TINJAUAN TEORI
A. Rahn
1. Pengertian Rahn
Dalam Fiqh Muamalah dengan kata Pinjaman yang disebut Ar-rahn, yaitu
penyimpanan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-rahn gadai menurut
bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan, Yazid
Afandi (2009: 147). Gadai dalam bahasa Arab disebut dengan Ar-Rahn.
Secara etimologi berarti tetap, kekal dan jaminan. Dalam terjemahan Kitab
Fathul Qarib Menaruh Barang (dijadikan) sebagai Uang, untuk penguat
perjanjian utang, dan barang tersebut akan menutupi (hutang) ketika terhalang
(tidak dapat) melunasinya.
Sayyid Sabiq (1981: 187) Gadai Menurut Istilah Syara‟ Benda yang
memiliki nilai yang sesuai dengan ketentuan syara‟ dan sebagai jaminan
utang, dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Gadai istilah hukum positif
di Indonesia adalah apa yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan,
cagar atau cagaran, dan tangunggan.
Menurut istilah syara‟ rahn terdapat beberapa pengertian:
a. Gadai adalah akad perjanjian pinjaman meminjam dengan menyerahkan
barang sebagai tanggungan utang.
b. Gadai adalah sesuatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat
kepercayaan dalam utang piutang.
c. Gadai adalah Akad yang objeknya menahan harga terdapat sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna dirinya.
Menurut Wahbah Az-Zuhaily dalam Buku Yazid Afandi (2009:147) gadai
dari pandangan empat madzhab:
a. Menurut Ulama Syafi‟iyyah Gadai yaitu Menjadikan „Ain (barang)
sebagai (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar
utang tersebut (Marhuun bihi) ketika pihak Murtahin (pihak yang
berutang, ar-Rahin) tidak bisa membayar utang tersebut. menegaskan
bahwa maszhab ini tidak membolehkan rahn hanya dengan sesuatu
barang yang diambil manfaatnya saja, karena manfaat sesuatu mungkin
bisa habis dan hilang, sehingga tidak bisa dijadikan jaminan yang bisa
diukur nilai dan harganya.
b. Menurut Ulama Hanabilah, Harta yang dijadikan sebagai watsiqah
(jaminan) utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa
melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga
hasil penjualan harta yang dijadikan watsiqah (jaminan) tersebut.
c. Menurut Ulama Malikiyah, Sesuatu yang mutamawwal (berbentuk
harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
watsiqah (jaminan) utang yang laazim (keberadaannya sudah positif
dan mengikat) atau yang akan menjadi lazim.
d. Menurut Ulama Hanafiyah menjadikan sesuatu untuk dijaminkan dan
dapat membayar utang tersebut dengan jaminan tersebut. Maksudnya
Ulama Hanafiyah menunjukkan bahwa besarnya jaminan tidak harus
sebanding dengan besarnya pinjaman artinya barang jaminan bagi
kelompok ini boleh lebih kecil dari nilai utang. Karena barang jaminan
posisinya adalah penguat perjanjian.
Dalam Buku Bank Syariah dari Teori ke Praktik karangan Muhammad
Syafi‟i Antonio (2001, 128) mengutip dari Sayyid Sabiq Fiqhus Sunnah, Ar-
rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memilki nilai ekonomis. Pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kemabli seluruh
atau sebagaian piutangnya.
Dadan Mutaqien (2009: 106) Mengatakan Dalam hukum adat gadai
diartikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima uang sejumlah uang
secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas
pengembaliaan tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
Dapat dikemukakan dari definisi diatas jadi Gadai adalah barang jaminan
atas suatu hutang dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Secara
sederhananya Rahn adalah barang gadai atau jaminan.
2. Landasan Hukum Gadai
Dasar Hukum yang menjadi Landasan Gadai syariah adalah Ayat-ayat Al-
Qur‟an, Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma‟ Ulama dana Fatwa MUI dan
Kaidah Fiqh.
a. Al-Qur‟an
QS Al-Baqarah (2) Ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam
membangun konsep Gadai.
