Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN TEORI

RAHN, IJARAH, QARDH DAN HYBRID CONTRACT

A. Rahn

1. Pengertian Rahn
Dalam Fiqh Muamalah dengan kata Pinjaman yang disebut Ar-rahn, yaitu
penyimpanan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-rahn gadai menurut
bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan, Yazid
Afandi (2009: 147). Gadai dalam bahasa Arab disebut dengan Ar-Rahn.
Secara etimologi berarti tetap, kekal dan jaminan. Dalam terjemahan Kitab
Fathul Qarib Menaruh Barang (dijadikan) sebagai Uang, untuk penguat
perjanjian utang, dan barang tersebut akan menutupi (hutang) ketika terhalang
(tidak dapat) melunasinya.
Sayyid Sabiq (1981: 187) Gadai Menurut Istilah Syara‟ Benda yang
memiliki nilai yang sesuai dengan ketentuan syara‟ dan sebagai jaminan
utang, dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Gadai istilah hukum positif
di Indonesia adalah apa yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan,
cagar atau cagaran, dan tangunggan.
Menurut istilah syara‟ rahn terdapat beberapa pengertian:
a. Gadai adalah akad perjanjian pinjaman meminjam dengan menyerahkan
barang sebagai tanggungan utang.
b. Gadai adalah sesuatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat
kepercayaan dalam utang piutang.
c. Gadai adalah Akad yang objeknya menahan harga terdapat sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna dirinya.
Menurut Wahbah Az-Zuhaily dalam Buku Yazid Afandi (2009:147) gadai
dari pandangan empat madzhab:
a. Menurut Ulama Syafi‟iyyah Gadai yaitu Menjadikan „Ain (barang)
sebagai (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar
utang tersebut (Marhuun bihi) ketika pihak Murtahin (pihak yang
berutang, ar-Rahin) tidak bisa membayar utang tersebut. menegaskan
bahwa maszhab ini tidak membolehkan rahn hanya dengan sesuatu
barang yang diambil manfaatnya saja, karena manfaat sesuatu mungkin
bisa habis dan hilang, sehingga tidak bisa dijadikan jaminan yang bisa
diukur nilai dan harganya.
b. Menurut Ulama Hanabilah, Harta yang dijadikan sebagai watsiqah
(jaminan) utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa
melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga
hasil penjualan harta yang dijadikan watsiqah (jaminan) tersebut.
c. Menurut Ulama Malikiyah, Sesuatu yang mutamawwal (berbentuk
harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
watsiqah (jaminan) utang yang laazim (keberadaannya sudah positif
dan mengikat) atau yang akan menjadi lazim.
d. Menurut Ulama Hanafiyah menjadikan sesuatu untuk dijaminkan dan
dapat membayar utang tersebut dengan jaminan tersebut. Maksudnya
Ulama Hanafiyah menunjukkan bahwa besarnya jaminan tidak harus
sebanding dengan besarnya pinjaman artinya barang jaminan bagi
kelompok ini boleh lebih kecil dari nilai utang. Karena barang jaminan
posisinya adalah penguat perjanjian.
Dalam Buku Bank Syariah dari Teori ke Praktik karangan Muhammad
Syafi‟i Antonio (2001, 128) mengutip dari Sayyid Sabiq Fiqhus Sunnah, Ar-
rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memilki nilai ekonomis. Pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kemabli seluruh
atau sebagaian piutangnya.
Dadan Mutaqien (2009: 106) Mengatakan Dalam hukum adat gadai
diartikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima uang sejumlah uang
secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas
pengembaliaan tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
Dapat dikemukakan dari definisi diatas jadi Gadai adalah barang jaminan
atas suatu hutang dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Secara
sederhananya Rahn adalah barang gadai atau jaminan.
2. Landasan Hukum Gadai
Dasar Hukum yang menjadi Landasan Gadai syariah adalah Ayat-ayat Al-
Qur‟an, Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma‟ Ulama dana Fatwa MUI dan
Kaidah Fiqh.
a. Al-Qur‟an
QS Al-Baqarah (2) Ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam
membangun konsep Gadai.

           

          

          

   

