Anda di halaman 1dari 16

Fiqih Muamalah

SEMESTER II TH. 2023

AKAD RAHN (GADAI)

Solehawati1, Rendi Suhendi2, Ikhsan Maulana3


1 solehawati93@gmail.com,STIT Al – Amin Kreo Tangerang
2
mailto:rendifaqih10@gmail.com, STIT Al – Amin Kreo Tangerang
3
mhmmd.icaan@gmail.com, STIT Al – Amin Kreo Tangerang

ABSTRACT
Pawn in Arabic is called rahn, which means fixed, eternal, and guarantee. In syara', rahn is holding
a number of assets handed over as collateral by right, but can be taken back as a ransom. Pledge is
one of the categories of debt agreements, where for a trust from the debtor, the debtor pawns his
goods as collateral for his debt. The collateral remains the property of the person who mortgaged
it (the person who owes it) but is controlled by the recipient of the pledge (the person who owes
the debt). The rahn contract aims to make the lender trust the debtor more. This concept in Islamic
fiqh is known as rahn or mortgage.
Keywords: Pawn, The person who pawns, The person who receives the pawn, The pawned item,
Akad Rahn

ABSTRAK
Gadai dalam bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara
syara, rahn adalah menahan sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi
dapat diambil kembali sebagai tebusan. Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang
piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang
berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap
milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang
berpiutang). Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang.
Konsep tersebut dalam fiqh Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.

1
Kata kunci: Gadai, Rahin, Murtahin, Al-Marhuun, Akad Rahn

PENDAHULUAN
Dalam muamalah dimulai dengan adanya akad. Akad adalah salah satu sebab yang
ditetapkan syara’ yang karenanya timbulah beberapa hukum. Akad adalah perbuatan yang
disengaja dibuat oleh dua orang atau lebih, berdasarkan persetujuan masing-masing. Akad Ar-
Rahn menurut istilah syara’ adalah menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang memungkinkan
hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut1. Ar-Rahn termasuk salah satu akad Al-‘Aini, yaitu akad
yang dianggap belum sempurna dan hukumnya belum bisa dijalankan. Sementara kaidah fiqh
menegaskan bahwa At-Tabarru’ atau derma belum dianggap sempurna dan memiliki konsekuensi-
konsekuensi hukum kecuali dengan adanya Al-Qabdhu atau serah terima barang yang menjadi
objek akad. Ar-Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ dan ulamapun sepakat
bahwa Ar-Rahn hukumnya boleh, baik ketika di tengah perjalanan, maupun ketika menetap.

PEMBAHASAN
DEFINISI AKAD AR-RAHN
Akad dalam bahasa arab (‫ )عقد‬berarti “ikatan” (atau pengencangan dan penguatan) antara
beberapa pihak dalam hal tertentu, baik ikatan itu bersifat konkret maupun abstrak, baik dari satu
sisi maupun dari dua sisi. Dalam kitab Al-Mishbah al-Munir dan kitab-kitab bahasa lainnya
disebutkan: ‘aqada al-habl (mengikat tali) atau ‘aqada al-bay’ (mengikat jual beli) atau ‘aqada al-
‘ahd (mengikat perjanjian) fa’aqada (lalu ia terikat)2. Adapun Ar-Rahn secara bahasa artinya Ats-
Tsubuut dan Ad-Dawaam yaitu kekal, atau bisa juga Al-Habsu dan Al-Luzuum yang berarti
menahan3. Allah SWT berfirman:
ٌۙ‫ٌۙر ِه ْينَة‬
َ ‫ت‬ ٍۢ ‫ُكلُّ ٌۙنَ ْف‬
ْ َ‫سٌۙبِ َماٌۙ َك َسب‬
Artinya: “Tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) oleh apa yang telah diperbuatnya” (Q.S Al-
Muddatsir:38)4.
Dalam bahasa Arab Ar-rahn (gadai) berasal dari kata ‫ ٌۙرهن رهنا يرهن‬yang berarti menggadaikan,
menangguhkan, jaminan utang dan gadaian. Menurut bahasa, ar-rahn (gadai) berarti al-tsubut dan

1
Al-Lubaab, juz 2 hlm. 54: Ad-Durrul Mukhtaar, juz 5 hlm. 339: Al-Mabsuuth, 21 hlm. 63.
2
Hariman Surya Siregar, Koko Khoerudin, Fiqih Muamalah Teori dan Implementasinya
3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu hal 106
4
Al-Qur’an dan Terjemah

2
al-habs yaitu penetapan dan penahanan, ada pula penjelasan bahwa rahn adalah terkurung atau
terjerat.5 Untuk itu, secara zhahirnya kata Ar-Rahnu yang utama adalah al-Habsu (menahan), dan
kata Ar-Rahnu juga digunakan untuk menyebutkan Al-Marhuun yaitu sesuatu yang digadaikan.
Sedangkan, akad Ar-Rahn menurut istilah syara’ adalah menahan sesuatu disebabkan
adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Maksudnya,
menjadikan al-‘Ain (barang, harta) yang berwujd konkrit yang mempunyai nilai menurut
pandangan syara’, sebagai watsiiqah (pengukuhan, jaminan utang), sekiranya barang itu
memungkinkan untuk digunakan membayar seluruh atau sebagian utang yang ada6. Selain
Pengertian Rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga pengertian gadai (rahn) yang diberikan
oleh para ulama yaitu sebagai berikut:
1. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan akad Ar-Rahnu menjadikan Al-‘ain (barang) sebagai
watsiiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (Al-
Marhuun bihi) ketika pihak Al-Rahiin (pihak yang berutang) tidak bisa membayar utang
tersebut.
2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik
seluruhnya maupun sebagian.
3. Ulama Hanabilah mendefinisikan Ar-Rahnu yaitu harta yang dijadikan sebagai jaminan utang,
namun ketika yang berutang tidak tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan
menggunakan harga barang jaminan yang sudah dijual.
4. Ulama Malikiyyah mendefinisikan Ar-Rahnu yaitu harta yang memiliki nilai yang diambil dari
pemiliknya untuk dijadikan jaminan utang yang keberadaan barangnya benar-benar ada.

SIFAT RAHN
Secara umum Rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu yang
diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan 7.
Adapun Ar-Rahnu adalah salah satu akad Tabarru’ (derma), karena apa yang diserahkan oleh pihak

5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 105.
6
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu hal 107
7
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 160

3
Ar-Raahin (pihak yang menggadaikan) kepada pihak Al-Murtahin adalah tanpa imbalan atau ganti.
Ar-Rahnu termasuk salah satu akad Al-‘Aini, yaitu akad yang dianggap belum sempurna dan
hukumnya belum bisa dijalankan kecuali barang yang menjadi akad telah diserahkan8.
Akad Al-‘Aini (barang) ada lima, yaitu:
 Hibah,
 ‘Iaarah (peminjaman)
 Lidaa’ (titipan)
 Al-Qardh (pinjaman utang) dan
 Ar-rahn (gadai).
Sementara kaidah fiqh menegaskan bahwa At-Tabarru’ atau derma belum dianggap
sempurna dan memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum kecuali dengan adanya Al-Qabdhu atau
serah terima barang yang menjadi objek akad.

DISYAARIATKANNYA AR-RAHN DAN HUKUMNYA


Ar-Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Dalil di dalam al Qur`an,
yaitu firman Allah:

ٌۙ‫ن‬ ْ ٌۙ‫ض ُك ٌْۙمٌۙبَ ْعضًاٌۙفَ ْليُؤَدٌٌۙۙالَّ ِذي‬


ٌَۙ ‫اؤتُ ِم‬ ٌَۙ ‫نٌۙأَ ِم‬
ُ ‫نٌۙبَ ْع‬ َ ‫نٌۙ ُك ْنتُ ٌْۙمٌۙ َعلَىٌٌۙۙ َسفَرٌٌۙۙ َولَ ٌْۙمٌۙتَ ِج ُدواٌۙ َكاتِبًاٌۙفَ ِرهَانٌٌۙۙ َم ْقبُو‬
ٌْۙ ِ ‫ضةٌٌٌٌۙۙۖۙۙفَإ‬ ٌْۙ ِ‫َوإ‬
ٌَّۙ ‫نٌۙيَ ْكتُ ْمهَاٌۙفَإِنَّ ٌۙهٌُۙآثِمٌٌۙۙقَ ْلبُ ٌۙهٌٌٌُۙۖۙۙ َو‬
ٌَۙ ُ‫ّللاٌُۙبِ َماٌۙتَ ْع َمل‬
ٌۙ‫ونٌۙ َعلِيم‬ ٌْۙ ‫لٌۙتَ ْكتُ ُمواٌۙال َّشهَا َدٌۙةٌٌٌَۙۖۙۙ َو َم‬
ٌۙ َ ‫ّللاٌَۙ َربَّ ٌۙهٌٌٌُۙۖۙۙ َو‬ ٌِۙ َّ‫أَ َمانَتَ ٌۙهٌُۙ َو ْليَت‬
ٌَّۙ ٌۙ‫ق‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (al Baqarah/2:283)9.
Ulama sepakat bahwa Ar-Rahn hukumnya boleh, baik ketika di tengah perjalanan, maupun
ketika menetap. Dalam ayat diatas menunjukan manusia kepada sebuah bentuk watsiiqah (penguat,