س َع ْن نو ي ن ب ى يس ِ اْلْنظَلِي وعلِي بن خ ْشرٍم قَ َاَل أَخب رََن
ع ِ ِ ِ
َ ُ ُ ُ ْ َ ََ ْ َ َ ُ ْ ُّ َ َ ُّ َْ َحدَّثَنَا إ ْس َح ُق بْ ُن إبْ َراى َيم
اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َِّ ولُ َس َوِد َع ْن َعائِ َشةَ قَالَت ا ْشتَ َرى َر ُس ِ
َّ صلَّى
َ اَّلل ْ ش َع ْن إِبْ َراى َيم َع ْن ْاْل
ِ ْاْل َْع َم
ب َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َر ِض َي ِْ َخبَ َرََن َزَك ِرََّّيءُ َع ْن الش َِّ حدَّثَنا ُُم َّم ُد بن م َقاتِ ٍل أَخب رََن عب ُد
ِّ َّع ْ اَّلل أ َْ َ َ ْ ُ ُْ َ َ َ
َب ً ب بِنَ َف َقتِ ِو إِذَا َكا َن َم ْرُى َّ اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم
َّ صلَّى َِّ ول
ََُوَن َول ُ الرْى ُن يُْرَك َ اَّلل ُ ال َر ُس
َ َاَّللُ َعْنوُ ق
َّ
ِ َّ
ُب النَّ َف َقة
ُ ب َويَ ْشَر ً ب ق بِنَ َف َقتِ ِو إِذَا َكا َن َم ْرُى
ُ وَن َو َعلَى الذي يَ ْرَك
ِّ الد
ُ َّر يُ ْشَر
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah
mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah mengabarkan kepada kami
Zakariya' dari Asy-Sya'biy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "(Hewan) boleh
dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga
boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan
terhadap orangyang mengendarai dan meminum susunya wajib
membayar". (HR. Bukhari No. 2329).
c. Ijma Ulama
Zainuddin Ali (2005: 8) Jumhur ulama menyepakati kebolehan status
hukum gadai. Hal ini dimaksud dari kisah Nabi Muhammad SAW yang
menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seseorang
Yahudi. Dan para ulama mengambil indikasi contoh dari Nabi
Muhammad, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada
sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu lebiih dari sikap
Nabi Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat.
d. Ijma‟ Ulama
B. Qardh
1. Pengertian Qardh
Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara etimologi, qardh
bermakna (memotong). Maksudnya karena uang yang diambil oleh orang
yang meminjamkan memotong sebagian hartanya. Ahmad Wardi Muslich
(2013: 273) Qardh menurut istilah adalah Perjanjian khusus yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, dan melakukan perjanjian untuk mengembalikan
barang dikembalikan persis.
Pengertian Al-qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh
ulama Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah Sesuatu yang diberikan dari
harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.
Yazid Afandi (2010: 137) Memberikan (menghutangkan) harta kepada
orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan
pengganti yang sama dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja
yang menghutangi atau yang menghendaki. Menurut Muhammad Syafi‟i
Antonio (2017; 131) pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan.
Jadi Qardh adalah suatu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak,
dimana pihak pertama memberikan hartanya berupa barang maupun uang
dan pihak kedua menerima barang dengan memanfaatkannya (Sesuai
kesepakatan) dan harus dikembalikan sama persis yang telah ia terima dari
pihak pertama.
2. Landasan Hukum
Dasar Hukum yang menjadi Landasan Gadai syariah adalah Ayat-ayat
Al-Qur‟an, Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma‟ Ulama dana Fatwa MUI
dan Kaidah Fiqh.
a. Al-Qur‟an
Surah Al-Baqarah Ayat/ 2:245
......
Orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya. . .”
b. Hadist
،َّس هللاُ َعْنوُ ُك ْربًَة ِم ْن ُكَر ِب يَ ْوِم الْ ِقيَ َام ِة ِ ِ ٍِ
َ نَف،َّس َع ْن ُم ْؤمن ُك ْربَةً م ْن ُكَرب الدُّنْيَا
َ َم ْن نَف
َوهللاُ ِ ِْف َع ْو ِن الْ َعْب ِد َما َكا َن،َِوَم ْن يَ َّسَر َعلَى ُم ْع ِس ٍر يَ َّسَر هللاُ َعلَْي ِو ِِف الدُّنْيَا َو ْاْل ِخَرة
َخْي ِو
ِ الْعب ُد ِِف عو ِن أ
َْ َْ
c. Ijma Ulama
C. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah ijarah atau
sewa-menyewa, kontrak, menjual jasa, upah-mengupah dan lain-lain.