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara


tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orangyang berdosa
hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjaka.
Fadhilah Asy-Syekh (2001:175) dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam
menurutnya Ayat Al-Qur‟an tersebut adalah petunjuk menerapkan prinsip
kehati-hatian bila seseorang ingin melakukan transaksi utang-piutang yang
memakan jangka waktu dengan orang lain, dengan cara meminjamkan
sebuah barang kepada orang yang berpiutang. Dalam hal ini Rahn (gadai)
dapat dilakukan ketika dua belah pihak yang bertransaksi (sedang
melakuakan perjalanan musafir) dan transaksi demikian harus di catat
dalam sebuah berita acara (ada yang menuliskannya) dan ada yang
menjadi saksi.
Hamka (1983: 80) Tafsir Al-Azhar, Ayat Al-Qur‟an tersebut adalah
ayat mengenai hutang-piutang atau ayat-ayat perikatan janji untuk waktu
yang ditentukan oleh kedua belah pihak, yang mana terkadung dalam ayat
Al-Qur‟an 282 dan 283. Ayat ini memerintahkan supaya perjanjian-
perjanjian yang diperbuat dengan persetujuan kedua belah pihak dituliskan
dengan terang oleh penulis yang pandai dan bertanggungjawab.
Tafsir Ibnu Katsir Karya Ibnu Katsir Menafsirkan surah Al-Baqarah
Bahwa transaksi gadai masih belum jadi kecuali bila barang jaminan telah
dipegang, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafi‟i dan Jumhur Ulama.
Sedangkan ulama yang lainnya, dari ayat tersebut mengambil kesimpulan
dalil diharuskan bagi terrealisasinya gadai, barang yang digadaikan
diterima oleh tangan orang yang memberikan pinjaman.
Dalam tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2002: 610-611)
Surat Al-Baqarah ayat 283 menjelaskan, hal lain yang berkaitan dengan
gadai bahwa menggadaikan sesuatu dalam bermuamalah diperbolehkan
bagi orang yang tidak dalam perjalanan karena adanya para saksi penulis,
hal ini sesuai dengan kisah Nabi Muhammad SAW. Pernah menggadaikan
perisai beliau kepada seorang yahudi, padahal ketika itu beliau berada di
Madinah. Tetapi ketika dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara
tunai, sedang kamu tidak mendapat penulis yang dapat menulis hutang
piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegangg (oleh yang berpiutang).
Dari sini juga dapat ditarik kesan, bahwa sejak diturunkan ayat ini Al-
Qur‟an telah menggaris bawahi ketidak mampuan menulis hanya dapat
ditoleransi untuk sementara bagi yang tidak bertempat tinggal atau dalam
perjalanan. Bahkan menyimpan barang sebagai jaminan atau
menggadaikannnya tidak harus dilakukan, karena itu jika kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya, hutang atau apapun yang diterima. Karena
jaminan dalam gadai didalam perjalanan berbentuk kepercayaan dan
amanah timbal balik bagi keduanya, dimana yang punya barang jaminan
berhak memperoleh barangnya kembali setelah memenuhi kewajibannya
kepada yang memberikan pinjaman atas barang jaminan tersebut secara
utuh begitupun sebaliknya bagi orang yang memberikan pinjaman tersebut
berhak mendapatkan uangnya kembali, serta jika diantara keduanya
melakukan kecurangan dengan sengaja atau tidak maka bagi keduanya
berhak menepati kesepakatan yang sudah disepakati keduanya. Karena itu
lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah ia, yankni yang
menerima dan memeberi, Bertaqwa kepada Tuhan Pemelihara-Nya.
Kepada para saksi, pada hakikatnya memikul amanah kesaksian,
diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan
persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan atau tidak
menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun
yang tidak diketahuinya, dan barang siapa yang menyembunyikannya,
maka ia sesungguhnya ia adalah yang berdosa hatinya. Penyebutan kata
hati, mengukuhkan kalimat bahwa jika hati berdosa, maka seluruh anggota
tubuh berdosa. Nabi bersabda: sesungguhnya, didalam diri manusia ada
“segumpal”, apabila ia baik, baiklah seluruh jasad, dan bila ia buruk,
buruklah sema jasad, yaitu qalbu. Akhirnya Allah mengingatkan semua
pihak bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, walau
sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun yang tersembunyi, maupun
yang dilakukan anggota badan maupun hati.
b. Hadist Rasulallah

‫س َع ْن‬ ‫ن‬‫و‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ى‬ ‫يس‬ ِ ‫اْلْنظَلِي وعلِي بن خ ْشرٍم قَ َاَل أَخب رََن‬
‫ع‬ ِ ِ ِ
َ ُ ُ ُ ْ َ ََ ْ َ َ ُ ْ ُّ َ َ ُّ َْ ‫َحدَّثَنَا إ ْس َح ُق بْ ُن إبْ َراى َيم‬
‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ َِّ ‫ول‬ُ ‫َس َوِد َع ْن َعائِ َشةَ قَالَت ا ْشتَ َرى َر ُس‬ ِ
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ ْ ‫ش َع ْن إِبْ َراى َيم َع ْن ْاْل‬
ِ ‫ْاْل َْع َم‬

ٍ ‫ود ٍي طَعاما ورىنو ِدرعا ِمن ح ِد‬


‫يد‬ ِ ِ
َ ْ ً ْ ُ َ َ َ َ ً َ ّ ‫م ْن يَ ُه‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali
dan Ali bin Khasyram keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami
Isa bin Yunus dari Al A'masy dari Ibrahim dari Al Aswad dari 'Aisyah dia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi, lalu beliau menggadaikan baju besinya
(sebagai jaminan)." (HR. Bukhori Muslim No. 3008).
‫ال لََق ْد َرَى َن‬ ٍ َ‫ض ِم ُّي َح َّدثَِِن أَِِب َحدَّثَنَا ِى َش ٌام َع ْن قَتَ َادةَ َع ْن أَن‬
َ َ‫س ق‬ ْ ‫ص ُر بْ ُن َعلِ ٍّي‬
َ ‫اْلَ ْه‬ ْ َ‫َحدَّثَنَا ن‬
‫َخذ ِْل َْىلِ ِو ِمْنوُ َشعِ ًريا‬ ِ ِ ٍ ‫ود‬
َ ‫ي ِِبلْ َمدينَة فَأ‬
ِ ِ ِ ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
ّ ‫اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم د ْر َعوُ عْن َد يَ ُه‬ َ َّ ‫ول‬
ُ ‫َر ُس‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami


berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku berkata, telah
menceritakan kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Anas ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menggadaikan baju
perangnya kepada seorang yahudi di Madinah, lalu beliau meminta
gandum dari yahudi tersebut untuk diberikan kepada keluarganya." (HR.
Ibnu Majah No. 2428).

‫ب َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َر ِض َي‬ ِْ ‫َخبَ َرََن َزَك ِرََّّيءُ َع ْن الش‬ َِّ ‫حدَّثَنا ُُم َّم ُد بن م َقاتِ ٍل أَخب رََن عب ُد‬
ِّ ‫َّع‬ ْ ‫اَّلل أ‬ َْ َ َ ْ ُ ُْ َ َ َ
‫َب‬ ً ‫ب بِنَ َف َقتِ ِو إِذَا َكا َن َم ْرُى‬ َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
ََُ‫وَن َول‬ ُ ‫الرْى ُن يُْرَك‬ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫اَّللُ َعْنوُ ق‬
َّ
ِ َّ
ُ‫ب النَّ َف َقة‬
ُ ‫ب َويَ ْشَر‬ ً ‫ب ق بِنَ َف َقتِ ِو إِذَا َكا َن َم ْرُى‬
ُ ‫وَن َو َعلَى الذي يَ ْرَك‬
ِّ ‫الد‬
ُ ‫َّر يُ ْشَر‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah
mengabarkan kepada kami 'Abdullah telah mengabarkan kepada kami
Zakariya' dari Asy-Sya'biy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "(Hewan) boleh
dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga
boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan
terhadap orangyang mengendarai dan meminum susunya wajib
membayar". (HR. Bukhari No. 2329).

c. Ijma Ulama
Zainuddin Ali (2005: 8) Jumhur ulama menyepakati kebolehan status
hukum gadai. Hal ini dimaksud dari kisah Nabi Muhammad SAW yang
menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seseorang
Yahudi. Dan para ulama mengambil indikasi contoh dari Nabi
Muhammad, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada
sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu lebiih dari sikap
Nabi Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat.
d. Ijma‟ Ulama

‫لى ََْت ِرْْيََها‬ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ْ ‫اْْل‬


َ ‫َص ُل ِْف املَُع َامالَت اِل َِب َحةُ إَل أَ ْن يَ ُد ُل َدلْي ٌل َع‬
Pada dasarnya Segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.