8
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 108
9
https://almanhaj.or.id/14353-gadai-ar-rahn.html

4
jaminan) yang mudah bagi mereka dalam kondisi tidak menemukan seorang juru tulis yang
menuliskan utang atau transaksi tidak secara tunai yang mereka lakukan.
Dibolehkannya ar-rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana dikisahkan Ummul-
Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anha :

ٌۙ‫ٌٌۙۙو َسلَّ َمٌٌۙۙا ْشتَ َرىٌۙطَ َعا ًماٌۙ ِم ْنٌٌۙۙيَهُو ِديٌٌۙۙإِلَىٌۙأَ َجلٌٌۙۙ َو َرهَنَهٌٌُۙۙ ِدرْ عًاٌۙ ِم ْنٌٌۙۙ َح ِديد‬ َّ َّ‫صل‬
َ ‫ىٌّۙللاٌٌُۙۙ َعلَ ْي ِه‬ َّ ِ‫ٌۙأَ َّنٌٌۙۙالنَّب‬
َ ٌٌۙۙ‫ي‬
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang Yahudi bahan makanan
dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya” (HR al Bukhari, no. 2513 dan Muslim, no.
1603)10.
Hadits yang sama juga diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik r.a,

‫ٌۙدٌۙرعاٌۙلهٌۙعندٌۙيهوٌۙديٌۙباٌۙلمدٌۙينةٌۙفآٌۙخدٌۙمنهٌۙشعيراٌۙلهله‬:ٌۙ‫رهنٌۙرسولٌّۙللاٌۙصلٌّۙللاٌۙعليهٌۙوسلم‬
“Rasulullah saw. Pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan
darinya beliau telah mengambil gandum untuk keluarganya.” (HR. Ibnu Majah)11.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a , bahwasanya Rasulullah Saw bersabda

ٌُۙ ‫ان ٌۙ َمرْ هُونًا ٌۙ َو َعلَى ٌۙالَّ ِذي ٌۙيَرْ َك‬


ٌۙ‫ب‬ ٌُۙ ‫ن ٌۙال َّدرٌۙ ٌۙيُ ْش َر‬
ٌَۙ ‫ب ٌۙ ِبنَفَقَتِ ٌِۙه ٌۙإِ َذا ٌۙ َك‬ ٌُۙ َ‫ان ٌۙ َمرْ هُونًا ٌۙ َولَب‬
ٌَۙ ‫ب ٌۙ ِبنَفَقَتِ ٌِۙه ٌۙإِ َذا ٌۙ َك‬ ٌُۙ ‫ال َّر ْه‬
ٌُۙ ‫ن ٌۙيُرْ َك‬
ُ‫بٌۙالنَّفَقَ ٌۙة‬
ٌُۙ ‫َويَ ْش َر‬

Ar-rahn (gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan. Dan susu hewan
menyusui diminum, dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya
dan meminumnya (memberi) nafkah. (HR al Bukhari, no. 2512)12.
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

10
HR al Bukhari, no. 2513 dan Muslim, no. 1603
11
Al Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, (Lebanon: Darul Fikri), Jilid
ke-2, h.18.
12
Al Mughni (6/444) dan Taudhihul-Ahkam min Bulughul-Maram (4/460).

5
‫ٌۙلهٌۙغنمهٌۙوٌۙعليهٌۙغرمه‬,ٌۙ‫ليغلقٌۙالرهنٌۙمنٌۙصاٌۙحبهٌۙالذيٌۙرهنه‬
“Barang yang digadaikan tidak dipisahkan kepemilikannya dari pihak yang memilikinya yang
telah menggadaikannya bagi pihak yang menggadaikan kemanfaatan barang yang digadaikan dan
menjadi tanggungannya pula biaya pemeliharaan barang barang yang digadaikan”13. Maksud
hadits ini, yaitu pihak Al-Murtahin (orang yang menerima gadai) tidak bisa memiliki barang si
pihak Ar-Raahin, walaupun pihak Ar-Raahin tidak mampu untuk menebusnya dalam tempo yang
sudah ditentukan artinya barang yang digadaikan tidak boleh diputus dari pemiliknya (Ar-Raahin).
Adapun Ijma’, maka kaum Muslimin telah berijma’ tentang bolehnya akad Ar-Rahn.

ٌۙHUKUM AR-RAHNU MENURUT SYARA’


Ulama sepakat bahwa Ar-Rahnu tidak diwajibkan, namun Ar-Rahnu dihukumi jaa’iz (boleh)
Karena Ar-Rahnu adalah jaminan utang. Sebagaimana potongan ayat ‫“فرهان ٌۙمقبوضة‬Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”

RUKUN DAN ELEMEN-ELEMEN AR-RAHNU


Ar-Rahn memiliki empat unsur atau elemen-elemen14, yaitu:
 Ar-Raahin (pihak yang menggadaikan)
 Al-Murtahin (pihak yang menerima gadai)
 Al-Marhuun (barang yang digadaikan)
 Al-Marhuun bihi (Ad-Dain atau tanggungan utang pihak Ar-Raahin kepada Al-Murtahim
Menurut ulama Hanafiyyah rukun Ar-Rahnu yang pertama ijab dan qabul (sighoh), ijab
dari Ar-Raahin dan qabul dari Al-Murtahin, seperti akad-akad yang lain. Tetapi, akad Ar-Rahnu
belum sempurna dan belum berlaku mengikat (laazim) sebelum adanya serah terima barang yang
digadaikan. Rukun yang kedua yaitu ‘aaqid (pihak yang mengadakan akad), rukun ketiga
Marhuun (barang yang digadaikan), dan yang terakhir Al-Marhuun bihi (tanggungan utang).

BENTUK-BENTUK AR-RAHNU
Ar-Rahnu yang disepakati oleh ulama memiliki 3 (tiga) bentuk15,yaitu:

13
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 110
14
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 111
15
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 112

6
1) Ar-Rahnu yang terjadi dengan akad lain yang memunculkan adanya tanggungan utang, seperti
seorang penjual mensyaratkan kepada si pembeli yang membeli tidak secara tunai sampai batas
waktu yang ditentukan.
2) Ar-Rahnu yang terjadi setelah munculnya hak atau setelah munculnya tanggungan utang.
3) Ar-Rahnu yang terjadi sebelum munculnya hak, seperti perkataan Ar-Raahim “saya
menggadaikan barang ini kepadamu sebagai jaminan utang seratus yang baru akan kamu
pinjamkan kepadaku sekarang”Ar-Rahnu seperti ini sah menurut ulama Malikiyyah dan ulama
Hanafiyyah, karena itu adalah Watsiiqah atau penjaminan terhadap suatu hak. Namun menurut
ulama Syafi’iyyah dan zhahir ulama Hanabilah tidak sah, karena watsiiqoh terhadap suatu hak
tidak bisa tetap sebelum tetapnya hak tersebut, sama seperti asy-Syahaadah (persaksian).
Alasan kedua dianggap tidak sah, karena Ar-Rahnu adalah sesuatu yang mengikuti hak atau
dengan kata lain keberadaannya mengikuti keberadaan hak, maka Ar-Rahnu tidak boleh
mendahuluinya.

SYARAT-SYARAT AR-RAHN
Ar-Rahnu memiliki syarat-syarat terbentuknya akad [syarat aI-In'iqaad), syarat- syarat sah,
dan satu syarat al-Luzuum [syarat supaya akad berlaku mengikat) yaitu al-Qabdhu (barang yang
digadaikan telah diserahterimakan dan berada di tangan pihak al-Murtahin).
1. SYARAT-SYARAT KEDUA BELAH PIHAK YANG MELAKUKAN AKAD,(YAITU
AR. RAAHIN DAN AL-MURTAHIN)
a. Al-Ahliyyah (memiliki kelayakan dan kompetensi melakukan akad)
Al-Ahliyyah menurut ulama Hanafiyyah adalah ahIiyyatul bai' (kelayakan,kepantasan,
kompetensi melakukan akad jual beli). Setiap orang yang sah dan boleh melakukan transaksi jual
beli, maka sah dan boleh untuk melakukan akad ar-Rahnu. Karena ar-Rahnu adalah sebuah
tindakan atau pentasharufan yang berkaitan dengan harta seperti iual beli. Oleh karena itu, kedua
belah pihak yang melakukan akad ar-Rahnu harus memenuhi syarat-syarat orang yang sah
melakukan transaksi jual beli.Maka disyaratkan kedua belah pihak yang mengadakan akad ar-
Rahnu harus berakal dan mumayyiz. Berdasarkan hal ini, maka orang gila dan anak kecil yang
belum mumayyiz tidak boleh mengadakan akad ar-Rahnu atau dengan kata lain tidak boleh
menggadaikan dan menerima gadai.

7
b. Seorang wali atau washi menggadaikan harta si anak yang berada di bawah perwaliannya
menurut ulama Hanafiyyah.
Dalam hal ini, ada tiga hal yang akan dibahas, yaitu menggadaikan harta si anak sebagai
jaminan utang yang utang tersebut demi kepentingan si anak, menggadaikan harta si anak sebagai
jaminan utang yang utang tersebut demi kepentingan si wali, dan posisi si anak terhadap ar-Rahnu
itu setelah ia mencapai usia baligh.16
1) Menggadaikan harta si anak atau orang gila sebagai jaminan utang si anak atau orang
gila itu sendiri
Seorang wali atau washi atau al-Qayyim (orang yang bertanggung jawab terhadap urusan
orang yang dilarang mentasharufkan harta) boleh menggadaikan harta al-Qaashir (anak kecil,
orang gila atau yang sejenisnya) sebagai jaminan utang yang utang tersebut demi kepentingan al-
Qaashir untuk memenuhi kebutuhannya, atau disebabkan aktifitas pengelolaan, pemutaran dan
memperdagangkan harta al-Qaashir. Karena meminjam utang untuk kepentingan al-Qaashir
hukumnya boleh jika memang dibutuhkan, pengelolaan dan memperdagangkan hafta al-Qaashir
adalah untuk memutar dan mengembangkan harta tersebut, sementara ar-Rahnu adalah salah satu
bentuk memenuhi hak maka hukumnya boleh.
2, Menggadaikan harta al'Qaashir sebagai jaminan utang Pihak wali sendiri
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, prinsip al-lstihsaan menghendaki hukum
bolehnya seorang ayah atau kakek atau washi menggadaikan harta al-Qaashir sebagai jaminan
utang pribadi [maksudnya utang si ayah atau si kakek atauwashi, bukan utang untuk kepentingan
al-Qaashir)' Karena seorang wali atau washi boleh menitipkan harta anak yang berada di bawah
perwaliannya, dan tentunya hukum ini secara prioritas tentunya bisa berlaku di dalam ar-Rahnu'
Karena orang yang dititipi posisinya hanyalah sebagai orang yang diamanati yang karenanya ia
tidak menanggung atau tidak berkewajiban mengganti barang yang dititipkan kepadanya jika
mengalami kerusakan atau hilang, kecuali hal itu dikarenakan kelalaian dan keteledorannya atau
karena ada unsur pelanggaran.
3) Posisi si anak terhadap ar.Rahnu setelah dirinya mencapai usia akil baligh
Apabila si anak telah baligh, atau sesuatu yang menjadi penyebab seseorang dilarang
mentasharufkan harta telah hilang, Ialu ia menemukan hartanya telah tergadaikan, maka ia tidak

16
Tabyiinul Haqaa 'iq, juz 6 hlm. 72 dan setelahnya; Takmitatul Fathi, juz 8 hlm. 209 dan setelahnya; Ad-
Durrul Mukhtaar, juz 5 hlm. 352,364.

8
boleh membatalkan akad ar-Rahnu yang telah ada atau meminta kembali harta yang tergadaikan
tersebut hingga utang yang ada telah terbayar. Karena ar-Rahnu yang dilakukan oleh si wali telah
berlaku efektif dan mengikat. Di samping itu, ar-Rahnu tersebut juga dilakukan oleh orang yang
memang memiliki kewenangan untuk melakukannya. Baik apakah ar-Rahnu tersebut sebagai
jaminan utang si anak sendiri atau sebagai jaminan utang si wali sendiri atau sebagai jaminan utang
kedua-duanya sekaligus.

2. SYARAT.SYARAT ASH-SHIlGHAH (IJAB QABUL)


Ulama Hanafiyyah mensyaratkan bahwa akad ar-Rahnu tidak boleh digantungkan kepada
syarat tertentu dan tidak boleh disandarkan kepada waktu mendatang. Karena akad ar-Rahnu
memiliki unsur kesamaan dengan akad jual beli dilihat dari sisi bahwa arRahnuadalah jalan untuk
membayar utang dan mendapatkan pembayaran utang. Maka dari itu, tidak boleh digantungkan
kepada suatu syarat atau disandarkan kepada waktu yang akan datang. Apabila ar-Rahnu
digantungkan kepada suatu syarat atau disandarkan kepada waktu mendatang, maka ar-Rahnu
tersebut tidak sah, sebagaimana akad jual beli.
Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa syarat yang disyaratkan di dalam akad arRahnu ada tiga
macam yaitu:17
a. Syarat yang sah

Yaitu mensyaratkan di dalam akad arRahnu dengan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan
atau konsekuensi akad ar-Rahnu itu sendiri, seperti mensyaratkan diutamakan dan
diprioritaskannya pihak ql-Murtahinuntuk dibayar utangnya ketika pihak ar-Raahin tidak hanya
memiliki tanggungan utang kepada alMurtahin saja, akan tetapi juga memiliki tanggungan utang
kepada orang lain. Atau seperti mensyaratkan di dalam akad ar-Rahnu dengan sesuatu yang

mengandung kemaslahatan bagi akad ar-Rahnu itu sendiri dan tidak berkonsekuensi munculnya
unsur al-Jahaaloh (tidak diketahui dan tidak pasti), seperti mensyaratkan untuk mempersaksikan
akad ar-Rahnu yang ada. Akad ar-Rahnu yang dibarengi dengan bentuk-bentuk syarat seperti ini
sah dan syarat tersebut iuga sah, sama seperti akad jual beli.

17
Al-Badaaiii juz 6 hlm. 135.
18
Ad-Durull Mukhtaar 4 iuz 5 hlm. 3 74. Penulis kitab Ad -Durrul Mukhtaar berkata, Al-Ajal (penundaan,
penyandaran kepada waktu yang akan datang) dalam ar-Rahn meniadikannya tidak sah.,.

9
b. Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku

Yaitu mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung kemaslahatan dan tujuan,
seperti mensyaratkan hewan yang digadaikan tidak makan makanan ini dan itu umpamanya, maka
syarat seperti ini tidak sah dan tidak berlaku namun akad ar-Rahnu yang ada tetap sah.

c. Syarat yang tidak sah sekaligus menjadikan akad ar.Rahnu yang ada ikut menjadi tidak
sah

Seperti mensyaratkan dengan suatu syarat yang merugikan pihak al-Murtahin, seperti
mensyaratkan pihak al-Murtahin tidak boleh menjual barang yang digadaikan setelah utang yang
ada telah jatuh tempo-sedangkan pihak ar-Raahin belum juga membayar utang yang ada-kecuali
setelah satu bulan misalnya. Atau mensyaratkan pihak al-Murtahin tidak boleh menjual barang
yang digadaikan-setelah utang yang ada jatuh tempo sedangkan pihak ar-Raahin tidak melunasi
utang tersebutdengan harga lebih tinggi dari harga mirsl [harga standar). Atau mensyaratkan
dengan sesuatu yang merugikan pihak ar-Raahin dan menguntungkan pihak al-Murtahin, seperti
mensyaratkan pihak al-Murtahin boleh menggunakan dan memanfaatkan barang yang digadaikan
tanpa dibatasi dengan jangka waktu tertentu dan tanpa dijelaskan biaya penggunaan dan
pemanfaatan tersebu! atau mensyaratkan tambahan-tambahan yang dihasilkan oleh sesuatu yang
digadaikan diberikan kepada pihak al-Murtahin.

3. SYARAT-SYARAT AL-MARHUUN BIHI


Al-Marhuun bihi adalah hak yang karenanya barang yang digadaikan diberikan, yaitu
tanggungan utang pihak ar-Raahin kepada pihak al-Murtahin Syarat-syarat al-Marhuun bihi
menurut ulama Hanafiyyah adalah seperti berikut.18
a. Al-Marhuun bihi harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya

Karena jika al-Marhuun bihi bukan sebuah hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya,
maka tidak ada alasan untuk memberikan sesuatu yang digadaikan sebagai jaminannya.4 Ulama
Hanafiyyah mengungkapkan syarat ini seperti berikut, al-Marhuun bihi harus berupa utangyang
ditanggung, maksudnya utang tersebut adalah utang yang wajib dibayar dan diserahkan oleh ar-
Raahfn. Namun ungkapan yang kami gunakan untuk menielaskan syarat pertama ini lebih jelas.

19
Mudzakkirah Bahts Ar-Rahn yang ditulis oleh syaikh Ali Al-Khafif, hlm. 45

10
Karena suatu hak yang menjadi al-Marhuun bihi ada kalanya berbentukad-Dain (utang), ada
kalanya berbentuk alAin [barang atau harta yang wujudnya sudah konkrit, kebalikan dari ad-Dain
atau utang) yang wajib diserahkan kepada pemiliknya.
b. Al-Marhuun bihi harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dipenuhi dan dibayar
dari al-Marhuun (barang yang digadaikan).

Apabila al-Marhuun bfhi tidak mungkin untuk terbayarkan dari al-Marhuun, maka akad
ar-Rahnu tidak sah. Karena ablrtihaan [menerima gadai) tujuannya adalah untuk al-lstiifaa'
(mendapatkan pembayaran hak atau utang). Maka karena itu, apabila elemen al-Istiifaa'tidak ada,
berarti ar-Rahnu dan tujuannya juga tidak ada. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah sebuah akad
ar-Rahnu dengan al-Marhuun bihi berupa hal-hal seperti berikut,tujuannya juga tidak ada.
Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah sebuah akad ar-Rahnu dengan al-Marhuun bihi berupa hal-
hal seperti berikut,
a. Al-Marhuun bihi berupa qishah atau hukuman hadd, karena tidak mungkin qishash atau hadd
terpenuhi dari barang yang digadaikan. Akan tetapi boleh mengadakan ar-Rahnu dengan al-
Marhuun bihi berupa denda jinaayah (kejahatan), karena denda jinayah itu memungkinkan untuk
terbayarkan dari al-Marhuun.
b. Al-Marhuun bihi berupa al-Kafaalah (jaminan) dengan al Makfuul bihi berupa jiwa atau diri
seseorang [ashiil), maksudnya iaminan menghadirkan seseorang (ashiil) ke majlis pengadilan dan
lain sebagainya. fadi, tidak boleh mengadakan akad ar-Rahnu dengan al-Marhuun bihi berupa al-
Kafaalah dengan al-Makfuul bihi berupa diri ashifl. Sebab al-Makfuul bihi (sesuatu yang dijamin)
tidak mungkin untuk dipenuhi dari al-Marhuun.
c. Al-Marhuun bihi berupa hak syuf'ah, maksudnya tidak sah mengambil barang gadaian dari pihak
pembeli yang berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dibelinya karena adanya hak syuf'ah.
Oleh karena itu, ary-Syafii' (pihak yang memiliki hak ryuf'ah) tidak boleh berkata kepada pihak
pembeli, "Berikan kepada saya barang gadaian sebagai jaminan rumah yang menjadi objek
syuf'ah." Karena hak qtuf'ah tidak mungkin untuk dipenuhi dari al-Marhuun, maka hak gtuf'ah
tidak boleh dijadikan sebagai al-Marhuun bihi.
d. Al-Marhuun bihi berupa upah atau pekerjaan yang haram, seperti upah perempuan yang
bertugas menangisi dan meratapi mayat (an-Naa'ihah), upah biduanita, atau upah penari. Seperti
seseorang menyewa seorang wanita an-Naa'ihah atau penyanyi atau penari, lalu ia menyerahkan

11
barang gadaian dengan al-Marhuun bihi berupa upah atas pekerjaan haram tersebut, maka akad ar-
Rahnu seperti ini tidak sah, karena tidak sahnya akad ijaarah (sewa atau mempekerjakan) tersebut.
c. Hak yang menjadi al-Marhuun bihi harus diketahui dengan jelas dan pasti
Oleh karena itu, tidak sah suatu akad arRahnu dengan al-Marhuun bihi berupa hak yang
tidak diketahui dengan jelas dan pasti. Seandainya ada seseorang memiliki dua tanggungan utang
terhadap orang lain, lalu ia menyerahkan barang gadaian kepadanya sebagai jaminan salah satu
dari dua utang tersebut tanpa menentukan utang yang mana, maka ar-Rahnu tersebut tidak sah.

4. SYARAT SEMPURNA AKAD AR.RAHNU, YAITU AL.QABDHU (AL-MARHUUN


DISERAHTERIMAKAN KE TANGAN PIHAK AL-MURTAHIN)
Secara garis besar fuqaha sepakat bahwa al-Qabdhu adalah salah satu syarat akad arRahnu.
Hal ini berdasarkan ayat Al-Quran QS.Al-Baqarah:283 yang artinya:
“...maka hendaklah ada barang tanggungan yong dipegang (oleh yang berpiutang)...." (al-
Baqarah: 283)
A. Tata cara dan bentuk al-Qabdhu, atau sesuatu yang karenanya al-Qabdhu bisa terealisasi

Fuqaha sepakat bahwa al-Qabdhu, jika al-Marhuun berupa harta tidak bergerak adalah,
dengan cara menyerahkannya dalam bentuk penyerahan yang sesungguhnya dan nyata, atau
dengan cara at-Takhliyah, yaitu menghilangkan sesuatu yang bisa menghalangi al-Qabdhu atau
yang bisa menghalangi mungkinnya untuk meletakkan "tangan" atau kekuasaan atas al-Marhuun
dengan tidak adanya hal-hal yang menghalanginya, lalu ar-Raahin membiarkan lat-Takhliyah)
antara al-Murtahin dan al-Marhuun serta menjadikannya bisa untuk menetapkan pemegangan
terhadap al-Marhuun dan meletakkannya di bawah kekuasaan dan pegangannya.

B. Penggadaian formalitas harta tidak bergerak atau sesuatu yang bisa menggantikan
fungsi al-Qabdhu

Secara zhahir, yang dimaksudkan dari syarat al-Qabdhu terhadap al-Marhuun (barang
yang digadaikan) adalah memberikan jaminan kepada pihak ad-Daa'in, yaitu al-Murtahin, serta
memberikan rasa aman dan percaya di dalam dirinya dengan memberinya kuasa untuk menahan
dan memegang al-Marhuun di bawah kekuasaannya, supaya ia bisa memperoleh haknya dari al-
Marhuun itu. fadi, yangdimaksudkan dari pensyaratan ol-Qabdhu bukanlah hanya bersifat murni
at-Ta'abbud,maksudnya melaksanakan apa yang diperintahkan tanpa ada makna dan tujuannya,

12
akan tetapi di balik pensyaratan al-Qabdhu itu terdapat alasan atau maksud dan tujuan seperti yang
disebutkan di atas.

C. Syarat-syarat AL-Qabdhu
1. Al-Qabdhu harus atas izin pihak Ar-Raahin
2. Ketika dilakukan al{aMhu, kedua belah pihak yang melakukan akad ar' Rahnu harus memiliki
kelaYakan dan kompetensi (al-Ahliyyah) melakukan akad
3. Penyerahterimaan atau al-Qabdhu harus dilakukan dalam bentuk yang permanen (maksudnya,
al.Marhuun harus selalu berada didalam genggaman pihak al-Murtahin)

KESIMPULAN
Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo,
maka penggadai meminta kepada murtahin untuk menyelesaikan permasalahan hutangnya,
dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila
rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang
gadainya, maka murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila rahin tidak mampu melunasi
seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (ar-rahin) menjual
sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari murtahin, dan dalam pembayaran
hutang-hutangnya didahulukan murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut
enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh
menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga
menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari
nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Adapun
Malikiyah, mereka memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa
memenjarakannya, dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan
Hanafiyah memandang, murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan
meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada ar-rahin tidak maumelunasinya.
Pemenrintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja,
sampai ia menjualnya untuk menolak kezhaliman.

13
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan
tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan
tujuan itu telah terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya
dampak negatif di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai
tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun, bila tidak
dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nilai barang gadai
dengan hutangnya, dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalahan gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang
dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni
terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai,
walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam
ini, sangat jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Lubaab, juz 2 hlm. 54: Ad-Durrul Mukhtaar, juz 5 hlm. 339: Al-Mabsuuth, 21 hlm. 63.

Hariman Surya Siregar, Koko Khoerudin, Fiqih Muamalah Teori dan Implementasinya

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu hal 106

Al-Qur’an dan Terjemah


Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 105.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu hal 107

Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 160

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 108

https://almanhaj.or.id/14353-gadai-ar-rahn.html
HR al Bukhari, no. 2513 dan Muslim, no. 1603

Al Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, (Lebanon: Darul
Fikri), Jilid ke-2, h.18.

14
Al Mughni (6/444) dan Taudhihul-Ahkam min Bulughul-Maram (4/460).

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 110

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 111

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu,terj. h. 112

Tabyiinul Haqaa 'iq, juz 6 hlm. 72 dan setelahnya; Takmitatul Fathi, juz 8 hlm. 209 dan setelahnya;
Ad-Durrul Mukhtaar, juz 5 hlm. 352,364.

Al-Badaaiii juz 6 hlm. 135.

Ad-Durull Mukhtaar 4 iuz 5 hlm. 3 74. Penulis kitab Ad -Durrul Mukhtaar

Ustadz Kholid Syamhudi Lc: Al-Rahn (gadai)

15
16

Anda mungkin juga menyukai