Sayyid Sabiq (2011: 203) Al-Ijarah berasal dari kata Al Ajru yang berarti Al
„Iwadu (ganti). Ijarah menurut arti bahasa adalah nama upah. Menurut
pengertian syara‟, Al Ijarah ialah Suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
Syaifullah Aziz, (2005: 255) Menurut arti lughat adalah balasan, tebusan,
atau pahala. Menurut Syara‟ melakukan akad mengambil manfaat sesuatu
yang diterima dari orang lain dengan cara membayar sesua dengan
kesepakatan atau perjanjian dengan syarat-syarat tertentu. Menurut
Muhammad Syafi‟i Antonio (2017: 117) Ijarah adalah pemindahan atas hak
guna baik barang maupun jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa dikuti
dengan pemindahan kepemilikan (Milkiyyah) atas barang itu sendiri.
Secara terminologi ada beberapa definis Ijarah menurut ulama fiqh.
Ulama Syafi‟iyah menurutnya Ijarah adalah akad suatu kemanfaatan
dengan pengganti. Menurut ulama Hanafiyah Ijarah adalah akad untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu
zat yang disewa dengan imbalan. Para Ulama Malikiyyah dan Hanabilah
Ijarah menjadikan milik suatu kemanfaat yang mubah dalam waktu tertentu
dengan pengganti.
Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa-
menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini
bendanya tidak kurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya
peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda
yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti
kendaraan, rumah dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga
berupa karya pribadi seperti pekerja.
2. Landasan Hukum
Adapun dasar hukum tentang kebolehan Al-ijarah dalam Al-Qur‟an,
Hadis terdapat dalam beberapa ayat diantaranya firman Allah antara lain:
a. Al-Qur‟an
Surah At-Talaq Ayat/28: 6
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
b. Hadist
َّ َيد بْ ِن َع ِطيَّة
السلَ ِم ُّي َحدَّثَنَا ِ ِحدَّثَنا الْعبَّاس بن الْول
ِ ِيد ال ِّدم ْش ِقي حدَّثَنا وىب بن سع
َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ُّ َ َ ُْ ُ َ َ َ
صلَّى َِّ ول َِّ الر ْْح ِن بن زي ِد ب ِن أَسلَم عن أَبِ ِيو عن عب ِد
َ َاَّلل بْ ِن عُ َمَر ق
َ اَّلل ُ ال َر ُس
َ َال ق َْ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َ ُ ْ َ َّ َعْب ُد
َّ َجَرهُ قَ ْب َل أَ ْن ََِي ِ ِ َّ
ُف َعَرقُو ْ اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أ َْعطُوا ْاْلَج َري أ
Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi
berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah
As Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah
kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah No.
2434).
c. Ijma Ulama
Mengenai disyari‟atkannya ijarah, semua Ulama bersepakat, tidak
ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ijma‟ ini,
sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat
dalam tataran teknisnya.
Ijarah (sewa menyewa) merupakan salah satu aplikasi keterbatasan
yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bila
dilihat uraian diatas, rasanya mustahil manusia bisa berkecukupan
hidup tanpa berijarah dengan manusia. Oleh karena itu boleh
dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk
aktivitas antara dua pihak atau saling meringankan, serta termasuk
salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan agama, Qomarul
Huda (2017: 79).
3. Rukun dan Syarat Ijarah
Ijarah merupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Rukun dari ijarah
sebagai suatu transaksi adalah akad atau perjanjian kedua belah pihak, yang
menunjukkan bahwa transaksi itu telah berjalan secara suka sama suka.
Adapun unsur yang terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:
a. Orang yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda
yang kemudian memberikan upah atas jasa tenaga atau sewa dari jasa
benda yang digunakan, disebut pengguna jasa (mūjir)
b. Orang yang memberikan, baik dengan tenaganya atau dengan alat
yang dimilikinya, yang kemudian menerima upah dari tenaganya atau
sewa dari benda yang dimilikinya, disebut pemberi jasa atau
(musta‟jir).
c. Objek transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang
digunakan disebut (ma‟jur).
d. Imbalan atau jasa yang diberikan disebut upah atau sewa (ujrah).
Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada beberapa
syarat yang mengiringi beberapa rukun yang harus dipenuhi. Syarat-
syarat tersebut meliputi:
a. „Aqid Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan memiliki
kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk).
Jika Salah satu pihak adalah orang gila atau anak kecil, akadnya
dianggap tidak sah.
b. Sigat akad antara mu‟jir dan musta‟jir Syarat sah sigat akad dapat
dilakukan dengan lafad atau ucapan dengan tujuan orang yang
melakukan perjanjian atau transaksi dapat dimengerti.
c. Ujrah (upah), Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
pertama, berupa harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh
sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.112/DSN-
MUI/IX/2017, yang menjadi acuan atau landasan dalam pelaksanaan.
Pertama, Ketentuan Umum mengenai Akad Ijarah:
a. Akad ijarah adalah akad sewa antra mu‟jir dan musta‟ajir dengan ajir
iuntuk mempertukarkan manfa‟ah atau ujrah baik manfaat barang atau
jasa.
b. Mu‟jir (pemberi sewa) adalah pihak yang menyewakan barang, baik
mu‟jir berupa orang maupun yang dipersamkan engan orang baik
yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
c. Musta'jir adalah pihak yang menyewa (penyewa/ penerima manfaat
barang) dalam akad Ijarah 'ala al-a'yan atau penerima jasa dalam
akad ijarah Al-mal/ Ijarah 'ala alasykhash, baik musta'jir berupa
orang maupun yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum.
d. Ajir adalah pihak yang memberikan jasa dalam akad ijarah 'ala
ala'mal/ijarah 'ala al-asykhash, baik ajir berupa orang maupun yang
dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum.
e. Manfu'ah adalah manfaat barang sewa melalui proses penggunaan dan
pekerjaan Qasa ajir.
f. Mahatl al-manfa'afr adalah barang sewa/ barang yang dijadikan media
untuk mewujudkan manfaat dalam akad ijarah 'ala al-a'yan.
g. Ijarah 'ala al-a'yan adalah akad sewa atas manfaat barang.
h. Ijarah 'ala al-asykhash/ijarah 'ala al-a'mal adalah akad sewa atas
jasa/pekerjaan orang.
i. Ijarah Muntahiyyah bi al-tamlik (IMBT) adalah akad ijarah atas
manfaat barang yang disertai dengan janji pemindahan hak milik atas
barang sewa kepada penyewa, setelah selesai atau diakhirinya akad
ijarah.
j. Ijarah maushufah fi al-dzimmaft (IMFD) adalah akad ijarah atas
manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan atau jasa ('amal) yang pada
saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas
dan kualitas).
k. Ijarah tasyghiliyyah adalah akad ijarah atas manfaat barang yang tidak
disertai dengan janji pemindahan hak milik atas barang sewa kepada
penyewa.
l. Pembiayaan multijasa adalah pembiayaan untuk memperoleh manfaat
atas suatu jasa.
m. Wilayah ashliyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mu'jir
karena yang bersangkutan berkedudukan sebagai pemilik.
n. Wilayah niyabiyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mu‟jir
karena yang bersangkutan berkedudukan sebagai wakil dari pemilik
atau wali atas pemilik.
Ketentuan terkait hukum dan Bentuk Ijarah
a. Ajir adalah pihak yang memberikan jasa dalam akad ijarah 'ala
ala'mal/ ijarah 'ala al-asykhash, baik ajir berupa orang maupun yang
dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum. Akad ljarah boleh direalisasikan dalam bentuk akad
Ijarah „ala al-„ayan dan akad Ijarah 'ala Al-a'mal/ Ijarah „ala al -
asykhash.
b. Akad Ijarah boleh direalisasikan dalam bentuk akad Ijarah
tasyghiliyyah, Ijarah Muntahiyyah bi At-tamlik (IMBT), dan Ijrah
maushufah fi al-dzimmaft (IMFD).
