Anda di halaman 1dari 33

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan
umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat
manusia. (Abd. Rosyad Shaleh, 1:1987)
Pengertian tentang Dakwah secara bahasa An-nida, yang artinya memanggil, Ad-
du‟a ila syai‟i, menyeru atau mendorong pada sesuatu. Sebagaimana firman Allah pada
surat An-Nahl (16) ayat 125 :

                 

       

Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (R. H. A. Soenarjo, 421:1989)

Begitu pula ayat berikut menunjukkan arti dari kata dakwah yaitu al-qur‟an surat
Fushilat (41) ayat 33, yaitu :

             
Artinya: siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-
orang yang menyerah diri?" (R. H. A. Soenarjo, 778:1989).

Sedangkan definisi dakwah menurut Drs. H.M. Arifin, M.Ed adalah Sebagai
suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang
dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara
individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran, sikap, penghayatan serta pengamalan terhadap ajakan agama sebagai message
yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan (Totok
Jumantoro, 2001:17).
Pendapat di atas sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surat Al-Baqarah 2:
256, yang Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (R. H. A. Soenarjo, 63:1989)
Secara etimologis Dakwah berasal dari bahasa arab yang berarti seruan, ajakan,
panggilan. Proses memanggil atau menyeru merupakan suatu proses penyampaian
(Tabligh) atas pesan pesan tertentu. Secara etimologis (logat) pengertian Dakwah dan
Tabligh itu merupakan suatu proses penyampaian (Tabligh) pesan tertentu yang berupa
ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut.
Dalam pengertian agama, dakwah mengandung panggilan dari Tuhan dan Nabi
Muhammad saw. Untuk umat manusia agar percaya terhadap ajaran Islam dan
mewujudkan Agama yang dipercayainya itu dalam segi kehidupan. Diyakini oleh umat
Islam, bahwa tugas semua Nabi dan termasuk Nabi Muhammad adalah medakwahkan
sebuah agama yaitu Islam. Disamping itu, istilah Dakwah juga diapakai arti propaganda
mengenai apa pun termasuk ajaran palsu. (Amin Syukur2003:13)
Di era modern seperti saat ini Dakwah seperti yang dicontohkan Nabi SAW. jelas
masih sangat relevan. Meski sekarang tantangan terbesar telah bergeser akibat semakin
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Ketua Dewan Syariah Nasional
(DSN) KH Ma‟ruf Amien, secara tidak langsung, konsep dakwah Islamiyah harus
mampu bersinggungan dengan kecanggihan-kecanggihan teknologi, terutama teknologi
informasi (TI).dan yang tak kalah penting berdakwah secara pluralis yang bisa kita
diterapkan sedikit demi sedikit.
Pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang
dimanefestasikan dalam suatu system kegiatan manusia beriman dalam bidang
kemasyarakatn yang dilaksanakan secara tearatur untuk mempengaruhi cara merasa,
berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada tataran kenyataan individual dan sosio
kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran islam dalam semua segi
kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.
Secara makro, eksistensi Dakwah Islam senantiasa bersentuhan dan bergelut
dengan realitas yang mengitarinya. Dalam persepektif historis, pergumalan dakwah Islam
dalam realitas sosial cultural menjuampai dua kemungkinan. Pertama, Dakwah-Dakwah
islam memberikan output (hasil pengaruh) terhadap lingkungan dalam arti memberi dasar
filosofi, arah pedoman dan dorongan dan pedoman perubahan masyarakat sampai
terbentuknya realitas social baru. Kedua, Dakwah Islam dipengaruhi perubahan
masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas dakwah
ditentukan oleh sistem sosio kultural. Dalam kemungkinan yang kedua ini, system
Dakwah dapat bersifat statis atau ada dinamika dengan kadar yang hampir tidak berarti
bagi sosio kultural.(Amrullah Ahmad : 02).
Dalam menyampaikan dan menyebarkan Islam, hendaklah para Da‟i memegang
rambu-rambu dalam berdakwah. Menurut Dr. Yusuf Qordhowi ada 10 rambu rambu yang
harus diperhatikan bagi program menampilkan Islam (berdakwah) didunia global.
1) Menyeru muslim dan non muslim kepada Islam. Dakwah atau tabligh hendaklah bukan
hanya menyeru kepada muslim saja akan tetapi juga harus dapat menyeru kepada non
muslim. Apalagi dengan menggunakan media teknologi, semua orang dari penjuru dunia
manapun dapat mengaksesnya.
2) Menyajikan Islam secara utuh baik dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq, adab, hukum
maupun peradabannya.
3) Ajaran Islam, hukum dan nilai nilainya diambil dari sumbernya yang bersih yaitu Al
Qur‟an Al Karim, dan sunnah atau hadits yang shahih.
4) Berpegang pada sifat wasathiyah dalam memahami Islam dan realita dengan tidak
berlebihan atau terlalu longgar.
5) Mempertahankan prinsip memudahkan bukan menyulitkan dalam berfatwa dan prinsip
menanamkan senang kepada islam dalam berdakwah bukan dengan menakut-nakuti, hal
ini sesuai dengan pesan Rasulullah SAW “Permudahlah jangan dipersulit, berilah kabar
gembira dan jangan menakut nakuti” (HR. Muttafaq „alaih)
6) Memadukan orisinalitas dan modernitas. Artinya bahwa Dakwah itu harus berasal dari
sumber ajaran Islam yang asli dengan didukung oleh kemajuan teknologi sebagai
medianya dalam penyampaian.
7) Tidak fanatik terhadap pendapat lama dan pikiran baru. Juga tidak bersikap ashobiyah
kepada seseorang karena setiap orang, ucapannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan.
8) Memperlakukan manusia sampai para penentang sekalipun dengan cara lemah lembut
bukan dengan cara kasar dan kekerasan dan dengan dialog yang paling baik seperti yang
tercantum dalam Al Qur‟an surat Ali Imran ayat (3):159

ۡ‫ٱست َۡغ ِف ۡر لَهُم‬ ۡ َ‫ب َلَوفَضُّ ىاْ ِم ۡه َح ۡى ِل ۖۡكَ ف‬


ۡ ‫ٲعفُ ع َۡىهُمۡ َو‬ ِ ‫ٱَّلل ِلىتَ لَهُمۡ ۖۡ َولَ ۡى ُكىتَ فَظًّّا َغ ِليظَ ۡٱلقَ ۡل‬ ِ ‫فَ ِب َما َر ۡح َم ٖة ِّمهَ ه‬
١٥٩ َ‫ٱَّلل ي ُِحبُّ ۡٱل ُمت ََى ِّك ِليه‬
َ ‫ٱَّلل إِ هن ه‬ َ ۡ ‫او ۡرهُمۡ ِفي‬
ِ ِۚ ‫ٱۡلمۡ ۖۡ ِر فَإ ِ َذا َعزَ مۡ تَ فَت ََى هك ۡل َعلَى ه‬ ِ ‫َو َش‬

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

9) Memadukan keilmiahan dalam isi dan teknik penyajian yang menarik perhatian
masyarakat dunia
10) Melakukan pengulangan atau penggandaan jika dibutuhkan dan bekerjasama dengan para
aktivis islam jika memungkinkan.

2. Unsur-unsur Dakwah
Dalam kegiatan dakwah ada beberapa unsur atau komponen yang saling
berkaitan satu sama lain, diantaranya da'i (pelaku dakwah), mad'u (penerima dakwah),
maddah (materi dakwah), media dakwah (wassilah) dan metode dakwah.
a) Da'i (Pelaku Dakwah). Da'i ada la h o r ang ya ng me laksa nakan dakwa h, ba ik
dengan perbuatan, perkataan ataupun seruan yang dilakukan baik secara
individu, kelompok maupun melalui organisasi. Da'i sering disebut juga
dengan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam). Nasarudin Lat ief
mendefinisikan bahwa da'i adalah muslim dan muslimah yang menjadikan
dakwah sebagai suatu amaliyah pokok bagi tugas ulama (Munir dan Wahyu Ilaihi,
2006:22). Berhasil tidaknya dakwah islamiyah sangat tergantung pada da'i-nya.
b) Mad'u (Penerima Dakwah). Salah satu unsur penting lainnya dalam komponen
dakwah adalah Mad'u (masyarakat yang menjadi sasaran dakwah). Slamet Muhaiman
Abda membedakan macam-macam masyarakat sebagai objek dakwah berdasarkan
beberapa hal sebgai berikut :
1) Nilai-nilai yang dianut seperti kepercayaan, agama, tradisi dan turun
temurun.
2) Pengetahuan
3) Keterampilan
4) Bahasa (Najamuddin, 2008:29)
c) Maddah (Materi Dakwah). Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang
disampaikan da‟i kepada mad'u. Materi dakwah dari sumber yang benar dan
terpercaya, dari Al-Qur'an dan hadist Nabi, kedua kitab inilah yang menjadi sumber
utama materi dakwah. Al-Qur'an sebagi pedoman h idup, petunjuk, pember i
peringatan, pembeda. sekaligus obat, di dalamnya terkandung secara lengkap
yang bersangkutan dengan peribadatan, keyakinan, akhlak, polit ik, ekonomi,
hubungan dengan Allah , manusia, alam dan berbagai aspek lainnya. Sumber pokok
kedua dari materi dakwah adalah hadist Nabi SAW., yakni segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan perbuatan Rasulullah SAW, baik ucapan maupun
tingkah laku. Hadist berfungsi sebagai penjelas dari maksud ayat yang belum
jelas at aupun masih bersifat umum, dan pengokoh terhadap isi kandungan Al-
Qur'an.
d) Metode Dakwah. Di negeri ini, para pemikir dan pemuka Islam sudah sejak lama
merisaukan tentang metode dakwah yang dijadikan pegangan selama ini. Ada yang
berpendapat metode Dakwah selama ini kurang menyesuaikan diri dengan perubahan
atau perkembangan sosial yang terjadi di tengah umat. Oleh karena itu, metode dan etika
dalam berdakwah perlu diperhatikan. Karena niat baik saja tidak cukup, jika tidak diiringi
dengan cara (metode) yang benar. Begitu juga sebaliknya (Abu Muhammad Shu‟ailik,
2007:8). Berdasarkan kenyataan di atas, maka berikut ini akan dipaparkan metode
Dakwah yang akurat dalam Al-Qur‟an. Membicarakan masalah metodologi berarti
memasuki aspek epistemologi dalam filsafat keilmuan, karena aspek ini secara filosofis
membahas tentang cara menerapkan usaha-usaha dalam rangka mengembangkan suatu
ilmu (Abdullah Ali, 2007:55). Metode berasal dari kata method (bahasa Inggris) atau
Methodos (bahasa Yunani); meta yang artinya sesudah atau melampaui dan hodos artinya
cara atau jalan ( M. Fuad Anwar: 2015: 15) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa ”Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.” (Azyumardi Azra,
2007:137). Kata metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki pengertian “Suatu
cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan
menyelesaikan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia. Sedangkan dalam
metodologi pengajaran ajara Islam disebutkan bahwa metode adalah “Suatu cara yang
sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah.” (M. Munir dan Wahyu
Ilaihi, 2006:32-33).
Dapat disimpulkan sebagaimana yang dikatakan oleh M. Fuad Anwar ( 2015:15)
Metode adalah ilmu pengertahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang
ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efesien. Ketika
membahas tentang metode dakwah, maka pada umumnya para juru dakwah merujuk pada
surat An-Nahl [16] ayat 125 :
َ ‫يل َربِّكَ ِب ۡٲل ِح ۡك َم ِة َو ۡٱل َم ۡى ِعظَ ِة ۡٱل َح َسىَ ۖۡ ِة َو ٰ َج ِد ۡلهُم ِبٲلهتِي ِه َي أَ ۡح َس ِۚهُ إِ هن َربه َكه َُى أَ ۡعلَ ُم ِب َمه‬
‫ض هل عَه‬ ُ ‫ۡٱد‬
ِ ‫ع إِلَ ٰى َس ِب‬
١٢٥ َ‫َس ِبيلِِۦه َوه َُى أَ ۡعلَ ُم ِب ۡٲل ُم ۡهتَ ِديه‬
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ada beberapa kerangka dasar tentang metode dakwah yang terdapat pada ayat di
atas, antara lain sebagai berikut :
1) Bi al Hikmah
Kata “hikmah” dalam Al-Qur‟an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam nakiroh
maupun ma‟rifat. Bentuk masdarnya adalah “hukman” yang diartikan secara makna
aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah kedzaliman,
dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan
dalam melaksanakan tugas dakwah (M. Munir, 2006:8).
Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud an-Nasafi, arti hikmah yaitu :
“Dakwah bil-hikmah” adalah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan
pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan. (M. Munir,
2006:10).
Dalam bahasa komunikasi hikmah menyangkut apa yang disebut sebagai frame of
reference, field of reference dan field of experience, yaitu situsi total yang mempengaruhi
sikap terhadap pihak komunikan (objek dakwah). Dengan kata lain bi al-hikmah
merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilakukan atas dasar persuasif
(Siti Muriah, 2000:39). Karena dakwah bertumpu pada human oriented, maka
konsekuensi logisnya adalah pengakuan dan penghargaan pada hak-hak yang bersifat
demokratis, agar fungsi dakwah yang utama adalah bersifat informatif sebagaimana
ketentuan Al-Qur‟an surat Al Ghaasyiyah [88]:21-22 :

َ ‫س ٕٔ لَّ ۡسثَ َعلَ ۡي ِهم بِ ُم‬ٞ ‫فَ َر ِّك ۡس إِوَّ َمبٓ أَوثَ ُم َر ِّك‬
ٕٕ ‫ص ۡي ِط ٍس‬

Artinya : “Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang
memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Depag RI,
1971:50).

Dalam Al-Qur‟an terdapat banyak kata hikmah, di antaranya adalah :


َ َ‫ىٗل ِّم ۡى ُهمۡ َي ۡحلُىاْ َعلَ ۡي ِهمۡ َءا َٰ َي ِح َك َويُ َعلِّ ُم ُه ُم ۡٱل ِك َٰح‬
‫ب َو ۡٱل ِح ۡك َمةَ َويُزَ ِّكي ِهمۡۖۡ إِوَّ َك أَوثَ ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َح ِكي ُم‬ ُ ‫َزبَّىَب َو ۡٱب َع ۡث ِفي ِهمۡ َز‬
‫س ا‬
ٕٔ٩

Artinya : “Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada
mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah
[2]:129)

ِ َ‫شبٓ ُۚ ُء َو َمه يُ ۡؤتَ ۡٱل ِح ۡك َمةَ فَقَ ۡد أُوجِ َي َخ ۡي اسا َكثِ ايس ۗا َو َمب يَ َّر َّك ُس إِ َّ ٓٗل أ ُ ْولُىاْ ۡٱۡلَ ۡل َٰب‬
ٕ٦٩‫ب‬ َ َ‫يُ ۡؤجِي ۡٱل ِح ۡك َمةَ َمه ي‬

Artinya : “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran


dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Q.S. Al-Baqarah
[2]:269).
2) Mauidzah al Hasanah
Secara bahasa, mau‟izhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau‟izhah dan
hasanah. Kata mau‟izhah berasal dari kata wa‟adza-ya‟dzu-wa‟dzan-„idzatan yang
berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah merupakan
kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya kejelakan (M. Munir, 2006:15).
Adapun pengertian secara istilah ada beberapa pendapat, salah satunya menurut
Abd. Hamid al-Bilali al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode)
dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Alloh dengan memberikan nasihat atau
membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik. Pendapat Abd. Hamid
al-Bilali sesuai dengan firman Alloh swt dalam surat Thaahaa [20]:44, yaitu :

٤٤ َٰ‫ىٗل لَ ۥهُ قَ ۡى اٗل لَّيِّ اىب لَّ َعلَّ ۥهُ يَحَ َر َّك ُس أَ ۡو يَ ۡخشَى‬
َ ُ‫فَق‬
Artinya : “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Menurut Filosof Tanthawy Jauhari, yang dikutip Faruq Nasution mengatakan
bahwa mau‟izhah hasanah adalah mau‟izhah Ilahiyyah yaitu upaya apa saja dalam
menyeru/mengajak manusia kepada jalan kebaikan (ma yad‟u ila al shaleh) dengan cara
rangsangan menimbulkan cinta (raghbah) dan rangsangan yang menimbulkan waspada
(rahbah). (Siti Muriah, 2000:44).
Sikap lemah lembut (affection) menghindari sikap egoisme adalah warna yang
tidak terpisahkan dalam cara seseorang melancarkan ide-idenya untuk mempengaruhi
orang lain secara persuasif dan bahkan coersive (memaksa). Caranya dengan
mempengaruhi objek dakwah atas dasar pertimbangan psikologis dan rasional. (Siti
Muriah, 2000:46).
Maksudnya sebagai subjek dakwah harus memperhatikan semua determinan
psikologis dari objek dakwah berupa frame of reference (kerangka berfikirnya) dan field
experience (lingkup pengalaman hidup dari objek dakwah dan sebagainya).
Dalam hal ini Nabi mengingatkan kepada kita selaku umatnya melalui sabdanya,
yaitu : “Berbicaralah dengan mereka (manusia) itu sesuai dengan kemampuannya.” Jadi
setelah memahami frame of experience dari objek dakwah, seorang da‟i diwajibkan
menyampaikan nasehat-nasehatnya dengan nasehat yang faktual berupa mau‟idzah
hasanah agar pihak objek dakwah dapat menentukan pikirannya terhadap rangsangan,
psikologis yang mempengaruhi dirinya.
Sebaliknya, perilaku yang kasar, main paksa justru menjauhkan simpatik orang
lain. Allah SWT, berfirman :

ۡ‫ٱسح َۡغفِ ۡس لَهُمۡ َوشَب ِو ۡزهُم‬ ۡ َ‫ضىاْ ِم ۡه َح ۡىلِ ۖۡ َك ف‬


ۡ ‫ٱعفُ ع َۡىهُمۡ َو‬ ِ ‫ٱَّلل لِىثَ لَهُمۡۖۡ َولَ ۡى ُكىثَ فَظًّّب َغلِيظَ ۡٱلقَ ۡل‬
ُّ َ‫ب َلَوف‬ ِ َّ َ‫فَبِ َمب َز ۡح َم ٖة ِّمه‬
ٔ٥٩ َ‫ب ۡٱل ُمحَ َى ِّكلِيه‬ ِ ُۚ َّ ‫فِي ۡٱۡلَمۡ ۖۡ ِس فَئ ِ َذا َع َزمۡ ثَ فَحَ َى َّكلۡ َعلَى‬
َ َّ َّ‫ٱَّلل إِن‬
ُّ ‫ٱَّلل يُ ِح‬

Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. Ali-Imran [3]:159).

Kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah, akan mengandung arti
kata-kata yang masuk ke dalam qolbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan
dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain
sebab kelemahan
dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan dapat menjinakkan
qolbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman (M.
Munir, 2006:17).
3) Mujadalah
Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah terambil dari kata “jadala” yang
bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti
wazan faa‟ala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujaadalah” perdebatan (M.
Fuad Anwar :2015: 59).
Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa-almunadzarah,

mengartikan bahwa “al-jidal” secara bahasa dapat bermakna pula “Datang untuk memilih

kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-jadlu” maka berati “pertentangan atau

perseteruan yang tajam” (M. Munir, 2006:18). Dari segi istilah (terminologi) Al-

Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara

sinergis tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara

keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah, suatu upaya yang

bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan

bukti yang kuat (M. Munir, 2006:18).

Sayyid Quthb menyatakan bahwa dalam menerapkan metode diskusi dengan cara

yang baik dengan cara yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut (Siti Muriah,

2000:50) :

1) Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekkan, karena tujuan diskusi

bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai kepada

kebenaran.
2) Tujuan diskusi semata-mata untuk menunjukkan kebenaran sesuai dengan ajaran

Alloh.

3) Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri.

Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa

tetap dihargai dan dihormati.

Sedangkan Syeikh Yusuf Al-Qardhawi menuturkan bahwa dalam diskusi ada dua

metode, yaitu metode yang baik (hasan) dan metode yang lebih baik (ahsan). Al-Qur‟an

menggariskan bahwa salah satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode

diskusi yang lebih baik. Diskusi dengan metode ahsan ini adalah dengan menyebutkan

segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi, kemudian dari situ dibahas

masalah-masalah perbedaan dari kedua belah pihak, sehingga diharapkan mereka akan

mencapai segi-segi persamaan pula (Siti Muriah, 2000:51).

1. Media Dakwah (Wassilah)

Media dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan ajaran


islam kepada ummat. Hamzah Ya'qub membagi media dakwah menjadi 5 macam.
(Munir dan Wahyu Ilaihi, 2006:32)
1) Lisan adalah media dakwah paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara.
2) Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan, buku, majalah, Surat kabar.
3) Lukisan adalah media dakwah melalui media gambar, karikatur.
4) Audio visual adalah media dakwah yang dapat merangsang indera pendengaran
dan pengelihatan.
5) Akhlak yaitu media dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang
mencerminkan ajaran Islam yang secara langsung dapat dilihat dan didengarkan
oleh mad'u
4.Tujuan Dakwah

Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia adalah mempunyai sasaran dan

tujuan satu saja, yaitu memandu manusia supaya mengenal Tuhan mereka Yang Maha

Esa dan Yang Maha Besar, supaya mereka menyembah dan mengabdikan diri kepada

Tuhan Yang Maha Esa saja serta melempar jauh dari tuhan selain Allah SWT.

(www.dakwah.info, Syed Qutb, 37).

Dakwah mempunyai tujuan yang satu, yaitu “Menyerah” didalam pengertian

penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Alloh,

Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari kesetiaan mengabdikan diri

kepada sesama hamba Alloh swt, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk

kepada sesama hamba Alloh di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-

nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan

dan peraturan Alloh swt. saja di dalam semua urusan hidup guna mencapai kebahagiaan

hidup dunia dan akhirat.

Allah SWT. menegaskan dalam firman-Nya :

ٔٓ٤َ‫وف َويَ ۡى َه ۡىنَ ع َِه ۡٱل ُمى َك ُۚ ِس َوأ ُ ْو َٰلَٓ ِئكَ هُ ُم ۡٱل ُم ۡفلِ ُحىن‬
ِ ‫ة يَ ۡدعُىنَ إِلَى ۡٱل َخ ۡي ِس َويَ ۡأ ُم ُسونَ بِ ۡٱل َم ۡع ُس‬ٞ ‫َو ۡلحَ ُكه ِّمى ُكمۡ أ ُ َّم‬

Artinya : ” Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Q.S. Ali-Imran
[3]:104).

Dan dalam ayat lain Alloh swt,. Kembali berfirman :


                



Artinya : ”Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin
Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
(Q.S. Ibrahim, [14]:1).

Oleh karena itu, dalam menjalankan amanah dakwah Islam di dunia ini kita

sebagai juru dakwah harus semangat dan istiqomah dalam berdakwah. Kita jangan kalah

dengan orang-orang komunis dan orang-orang kafir yang melakukan gerakan di dunia ini

demi menyeru manusia untuk menerima pemikiran mereka, dan mengganti hidup

manusia sesuai dengan apa yang mereka serukan. Mereka (orang-orang komunis dan

orang-orang kafir) juga tugas itu dengan sungguh-sungguh dan rela berkorban. (Samir

Abdul Hamid Ibrahim, 2004:101)

Seharusnya seperti itu juga para juru dakwah Islam berbuat, bahkan mereka

diperintahkan lebih dari itu. Para juru dakwah wajib berusaha untuk menjalankan Islam

sebagai sebuah sistem hidup, dan hendaknya ini menjadi tujuan dalam hidup. Jika hal

tersebut sudah dilakukan, maka tujuan dakwah Islam yang mulia ini akan tercapai dan

bukan sekedar mimpi di siang bolong.

5. Pengertian Strategi Dakwah

Strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang disusun
untuk mencapai tujuan dakwah tertentu, strategi dakwah indriawi atau strategi ilmiah di
definisikan sebagai sistem dakwah atau kumpulan metode dakwah yang berorientasi pada
pancaindra dan berpegang teguh pada hasil penelitian dan percobaan. Menurut M.
Quraish Shihab, Strategi dakwah juga bisa di tentukan berdasarkan ayat Al-Qur‟an, surat
al-Baqarah ayat 129.

              

  

Artinya: Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada
mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Al-Bayanuni ,1993:204-219 membagi strategi dakwah dalam tiga bentuk yaitu:

1. Strategi sentimentil (al-manhaj al-„athifi).


2. Strategi rasional (al-manhaj al-„aqli)
3. Strategi indriawi (al-manhaj al-hissi)
Strategi sentimentil adalah dakwah yang memfokuskan aspek hati dan
menggerakkan perasaan dan batin mitra dakwah. Memberi mitra dakwah nasihat yang
mengesankan, memanggil dengan kelembutan, strategi sentimentil diterapkan oleh Nabi
SAW dalam strategi ini kaum lemah merasa dihargai dan kaum mulia merasa dihormati.
Strategi rasional adalah dakwah dengan beberapa metode yang memfokuskan
pada aspek akal dan pikiran, strategi ini mendorong mitra dakwah untuk berpikir,
merenungkan, dan mengambil pelajaran.
Al-qur‟an mendorong pengguna strategi rasional dengan beberapa terminologi
antara lain: tafakkur, tadzakkur, nazhar, taammul, i’tibar, tadabbur, dan istibshar.
Tafakkur adalah menggunakan pemikiran untuk mencapainya dan memikirkannya;
tadzakkur adalah merupakan menghadirkan ilmu yang harus dipelihara setelah
dilupakan; nazhar adalah mengarahkan hati untuk berkonsentrasi pada obyek yang
sedang diperhatikan; taammul berarti mengulang-ulang pemikiran hingga menemukan
kebenaran dalam hatinya; i’tibar adalah perpindahan dari pengetahuan yang sedang
dipikirkan menuju pengetahuan yang lain; tadabbur adalah suatu usaha memikirkan
akibat-akibat setiap masalah; istibshar adalah mengungkapkan sesuatu atau
menyingkapnya, serta memperlihatkannya kepada pandangan hati.
Strategi indriawi juga dapat dinamakan dengan strategi eksperimen atau strategi
ilmiah, ia didefinisikan sebagai sistem dakwah atau kumpulan metode dakwah yang
berorientasi pada panca indera dan berpegang teguh pada hasil penelitian dan percobaan.
Strategi dakwah dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Strategi tilawah dengan strategi ini mitra dakwah diminta untuk mendengarkan
penjelasan pendakwah, startegi tilawah bergerak lebih banyak pada pemikiran yang
transformasinya melewati indera pendengaran dan indera penglihatan serta ditambah akal
yang sehat, demikian yang dipahami dari surat al-Mulk ayat 23:
2. Strategi tazkiyah yaitu strategi dakwah melalui jiwa salah satu misi dakwah adalah
menyucikan jiwa manusia, kekotoran jiwa dapat menimbulkan berbagai masalah baik
individu maupun sosial sasaran strategi ini bukan pada jiwa yang bersih, tetapi jiwa yang
kotor. Tanda jiwa yang kotor dapat dilihat dari gejala kejiwaan yang tidak stabi dan
keimanan yang tidak istiqomah.
3. Strategi ta‟lim hampir sama dengan strategi tilawah yakni keduanya mentransformasikan
pesan dakwah, akan tetapi strategi ta‟lim bersifat lebih mendalam dilakukan secara
formal dan sistematis, artinya metode ini hanya bisa diterapkan pada mitra dakwah yang
tetap, dengan kurikulum yang telah dirancang dilakukan secara bertahap serta memiliki
target dan tujuan tertentu.
Setiap strategi membutuhkan perencanaan yang matang, dalam dakwah
kelembagaan perencanaan yang strategis paling tidak berisi analisis SWOT yaitu
Strength (keunggulan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang), Threat (ancaman).
Keunggulan dan kelemahan lebih bersifat internal yang terkait dengan keadaan strategi
yanng ditentukan, ketika strategi tersebut dihubungkan dengan pendakwah atau mitra
dakwah maka dapat menghasilkan ancaman atau peluang. (Ali Aziz Moh, 2009:353-356).
6. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Dakwah

Kita semua adalah pengemban dakwah, hal ini ditegaskan dalam Al-Qur‟an, Surat

Saba‟ [34]: 28).