3. Rukun dan Syarat Rahn


Hendi Suhendi (2011: 47) Menurut Ulama-ulama Ushul kalangan
Hanafiah berpendapat bahwa Rukun adalah sesuatu yang keabsaanya
memerlukan kepada adanya sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain itu
merupkan bagian darinya.
Rukun merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi, sedangkan syarat
adalah faktor yang harus dipenuhi dalam perbuatan. Rukun Rahn:
a. Orang yang menyerahkan barang gadai (Rahin) dan orang yang menerima
baran gadai (Murtahin),
b. Barang yang digadaikan (Marhun),
c. Hutang (Marhun bih).
d. Shighat Akad (Ijab Qabul).
Adapun syarat sah qardh sesuai dengan rukun qardh yang dikemukakan
jumhur ulama Syarat Rahn:
a. Aqid (orang yang berakad) keduanya haruslah orang yang baligh, berakal,
dan sehat.
1) Berakal, Dalam melakukan transaksi hendaklah dilakukan dalam
keadaan sadar dan sehat. Apabila melakukan transaksi oleh anak kecil
yang belum berakal, orang gila, mabuk dan atau pingsan hukumnya
tidak sah atau haram.
2) Baligh berarti sampai atau jelas. Baligh adalah masa kedewasaan
seseorang, yang menurut kebanyakan para ulama yaitu apabila
seseorang telah mencapai usia 15 tahun, atau orang belum mencapai
umur yang dimaksud, akan tetapi sudah dapat bertanggung jawab
secara hukum.Yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu
yang menjadi jelas baginya segala urusan atau persoalan yang dihadapi.
Pikirannya telah mampu mempertimbangkan atau mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk. Adapun tanda-tanda baligh yaitu:
a) Ihtilam: keluarnya air mani dari kemaluan laki-laki atau perempuan,
dalam keadaan jaga atau tidur.
b) Haidl: keluarnya darah haidl bagi perempuan, menurut ulama
Syafi‟iyah darah haid keluar pada wanita pada umur 9 tahun.
b. Marhun (Barang gadai) dapat diperjual belikan, milik Rahin Sendiri, tidak
najis. Barang yang dijadikan sebagai barang gadaian merupakan barang
milik si pemberi gadai dan barang itu ada saat diadakan perjanjian gadai.
Menyangkut barang-barang yang dijadikan sebagai objek gadai ini dapat
dari macam-macam jenis barang gadaian tersebut berada dibawah
penguasaan penerima gadai. Syarat Objek Barang Gadai, Syarat Objek
barang gadai adalah benda-benda yang menjadi objek akad. Menurut
Wahbah Zuhaily dalam bukunya Fiqh Islam (1986, 173-181)
menyebutkan:
1) Barang Gadai transaksi harus ada ketika akad atau transaksi sedang
dilakukan. Tidak dibolehkan melakukan transaksi terhadap barang
yang belum jelas dan tidak ada waktu akad, karena akan
menimbulkan masalah saat serah terima.
2) Barang Gadai transaksi merupakan barang yang diperbolehkan
syariah untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
Tidak boleh bertransaksi atas bangkai, darah, babi dan lainnya.
Begitu pula barang yang belum berada dalam genggaman
pemiliknya, seperti ikan masih dalam laut, burung dalam angkasa.
3) Barang Gadai bisa diserah terimakan saat terjadinya akad atau
dimungkinkan dikemudian hari. Walaupun barang itu ada dan
dimiliki akid, namun tidak bisa diserah terimakan, maka akad itu
akan batal.
4) Adanya kejelasan tentang objek (barang gadai) transaksi. Artinya,
barang tersebut diketahui secara detail oleh kedua belah pihak, hal
ini untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari.
Objek transaksi tidak bersifat tidak diketahui dan mengandung
unsur gharar.
5) Bernilai Ekonomis.
6) Objek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang
najis.
7) marhun bih (Berkenan dengan hutang) syarat sahnya harus pasti dan
jelas baik jumlahnya sifat dan dzatnya.
c. Adanya Akad, berupa Shigat Ijab dan Qabul tidak boleh terikat dengan
syarat tertentu dan juga dengan waktu di masa mendatang.
1) Sighat akad harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab kabul
harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian. Misalnya, “aku
serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau titipan”.
2) Harus bersesuaian antara ijab dan kabul. Antara yang berijab dan
menerima tidak boleh berbeda lafad. Adanya kesimpangsiuran dalam
ijab dan kabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh
Islam, karena bertentangan dengan Islam di antara manusia.
3) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut-
takuti oleh orang lain, karena harus saling merelakan.
4) Ijab itu berjalan terus, tidak dapat dicabut sebelum terjadinya kabul.
Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya, sebelum
kabul maka batallah ijabnya.
5) Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang
berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal. Abdul Rahman Ghazali (2010-53).
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Suhrawardi (2012: 226) Dewan Syariah Nasional (DSN) berada dibawah
MUI, dibentuk pada tahun 1997. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan lembaga keuangan
berdasarkan prisip Syariah. Fatwa DSN-MUI yang menjadi suatu rujukan
dalam Gadai Syariah.
DSN-MUI No Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama‟ Indonesia
(DSN-MUI) yang menjadi acuan atau landasan dalam pelaksanaan gadai
(rahn) antara lain:
a. DSN-MUI No: 25/ DSN-MUI/ III/ 2002, tentang Rahn.
Memutuskan, Pertama Hukum Rahn Bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang jaminan sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
dibolehkan. Kedua, dengan ketentuan:
1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan
barang) dilunasi.
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya,
Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin
Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya
itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban Rahin.
4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5) Penjualan marhun, dengan ketentuan.
a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin
untuk segera melunasi utangnya.
b) Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka
Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin..
Ketentuan ketiga, Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan.
b. DSN-MUI No: 26/ DSN-MUI/ III/ 2002, tentang Rahn Emas.
Memutuskan, Pertama
1) Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN
nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn).
2) Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh
penggadai (rahin).
3) Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada
pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4) Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad
Ijarah.
c. DSN-MUI No: 68/ DSN-MUI/ III/ 2008, tentang Rahn Tasjily.
Memutuskan Pertama mengenai ketentuan Umum Rahn Tasjily disebut
juga dengan Rahn Ta‟mini, Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi adalah jaminan
dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang
diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah
kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap
berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).
Kedua mengenai ketentuan khusus, rahn tasjily boleh dilakukan dengan
ketentuan :
1) Rahin menyerahkan bukti sah kepemilikan atau sertifikat barang
yang dijadikan jaminan (marhun) kepada murtahin;
2) Penyerahan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan
atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke
Murtahin.
3) Rahin memberikan wewenang (kuasa) kepada murtahin untuk
melakukan penjualan marhun, baik melalui lelang atau dijual ke
pihak lain sesuai prinsip syariah, apabila terjadi wanprestasi atau
tidak dapat melunasi utangnya.
4) Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran
sesuai kesepakatan.
5) Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan
barang marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang
ditanggung oleh rahin, berdasarkan akad Ijarah.
6) Besaran biaya sebagaimana dimaksud tersebut tidak boleh dikaitkan
dengan jumlah utang rahin kepada murtahin.
7) Selain biaya pemeliharaan, dapat pula mengenakan biaya lain yang
diperlukan pada pengeluaran yang riil.
8) Biaya asuransi Rahn Tasjily ditanggung oleh Rahin.
Ketiga mengenai Ketentuan umum fatwa No.25/DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn yang terkait dengan pelaksanaan akad Rahn Tasjily berlaku
pula pada fatwa ini.

B. Qardh
1. Pengertian Qardh
Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara etimologi, qardh
bermakna (memotong). Maksudnya karena uang yang diambil oleh orang
yang meminjamkan memotong sebagian hartanya. Ahmad Wardi Muslich
(2013: 273) Qardh menurut istilah adalah Perjanjian khusus yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, dan melakukan perjanjian untuk mengembalikan
barang dikembalikan persis.
Pengertian Al-qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh
ulama Hanafiyah. Menurutnya qardh adalah Sesuatu yang diberikan dari
harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.
Yazid Afandi (2010: 137) Memberikan (menghutangkan) harta kepada
orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan
pengganti yang sama dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja
yang menghutangi atau yang menghendaki. Menurut Muhammad Syafi‟i
Antonio (2017; 131) pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan.
Jadi Qardh adalah suatu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak,
dimana pihak pertama memberikan hartanya berupa barang maupun uang
dan pihak kedua menerima barang dengan memanfaatkannya (Sesuai
kesepakatan) dan harus dikembalikan sama persis yang telah ia terima dari
pihak pertama.
2. Landasan Hukum
Dasar Hukum yang menjadi Landasan Gadai syariah adalah Ayat-ayat
Al-Qur‟an, Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma‟ Ulama dana Fatwa MUI
dan Kaidah Fiqh.
a. Al-Qur‟an
Surah Al-Baqarah Ayat/ 2:245

          

      

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman


yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.

Surah Al-Baqarah Ayat/2: 280

             

  

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka


berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”
.
Surah Al-Baqarah ayat/ 2: 282

          

......
Orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya. . .”

Surah Al-Hadid ayat/ 27:11

          

 

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang


baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu
untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”.

Surah At-Taqhabun ayat/ 28:17

           

 

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya


Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni
kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun”.

b. Hadist

،‫َّس هللاُ َعْنوُ ُك ْربًَة ِم ْن ُكَر ِب يَ ْوِم الْ ِقيَ َام ِة‬ ِ ِ ٍِ
َ ‫ نَف‬،‫َّس َع ْن ُم ْؤمن ُك ْربَةً م ْن ُكَرب الدُّنْيَا‬
َ ‫َم ْن نَف‬
‫ َوهللاُ ِ ِْف َع ْو ِن الْ َعْب ِد َما َكا َن‬،ِ‫َوَم ْن يَ َّسَر َعلَى ُم ْع ِس ٍر يَ َّسَر هللاُ َعلَْي ِو ِِف الدُّنْيَا َو ْاْل ِخَرة‬

‫َخْي ِو‬
ِ ‫الْعب ُد ِِف عو ِن أ‬
َْ َْ

“Barangsiapa menghilangkan suatu kesusahan dari seorang muslim


dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan
darinya kesusahan dari kesusahan-kesusahan akhirat. Dan
barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang mu‟sir
(kesulitan membayar hutang), niscaya Allah akan memudahkannya di
dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama
hamba tersebut menolong saudaranya.

c. Ijma Ulama

Para Ulama telah menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan.


Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup
tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun
yang memilki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam
meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
umatnya, Muhammad Syafi‟i Antonio (2017: 133).
3. Rukun dan Syarat Qardh
Yazid Afandi (2010: 142) Rukun merupakan salah satu faktor yang harus
dipenuhi, sedangkan syarat adalah faktor yang harus dipenuhi dalam
perbuatan. Rukun qardh ada 4 macam:
a. Muqridh, Orang yang mempunyai barang-barang untuk dihutangkan.
b. Muqtaridl, Orang yang mempunyai hutang.
c. Muqtaradh, Objek yang dihutangi.
d. Sighat akad, Ijab dan qabul.
Syarat Sah qardh, adapun syarat sah qardh sesuai dengan rukun qardh
yang dikemukakan jumhur ulama:
a. Aqid (orang yang berakad) Muqtaridl dan Muqtaradl keduanya
haruslah orang yang baligh, berakal, dan sehat. Tanpa adanya paksaan
dalam memberikan hutangnya dalam tekanan atau paksaan orang lain,
demikian juga muqtaridl.
b. Objek qardh yaitu dana atau uang. harta yang dipinjamkan haruslah
harta mitsli. Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan
dengan harta apa saja yang bisa dibolehkan dengan harta apa saja
yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta
qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya. Harta yang
dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan,
bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan.
Harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli. Sedangkan dalam
pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa
dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan,
seperti uang, biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak
bergerak dan lainnya. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik
dalam takaran, timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya
mudah dikembalikan.
c. Shighat Qardh, Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Menununjukan
kesepakatan kedua belah pihak, dan qardh tidak boleh mendatangkan
manfaat bagi muqridh. Dan juga shighat tidak boleh mesyaratkan akad
lain.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama‟ Indonesia (DSN-MUI)
yang menjadi acuan atau landasan dalam pelaksanaan. Ketentuan Umum
mengenai Qardh
a. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah
(muqtaridh) yang memerlukan.
b. Nasabah Al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima
pada waktu yang telah disepakati bersama.
c. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah. LKS dapat meminta
jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
d. Nasabah Al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan
sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
e. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh
kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah
memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
1) memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
2) menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua : Sanksi
a. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan
sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidak-
mampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
b. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1
dapat berupa-dan tidak terbatas pada-penjualan barang jaminan.
c. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.
Ketiga : Sumber Dana, Dana Al-Qardh dapat bersumber dari:
a. Bagian modal LKS.
b. Keuntungan LKS yang disisihkan.
c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran
infaqnya kepada LKS.

C. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah ijarah atau
sewa-menyewa, kontrak, menjual jasa, upah-mengupah dan lain-lain.
Sayyid Sabiq (2011: 203) Al-Ijarah berasal dari kata Al Ajru yang berarti Al
„Iwadu (ganti). Ijarah menurut arti bahasa adalah nama upah. Menurut
pengertian syara‟, Al Ijarah ialah Suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
Syaifullah Aziz, (2005: 255) Menurut arti lughat adalah balasan, tebusan,
atau pahala. Menurut Syara‟ melakukan akad mengambil manfaat sesuatu
yang diterima dari orang lain dengan cara membayar sesua dengan
kesepakatan atau perjanjian dengan syarat-syarat tertentu. Menurut
Muhammad Syafi‟i Antonio (2017: 117) Ijarah adalah pemindahan atas hak
guna baik barang maupun jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa dikuti
dengan pemindahan kepemilikan (Milkiyyah) atas barang itu sendiri.
Secara terminologi ada beberapa definis Ijarah menurut ulama fiqh.
Ulama Syafi‟iyah menurutnya Ijarah adalah akad suatu kemanfaatan
dengan pengganti. Menurut ulama Hanafiyah Ijarah adalah akad untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu
zat yang disewa dengan imbalan. Para Ulama Malikiyyah dan Hanabilah
Ijarah menjadikan milik suatu kemanfaat yang mubah dalam waktu tertentu
dengan pengganti.
Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa-
menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini
bendanya tidak kurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya
peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda
yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti
kendaraan, rumah dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga
berupa karya pribadi seperti pekerja.
2. Landasan Hukum
Adapun dasar hukum tentang kebolehan Al-ijarah dalam Al-Qur‟an,
Hadis terdapat dalam beberapa ayat diantaranya firman Allah antara lain:
a. Al-Qur‟an
Surah At-Talaq Ayat/28: 6

...       ...

.....jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah


kepada mereka upahnya. . . .

Surah Al-Qasash Ayat/20: 26

         

 

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

b. Hadist
َّ َ‫يد بْ ِن َع ِطيَّة‬
‫السلَ ِم ُّي َحدَّثَنَا‬ ِ ِ‫حدَّثَنا الْعبَّاس بن الْول‬
ِ ِ‫يد ال ِّدم ْش ِقي حدَّثَنا وىب بن سع‬
َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ُّ َ َ ُْ ُ َ َ َ
‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َِّ ‫الر ْْح ِن بن زي ِد ب ِن أَسلَم عن أَبِ ِيو عن عب ِد‬
َ َ‫اَّلل بْ ِن عُ َمَر ق‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ َْ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َ ُ ْ َ َّ ‫َعْب ُد‬
َّ ‫َجَرهُ قَ ْب َل أَ ْن ََِي‬ ِ ِ َّ
ُ‫ف َعَرقُو‬ ْ ‫اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أ َْعطُوا ْاْلَج َري أ‬
Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi
berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah
As Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah
kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah No.
2434).

c. Ijma Ulama
Mengenai disyari‟atkannya ijarah, semua Ulama bersepakat, tidak
ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ijma‟ ini,
sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat
dalam tataran teknisnya.
Ijarah (sewa menyewa) merupakan salah satu aplikasi keterbatasan
yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bila
dilihat uraian diatas, rasanya mustahil manusia bisa berkecukupan
hidup tanpa berijarah dengan manusia. Oleh karena itu boleh
dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk
aktivitas antara dua pihak atau saling meringankan, serta termasuk
salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan agama, Qomarul
Huda (2017: 79).
3. Rukun dan Syarat Ijarah
Ijarah merupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Rukun dari ijarah
sebagai suatu transaksi adalah akad atau perjanjian kedua belah pihak, yang
menunjukkan bahwa transaksi itu telah berjalan secara suka sama suka.
Adapun unsur yang terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:
a. Orang yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda
yang kemudian memberikan upah atas jasa tenaga atau sewa dari jasa
benda yang digunakan, disebut pengguna jasa (mūjir)
b. Orang yang memberikan, baik dengan tenaganya atau dengan alat
yang dimilikinya, yang kemudian menerima upah dari tenaganya atau
sewa dari benda yang dimilikinya, disebut pemberi jasa atau
(musta‟jir).
c. Objek transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang
digunakan disebut (ma‟jur).
d. Imbalan atau jasa yang diberikan disebut upah atau sewa (ujrah).
Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada beberapa
syarat yang mengiringi beberapa rukun yang harus dipenuhi. Syarat-
syarat tersebut meliputi:
a. „Aqid Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan memiliki
kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk).
Jika Salah satu pihak adalah orang gila atau anak kecil, akadnya
dianggap tidak sah.
b. Sigat akad antara mu‟jir dan musta‟jir Syarat sah sigat akad dapat
dilakukan dengan lafad atau ucapan dengan tujuan orang yang
melakukan perjanjian atau transaksi dapat dimengerti.
c. Ujrah (upah), Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
pertama, berupa harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh
sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.112/DSN-
MUI/IX/2017, yang menjadi acuan atau landasan dalam pelaksanaan.
Pertama, Ketentuan Umum mengenai Akad Ijarah:
a. Akad ijarah adalah akad sewa antra mu‟jir dan musta‟ajir dengan ajir
iuntuk mempertukarkan manfa‟ah atau ujrah baik manfaat barang atau
jasa.
b. Mu‟jir (pemberi sewa) adalah pihak yang menyewakan barang, baik
mu‟jir berupa orang maupun yang dipersamkan engan orang baik
yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
c. Musta'jir adalah pihak yang menyewa (penyewa/ penerima manfaat
barang) dalam akad Ijarah 'ala al-a'yan atau penerima jasa dalam
akad ijarah Al-mal/ Ijarah 'ala alasykhash, baik musta'jir berupa
orang maupun yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum.
d. Ajir adalah pihak yang memberikan jasa dalam akad ijarah 'ala
ala'mal/ijarah 'ala al-asykhash, baik ajir berupa orang maupun yang
dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum.
e. Manfu'ah adalah manfaat barang sewa melalui proses penggunaan dan
pekerjaan Qasa ajir.
f. Mahatl al-manfa'afr adalah barang sewa/ barang yang dijadikan media
untuk mewujudkan manfaat dalam akad ijarah 'ala al-a'yan.
g. Ijarah 'ala al-a'yan adalah akad sewa atas manfaat barang.
h. Ijarah 'ala al-asykhash/ijarah 'ala al-a'mal adalah akad sewa atas
jasa/pekerjaan orang.
i. Ijarah Muntahiyyah bi al-tamlik (IMBT) adalah akad ijarah atas
manfaat barang yang disertai dengan janji pemindahan hak milik atas
barang sewa kepada penyewa, setelah selesai atau diakhirinya akad
ijarah.
j. Ijarah maushufah fi al-dzimmaft (IMFD) adalah akad ijarah atas
manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan atau jasa ('amal) yang pada
saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas
dan kualitas).
k. Ijarah tasyghiliyyah adalah akad ijarah atas manfaat barang yang tidak
disertai dengan janji pemindahan hak milik atas barang sewa kepada
penyewa.
l. Pembiayaan multijasa adalah pembiayaan untuk memperoleh manfaat
atas suatu jasa.
m. Wilayah ashliyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mu'jir
karena yang bersangkutan berkedudukan sebagai pemilik.
n. Wilayah niyabiyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mu‟jir
karena yang bersangkutan berkedudukan sebagai wakil dari pemilik
atau wali atas pemilik.
Ketentuan terkait hukum dan Bentuk Ijarah
a. Ajir adalah pihak yang memberikan jasa dalam akad ijarah 'ala
ala'mal/ ijarah 'ala al-asykhash, baik ajir berupa orang maupun yang
dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum. Akad ljarah boleh direalisasikan dalam bentuk akad
Ijarah „ala al-„ayan dan akad Ijarah 'ala Al-a'mal/ Ijarah „ala al -
asykhash.
b. Akad Ijarah boleh direalisasikan dalam bentuk akad Ijarah
tasyghiliyyah, Ijarah Muntahiyyah bi At-tamlik (IMBT), dan Ijrah
maushufah fi al-dzimmaft (IMFD).
Kedua, Ketentuan terkait Hukum dan Bentuk Ijarah. Ketiga, terkait
shighat akad Ijarah. Keempat, Ketentuan terkait mengenai Mu‟jir,
Musta‟ajir, Kelima, Ketentuan terkait Mahall al-manfa‟ah, Keenam
Ketentuan mengenai manfaat dan waktu sewa. Ketujuh ketentuan mengenai
„amal yang dilakukan ajir, Kedelapan ketentuan mengenai Ujrah,
Kesembilan ketentuan mengenai Kegiatan atau produk dan kesepuluh
ketentuan penutup.

D. Hybrid Contract
1. Pengertian Akad Hybrid Contract
Akad menurut bahasa mempunyai beberapa arti yaitu, Mengikat (‫)الربط‬,
Sambungan (‫)عقدوة‬, Janji (‫)العهد‬. Menurut Wahab Zuhaili dalam Buku Ahmad
Wardi Muslich (2013: 110) Akad dalam bahasa Arab artinya ikatan (Penguat
dan ikatan) antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi,
dari satu segi maupun dari dua segi. Menurut Istilah teminologi akad adalah
perikatan ijab qobul yang dibenarkan Syara‟ yang menetapkan keridhoan
kedua belah pihak.
Dalam Kitab Undang-Undang Perdata Islam, Pasal 103 Akad adalah
perikatan diantara dua pihak dan berjanji untuk melaksanakannya, dan akad
itu gabungan antara ijab dan qabul.
Akad Menurut Lughah adalah Mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat
satu salah satunya dengan yang lain hingga bersambung, lalu keduanya
menjadi satu benda (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy 1997, 26).
Menurut Az-zarqa dalam pandangan syara‟ suatu akad merupakan ikatan
secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang bersama-
sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-
pihak yang mengikatkan diri tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh
sebab itu untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan
dengan pernyataan.
Dari pemaparan diatas paling tidak akad mencangkup:
a. Perjanjian ( Al-„ahd)
b. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
c. Perikatan ( Al-„aqd )
Kata hybrid (Inggris), dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
hibrida digunakan pertama kali sebagai istilah bagi hasil persilangan
(hibridisasi atau pembastaran) antara dua individu dengan genotipe berbeda.
Hybrid contract dimaknai secara harfiyah sebagai kontrak yang dibentuk oleh
kontrak yang beragam.
Ali Amin Isfandar (2013: 214) Menurutnya hybrid contract dalam bahasa
Indonesia disebut dengan istilah multiakad. Kata multi dalam bahasa
Indonesia berarti banyak lebih dari satu atau berlipat ganda. Dengan demikian
multiakad berarti akad ganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.
Sedangkan menurut istilah Fiqh, kata hybrid contract merupakan
terjemahan dari kata Arab yaitu al-„uqud al-murakkabah yang berarti akad
ganda (rangkap). Al-„uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-„uqud
(bentuk jamak dari „aqd) dan al-murakkabah. Kata murakkab sendiri berasal
dari kata ‫ رقب – يرقب ترقبا‬yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada
sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di Bawah,
Hasannudin (2009:3). kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi
berarti al-jam‟u (mashdar), yakni pengumpulan atau penghimpunan.
Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih (dalam konteks
akad) ialah himpunan beberapa akad sehingga disebut dengan satu nama
akad.
Menurut Hasanudin salah satu anggota Dewan Syariah Nasional (2010:
162) Adapun jenis-jenis hybrid contract atau multiakad, menurut al-Imrani
sebagaimana dikutip oleh Ali Amin, terbagi dalam lima yaitu Al-„uqud
Mutaqabila, Al-„uqud al-mujtami‟ah, Al-„uqud al-mutanaqidhah wa al-
mutanafiyah, al-„uqud al-mukhtalifah, dan al-„uqud al-mutajanisah. Dari
lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-„uqud al-
mutaqabilah, al-„uqud al-mujtami‟ah, adalah multi akad yang umum dipakai.
Berikut penjelasan dari lima macam multiakad tersebut. Akad Bergantung
atau Akad Bersyarat (al-„uqud al-mutaqabilah).
a. Akad Bergantung/Akad Bersyarat ( al-‟uqûd al mutaqâbilah )
Al-‟uqûd al-mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua
merespon akad pertama, dimana kesempurnaan akad pertama
bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal
balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.
b. Akad Terkumpul (al-„uqud al-mujtami‟ah)
Al-„uqud al-mujtami‟ah adalah multiakad yang terhimpun dalam satu
akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Multiakad
yang mujtami „ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua
objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu
akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu
akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik
dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
c. Akad Berlawanan (al-„uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa
al-mutanafiyah).
Ketiga istilah al-mutanaqidhah, al-mutadhadah, al-mutanafiyah
memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya
Perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang
berbeda. Mutanaqhidah mengandung arti berlawanan, seperti pada
contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang
berlawanan dengan yang pertama. Sedangkan arti etimologi dari
mutanaqhidah adalah dua hal yang tidak mungkin terhimpun dalam
satu waktu,seperti antara malam dan siang. Adapun arti dari
mutanafiyah adalah menafikan, lawan dari menetapkan.
Dari pengertian di atas, para ahli fikih merumuskan maksud dari
multiakad („uqud murakkabah) yang mutanaqhidah, mutadhadah, dan
mutanafiyah, yaitu :
1) Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang
berlawanan, maka setiap dua akad yang berlawanan tidak mungkin
dipersatukan dalam satu akad.
2) Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang
berlawanan, karena dua sebab saling menafikan akan menimbulkan
akibat yang saling menafikan pula.
3) Dua akad yang secara praktik berlawanan dan secara akibat hukum
bertolak belakang tidak boleh dihimpun.
4) Haram terhimpunnya akad jual beli dan sharf dalam satu akad.
5) Ada dua pendapat mengenai terhimpunnya jual beli dan ijarah.
Pertama, mengatakan kedua akad batal karena hukum dua akad
berlawanan dan tidak ada prioritas satu akad atas yang lain.
6) Terhimpunnya dua akad atas objek yang memiliki harga berbeda
dengan satu imbalan („iwadh), seperti sharf dan ba‟i atau menjual
barang yang dinyatakan bahwa akad telah mengikat sebelum serah
terima, hukumnya sah, karena keduanya dapat dimintakan imbalan
sebagai harga masing-masing. Dari pendapat Ulama di atas
disimpulkan bahwa multiakad yang mutanaqhidah, mutadhadah,
dan mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun
menjadi satu akad. Meski demikian pandangan Ulama terhadap tiga
bentuk multiakad tersebut tidak seragam.
d. Akad Berbeda (al-„uqud al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multiakad yang mukhtalifah adalah
terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua
akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagainya. Seperti
perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad
sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli
sebaliknya.
e. Akad Sejenis (al-„uqud al-mutajanisah)
Al-„uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi di
dalam hukum dan akibat hukumnya. Multiakad jenis ini dapat terdiri
dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari
beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multiakad
jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum
yang sama atau berbeda.
2. Batasan-batasan Multiakad
Batasan-batasan Multiakad (Hybrid Contrac) Para ulama yang
membolehkan praktik multiakad bukan berarti membolehkan secara bebas,
tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan ini akan
menyebabkan multiakad menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-
batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan, Hasanudin (2010: 171).
Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah:
a. multiakad dilarang karena nash agama. Dalam Hadis, Nabi secara
jelas menyatakan tiga bentuk multiakad yang dilarang, yaitu
multiakad dalam jual beli (bai„), pinjaman, jual beli dalam satu akad,
dan dua transaksi dalam satu transaksi. Suatu akad dinyatakan boleh
selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak.
Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu
dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada
syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga
melalui qardh.
b. Multiakad menyebabkan Jatuh ke riba. Setiap multiakad yang
mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram,
meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun
membawanya pada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi
dilarang.
c. Multiakad sebagai hîlah ribawi, Multiakad yang menjadi hîlah ribawi
dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli „inah atau sebaliknya dan
hilah riba fadhl.
d. Multiakad terdiri atas akad-akad yang akibat hukumnya saling
bertolak belakang atau berlawanan. arangan ini didasari atas larangan
Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini
mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan
muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-
rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan
aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia.

Anda mungkin juga menyukai