Kedua, Ketentuan terkait Hukum dan Bentuk Ijarah. Ketiga, terkait
shighat akad Ijarah. Keempat, Ketentuan terkait mengenai Mu‟jir,
Musta‟ajir, Kelima, Ketentuan terkait Mahall al-manfa‟ah, Keenam
Ketentuan mengenai manfaat dan waktu sewa. Ketujuh ketentuan mengenai
„amal yang dilakukan ajir, Kedelapan ketentuan mengenai Ujrah,
Kesembilan ketentuan mengenai Kegiatan atau produk dan kesepuluh
ketentuan penutup.
D. Hybrid Contract
1. Pengertian Akad Hybrid Contract
Akad menurut bahasa mempunyai beberapa arti yaitu, Mengikat ()الربط,
Sambungan ()عقدوة, Janji ()العهد. Menurut Wahab Zuhaili dalam Buku Ahmad
Wardi Muslich (2013: 110) Akad dalam bahasa Arab artinya ikatan (Penguat
dan ikatan) antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi,
dari satu segi maupun dari dua segi. Menurut Istilah teminologi akad adalah
perikatan ijab qobul yang dibenarkan Syara‟ yang menetapkan keridhoan
kedua belah pihak.
Dalam Kitab Undang-Undang Perdata Islam, Pasal 103 Akad adalah
perikatan diantara dua pihak dan berjanji untuk melaksanakannya, dan akad
itu gabungan antara ijab dan qabul.
Akad Menurut Lughah adalah Mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat
satu salah satunya dengan yang lain hingga bersambung, lalu keduanya
menjadi satu benda (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy 1997, 26).
Menurut Az-zarqa dalam pandangan syara‟ suatu akad merupakan ikatan
secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang bersama-
sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-
pihak yang mengikatkan diri tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh
sebab itu untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan
dengan pernyataan.
Dari pemaparan diatas paling tidak akad mencangkup:
a. Perjanjian ( Al-„ahd)
b. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
c. Perikatan ( Al-„aqd )
Kata hybrid (Inggris), dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
hibrida digunakan pertama kali sebagai istilah bagi hasil persilangan
(hibridisasi atau pembastaran) antara dua individu dengan genotipe berbeda.
Hybrid contract dimaknai secara harfiyah sebagai kontrak yang dibentuk oleh
kontrak yang beragam.
Ali Amin Isfandar (2013: 214) Menurutnya hybrid contract dalam bahasa
Indonesia disebut dengan istilah multiakad. Kata multi dalam bahasa
Indonesia berarti banyak lebih dari satu atau berlipat ganda. Dengan demikian
multiakad berarti akad ganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.
Sedangkan menurut istilah Fiqh, kata hybrid contract merupakan
terjemahan dari kata Arab yaitu al-„uqud al-murakkabah yang berarti akad
ganda (rangkap). Al-„uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-„uqud
(bentuk jamak dari „aqd) dan al-murakkabah. Kata murakkab sendiri berasal
dari kata رقب – يرقب ترقباyang mengandung arti meletakkan sesuatu pada
sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di Bawah,
Hasannudin (2009:3). kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi
berarti al-jam‟u (mashdar), yakni pengumpulan atau penghimpunan.
Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih (dalam konteks
akad) ialah himpunan beberapa akad sehingga disebut dengan satu nama
akad.
Menurut Hasanudin salah satu anggota Dewan Syariah Nasional (2010:
162) Adapun jenis-jenis hybrid contract atau multiakad, menurut al-Imrani
sebagaimana dikutip oleh Ali Amin, terbagi dalam lima yaitu Al-„uqud
Mutaqabila, Al-„uqud al-mujtami‟ah, Al-„uqud al-mutanaqidhah wa al-
mutanafiyah, al-„uqud al-mukhtalifah, dan al-„uqud al-mutajanisah. Dari
lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-„uqud al-
mutaqabilah, al-„uqud al-mujtami‟ah, adalah multi akad yang umum dipakai.
