata usaha negara) baik di tingkat pusat maupun daerah, yang menyelenggarakan tugas
umum pemerintahan;
Legislasi semu tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan perundang-undangan yang secara tegas
(uitdrukkelijke bepalingen) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk atau
menerbitkannya. Ini berarti legislasi semu tidak perlu menyebutkan dasar pertimbangan yang
secara tegas (eksplisit) memerintahkan pembentukan legislasi tersebut. Pemberian kewenangan
mengeluarkan legislasi semu (aturan kebijakan tersebut) merupakan doktrin dalam hukum tata
pemerintahan (bestuursrechtelijke doctrine) yang menegaskan bahwa suatu organ pemerintahan
dibolehkan memiliki kewenangan secara implicit (inplicite bevoegdheid) untuk menyusun aturan
kebijakan (beleidsregels) dalam rangka menjalankan tugas umum pemerintahan.
Selanjutnya untuk memahami masalah tersebut perlu dibandingkan dengan pengertian peraturan
perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam UU 10/2004 yang menyatakan bahwa
“peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”[16]
Bagaimana sifat dari suatu aturan tertulis? Dalam membahas tentang pengertian undang-undang
(wet) sebagai salah satu bentuk peraturan tertulis, P.J. Boon menyebutkan bahwa di Negeri
Belanda, suatu undang-undang harus memenuhi 3 unsur, yaitu:[17]
Undang-undang mengatur sesuatu hal yang bersifat umum (algemenheid), yaitu suatu norma
yang berlaku secara umum;
Undang-undang mempunyai kekuatan mengikat keluar (externe werking), yaitu setelah melalui
proses pengumuman (bekendmaking);
Suatu undang-undang dibentuk apabila pembentuk undang-undang memiliki kewenangan
berdasarkan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan untuk membentuknya
(uitdrukkelijke wettelijke grondslag).
Dasar Kewenangan Legislasi Semu
Sebuah pemikiran baru yang terkait mengenai hal ini muncul pada bulan September 2005. Jimly
Asshiddiqie, Guru Besar UI dan Ketua Mahkamah Konstitusi, menerbitkan buku mengenai
format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Tulisan tersebut juga
menyinggung masalah pejabat eksekutif dan peraturan perundang-undangan.
Dalam tulisan tersebut Prof. Jimly berpendapat bahwa sebagai aparat pelaksana, pada pokoknya,
para pejabat Pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan
produk DPR. Memang benar bahwa setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk mengatur
(pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang disebut dengan “beleidsregels” atau “policy
rules” di luar bentuk undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen. Namun, policy rules itu
hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa UU. Karena itu, perlu dibedakan antara
materi-materi policy rules” seperti ini dengan materi dengan materi yang seharusnya dibentuk
dalam undang-undang, tetapi karena keadaan tidak memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk
peraturan di bawah tingkat undang-undang. Bentuk peraturan ini selama ini disebut Peraturan
Pemerintah yang berfungsi sebagai pengganti undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (1) UUD 1945.[18]
Menurut Jimly Asshiddiqie pula, ilmu hukum tata negara mengenal adanya prinsip freies
Ermessen atau kebebasan bagi pemerintah untuk memiliki ruang gerak yang leluasa dalam
usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Prinsip inilah yang selama ini dipakai untuk
memberikan justifikasi kepada Presiden dalam membuat keputusan-keputusan yang bersifat
mandiri, terlepas dari perintah undang-undang. Atas jalan pikiran ini, wewenang Pemerintah
untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang
belum ditentukan dalam undang-undang. Akibat samping dari adanya wewenang demikian
adalah bahwa proses pemerintahan secara mudah dapat dilakukan dengan keputusan-keputusan
Presiden saja. Makin otoriter karakter sistem kekuasaan yang dikembangkan, makin banyak pula
keputusan-keputusan tanpa didasarkan atas perintah undang-undang yang cenderung ditetapkan.
Karena itu, Jimly mengusulkan kiranya prinsip freis Ermersen itu di masa depan hendaklah
dibatasi, baik dalam materinya maupun dalam prosedurnya. Pertama, materi yang dapat diatur
melalui policy rules yang didasarkan atas prinsip freies Ermessen itu hendaknya dibedakan
antara materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk undang-undang, dan materi yang seharusnya
dimuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang.
