Tulisan ini akan fokus hanya membahas tentang bentuk pengeluaran zakat fitrah, apakah
dengan bahan makanan pokok atau boleh dengan harganya (uang).
Namun, sebelumnya perlu dipahami bahwa perbedaan pendapat di kalangan para ulama
mazhab semuanya merupakan hasil ijtihad dengan kapasitas ilmu masing-masing para ulama
mujtahid, dan itu merupakan hukum syara’ bagi para muqallid yang mengambil dan
mengikuti hasil ijtihad tersebut. Tidak layak bagi para muqallid untuk merendahkan dan
mencerca hasil ijtihad satu ulama atas hasil ijtihad ulama yang lain. Semua hasil ijtihad
para ulama mujtahid merupakan hukum syara’ bagi diri mereka dan para pengikutnya.
Terkait dengan hukum membayar zakat fitrah dengan uang, jumhur ulama seperti
Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah tidak memperbolehkan sama sekali membayar zakat
dengan uang (harganya), tetapi wajib dengan bahan makanan pokok. (Al-Mudawwanah al-
Kubra, I/392; al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)
Al-Imam an-Nawawy menukilkan dalam syarah shahih Muslim (VII/53) bahwa jumhur ulama
(kecuali Abu Hanifah) tidak membolehkan zakat fitrah dengan uang.
Hal ini berdasarkan kepada hadits dari Abu Sa’id ra., ia berkata:
اعا ِم ْن
ً ص
ِ ُكنَّا نُعطها فِي زمن النبي صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم صاعا ِمن طَع ٍام َأو صاعا ِمن َش ِعي ٍر َأو ص
َ اعا م ْن تَ ْم ٍر َْأو
ً َ ْ ْ ً َ ْ َ ْ ً َ َ ََ َْ ُ َ
ٍ َِزب
يب
pada zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam kami mengeluarkan zakat fitrah sebesar
satu sha' dari makanan pokok atau dari gandum, atau kurma, atau anggur kering. (HR.
Mutafaqun ‘alayhi)
Hadits ini menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan/dibayarkan dalam bentuk bahan makanan
pokok bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada di Masa
Rasulullah saat itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr
Tha’am, hal. 9)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin As-Sakkan telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Jahdham telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far
dari 'Umar bin Nafi' dari bapaknya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha' dari kurma
atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki
maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan
agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied) " (HR. Bukhari)
Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan harganya
(uang). Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Imam Bukhari, Imam Tsauri, dan Imam
Ibnu Taimiyah (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, XXV/83).
Mereka mendasarkan pendapatnya pada sabda Rasulullah SAW.,
أغنوهم عن املسألة يف مثل هذا اليوم
“Cukupilah mereka pada hari ini dari meminta-minta” (HR. Daruquthni dan Baihaqi, dari
Ibnu Umar)
Menurutnya, memberi kecukupan (ighna’) kepada fakir miskin dalam zakat fitrah dapat
terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat
al-Fithr, hal. 3)
Selain itu, ayat yang digunakan adalah surah at-Taubah ayat 103.
Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal) yaitu apa
yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan
membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi
Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4)
Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal hukum membayar zakat dengan uang,
namun tentu saja kita tidak bisa mengamalkan kedua pendapat yang berbeda tersebut
secara bersamaan. Tentu saja ada pendapat yang harus dipilih salah satunya untuk kita
amalkan.
Kami sendiri lebih cenderung kepada pendapat jumhur Ulama yang berpendapat bahwa
zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan bahan makanan pokok. Adapaun alasannya sebagai
berikut.
Terkait dengan hadits riwayat Imam Darquthni dan Imam Baihaqi yang menyatakan bahwa
“Cukupkanlah mereka pada hari ini dari meminta-minta” merupakan hadits dhaif (lemah)
menurut Imam an-Nawawi.
Menurut Imam an-Nawawi, hadits tersebut lemah pada salah satu rawinya yang bernama
Abu Ma’syar sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab,
VI/126), begitu juga menurut Imam Ibn Hazm dan Imam as-Syaukani.
Adapun terkait surah at-Taubah ayat 103, khitab (seruan) yang terdapat dalam ayat
tersebut masih bersifat mujmal (global) dan masih membutuhkan tafshil (perincian).
Berkaitan dengan zakat fitrah sudah ditafshil oleh hadits hadits di atas yang menunjukkan
bahwa zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk bahan makanan pokok.
Kesimpulan
Dalam masalah hukum membayar zakat fitrah dengan uang, terdapat dua pendapat.
Pertama, pendapat yang tidak memperbolehkan. Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama
mazhab (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)
Kedua, pendapat yang memperbolehkan dengan uang. Ini pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam Bukhari, Imam Tasuri, dan Imam Ibnu Taimiyah.
-Wallahu a’lam-