Berikut penjelasan dari lima macam multiakad tersebut. Akad Bergantung
atau Akad Bersyarat (al-„uqud al-mutaqabilah).
a. Akad Bergantung/Akad Bersyarat ( al-‟uqûd al mutaqâbilah )
Al-‟uqûd al-mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua
merespon akad pertama, dimana kesempurnaan akad pertama
bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal
balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.
b. Akad Terkumpul (al-„uqud al-mujtami‟ah)
Al-„uqud al-mujtami‟ah adalah multiakad yang terhimpun dalam satu
akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Multiakad
yang mujtami „ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua
objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu
akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu
akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik
dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
c. Akad Berlawanan (al-„uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa
al-mutanafiyah).
Ketiga istilah al-mutanaqidhah, al-mutadhadah, al-mutanafiyah
memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya
Perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang
berbeda. Mutanaqhidah mengandung arti berlawanan, seperti pada
contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang
berlawanan dengan yang pertama. Sedangkan arti etimologi dari
mutanaqhidah adalah dua hal yang tidak mungkin terhimpun dalam
satu waktu,seperti antara malam dan siang. Adapun arti dari
mutanafiyah adalah menafikan, lawan dari menetapkan.
Dari pengertian di atas, para ahli fikih merumuskan maksud dari
multiakad („uqud murakkabah) yang mutanaqhidah, mutadhadah, dan
mutanafiyah, yaitu :
1) Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang
berlawanan, maka setiap dua akad yang berlawanan tidak mungkin
dipersatukan dalam satu akad.
2) Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang
berlawanan, karena dua sebab saling menafikan akan menimbulkan
akibat yang saling menafikan pula.
3) Dua akad yang secara praktik berlawanan dan secara akibat hukum
bertolak belakang tidak boleh dihimpun.
4) Haram terhimpunnya akad jual beli dan sharf dalam satu akad.
5) Ada dua pendapat mengenai terhimpunnya jual beli dan ijarah.
Pertama, mengatakan kedua akad batal karena hukum dua akad
berlawanan dan tidak ada prioritas satu akad atas yang lain.
6) Terhimpunnya dua akad atas objek yang memiliki harga berbeda
dengan satu imbalan („iwadh), seperti sharf dan ba‟i atau menjual
barang yang dinyatakan bahwa akad telah mengikat sebelum serah
terima, hukumnya sah, karena keduanya dapat dimintakan imbalan
sebagai harga masing-masing. Dari pendapat Ulama di atas
disimpulkan bahwa multiakad yang mutanaqhidah, mutadhadah,
dan mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun
menjadi satu akad. Meski demikian pandangan Ulama terhadap tiga
bentuk multiakad tersebut tidak seragam.
d. Akad Berbeda (al-„uqud al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multiakad yang mukhtalifah adalah
terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua
akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagainya. Seperti
perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad
sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli
sebaliknya.
e. Akad Sejenis (al-„uqud al-mutajanisah)
Al-„uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi di
dalam hukum dan akibat hukumnya. Multiakad jenis ini dapat terdiri
dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari
beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multiakad
jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum
yang sama atau berbeda.
2. Batasan-batasan Multiakad
Batasan-batasan Multiakad (Hybrid Contrac) Para ulama yang
membolehkan praktik multiakad bukan berarti membolehkan secara bebas,
tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan ini akan
menyebabkan multiakad menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-
batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan, Hasanudin (2010: 171).
Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah:
a. multiakad dilarang karena nash agama. Dalam Hadis, Nabi secara
jelas menyatakan tiga bentuk multiakad yang dilarang, yaitu
multiakad dalam jual beli (bai„), pinjaman, jual beli dalam satu akad,
dan dua transaksi dalam satu transaksi. Suatu akad dinyatakan boleh
selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak.
Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu
dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada
syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga
melalui qardh.
b. Multiakad menyebabkan Jatuh ke riba. Setiap multiakad yang
mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram,
meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun
membawanya pada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi
dilarang.
c. Multiakad sebagai hîlah ribawi, Multiakad yang menjadi hîlah ribawi
dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli „inah atau sebaliknya dan
hilah riba fadhl.
d. Multiakad terdiri atas akad-akad yang akibat hukumnya saling
bertolak belakang atau berlawanan. arangan ini didasari atas larangan
Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini
mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan
muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-
rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan
aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia.