Anda di halaman 1dari 14

BAGAIMANA SEHARUSNYA KITA MENYAMPAIKAN DAKWAH?

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Pada kesempatan yang baik ini, saya hendak berbagi pandangan tentang bagaimana seharusnya
kita menyampaikan dakwah. Saya berharap para pembaca berkenan menelaah sampai tuntas,
mencermati setiap bagiannya, dan jika ada kekeliruan silahkan untuk memberikan masukan.

Pertama, Din (Agama) Islam Adalah Nasihat

Dalil akan hal ini dapat kita jumpai dalam hadits Nabi SAW,

َ َّ‫َّاري َرضِ َي هللاُ َت َعالَى َع ْن ُه َأنَّ ال َّن ِبي‬


‫ ِل َمنْ ؟ َقا َل‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم َقا َل ال ِّديْنُ ال َّنصِ ي َْح ُة قُ ْل َنا‬ ٍ ‫ْن َأ ْو‬
ِ ‫س الد‬ ِ ‫َعنْ َأ ِبي ُر َق َّي َة َت ِمي ٍْم ب‬
‫َأِل‬
‫هلل َولِ ِك َت ِاب ِه َول َِرس ُْولِ ِه َو ِئ َّم ِة المُسْ لِ ِمي َْن َو َعا َّمت ِِه ْم‬
ِ
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus al-Dari ra, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Agama
adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya,
bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.”
(HR. Muslim)

Terkait dengan makna nasihat, al-Khatthabi rh menyampaikan,

‫ير ل ِْل َم ْنص ُْو ِح لَ ُه‬ َ ‫ال َّنصِ ي َْح ُة َكلِ َم ٌة ي َُع َّب ُر ِب َها َعنْ ُج ْملَ ٍة ه‬
َ ُ‫ِي ِإ َرا َدة‬
ِْ ‫الخ‬

“Nasihat adalah kalimat yang bermakna untuk mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan
nasihat.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, juz 1, hlm. 219)

Nasihat kepada Allah adalah mengimani-Nya, nasihat kepada kitab-Nya adalah meyakini bahwa
hukum al-Quran adalah sebaik-baiknya hukum dan tidak ada hukum yang sebaik al-Quran,
nasihat kepada Rasul adalah mengikuti dan mencontohnya, nasihat kepada para pemimpin
adalah menyampaikan amar makruf nahi munkar dan menyampaikan muhasabah (koreksi) atas
kekeliruan kebijakan penguasa. Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa amar makruf
dan nahi munkar yang utama adalah yang disampaikan kepada penguasa.

Kedua, Allah Telah Memberikan Panduan Bagaimana Kita Menyampaikan Dakwah


Allah SWT berfirman,

‫ض َّل َعنْ َس ِبيلِ ِه َوه َُو َأعْ َل ُم‬


َ ْ‫ك ه َُو َأعْ لَ ُم ِب َمن‬
َ ‫ِي َأحْ َسنُ ِإنَّ َر َّب‬
َ ‫ِّك ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْوعِ َظ ِة ْال َح َس َن ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّتِي ه‬ ِ ‫ْاد ُع ِإلَى َس ِب‬
َ ‫يل َرب‬
‫ِين‬
َ ‫د‬ َ
‫ت‬ ْ
‫ه‬ ‫م‬
ُ ْ
‫ال‬‫ب‬ِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Nahl: 125).

Dari ayat di atas, ada tiga kaidah dalam berdakwah, yaitu: (1) al-hikmah (hikmah); (2) al-
mau'izah al-hasanah (pelajaran yang baik), dan (3) al-mujadalah billati hiya ahsan (mendebat
dengan suatu yang lebih baik).

Ketiga, Penjelasan Kitab Nuqthah al-Inthilaq terkait Metode Dakwah al-Quran

Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan terkait dengan hal ini dalam poin ke-33 kitab
Nuqthah al-Inthilaq,

‫ وطريقته في حملها‬.‫قيام الحزب في مهمته وهي حمل الدعوة االسالمية تحتم عليه ان يكون سائرا حسب الطريقة االسالمية‬
‫ قال تعالى {ادع الى سبيل ربك‬.‫للناس في المجتمع هي دعوتهم له بطريقة الحكمة والموعظة الحسنة والجدال بالتى هي احسن‬
‫بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتدين} والحكمة هي‬
‫ اواثارة افكارهم حين‬،‫ ويعني اثارة مشاعر الناس حين مخاطبة عقولهم‬.‫ والموعظة الحسنة هي التذكير الجميل‬.‫البرهان العقلي‬
‫ واما الجدال بالتي هي احسن فهو النقاش‬.‫ حتى تكون المشاعر مرتبطة مع االفكار فينتج العمل انتاجا ً كامال‬،‫مخاطبة مشاعرهم‬
‫ وهذه االحوال الثالث في طريقة الدعوة البد من مالحظتها الن اكثر من‬،‫الذي يحصر بالفكرة وال يتعداها الى االشخاص‬
‫يراجه الدعوة في المجتمع ثالث فئات‬.

“Dalam melaksanakan tugasnya, yaitu mengemban dakwah Islam, hizb harus berjalan sesuai
dengan metode Islam. Metode Islam dalam mengemban dakwah ke seluruh dunia adalah jihad,
sedangkan metode hizb dalam mengemban Islam kepada khalayak di tengah-tengah masyarakat
adalah dengan mengajak mereka kepada Islam dengan metode hikmah (argumentasi rasional),
mau’izhah hasanah (nasihat yang baik) serta mujadalah bi-lati hiya ahsan (diskusi dengan hujah
yang lebih baik). Allah SWT berfirman:

“Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumentasi), mau’izhah hasanah (nasihat
yang baik) serta debatlah mereka dengan yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Zat
yang Maha Tahu akan orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah Zat yang Maha Tahu orang-
orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. Al-Nahl: 125).

Hikmah adalah al-burhan al-aqli (argumentasi rasional), sedangkan mau’izhah hasanah adalah
memberi peringatan yang baik, yaitu mempengaruhi perasaan khalayak, ketika menyeru akal
mereka, serta mempengaruhi pemikiran mereka, ketika menyeru perasaan mereka, sampai
perasaan dengan pemikiran mereka terintegrasi sehingga mampu menghasilkan perbuatan
dengan kualitas yang sempurna. Adapun jadal (berdiskusi) dengan yang lebih baik adalah diskusi
yang terbatas pada ide, dan tidak melewati batas ide, sehingga menyerang pribadi. Inilah tiga
konteks metode dakwah yang wajib dicermati. Sebab, kebanyakan orang yang menghalang-
halangi dakwah di tengah-tengah masyarakat adalah tiga kelompok.” (Nuqthah al-Inthilaq, No.
33)

Dalam lanjutannya, beliau lalu menyebutkan tiga kelompok yang menghalang-halangi dakwah di
tengah masyarakat, yaitu: (1) Kelompok yang ingin memahami Islam. Mereka harus didakwahi
dengan hikmah (argumentasi rasional) dan dilibatkan dalam halqah secara intensif; (2)
Kelompok khalayak ramai, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai cukup waktu, persiapan,
situasi dan kondisi yang memungkinkan mereka melanjutkan pembinaan intensif. Mereka harus
dibina secara kolektif. Mereka harus didakwahi dan dilibatkan dalam pembinaan masal
(kolektif). Tujuannya agar terbentuk opini umum atas dasar kesadaran umum di tengah mereka;
(3) Orang-orang yang terpesona dengan pemikiran-pemikiran lain (di luar Islam), atau orang-
orang yang dalam posisi kebingungan.

Keempat, Jangan Terlibat Debat Kusir dengan Kelompok Ketiga yang Kebingungan dan
Mengemban Pemikiran yang Rusak

Terhadap kelompok ketiga ini, dalam Nuqthah al-Inthilaq, beliau memberikan catatan,

،‫ ومفاهيمهم المغلوطة‬،‫ وان يأخذ دور الهجوم على افكارهم الفاسدة‬، ‫ولذلك ال بد ان يكون حامل الدعوة واسع الصدر معهن‬
‫ بل يرفض ذلك كل الرفض ويبادر يشرح االفكار‬،‫ وان ال يقبل االسالم متهما‬،‫ وان يتجنب دور الدفاع‬،‫وطرقهم المعوجة‬
‫ أي ان يكون الجدل نقاشا ال جدال‬،‫ ويجب ان يكون جدله بالتي هي احسن‬.‫االسالمية باسلوب البيان والشرح ال باسلوب الدفاع‬
‫عقيما‬

“Oleh karena itu, seorang pengemban dakwah harus berlapang dada terhadap mereka, dan
berposisi menyerang pemikiran-pemikiran mereka yang rusak, pemahaman-pemahaman
mereka yang manipulatif serta metode-metode mereka yang berliku-liku. Dan harus menjauhi
posisi defensif, serta jangan sampai menerima Islam sebagai pihak tertuduh, tetapi harus
menolak dengan tegas. Sesegera mungkin harus menjelaskan pemikiran-pemikiran Islam dengan
pendekatan penjelasan (uslub bayan) dan uraian (syarah), bukan dengan pendekatan defensif.
Sedangkan diskusi dengan yang lebih baik, haruslah diskusi yang berbentuk niqasy (perdebatan
pemikiran), bukan debat kusir (jadal aqim).” (Nuqthah al-Inthilaq, No. 33)

Kelima, Hendaknya Berhati-hati pada Berbagai Bentuk Pengalihan Masalah dan Saling Mencaci
Secara Personal

Masih terhadap kelompok ketiga ini, beliau memberikan peringatan agar waspada dari berbagai
upaya pengalihan masalah dan agar pengemban dakwah tidak terprovokasi terhadap hasutan
mereka,

‫ اما المسألة االولى‬.‫وان يحاذر في نقاشه مسألتين يحاول اصحاب االفكار الفاسدة تحويل البحث نحوهما حين يحسون بالهزيمة‬
‫ وهذا االنتقال‬.‫ الى بحث آخر قبل ان يتم البحث االول‬،‫في االنتقال من بحث كاد يصل حلمل الدعوة فيه الى الحقيقة المقنعة‬
‫ واما‬.‫يجعل النقاش يدور في حلقة مفرغة ينتقل من بحث الى بحث فيمضي الوقت الطويل دون ان يصل الى الغاية من النقاش‬
‫ او اشخاص‬،‫المسألة الثانية فهي ان حملة االفكار الفاسدة حين يتهزمون يلجأون الى الشتائم والى الهجوم على شخص المناقش‬
‫ وال يجوز الدخول‬.‫ فليحذر ذلك‬.‫ او عن اشخاص الدعوة‬،‫ او اشخاص الدعوة‬،‫ حتى يحولوا حامل الدعوة الى الشتائم‬،‫الدعوة‬
‫ وعن‬،‫ فان كل ذلك تحويل عن الفكرة‬،‫ وكذلك ليحذر االجابة على الشتائم‬.‫في الدفاع عن شخصه او عن أي شخص في الدعوة‬
‫ ويجب‬.‫ وفي الدعوة فحسب‬،‫ ولذلك ال بد من حصر البحث في االفكار فقط‬.‫ وهذا ما يريده اصحاب الفكر الفاسد‬،‫التفكير العميق‬
‫ وما لم توجد هذه االفكار اساسا مسلما به بين الطرفين‬، ‫ان نكون هناك افكار مسلم بها عند الطرفين حتى يرجع اليها في البحث‬
‫ ألنه حينئذ ال يكون نقاشا‬،‫ال يمكن الدخول في نقاش‬.

“Dalam diskusi tersebut, hendaknya berhati-hati terhadap dua perkara, di mana pemilik
pemikiran yang rusak itu akan berusaha mengalihkan pembahasan pada dua perkara tadi, ketika
mereka sudah menyadari kekalahannya.

Masalah pertama, pengalihan pembahasan -di mana seorang pengemban dakwah hampir
sampai pada kebenaran yang meyakinkan- kepada pembahasan lain ketika pembahasan
pertama belum diselesaikan. Pengalihan ini mengakibatkan perdebatan tersebut berputar-putar
dalam lingkaran kosong, yang beralih dari satu pembahasan ke pembahasan lain, sehingga
menghabiskan waktu yang lama, dan tidak pernah sampai pada tujuan perdebatan.

Masalah kedua, para pengemban pemikiran yang rusak tersebut ketika kalah, maka segera
mengumpat dan menyerang pribadi lawan diskusinya atau orang-orang yang mendakwahinya,
sehingga mengakibatkan pengemban dakwah tersebut mengumpat, atau mempertahankan
dirinya atau mempertahankan pengemban dakwah yang lainnya. Karena itu, hendaknya hati-
hati terhadap masalah tersebut. Dan tidak dibolehkan memasuki posisi defensif terhadap dirinya
atau pengemban dakwah yang lain. Disamping harus berhati-hati dalam membalas umpatan
tersebut, sebab ini semua merupakan usaha mengalihkan dari ide dan pemikiran yang
mendalam. Inilah yang diinginkan oleh pemilik pemikiran yang rusak. Karena itu, pembahasan
tersebut harus dibatasi pada aspek pemikirannya dan dakwahnya saja. Hendaknya ada
pemikiran yang diterima oleh kedua belah pihak, sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan
dalam pembahasan. Selama tidak ada pemikiran yang diterima sebagai asas oleh kedua belah
pihak, maka tidak mungkin melibatkan diri perdebatan apapun. Sebab, pada saat itu tidak
pernah berlangsung diskusi apapun.” (Nuqthah al-Inthilaq, No. 33)

Keenam, Para Ulama Jarh wa Ta’dil Mengajari Kita Bagaimana Ungkapan Jarh Kalaupun harus
Memberikan Celaan Secara Personal

Dalam tradisi ilmu hadits, kita mengenal istilah al-jarh wa al-ta'dil. Jarh artinya penilaian negatif
dan ta'dil adalah penilaian positif kepada seorang rawi (periwayat hadits). Esensi dari ilmu ini
adalah dalam rangka mendudukkan kebenaran pada tempatnya. Jadi tidak berlebihan.
Perhatikanlah imam al-Bukhari, setajam apapun jarh beliau, imam al-Bukhari tetap santun.

Dalil kebolehan melakukan jarh adalah hadits Nabi dari 'Aisyah ra berikut,

‫ير ِة َفلَمَّا د ََخ َل َعلَ ْي ِه َأاَل َن لَ ُه‬ َ ِ‫س َر ُج ُل ْالعَش‬ َ ‫ير ِة َأ ْو ِبْئ‬
َ ِ‫س ابْنُ ْالعَش‬ َ ِّ‫َأنَّ َر ُجاًل اسْ َتْأ َذ َن َعلَى ال َّن ِبي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َقا َل اْئ َذ ُنوا لَ ُه َفلَ ِبْئ‬
‫اس َم ْن ِزلَ ًة عِ ْن َد هَّللا ِ َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة‬ِ ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ قُ ْلتَ لَ ُه الَّذِي قُ ْلتَ ُث َّم َألَ ْنتَ لَ ُه ْال َق ْو َل َقا َل َيا عَاِئ َش ُة ِإنَّ َشرَّ ال َّن‬ ُ ‫ت عَاِئ َش ُة َفقُ ْل‬
ْ َ‫ْال َق ْو َل َقال‬
ُ َ ِّ َّ َ َ
‫َمنْ َو َد َع ُه ْو ت َرك ُه الناسُ اتقا َء فحْ شِ ِه‬ ‫َأ‬

“Bahwasanya ada seorang laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW.
Kemudian Rasulullah berkata: "Izinkanlah ia masuk, sungguh sangat buruk pribadinya, atau
orang yang paling buruk di kabilahnya." Setelah orang tersebut masuk, maka Rasulullah SAW
berbicara kepadanya dengan Iunak. Aisyah berkata; 'Saya bertanya kepada Rasulullah; 'Ya
Rasulullah, tadi sebelum orang tersebut masuk, engkau berkata seperti itu, tapi setelah ia
masuk, maka engkau berkata kepadanya dengan lembut.' Rasulullah SAW menjawab: 'Hai
Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat
adalah orang yang dihindari oleh manusia karena takut kejelekannya’.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Abdu Daud, Ahmad. Lafazh Muslim)

Hadits ini dengan amat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah menjarh (mencela) seseorang yang
buruk dari suatu kabilah dengan ungkapan,

‫ير ِة‬ َ ‫ير ِة َأ ْو ِبْئ‬


َ ِ‫س َر ُج ُل ْالعَش‬ َ ِ‫س ابْنُ ْالعَش‬
َ ‫َفلَ ِبْئ‬
"Sungguh sangat buruk, atau orang yang paling buruk di kabilahnya"

Imam Abu Abdillah al-Hakim menegaskan bahwa ini adalah perkaran yang memiliki bobot
agama, bukan termasuk ghibah yang diharamkan. Apalagi jika dalam rangka menyeleksi hadits
dari para pendusta.
Dalil lainnya adalah hadits Nabi terkait dengan tiga orang yang melamar Fathimah binti Qais,

‫صلَّى‬ َ ِ ‫او َي ُة َوَأبُو َجه ٍْم َوُأ َسا َم ُة بْنُ َز ْي ٍد َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا َحلَ ْل‬
ِ ‫ت َفآ ِذنِينِي َفآ َذ ْن ُت ُه َف َخ َط َب َها ُم َع‬ َ ِ ‫َقا َل لِي َرسُو ُل هَّللا‬
‫ة بْنُ َز ْي ٍد‬Wُ ‫ضرَّ ابٌ لِل ِّن َسا ِء َولَكِنْ ُأ َسا َم‬
َ ‫او َي ُة َف َر ُج ٌل َت ِربٌ اَل َما َل لَ ُه َوَأمَّا َأبُو َجه ٍْم َف َر ُج ٌل‬ ِ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأمَّا م َُع‬
Rasulullah SAW bersabda kepadaku: "Jika kamu telah halal (selesai masa iddah), maka
beritahukanlah kepadaku." Setelah masa iddahku selesai, saya memberitahukan kepada beliau.
Tidak lama kemudian Mu'awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid datang melamarnya, maka
Rasulullah SAW bersabda: "Mu'awiyah adalah orang yang miskin harta, sedangkan Abu Jahm
suka memukul wanita, sebaiknya kamu memilih Usamah." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah,
Ahmad. Lafazh Muslim)

Pada hadits kedua, Rasulullah juga menjarh dua orang (Abu Jahm dan Mu'awiyah) dan menta'dil
satu orang yakni Usamah. Untuk menyelamatkan seorang wanita saja boleh melakukan jarh
apalagi untuk menyelamatkan agama, seperti dalam menilai rawi hadits.

Berkaitan dengan itu, dalam konteks dakwah yang bersifat fikriyah dan siyasiyah, jika
diperlukan, boleh bagi da'i untuk melakukan jarh terhadap para pengkhianat agama, ahli fitnah,
atau pemecah belah persatuan umat. Tujuannya dalam rangka melindungi umat dari
keburukannya. Namun catatanya adalah harus memilih diksi kata yang tepat menggambarkan
kondisi buruknya perilaku atau bahaya yang ditimbulkan darinya. Pilihan diski yang pantas ini
akan kembali pada urf. Pada konteks ini kita menempatkan bahwa urf itu menentukan hukum.
Ada nilai kepantasan yang harus diperhatikan. Sebagaimana yang dicontohkan al-Quran dan
hadits-hadits Nabi. Karena hal ini bukan terkait substansi, tetapi terkait ujaran dan memilih diksi
yang tinggi dan berbobot.

Ketujuh, Gaya Bahasa al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Mengajarkan Kesantunan dan Ketepatan
dalam Memilih Diksi Ungkapan

Al-Quran dan al-Hadits mengajarkan kepada kita kesantunan dalam bertutur. Al-Quran adalah
contoh terbaik ujaran yang “baligh” (bernilai balghah), dimana keduanya memenuhi dua unsur
utama, yaitu makna yang “jalil” dan ungkapan bahasa yang fasih yang sesuai dengan situasi
kondisi mutakalllim (pihak yang berbicara) dan mukhathab (pihak yang yang diajak bicara).
Dengan mencermati uslub (gaya bahasa) al-Quran, maka kita akan simpulkan bahwa nilai
balaghah al-Quran terpenuhi karena merupakan kalam yaang fasih serta sesuai maqam (situasi).
Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah meliputi respon yang diinginkan oleh mutakallim dari
mukhathab, kondisi keduabelah pihak, serta kondisi tempat dan situasi waktu disampaikannya
suatu ujaran (kalam).
Dalam ilmu Ma’ani (cabang dari ilmu Balaghah), al-Quran kadang berujar dengan ringkas namun
mengandung makna yang dalam (al-ijaz), dan kadang panjang lebar (al-ithnab). Berujar dengan
orang yang memiliki pengetahuan, dengan yang tidak berilmu, tentu pendekatannya berbeda.
Al-Quran kadang berujar dengan dengan qashr, jika hendak memberikan fokus, penegasan, atau
penekanan. Penegasan juga kadang dilakukan dengan melakukan pengulangan (takrar). Sebagai
bentuk dinamisasi dalam berujar, dalam al-Quran juga kadang terdapat iltifat (pengalihan
perhatian), seperti dari kata ganti kedua menjadi kata ganti ketiga. Kritik kepada orang kedua
yang diajak bicara dalam bentuk kritik kepada orang ketiga (ghaib) akan terkesan lebih santun.

Dalam kajian ilmu Bayan, gaya bahasa al-Quran dengan menggunakan berbagai bentuk kiasan
akan menunjukkan ketinggian gaya bahasa al-Quran. Uslub Bayan ini mencakup perbandingan,
persamaan dan ibarat (tasybih, simile), metafora (isti’arah tashrihiyyah) dan personifikasi
(isti’arah makniyyah), majaz mursal (hubungan bukan persamaan), metonimi (kinayah),
termasuk sindiran (ta’ridh), dll.. Berikut adalah beberapa contohnya:

(1) Al-Quran mengeritik rapuhnya posisi mereka yang menjadikan pelindung selain dari pada
Allah dengan menggunakan tasybih (simile).

ِ ‫ْت ْال َع ْن َكبُو‬


َ ‫ت لَ ْو َكا ُنوا َيعْ لَم‬
‫ُون‬ ِ ‫ت َب ْي ًتا َوِإنَّ َأ ْو َه َن ْال ُبيُو‬
ُ ‫ت َل َبي‬ ِ ‫ُون هَّللا ِ َأ ْولِ َيا َء َك َم َث ِل ْال َع ْن َكبُو‬
ْ ‫ت ا َّت َخ َذ‬ ِ ‫ِين ا َّت َخ ُذوا مِنْ د‬
َ ‫َم َث ُل الَّذ‬
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti
laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-
laba, kalau mereka mengetahui” (QS. al-Ankabut: 41)

(2) Al-Quran menjelaskankan balasan bagi orang kafir dengan menggunakan tasybih (simile).

‫ك ه َُو الضَّال ُل ْال َبعِي ُد‬


َ ِ‫ُون ِممَّا َك َسبُوا َعلَى َشيْ ٍء َذل‬ ْ ‫ِين َك َفرُوا ِب َرب ِِّه ْم َأعْ َمالُ ُه ْم َك َر َما ٍد ا ْش َتد‬
َ ‫َّت ِب ِه الرِّ ي ُح فِي َي ْو ٍم عَاصِ فٍ اَل َي ْق ِدر‬ َ ‫َم َث ُل الَّذ‬
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang
ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat
meng¬ambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian
itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)

(3) Al-Quran menjelaskankan buruknya kondisi orang munafik dengan menggunakan tasybih
(simile).
‫ص ٌّم ب ُْك ٌم عُمْ يٌ َف ُه ْم‬ َ ‫ت اَل ُيبْصِ ر‬
ُ )17( ‫ُون‬ ُ ‫ب هَّللا ُ ِب ُنور ِه ْم َو َت َر َك ُه ْم فِي‬
ٍ ‫ظلُ َما‬ ِ َ ‫ت َما َح ْولَ ُه َذ َه‬ َ ‫َم َثلُ ُه ْم َك َم َث ِل الَّذِي اسْ َت ْو َقدَ َنارً ا َفلَمَّا َأ‬
ْ ‫ضا َء‬
18( ‫ُون‬ َ ‫(اَل َيرْ ِجع‬
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu
menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah
mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 17-18)

(4) Al-Quran menjelaskankan rendahnya kesyirikan dengan menggunakan metafora (isti’arah


tashrihiyyah).

‫ِى ْٱلع ُْل َيا ۗ َوٱهَّلل ُ َع ِزي ٌز َحكِي ٌم‬ َ ‫نز َل ٱهَّلل ُ َسكِي َن َتهُۥ َعلَ ْي ِه َوَأيَّدَ هُۥ ِب ُج ُنو ٍد لَّ ْم َت َر ْو َها َو َج َع َل َكلِ َم َة ٱلَّذ‬
۟ ‫ِين َك َفر‬
َ ‫ُوا ٱل ُّس ْفلَ ٰى ۗ َو َكلِ َم ُة ٱهَّلل ِ ه‬ َ ‫َفَأ‬

“Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan


tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang
rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-
Taubah: 40)

(5) Al-Quran menggiring opini bahwa orang kafir memusuhi manusia dengan menggunakan
majaz mursal (hubungan bukan persamaan)

ً‫اس َنقِيرا‬ َ ‫َأ ْم لَ ُه ْم َنصِ يبٌ م َِن ْالم ُْلكِ َفِإذاً اَل يُْؤ ُت‬
َ ‫ون ال َّن‬
“Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak
akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia (Muhammad).” (QS. Al-Nisa: 53)

(6) Al-Quran mencela orang kafir dengan menggunakan sindiran (ta’ridh).

‫) َأَأ َّتخ ُِذ مِنْ دُو ِن ِه آلِ َه ًة ِإنْ ي ُِر ْد ِن الرَّ حْ َمنُ ِبضُرٍّ اَل ُت ْغ ِن َع ِّني َش َفا َع ُت ُه ْم َش ْيًئ ا َوال‬22( ‫ُون‬
َ ‫َو َما ل َِي اَل َأعْ ُب ُد الَّذِي َف َط َرنِي َوِإلَ ْي ِه ُترْ َجع‬
23( ‫ون‬ ِ ‫( ُي ْنق ُِذ‬
“Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan diriku dan yang hanya
kepada-Nya kamu (semua) akan di¬kembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan
selain¬nya jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya
syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagiku dan mereka tidak (pula) dapat
menyelamatkanku?” (QS. Yasin: 22)

Tujuan kalam pada ayat 22 ini adalah menyindir, yang juga ditunjukkan dengan adanya iltifat
(pengalihan dari dhamir orang pertama menjadi dhamir kedua) “wa ilaihi turja’un”.
Sesungguhnya yang dituju adalah “kamu”, namun dengan cerita tentang “aku”. Ayat 23 juga
merupakan sindiran kepada mereka yang menyembah kepada selain Allah.

(7) Al-Quran mencela orang yang menyerupai orang munafik dengan menggunakan sindiran
(ta’ridh).

َ ُ‫) َكب َُر َم ْق ًتا عِ ْن َد هَّللا ِ َأنْ َتقُولُوا َما اَل َت ْف َعل‬2( ‫ون‬
3( ‫ون‬ َ ُ‫ون َما اَل َت ْف َعل‬ َ ‫( َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
َ ُ‫ِين آ َم ُنوا لِ َم َتقُول‬
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan.
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS. Al-Shaf: 2-3)

Panggilan “wahai orang yang beriman” pada ayat di atas ditujukan kepada orang yang
berkelakuan seperti orang munafik, merupakan sindirin kepada mereka.

Uslub kinayah model ta’ridh (sindiran) dapat dijadikan alat menegur, mengeritik, mencela, dan
tujuan kontrol sosial lainnya dengan cara yang lebih dapat diterima dan hasilnya akan lebih
efektif, dibandingkan dengan kritikan atau celaan secara langsung.

(8) Rasulullah menegur orang yang menyelisihi syariat dengan bentuk pertanyaan retoris
(istifham inkariy). Dari Aisyah ra, beliau berkata,

‫هللا صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم ؟ فأتى بها‬


ِ ‫رسول‬
ِ ُّ‫ حِب‬، ‫ ومن يجترُئ عليه إال أسام ُة بنُ زي ٍد‬: ‫هللا صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم ؟ فقالوا‬
ِ ‫رسو َل‬
َّ َّ
‫ فقال ( أتشف ُع في ح ٍّد‬. ‫هللا صلى هللاُ عليه وسل َم‬
ِ ‫رسول‬
ِ ُ َّ َّ َّ
‫ فتلوَّ َن وج ُه‬. ‫ فكلمه فيها أسامة بنُ زي ٍد‬. ‫هللا صلى هللاُ عليه وسل َم‬
ِ ‫رسو َل‬
ِ ‫ استغفِرْ لي يا رسو َل‬: ‫أسامة‬
‫هللا‬ ُ ‫هللا ؟ ) فقال له‬
ِ ‫من حدو ِد‬
Bahwa orang-orang Quraisy pernah digemparkan oleh kasus seorang wanita dari Bani Mahzum
yang mencuri di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tepatnya ketika masa perang Al
Fath. Lalu mereka berkata: “siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam? Siapa yang lebih berani selain Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam?”. Maka Usamah bin Zaid pun menyampaikan kasus tersebut kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, hingga berubahlah warna wajah Rasulullah. Lalu beliau
bersabda: “Apakah kamu hendak memberi syafa’ah (pertolongan) terhadap seseorang dari
hukum Allah?”. Usamah berkata: “mohonkan aku ampunan wahai Rasulullah” (HR. al-Bukhari
dan Muslim. Lafazh Muslim)

Kedelapan, Beberapa Ayat al-Quran dan Hadits Melakukan Kritik atau Celaan secara Langsung
Namun Tetap Menjaga Nalar Argumentasi dan Sesuai Situasi Kondisinya
Celaan yang keras dan langsung setidaknya terjadi dalama tiga kondisi:

(1) Kepada orang kafir yang ingkar dan lalai. Allah SWT berfirman,

َ َ‫ُون ِب َها ُأ ْول‬ َ ‫ُون ِب َها َولَ ُه ْم َأعْ يُنٌ الَّ ُيبْصِ ر‬ ‫ْأ‬
‫ـِئك‬ َ ‫ُون ِب َها َولَ ُه ْم َآذانٌ الَّ َيسْ َمع‬ ِ ‫َولَ َق ْد َذ َر َنا ل َِج َه َّن َم َكثِيراً م َِّن ْال ِجنِّ َواِإل‬
َ ‫نس َل ُه ْم قُلُوبٌ الَّ َي ْف َقه‬
َ ُ‫ك ُه ُم ْالغَافِل‬
‫ون‬ َ ‫ض ُّل ُأ ْولَـِئ‬
َ ‫َكاَأل ْن َع ِام َب ْل ُه ْم َأ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-
ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf: 179).

Orang kafir disebut binatang ternak karena tidak menggunakan akalnya untuk memahami ayat
Allah. Demikian juga, mereka tidak menggunakan mata dan telinganya untuk melihat dan
mendengar ayat Allah. Binatang ternak juga masih dirasa terhormat dari pada binatang najis
atau yang diharamkan.

Dalam ayat lainnya,

‫) فِي‬4( ‫ب‬ ِ ‫) َوا ْم َرَأ ُت ُه َحمَّالَ َة ْال َح َط‬3( ‫ب‬ Wَ ‫) َما َأ ْغ َنى َع ْن ُه َمالُ ُه َو َما َك َس‬1( َّ‫ب َو َتب‬
ٍ ‫) َس َيصْ لَى َنارً ا َذاتَ َل َه‬2( ‫ب‬ ٍ ‫َّت َيدَ ا َأ ِبي َل َه‬
ْ ‫َتب‬
)5( ‫ِجي ِد َها َح ْب ٌل مِنْ َم َس ٍد‬
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah
kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut.” (QS. Al-Lahab: 1-5)

Ungkapan, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” merupakan
balasan atas ucapan abu Lahab yang mengatakan, “Apakah hanya karena itu kamu
mengumpulkan kami? Sungguh kecelakanlah bagimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Allah
hendak menegaskan bahwa Abu Lahablah yang sebenarnya akan binasa, bukan nabi
Muhammad SAW.
(2) Dalam situasi perang. Di antaranya kisah perjalanan beliau SAW ke Hudaibiyah dan perjanjian
Hudaibiyah yang disampaikan Imam al-Bukhari dalam hadits yang sangat panjang, diantara
isinya adalah:

‫ك َأيْ م َُح َّم ُد‬


َ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َنحْ ًوا مِنْ َق ْولِ ِه لِ ُب َدي ٍْل َف َقا َل عُرْ َوةُ عِ ْن َد َذل‬ َ َّ‫َفَأ َتاهُ َف َج َع َل ُي َكلِّ ُم ال َّن ِبي‬
َ ُّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َقا َل ال َّن ِبي‬
‫َأَل‬ ‫هَّللا‬
‫ك َوِإنْ َت ُك ِن ا ْخ َرى َفِإ ِّني َو ِ َرى وُ جُوهًا َوِإ ِّني‬ ‫ُأْل‬ ‫َأ‬
َ َ‫ب اجْ َتا َح هْ لَ ُه َق ْبل‬ ْ
ِ ‫ت ِب َح ٍد مِنْ ال َع َر‬‫َأ‬ Wَ ْ‫ك َه ْل َسمِع‬ َ ‫ص ْلتَ َأمْ َر َق ْو ِم‬َ ‫َأ َرَأيْتَ ِإنْ اسْ َتْأ‬
‫ت َأ َنحْ نُ َنفِرُّ َع ْن ُه َو َن َد ُع ُه َف َقا َل َمنْ َذا‬
ِ ‫يق امْ صُصْ ِب َب ْظ ِر الاَّل‬ ُ ‫ص ِّد‬ ِّ ‫ُوك َف َقا َل لَ ُه َأبُو َب ْك ٍر ال‬
َ ‫اس َخلِي ًقا َأنْ َيفِرُّ وا َو َيدَ ع‬ ِ ‫َأَل َرى َأ ْو َشابًا مِنْ ال َّن‬
‫ك‬ ُ ‫َأَل‬
َ ‫ك ِب َها َج ْبت‬ ‫َأ‬ َ
َ ‫ك عِ ندِي ل ْم جْ ِز‬ ْ َ
َ ‫تل‬ ‫اَل‬ َ ْ َّ ‫َأ‬
ْ ‫َقالوا بُو َبك ٍر َقا َل َما َوالذِي َنفسِ ي ِب َي ِد ِه ل ْو َي ٌد َكا َن‬ ْ ‫َأ‬ ُ

Lalu Urwah mendatangi Rasulullah SAW, dan mulailah ia berbicara kepada Nabi SAW, lalu Nabi
SAW menjawab seperti yang beliau sampaikan kepada Budail. Maka Urwahpun, ketika itu
berkata: “Wahai, Muhammad, bagaimana pendapatmu, bila engkau habiskan perkara kaummu,
apakah engkau pernah mendengar seorang dari bangsa Arab menghancurkan seluruh
keluarganya sebelummu? Namun bila sebaliknya, sungguh aku tidak melihat orang-orang dan
aku yakin orang-orang campuran tersebut, pasti akan lari dan meninggalkanmu”. Maka Abu
Bakar berkata kepadanya: Sedot kemaluannya Latta! Apakah mungkin kami akan lari dan
meninggalkannya? Maka Urwahpun menyahut: “Siapa itu?” Mereka menjawab: “Abu Bakar,”
lalu Urwah berkata,”Seandainya bukan karena jasa baikmu kepadaku dahulu (yang)
menghalangiku, tentu aku akan menjawab (pernyataan)mu ini.” (HR. Al-Bukhari)

Lanjutan hadits di atas,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َم َع ُه‬ ‫ْأ‬ َ ‫ َت َكلَّ َم َأ َخ َذ ِبلِحْ َي ِت ِه َو ْال ُمغ‬W‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف ُكلَّ َما‬َ َّ‫َو َج َع َل ُي َكلِّ ُم ال َّن ِبي‬
ِ ‫شعْ َب َة َقاِئ ٌم َعلَى َر‬
َ ِّ‫س ال َّن ِبي‬ ُ ُ‫ِيرةُ بْن‬
ْ‫ك َعن‬ ِّ ‫َأ‬ َ
َ ‫ب َي َدهُ ِب َنعْ ِل ال َّسيْفِ َو َقا َل ل ُه خرْ َي َد‬ َّ َ ‫هَّللا‬
َ ‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم‬
َ ‫ض َر‬ َّ َّ َ ‫َأ‬
َ ِّ‫ال َّسيْفُ َو َعلَ ْي ِه ْالم ِْغ َف ُر َفكل َما هْ َوى عُرْ َوةُ ِب َي ِد ِه ِإلى لِحْ َي ِة الن ِبي‬
َّ ُ
‫ت سْ َعى فِي‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ ْ‫شعْ َب َة َف َقا َل يْ ُغ َد ُر لَس‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َر َف َع عُرْ َوةُ َرْأ َس ُه َف َقا َل َمنْ َه َذا َقالُوا ْال ُمغ‬
ُ ُ‫ِيرةُ بْن‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫لِحْ َي ِة َرس‬
‫ِك‬
َ ‫غَد َرت‬ ْ

Urwah kembali berbicara kepada Rasulullah SAW. Setiap kali berbicara, maka ia memegangi
jenggot Rasulullah. Dan al-Mughirah bin Syu’bah berdiri di belakang kepala Nabi SAW membawa
pedang dan mengenakan tutup kepala besi, sehingga setiap kali Urwah menggerakkan
tangannya ke arah jenggot Nabi SAW, maka al-Mughirah memukulnya dengan gagang pedang,
dan berkata: “Tahan tanganmu dari jenggot Rasulullah SAW,” lalu Urwah pun mengangkat
kepalanya dan berkata: “Siapa ini?” Mereka menjawab,”Al-Mughirah bin Syu’bah,” maka Urwah
pun berkata: “Wahai, penghianat! Bukankan aku telah berusaha menghilangkan (kejelekan)
pengkhianatanmu?” (HR. Al-Bukhari)

(3) Ketika menghadapi orang zhalim yang melampaui batas dari kalangan ahli kitab. Allah SWT
berfirman,
‫ِين َظلَمُوا ِم ْن ُه ْم َوقُولُوا آ َم َّنا ِبالَّذِي ُأنز َل ِإلَ ْي َنا َوُأنز َل ِإلَ ْي ُك ْم َوِإلَ ُه َنا َوِإلَ ُه ُك ْم َوا ِح ٌد‬
َ ‫ِي َأحْ َسنُ ِإال الَّذ‬ ِ ‫َوال ُت َجا ِدلُوا َأهْ َل ْال ِك َتا‬
َ ‫ب ِإال ِبالَّتِي ه‬
َ ‫َو َنحْ نُ لَ ُه مُسْ لِم‬
‫ُون‬

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,
kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman
kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami
dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al-Ankabut: 46)

Ayat ini berisi larangan mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani melainkan dengan cara yang
baik dan metode yang benar, yaitu dengan dakwah menggunakan argumentasi yang jelas. Hal
demikian dikecualikan terhadap orang-orang yang zhalim di antara mereka yang melakukan
penentangan dan kesombongan serta mengumumkan perang terhadap kaum muslim. Maka
terhadap mereka diperlakukan secara tegas, seperti dihadapi dengan perang, hingga mereka
menyerah atau membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa orang zhalim yang dimaksud pada ayat di atas
adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran. Mereka buta, tidak dapat melihat
bukti yang jelas dan ingkar serta sombong. Maka jika sudah sampai pada tingkatan tersebut,
cara berdebat tidak dapat dipakai lagi, melainkan melalui jalan kekerasan, dan mereka harus
diperangi agar jera dan menjadi sadar.

Kesembilan, Sikap Kepada Penguasa yang Zhalim dan Menyengsarakan Rakyat

Penguasa zhalim yang menyengsarakan rakyat harus dikoreksi (muhasabah). Muhasabah adalah
kewajiban dari setiap muslim. Hadits Nabi SAW menyifati mereka dalam bentuk celaan yang
keras.