           

Artinya: “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Q.S. Saba‟ [34]: 28).
Sebagai manusia yang punya kewajiban berdakwah tidak saja harus instropeksi
(muhasabah) diri, tetapi juga perlu waspada dalam setiap kali melakukan aktifitas
dakwahnya. Hal ini penting karena bahaya yang menghadang mereka (juru dakwah) tidak
dapat dianggap ringan. Bahaya itu itu tidak hanya datang dari luar, tetapi juga bersumber
dari dalam. Ukuran bahaya pun sangat relatif. Tidak bisa dikatakan bahwa bahaya dari
luar lebih berat dibanding bahaya dari dalam. Begitu pun sebaliknya. Yang nyata, dari
banyak pengalaman, tidak jarang para aktivis muslim termasuk juga da‟i, mubaligh dan
ulama justru terjerumus karena penyakit yang bersumber dari dalam dirinya, bukan dari
luar.

Dalam bukunya “Penyebab Gagalnya Dakwah” Dr. Sayyid Muhammad Nuh

Menyingkap berbagai macam kerikil dan bahaya yang menghadang dalam aktivitas

(berdakwah) menegakan agama Alloh, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Futuur

Dalam bahasa Arab, kata futuur antara lain dapat bermakna terputus setelah terus

menerus, atau diam setelah bergerak; atau sikap malas, lamban dan santai setelah

sebelumnya giat dan bersungguh-sungguh. Dalam kitab Lisanul-Arab (Ibnu Manzuur

5/43), kata fatara mengandung pengertian :‟sikap berdiam diri setelah sebelumnya

bergiat‟ atau „melemah setelah sebelumnya kuat‟. Sedangkan dari sudut istilah, futuur

ialah suatu penyakit hati (rohani) yang efek minimalnya timbulnya rasa malas, lamban

dan sikap santai dalam melakukan suatu amaliyah yang sebelumnya pernah dilakukan
dengan penuh semangat dan menggebu-gebu, dan efek maksimalnya adalah terputusnya

sama sekali praktik dari suatu amaliyah tersebut (Sayyid M Nuh, 2000:15).

Ayat Al-Qur‟an yang menunjukkan arti futuur antara lain Q.S. Al-Anbiya‟

[21]:19-20 :

              

     

Artinya : “Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-
malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya
dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-
hentinya.

Adapun faktor-faktor penyebab Futuur di antaranya, tubuhnya termasuki sesuatu

yang haram atau yang bernilai syubhat, mengabaikan kebutuhan jasmani, tidak siap

menghadapi kendala dakwah dan berlarut-larut dalam melakukan maksiat dan

meremehkan dosa-dosa kecil.

2. Israff

Dari sudut bahasa, Israff antara lain dapat bermakna : melakukan sesuatu tetapi

tidak dalam rangka ketaatan dan bisa juga boros dan melampaui batas. Banyak faktor

yang menyebabkan Israff, di antaranya adalah : latar belakang keluarga, keleluasaan

rezeki yang diperoleh setelah kesempitan, berteman dengan pemboros, lalai terhadap

bekal perjalanan, pengaruh istri dan anak, dan kurang mampu mengendalikan aneka

tuntutan jiwa.

Sikap berlebih-lebihan dalam beragama adalah suatu penyakit yang

membahayakan. Sikap ini dapat mendatangkan akibat-akibat buruk pada masa lalu,
sekarang dan masa yang akan datang, bagi individu, umat dan masyarakat. Juga dalam

hal akidah, pemikiran, hukum, syari‟at serta perilaku dan tindakan (Muhammad az-

Zuhaili, 2008:25) Sesungguhnya sikap berlebih-lebihan dalam agama, dengan segala

bentuk dan macamnya, adalah penyakit yang menjijikan dan kronis yang mengantarkan

pelakunya dan orang yang komitmen terhadapnya, kepada kehancuran dan kebinasaan di

dunia dan akhirat.

Adapun di antara bahaya-bahayanya, terhadap pribadi aktivis adalah hati menjadi

keras, kebekuan berfikir, condong kepada kejahatan dan dosa, tidak mampu menghadapi

ujian dan kesulitan dan lenyapnya sifat sosial dan rasa solidaritas. Sedangkan terhadap

amal islami, Adapun pengaruh-pengaruh yang menimpa amal Islami antara lain akan

menjadi kalah, atau paling tidak surut ke belakang.

3. Isti‟jaal

Dari segi bahasa, kata Isti‟jaal, I‟jaal, ta‟ajjul, semuanya mengandung pengertian

sama, yaitu keinginan untuk menyegerakan atau mempercepat apa-apa yang dihajatkan

atau orang yang menginginkan agar permintaannya terlaksana dengan cepat atau

memerintahkan orang lain untuk bersegera dalam suatu masalah (Sayyid M Nuh,

2000:65).

Mengenai hal ini Alloh swt sudah menjelaskan dalam firman-Nya :

              

    

Artinya : “Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti
permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka. Maka
Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami,
bergelimangan di dalam kesesatan mereka.” (Q.S. Yunus [10]:11).

Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud Isti‟jaal yakni keinginan untuk

mewujudkan perubahan atas realitas yang tengah dialami oleh kaum muslimin dalam

tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa memperhatikan lingkungan, tanpa

memperhitungkan akibat dan tanpa melihat kenyataan, juga tanpa persiapan bagi

pendahuluan, sistem dan sarana (Sayyid M Nuh, 2000:65).

Sikap tergesa-gesa dan terburu-buru merupakan salah satu tabiat yang dimiliki

oleh manusia seperti yang telah dinyatakan oleh Alloh swt dalam firman-Nya :

    ……

... dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (Q.S. Al-Isra‟ [17]:11)

 ……..     

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa.”

(Q.S. Al-Anbiya [21]:37).

Kadangkala semangat yang berapi-api dari para penyampai dakwah serta

keinginan yang mendesak untuk segera menyebarkan dakwah dan melihat

kemenangannya, mendorong para penyampai dakwah untuk menarik sebagaian individu

dan beberapa unsur penting masyarakat dengan cara mengacuhkan pada awal-awal

langkah beberapa permasalahan dakwah yang mereka anggap bukan merupakan dasar

dan pokok dari dakwah. Kemudian mereka berkompromi dengan manusia dalam
beberapa urusan agar mereka tidak lari dari dakwah dan memusuhinya (Sayyid Quthb,

2004:211).

Hal itu mendorong mereka juga untuk menggunakan sarana dan metode-metode

yang tidak sesuai dengan standar-standar dakwah yang detail dan tidak pula dengan

manhaj dakwah yang lurus. Mereka melakukan hal itu karena didorong oleh keinginan

segera melihat kemenangan dakwah dan penyebarannya.

Oleh karena itu, para pembawa misi dakwah tidak boleh menakar dan mengukur

keberhasilan dakwah dari segi buah-buah ini saja. Kewajiban mereka hanyalah bertolak

dalam perahu dakwah di atas manhajnya yan jelas, murni dan detail (Sayyid Quthb,

2004:211).

Kemudian menyerahkan kepada Alloh untuk menilai hasil dan buahnya dari sikap

istiqomahnya dalam dakwah itu.

B. Remaja

Pengertian Remaja

Menurut Mappiare (1982), masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai
dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria, rentang usia remaja
ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun
adalah remaja awal, dan usia 17/18 samapai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir.
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari bahasa Latin
yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitive dan
orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan
priode lain dalam rentang kehidupan, anak sudah dianggap dewasa apabila sudah mampu
mengadakan reproduksi.(Ali Mohammad & Asrori Mohammad,2014:9)
C. Majlis Ta’lim
1. Pengertian Majelis Ta’lim

Secara etimologis Majelis Ta‟lim berasal dari dua suku kata, yaitu kata Majelis

dan kata Ta‟lim. Dalam bahasa Arab kata Majelis (Majlis ) adalah bentuk isim makan

(kata tempat) dan kata kerja dari (Jalasa) yang artinya tempat duduk, tempat sidang,

dewan. (Ahmad Warson Munawir, 202:1997)

Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian Majelis adalah pertemuan atau

perkumpulan orang banyak atau bangunan tempat orang berkumpul (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 615: 1999)

Kata Ta‟lim dalam bahasa Arab merupakan masdar dari kata kerja (Allama,

Yu‟allimu, Ta‟liman) yang mempunyai arti pengajaran. ( Asad M. Kalali, 8 : 1987)

Dari pendapat tentang definisi Ta‟lim, maka dapat disimpulkan bahwa Ta‟lim

adalah suatu bentuk aktif yang dilakukan oleh orang yang ahli dengan memberikan atau

mengajarkan ilmu kepada orang lain.

Sedangkan secara istilah menurut Zuhairini, pengertian Majelis Ta‟lim adalah,

Organisasi pendidikan luar sekolah (Non Formal) yang bercirikan keagamaan

Islam.( Zuhairini, 76 : 1995)

Dari pengertian terminologi tentang Majelis Ta‟lim di atas dapatlah dikatakan

bahwa Majelis Ta‟lim adalah tempat duduk melaksanakan pengajaran atau pengajian

agam Islam yang berada diluar sekolah dan dapat disimpulkan bahwa Majelis Ta‟lim

adalah tempat perkumpulan orang banyak untuk mempelajari agama Islam melalui

pengajian yang diberikan oleh guru-guru dan ahli agama Islam.


2. Tujuan Majelis Ta’lim

Berkaitan dengan tujuan Majelis Ta‟lim, rumusannya bermacam-macam, dimana

prihal ini sependapat dengan pandangan ahli Agama para pendiri Majelis Ta‟lim dengan

organisasinya, lingkungan dan jama‟ahnya yang tidak pernah merumuskan tujuannya.

Tetapi berdasarkan renungan dan pengalaman Dr. Hj. Tuty Alawiyah, ia merumuskan

bahwa tujuan Majelis Ta‟lim dapat dilihat dari segi fungsinya, yaitu: Pertama, sebagai

tempatbelajar, maka tujuan Majelis Ta‟lim adalah menambah ilmu dan keyakinan

agamayang akan mendorong pengalaman ajaran agama. Kedua, sebagai kontak sosial

maka tujuannya adalah silaturahmi. Ketiga, mewujudkan minat sosial, maka tujuannya

adalah meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan

jamaahnya.(Tuti Alawiyah, 78 : 1997)

Secara spesifik M. Habib Chirzin mengatakan bahwa Majelis Ta‟lim yang

diadakan oleh masyarakat dan Pesantren-pesantren yang ada di pelosok pedesaan maupun

perkotaan adalah:

a. Meletakkan dasar keimanan dalam ketentuan dan semua hal-hal yang gaib.

b. Semangat dan nilai ibadah yang meresapi seluruh kegiatan hidup manusia danalam

semesta.

c. Inspirasi, motivasi dan stimulasi agar seluruh potensi jamaah dapat dikembangkan dan

diaktifkan secara maksimal dan optimal dengan kegiatan pembinaan pribadi dan kerja

produktif untuk kesejahteraan bersama.

d. Segala kegiatan atau aktifitas sehingga menjadi kesatuan yang padat dan selaras.(M.

Habib Chirzin, 77:2009)


Sementara menurut H. M. Arifin dalam Kapita Selekta Pendidikan Islam, beliau

mengemukakan pendapatnya tentang tujuan majelis ta‟lim sebagai berikut:

“ Tujuan majelis ta‟lim adalah mengokohkan landasan hidup manusia


Indonesiapada khususnya di bidang mental spiritual keagamaan Islam dalam rangka
meningkatkan kualitas hidupnya secara integral, lahiriyah dan batiniyahnya, duniawiyah
dan ukhrawiyah secara bersamaan sesuai tuntutan ajaran agama Islam yaitu iman dan
takwa yang melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya. Fungsi
demikian sejalan dengan pembangunan nasional kita”. (H. M. Arifin, 65:1995)

3. Peranan Majelis Ta’lim

Bila dilihat dari struktur organisasinya, Majelis Ta‟lim termasuk organisasi

pendidikan luar sekolah yaitu lembaga pendidikan yang sifatnya non formal, karena tidak

di dukung oleh seperangkat aturan akademik kurikulum, lama waktu belajar, tidak ada

kenaikan kelas, buku raport, ijazah dan sebagainya sebagaimana lembaga pendidikan

formal yaitu sekolah. (H. Nurul Huda, 13 : 1986)

Dilihat dari segi tujuan, Majelis Ta‟lim termasuk sarana Dakwah Islamiyah yang

secara self standing dan self disciplined mengatur dan melaksanakan berbagai kegiatan

berdasarkan musyawarah untuk mufakat demi untuk kelancaran pelaksanaan Ta‟lim

Islami sesuai dengan tuntutan pesertanya. Dilihat dari aspek sejarah sebelum

kemerdekaan Indonesia sampai sekarang banyak terdapat lembaga pendidikan Islam

memegang peranan sangat penting dalam penyebaran ajaran Islam di Indonesia.

Disamping peranannya yang ikut menentukan dalam membangkitkan sikap patriotism

dan nasionalisme sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia, lembaga ini ikutserta

menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dilihat dari bentuk dan sifat
pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang berbentuk langgar,

surau, rangkang.(Zuhairi, 192 : 1997)

Sependapat dengan ungkapan Zuhariri, bahwa Majelis Ta‟lim adalah sebuah

lembaga pendidikan nonformal Islam. Maka dengan demikian Majelis Ta‟lim bukan

lembaga pendidikan formal Islam seperti Madrasah, Sekolah, Pondok Pesantren atau

Perguruan Tinggi.