Kedua, nomenklatur yang dipakai untuk bentuk peraturan yang memuat materi yang seharusnya
dimuat dalam undang-undang itu adalah Peraturan Pemerintah atau yang dalam ketentuan UUD
1945 yang lama disebut Peraturan Pemerintah Pengganti UU. Ketiga, prosedur penetapannya
dilakukan oleh Presiden dan segera setelah itu dimintakan persetujuan DPR. Masa berlakunya
Peraturan Pemerintah tersebut paling lama adalah 1 tahun. Apabila dalam masa itu, tidak
diperoleh persetujuan DPR, maka peraturan tersebut tidak berlaku lagi karena hukum, meskipun
tidak dicabut secara resmi oleh Presiden.
Dari uraian yang ditulis oleh guru besar tata negara tersebut terlihat bahwa wewenang
Pemerintah untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala
sesuatu yang belum ditentukan dalam undang-undang,. semua bentuk peraturan yang lain
haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-
undang. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa legislasi semu juga harus dibuat atas dasar
perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Jika pendapat ini
diikuti maka legislasi semu kehilangan ciri pembedanya yang utama, yaitu pembentukannya
tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.
Pandangan tersebut berbeda dengan pemikiran para ahli hukum administrasi pada umumnya
yang berpendapat bahwa legislasi semu tidak memerlukan dasar hukum yang secara tegas
memerintahkan pembentukannya.
Suatu terobosan di lapangan yang mempunyai relevansi hukum pada peraturan kebijaksanaan
terjadi pada tahun 1970 (HR, 07-01-1970). Arrest Resolusi Pajak, AB 1970, hal. 130). Hal ini
berkaitan dengan suatu pedoman di dalam surat edaran Menteri Keuangan yang tertuju pada
pemeriksaan-pemeriksaan pajak. Surat edaran ini, dengan sepengatahuan departemen,
diumumkan oleh penerbit swasta. HR menentukan warga yang bersangkutan sejak semula
berpendapat bahwa inspektur pajak akan menerapkan surat edaran tersebut. Tidak diterapkannya
surat edaran dimaksud akan bertentangan dengan asas pemerintahan yang layak, yakni asas
kepercayaan (vertrouwensbeginsel). Karena itu, orang tidak memandang perlunya suatu
pengujian langsung terhadap surat edaran, sebagaimana jika hal dimaksud terjadi bagi peraturan
perundang-undangan, tetapi dengan pengujian yang tidak langsung melalui asas kepercayaan.
Suatu aspek khusus dalam kasus ini adalah bahwa badan berwenang yang ditunjuk berbeda
dengan badan yang menetapkan surat edaran. Inspektur pajak sesungguhnya menurut hirarkis
pegawai adalah bawahan menteri. Menteri dapat setiap saat memberi petunjuk kepad inspektur
pajak. Hal ini dapat pula ditangani berdasar asas kepercayaan karena warga yang bersangkutan
boleh saja percaya bahwa inspektur pajak akan mematui surat edaran menteri dan jika tidak
dimungkinkan demikian, maka menteri akan memerintahaknnya pada inspektur pajak.
Di Negeri Belanda – berdasarkan suatu putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juni 1980 - suatu
peraturan tertulis yang diterbitkan oleh menteri yang mengatur tentang tunjangan yang diberikan
kepada mahasiswa di perguruan tinggi negeri (rijksstudietoelagen) termasuk salah satu dari
bentuk aturan kebijakan/legislasi semu, karena peraturan seperti itu tidak memiliki dasar hukum.
[19]
Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara peraturan perundang-undangan dengan
peraturan kebijaksanaan, adalah bahwa peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat
pengetahuan yang tidak tertulis (aangeschreven harheidsclausule). Ini berarti bahwa manakala
terdapat keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata usaha negara – di dalam hal yang
sifatnya individual – harus menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna kemaslahatan warga.
Hal ini disebabkan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka badan tata
usaha negara berdasar ketentuan peraturan kebijaksanaan sendiri, tidak dapt meniadakan
kewenangan di dalam hal yang menyimpang dari garis kebijaksanaan. Tata usaha negara pada
setiap kasus harus menanyakan sendiri apakah tidak terdapat keadaan-keadaan khusus.
Suatu perbedaan hukum lagi ialah bahwa peraturan perundang-undangan termasuk bidang
hukum dan karena itu dapat diuji dalam kasasi, sedangkan peraturan kebijaksanaan termasuk
dunia fakta dan karena itu tidak dapat berperan dalam kasasi.
Adanya peraturan kebijaksanaan di Indonesia dapat dilihat pada pelbagai keputusan, surat
edaran, surat edaran bersama, dan lain-lain, yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha
negara. Hanya saja produk peraturan kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar
diberlakukan sebagai “peraturan kebijaksanaan” mengingat ketiadaan wewenang pembuatan dari
badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijaksanaan itu kadangkala
masih dilihat dari sudut ukuran pendekatan hukum (rechtmatigheid). Hal dimaksud
mengakibatkan bahwa suatu peraturan kebijaksaan adakalanya dinilai sebagai produk perbuatan
penguasa yang melanggar hukum.
Sebagai contoh pengalihan status kayu-kayu hitam (ebony logs) eks tebangan lama di kawasan
hutan Sulawesi Tengah menjadi kayu milik negara sebagaimana ditetapkan pada Surat
Keputusan (SK) Direktur Jenderal Penguasahaan Hutan, Nomor 114/Kpts/IV-Tlb/1988 tentang
Batas Waktu Penurunan Kayu Ebony Eks Tebangan Lama di dalam Areal HPH, tanggal 29
Februari 1988, adalah satu contoh aturan kebijaksanaan. Disyaratkan bahwa semua kayu ebony
hitam (ebony logs) itu dinyatakan menjadi milik negara. Surat Keputusan Dirjen Penguasaan
Hutan dimaksud menyatakan tidak berlakunya Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan
sebelumnya, yaitu tanggal 8 Februari 1986, Nomor 038/Kpts/IV/1986 yang menetapkan bahwa
semua kayu hitam (ebony logs) yang berada pada areal HPH (dan setelah melalui batas tertentu
belum diturunkan oleh pemiliknya) diberikan kepada pemegang HPH yang bersangkutan guna
dimanfaatkan. Tidak tepat jika SK Dirjen Pengusahaan Hutan tanggal 29 Februari 1988 Nomor
144/Kpts/IV-Tlb/1088 itu dipandang telah memuat kewenangan pencabutan hak atas benda-
benda bergerak (yang harus diatur atas dasar undang-undang) mengingat hal tersebut pada
kenyataannya merupakan rangkaian dari kebijaksanaan pengaturan kayu hitam (ebony logs) yang
harus segera diturunkan guna diolah (a.l. di “dolken) dan dipasarkan.
Legislasi semu memainkan peran penting dalam birokrasi pemerintahan dimanapun di dunia ini,
termasuk di Indonesia. Legislasi semu salah satu bentuk dari instrumen hukum publik yang
digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan.
Pertimbangan untuk membentuk legislasi semu haruslah benar-benar cermat karena keadaan
mendesak yang mengharuskan pemerintah segera mengeluarkan sebuah legislasi (aturan), karena
tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dipakai oleh pemerintah sebagai dasar
perbuatan hukum pemerintah yang hendak dilakukan (ingat asas legalitas!).
Meskipun dasar penerbitan legislasi semu adalah kewenangan diskresioner (discretionary power)
atau freies Ermessen, namun tidaklah berarti kewenangan tersebut dapat digunakan seenaknya.
Dengan demikian :
Substansi legislasi semu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak, karena pemerintah memerlukan suatu
peraturan untuk menjalankan tugas umum pemerintahan;
Legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan moral
Sebagai contoh dari substansi legislasi semu dapat disebutkan hal-hal sebagai berikut:
Menurut Bagir Manan, seperti dikutip oleh Ridwan HR, peraturan kebijaksanaan (legfislasi
semu) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[20]
Tidak ada suatu format baku yang digunakan dalam pembentukan legislasi semu. Beberapa
contoh yang populer legislasi semu dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Surat Edaran (SE), biasanya digunakan oleh seorang pejabat (menteri atau direktur jenderal)
untuk memberitahukan kepada jajaran di bawahnya mengenai suatu kebijakan yang harus
dilaksanakan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Di lingkungan perpajakan (sebelum
lahirnya UU Ketentuan Umum Perpajakan yang baru) banyak terdapat Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak, yang mengatur berbagai persoalan teknis perpajakan. Demikian pula di
lingkungan Departemen Hukum dan HAM, dapat dikemukakan adanya Surat Edaran Direktur
Jenderal Administrasi Hukum Umum yang mengatur tentang tata cara pendaftaran fidusia
sebagai pedoman bagi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam memberikan
pelayanan publik mengenai pendaftaran akta jaminan fidusia.