Nabi SAW bersabda dalam beberapa hadits berikut ini,

‫اس ِإلَى هَّللا ِ َوَأ ْب َع َد ُه ْم ِم ْن ُه َمجْ لِسًا ِإ َما ٌم َجاِئ ٌر‬ َ ‫اس ِإلَى هَّللا ِ َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوَأ ْد َنا ُه ْم ِم ْن ُه َمجْ لِسًا ِإ َما ٌم َعا ِد ٌل َوَأ ْب َغ‬
ِ ‫ض ال َّن‬ ِ ‫ِإنَّ َأ َحبَّ ال َّن‬
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat
kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling
dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang
zhalim.” (HR. Al-Tirmidzi)

‫ك َك َّذابٌ َوعَاِئ ٌل مُسْ َت ْك ِب ٌر‬ ٍ ‫ظ ُر ِإلَي ِْه ْم َولَ ُه ْم َع َذابٌ َألِي ٌم َش ْي ٌخ َز‬
ٌ ِ‫ان َو َمل‬ ُ ‫يه ْم َوالَ َي ْن‬
ِ ‫َثالَ َث ٌة الَ ُي َكلِّ ُم ُه ُم هَّللا ُ َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوالَ ي َُز ِّك‬
“Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi
memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda).
Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah): Orang tua yang berzina,
Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)

ُ‫َاس ل َِرعِ َّي ِت ِه ِإاَّل َحرَّ َم هللا‬ ُ ‫ِين َيم‬


ِ ‫ُوت َوه َُو غ‬ َ ‫ُوت ح‬ َ ‫َم ِن اسْ َترْ َعاهُ هللاُ َرعِ ي ًَّة ُث َّم لَ ْم ُيح ِْط َها ِب ُنصْ ٍح ِإاَّل َحرَّ َم هللاُ َعلَ ْي ِه‬
ُ ‫ َيم‬: ‫ وفي لفظ‬.‫الج َّن َة‬
َ‫ َعلَ ْي ِه ْال َج َّنة‬.

“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak
mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” Dalam lafazh yang lain
disebutkan, “Ialu ia mati dimana ketika matinya itu dalam keadaan menipu rakyatnya, maka
Allah haramkan surga baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

‫ِق َويُْؤ َت َمنُ فِ ْي َها ْال َخاِئنُ َوي َُخ َّونُ فِ ْي َها اَأل ِميْنُ َو َي ْنطِ ُق فِ ْي َها‬ُ ‫َّق فِ ْي َها ْال َكاذِبُ َو ُي َك َّذبُ فِ ْي َها الصَّاد‬ ‫ْأ‬
ُ ‫ُصد‬ ٌ ‫َّاع‬
َ ‫ات ي‬ َ ‫ات َخد‬ ِ َّ ‫َس َي ت َِي َعلَى النا‬
ٌ ‫س َس َن َو‬
ْ ‫َأ‬ َّ
‫ضة َقا َل الرَّ ُج ُل التافِ ُه فِي ْم ِر ال َعا َّم ِة‬ ُ َ ‫ضة قِ ْي َل َو َما الرُّ َوي ِْب‬ُ َ ‫الرُّ َوي ِْب‬
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap
jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap
pengkhianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah
itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim).

Nabi menegaskan kerugian mereka karena mendapatkan posisi yang buruk di hari kiamat.
Bahkan surga haram atas mereka (penguasa yang zhalim). Dalam hadits riwayat al-Hakim,
bahkan mereka disifati dengan istilah “ruwaibidhah”, yakni “al-rajul al-tafih” (orang bodoh).
Kalau kita perhatikan itu semua sedang menggambarkan fakta yang ada pada mereka dan
balasan yang akan mereka terima nanti. Bukan terkait umpatan kasar yang tanpa argumentasi.
Bukan pula terkait materi dalam komunikasi dakwah kepada mereka. Karena komunikasi
dakwah tetap harus dalam bingkai QS. Al-Nahl: 125, bagaimanapun kondisi kebodohan
(kedunguan) mereka.

Penutup

Tabiat utama dakwah adalah menyampaikan seruan dengan hikmah (argumentasi rasional),
mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik) dan sesekali bisa mendebat dengan suatu yang lebih
baik. Artinya, meski pada kondisi tertentu boleh melakukan jarh (celaan pada aspek personal),
namun itu bukan tabiat utama dakwah. Kita bisa belajar bagaimana al-Quran dan al-Hadits
mengajari kita untuk memilih diksi kata dan ungkapan kalimat yang tinggi dan fasih. Saat
melakukan celaanpun, al-Quran melakukan dengan dengan sindiran yang efektif. Saat kita
jumpai adanya celaan terbuka dalam al-Quran dan al-Hadits, itu terbatas pada beberapa kondisi
tertentu, dan relevan dengan situasi kondisnya. Hendaknya juga berhat-hati terhadap dua
penyimpangan dakwah sebagaimana yang diingatkan dalam kutaib Nuqthah al-Inthilaq di atas.
Meski jarh itu boleh dilakukan, tetapi tujuannya semata adalah untuk menempatkan kebenaran
pada tempatnya. Belajar dari para ulama hadits, lafazh jarh adalah ungkapan yang menjelaskan
fakta, disertai alasan, dan memilih diksi yang pantas sesuai dengan urf masyarakat. Karena
dakwah itu untuk menundukkan hati, bukan membangkitkan kebencian dan antipati publik.
Ketika Nabi menyifati pemimpin zhalim dengan sifat yang buruk, itu sebenarnya sedang
menggambarkan fakta dan ancaman tempat kembali mereka, bukan tentang materi komunikasi
dakwah. Karena metode dakwah harus tunduk pada QS. Al-Nahl ayat 125. Namun demikian, jika
ada pengemban dakwah yang dalam ujarannya tidak pantas, lalu dia zhalimi dan difitnah oleh
penguasa, maka seluruh pembela kebenaran harus berdiri menolak dan melawan kesewenang-
wenangan penguasa tersebut. []

Bandung, 11 April 2020

Anda mungkin juga menyukai