Majelis Ta‟lim juga bukan organisasi massa atau organisasi politik, tetapi secara

refresentatif Majelis Ta‟lim mempunyai kedudukan tersendiri ditengah-tengah

masyarakat, yaitu antara lain:

a. Sebagai wadah untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragamadalam rangka

membentuk masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.

b. Taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggaraannya bersifat santai.

c. Wadah silaturahmi yang menghidup suburkan syiar Islam.

d. Media penyampaian gagasan-gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan

bangsa.

Sehingga, Secara strategis Majelis-Majelis Ta‟lim menjadi sarana Dakwah dan

Tabligh yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat

agama Islam sesuai tuntunan ajaran agama. Majelis ini menyadarkan umat Islam

untukmemahami dan mengamalkan agamanya yang kontekstual di lingkungan hidup

sosial. budaya dan alam sekitar masing-masing menjadikan umat Islam sebagai

ummatanwasathan yang meneladani kelompok umat lain. Untuk tujuan itu, maka

pemimpinnya harus berperan sebagai penunjuk jalan ke arah kecerahan sikap hidupIslami
yang membawa kepada kesehatan mental rohaniah dan kesadaran fungsional selaku

khalifah dibuminya sendiri.

Dalam kaitan ini H.M. Arifin mengatakan:

“Jadi peranan secara fungsional majelis ta‟lim adalah mengokohkan landasan hidup
manusia muslim Indonesia pada khususnya di bidang mental spiritual keagamaan Islam
dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya secara integral, lahiriah dan batiniahnya,
duniawi dan ukhrawiah bersamaan (simultan), sesuai tuntunan ajaran agama Islam yaitu
iman dan taqwa yang melandasi kehidupanduniawi dalam segala bidang kegiatannya.
Fungsi demikian sejalan dengan pembangunan nasional kita”. (H. M. Arifin, 120:1995)

4. Materi Kajian Majelis Ta’lim

Secara khusus Materi yang dipelajari dalam Majelis Ta‟lim tidak tertuang dalam

krikulum layaknya sekolah dan pendidikan formal, namun secara umum biasanya materi

yang dikaji pada Majelis Ta‟lim mencakup pembacaan Al-Qur‟anserta Tajwidnya, Tafsir

bersama Ulum Al-Qur‟an, Hadits dan Fiqih serta Ushul Fiqh,tauhid, Aqidah dan Akhlak

serta ditambah dengan materi-materi yang actual sesuai dengan kebutuhan para jamaah,

misalnya masalah penanggulangan kenakalan remaja, konsep kerukunan antar warga,

masalah Undang-UndangPerkawinan dan beberapa maslah yang berkaitan dengan ibadah

mahdhoh lainnya.

Menurut pedoman Majelis Ta‟lim KODI materi yang disampaikan dalam

Majelis Ta‟lim adalah :

a. Kelompok Pengetahuan Agama

Bidang pengajaran kelompok ini meliputi Tauhid, Tafsir, Fiqih, Hadits, Akhlak,Tarikh,

dan Bahasa Arab.

b. Kelompok Pengetahuan Umum


Karena banyaknya pengetahuan umum, maka tema-tema atau maudlu.

yangdisampaikan adalah yang langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

Kesemuanya itu dikaitkan dengan Agama, artinya dalam menyampaikan uraian-uraian

tersebut berdasarkan dalil-dalil Agama baik berupa ayat-ayat Al-Qur‟an atau hadits-

hadits atau contoh-contoh dari kehidupan RasulullahSAW.

Dalam konteks penyesuaian maslah, secara kondisional Penambahan dan

pengembangan materi dapat saja terjadi di Majelis Ta‟lim. melihat semakin majunya

perkembangan zaman dan semakin kompleks permasalahan yang perlu penanganan yang

tepat sesuai anjuran Agama.

Wujud program yang tepat dan aktual sesuai dengan kebutuhan jamaah itu sendiri

merupakan suatu langkah yang efektif agar Majelis Ta‟lim tidak terkesan monoton dan

terbelakang. Majelis Ta‟lim adalah salah satu struktur kegiatan dakwah yang berperan

penting dalam mencerdaskan umat, maka selain pelaksanaannya dilaksanakan secara

teratur dan periodik juga harus mampu membawa jamaah ke arah yang lebih positif

terutama dalam pembentukan prilaku keagamaan masyarakat yang baik dan benar.

Menurut pendapat Tutty Alawiyah dalam bukunya Stratgi Dakwah dilingkungan

Majlis Ta‟lim mengklasifikasikan Majelis Ta‟lim dari materi yang diajarkannya, antara

lain :

Pertama, majleis taklim yang tidak mengajarkan sesuatu secara rutin, tetapi hanya tempat

sebagai berkumpul, membaca shalawat bersama atau membaca surat yasin, atau

membaca mauled Nabi Saw,. Dan shalat sunah berjamaah. Ceramah inilah yang

merupakan isi ta‟lim.


Kedua, majelis ta‟lim yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan dasar ajaran

agama, seperti belajar mambaca Al-Qur‟an atau menerangkan ilmu fiqih.

Ketiga, majelis taklim yang mengajarkan pengetahuan agama tentang fiqih, tauhid atau

akhlak, yang diberikan dalam pidato-pidato mubaligh. Kadang-kadang dilengkapi pula

dengan tanya jawab.

Keempat, majelis ta‟lim seperti butir ketiga dengan menggunakan kitab tertentu sebagai

pegangan, ditambah pidato-pidato atau ceramah.

Kelima, majelis ta‟lim dengan pidato-pidato dan bahan pelajaran pokok yang diberikan

teks tertulis. Materi pelajaran disesuaikan dengan situasi hangat berdasarkan ajaran islam.

(Tutty Alawiyah, 79 : 1997)

5. Metode Majelis Ta’lim

Metode adalah cara, dalam hal ini cara penyajian bahan pengajaran dalam Majelis

Ta‟lim layaknya seperti dakwah Islam pada umumnya yakni untuk mencapai sebuah

tujuan yang telah ditetapkan. Makin baik metode yang dipilih makin efektif pencapaian

sebuah tujuan.

Metode pengajaran dalam konsep dakwah Islam banyak sekali macamnya, namun

bagi Majelis Ta‟lim tidak semua metode itu dapat dipakai,ada metode yang biasa

digunakan pada lembaga formal yang tidak dapat dipakai dalam Majelis Ta‟lim,hal ini

disebabkan karena perbedaan kondisi dan situasi antara lembaga formal dengan Majelis

Ta‟lim.

Dalam catatan Dewan Redaksi Ensiklopedi ada berbagai metode yang digunakan

di Majelis Ta‟lim, yaitu :


a. Metode Ceramah, yang dimaksud adalah penerangan dengan penuturan lisan oleh

Penceramah terhadap jama‟ahnya.

b. Metode Tanya Jawab, metode ini membuat Jama‟ah lebih aktif. Keaktifan dirangsang

melalui pertanyaan yang disajikan.

c. Metode Latihan, metode ini sifatnya melatih untuk menimbulkan keterampilan dan

ketangkasan.

d. Metode Diskusi, metode ini akan dipakai harus ada terlebih dahulu masalahatau

pertanyaan yang jawabannya dapat didiskusikan.

Disisi lain, metode penyajian majelis ta‟lim dapat dikategorikan menjadi:

a. Metode Ceramah, terdiri dari ceramah umum, yakni pengajar/ustadz/kiai bertindak aktif

memberikan pengajaran, sementara jamaah pasif. Serta ceramah khusus, yaitu pengajar

dan jamaah sama-sama aktif dalam bentuk diskusi.

b. Metode Halaqah, yaitu pengajar/ustadz/kiai membacakan kitab tertentu, sementara

jamaah mendengarkan.

c. Metode Campuran, yakni melaksanakan berbagai metode sesuai dengan kebutuhan.

(Ensiklopedi Islam, 121:1994)

Dewasa ini metode ceramah sudah membudaya dikalangan jama‟ah Majlis

Ta‟lim, seolah-olah hanya metode itu saja yang dipakai dalam Majelis Ta‟lim. Sedangkan

dalam rangka pengembangan dan peningkatan mutu Majelis Ta‟lim pemateri pada Majlis

Ta‟lim dapat menggunakan metode-metode yang lain, walaupun dalam tingkatan

pertama mengalami sedikit perbedaan dan keanehan.

A. Pengertian Nilai, Moral, Sikap, Akhlak, dan Faktor yang Mempengaruhi Akhlak

1. Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial

membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sesuatu yang ingin dicapai

Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan

oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya, nilai merupakan

standar konseptual yang relatif stabil yang secara eksplisit atau implisit membimbing

individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai sertaaktifitas dalam rangka

memenuhi kebutuhan psikologisnya. (Ali Mohammad & Asrori Mohammad, 2010:134).

Adanya nilai moral yang bersifat mutlak menunjukkan bahwa kebenaran

nilai moral berreferensi kepada perinsip normatif yang telah ditetapkan, sehingga nilai

moral dalam kehidupan sehari-hari akan bersifat formalistik dan objektif. (AR, Zahruddin

& Sinaga Hasanuddin, 2004:85).

2. Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara dalam

kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986). Moral pada dasarnya

merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam prilaku yang harus dipatuhi, moral

merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur prilaku individu dalam

hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat.

Moral merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-

nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial, moralitas merupakan aspek

kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara

harmonis, adil, dan seimbang. Prilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan

yang damai, teratur, dan harmonis. (Ali Mohammad & Asrori Mohammad, 2010:136).
Menurut pendapat ahli filsafat bahwa etika memandang prilaku dan perbuatan

manusia secara umum, sedangkan moral melihatnya secara lokal moral menyatakan

tentang ukuran sedangkan etika menjelaskan tentang ukuran tersebut.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia jadi

bukan dilihat dari profesinya melainkan dari manusianya. (AR, Zahruddin & Sinaga

Hasanuddin, 2004:47

3. Sikap

Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang sangat penting karena

sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai

perilaku seseorang. Sikap seseorang berbeda atau bervariasi baik kualitas maupun

jenisnya sehingga perilaku individu bervariasi. (Ali Mohammad & Asrori Mohammad,

2010:142)

4. Akhlak

Menurut pendekatan etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab jama‟ dari

bentuk mufrodnya “Khuluqun” yaitu budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat pola

bentuk definisi akhlak sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara pencipta

dengan yang diciptakan.

Hakikat makna Khuluq ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan

sifat-sifatnya), sedangkan khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka warna

kulit dan sebagainya). Berdasarkan sudut pandang kebahasaan definisi akhlak dalam

pengertian sehari-hari disamakan dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun dan tata

krama. (AR, Zahruddin & Sinaga Hasanuddin, 2004: 1-2).


Akhlak ialah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia

dengan langsung berturut-turut, adapun akhlak yang kelihatan ialah “kelakuan” atau

“muamalah”. (Amin Ahmad, 1995:62).

Pembinaan akhlak remaja bertujuan untuk terwujudnya manusia yang ideal, anak yang

bertakwa kepada Allah dan cerdas, secara moralistik pembinaan akhlak remaja

merupakan salah satu cara untuk membentuk mental manusia agar memiliki pribadi yang

bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan berasusila pembinaan, pendidikan dan

penanaman nilai akhlakul karimah sangat tepat bagi anak remaja agar didalam

perkembangan mentalnya tidak mengalami hambatan dan penyimpangan ke arah yang

negatif. (Sudarsono, 1989: 147-151).

5. Faktor yang mempengaruhi akhlak

1. Insting

Insting merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, para psikolog

menjelaskan bahwa insting (naluri) berfungsi sebagai motivator penggerak yang

mendorong lahirnya tingkah laku. (AR, Zahruddin & Sinaga Hasanuddin, 2004: 93).

2 Adat/Kebiasaan

Adat/Kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan

secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Perbuatan

yang telah menjadi adat kebiasaan tidak cukup hanya di ulang-ulang saja tetapi harus di

sertai kesukaan dan kecenderungan hati terhadapnya. (AR, Zahruddin & Sinaga

Hasanuddin, 2004: 94).


1. Keturunan

Dalam hal ini secara langsung atau tidak langsung sangat mempengaruhi bentuk

sikap dan tingkah laku seseorang, sifat asasi anak merupakan pantulan sifat-sifat asasi

orang tuanya. Adapun sifat yang diturunkan orang tua terhadap anaknya itu bukanlah

sifat yang dimiliki yang tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat dan

pendidikan, melainkan sifat bawaan sejak lahir. (AR, Zahruddin & Sinaga Hasanuddin,

2004: 96-98).

a. Milie

Salah satu aspek yang turut dalam terbentuknya sikap seseorang adalah faktor

lingkungan dimana seseorang berada, milieu dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Milieu alam

b. Milieu rohani/sosial

a. Lingkungan alam

Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan

menentukan tingkah laku seseorang, dengan kata lain kondisi alam ikut mencetak akhlak

manusia-manusia yang dipangkunya. (AR, Zahruddin & Sinaga Hasanuddin, 2004: 99).

b. Lingkungan pergaulan

Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya itulah sebabnya

manusia harus bergaul, oleh karena itu dalam pergaulan akansaling mempengaruhi dalam

pikiran, sifat dan tingkah laku. (AR, Zahruddin & Sinaga Hasanuddin, 2004: 100).

Lingkungan pergaulan dapat dibagi menjadi beberapa kategori:

1. Lingkungan dalam rumah tangga, akhlak orang tua dirumah dapat mempengaruhi akhlak

anaknya.
2. Lingkungan sekolah, akhlak anak dapat terbina dan terbentuk menurut pendidikan yang

diberikan oleh guru-guru di sekolah.

3. Lingkungan pekerjaan, dapat mempengaruhi perkembangan pikiran, sifat dan kelakuan

seseorang.

4. Lingkungan organisasi (jamaah).

5. Lingkungan kehidupan ekonomi (perdagangan).

6. Lingkungan pergaulan yang bersifat umum dan bebas. (AR, Zahruddin & Sinaga

Hasanuddin, 2004: 100-101).

Anda mungkin juga menyukai