2. Petunjuk Pelaksana, yang dikeluarkan oleh pejabat sebagai pedoman bagi bawahan untuk
melaksanakan peraturan tertentu yang termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya.
3. Petunjuk Operasional atau Petunjuuk Teknis yang memuat berbagai cara teknis adminstratif
dan operasional mengenai tugas tertentu.
4. Instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan yang bersifat perintah untuk menjalankan tugas
tertentu.
5. Pengumuman, yang antara lain berisi informasi yang diperlukan bagi masyarakat yang
berkepentingan mengenai suatu pelayanan publik yang disediakan oleh instansi pemerintah.
Legislasi Semu di Bidang Perpajakan
Pajak dan pungutan lain menurut Undang-Undang Dasr 19454 Pasal 23 harus diatur dengan
undang-undang. Ini berarti bahwa:
- ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain (penerimaan negara bukan pajak, retribusi dan
pajak daerah) hanya dapat diatur dengan undang-undang;
Di luar jenis peraturan perundang-undangan yang bersifat hierarkis (UU 10/2004 Pasal 7 ayat (1)
dan non-hierarkis (UU 10/2004 ayaqrt (4), berdasarkan uraian di atas Menteri Keuangan dan
Direktrur Jenderal dapat menerbitkan berbagai instrumen pemerintahan dalam bentuk legislasi
semu (peraturan kebijakan), yang diperlukan untuk menjalankan peraturan di bidang perpajakan.
Penerbitan legislasi semu harus dengan pertimbangan cermat dan hati-hati, antara lain hanya
dapat diterbitkan jika tidak terdapat dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada Menteri
atau Dirjen Pajak untuk melakukan perbuatan pemerintahan yang diperlukan untuk menjalankan
kewajibannya.
Freeies Ermessen tidak boleh disalahdigunakan dan harus yakin bahwa substansi legislasi semua
(misalnya surat edaran) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Penutup
Demikian beberapa catatan mengenai legislasi semu sebagai bahan untuk didiskusikan lebih
lanjut.
[1] Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, (Lemma, 1988), hal. 36 – 37).
[3] Mr. I.C. van der Vlies, Handboek Wetgeving, Tjeenk Willink, Zwolle, 1987, hal. 126 - 153
[4] Bandingkan UUD 1945, Pasal 5 ayat (2): “ Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
[7] Dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, yang berpendapat bahwa kekuasaan di
dalam negara harus diserahkan kepada badan masing-masing yang berdiri sendiri, yaitu
kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-
undang atau pemerintahan) dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri).
[8] Dalam bukunya L’Espirit des Lois (Jiwa dari Undang-undang) yang membedakan kekuasaan
(fungsi) negara ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif (mengadili atas
pelanggaran terhadap undang-undang). Teori tentang pemisahan kekuasaan itu kemudian oleh
Emmanuel Kant disebut “Trias Politika”.
[9] SF Marbun & Mahduf MD, Op cit, hal. 47 – 50. Sebelum perubahan UUD 1945,
Amirmachmud melihat bahwa poros-poros kekuasaan (dan fungsi)nya di Indonesia tidak terbatas
pada tiga poros melainkan lima poros yang kedudukannya sejajar, yaitu: legislatif, eksekutif,
yudikatif, konsultatif dan auditif. Fungsi konsultatif dipegang oleh Dewan Pertimbangan Agung
(yang sudah dihapus), sedangkan fungsi auditif dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Selain kelima poros itu masih ada satu lembaga yang mengatasinya yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 177
[18] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, (Yogyakarta, FH-UII Press, 2005), hal. 191.