Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENGERTIAN DAN SUMBER HUKUM MAWAWARIS

A. Pengertian fiqh mawaris


1. Pengertian fiqh
 Secara etimologi, Fiqih berasal dari bahasa arab yaitu dari kata ‫ الفهم‬yang berarti
“paham”. Arti ini sesuai dengan arti fikih dalam salah satu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

‫َم ْن ُيِر ِد َهللا َخ ْيًرا ُيَفِّقْهُه ِفى الِّدْيِن‬


Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah swt.. menjadi orang yang baik di
sisi-Nya, niscaya diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam
pengetahuan agama”
 Secara terminologi, Fiqih adalah:

‫الِع ْلُم ِباَألْح َك اِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة اْلُم ْك َتَسِب ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة‬
Artinya: “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang
digali dari dalil-dalil yang terperinci/tafsili (al-qur’an dan hadits)”.

2. Pengertian mawaris
 Mawaris secara istilah kata mawaris berakar dari kata warasa ( ‫ )ورث‬yang
artinya: peralihan harta orang yang sudah meninggal dunia (Pewaris) kepada
orang yang masih hidup (ahli waris).
 kata yang semakna dengan kata warasa ( ‫ ) ورث‬yaitu Faraidh (‫ )فرائض‬yang
jamaknya adalah Faridlah (‫ )فرضله‬/ Mafrudlah ( ‫ ) مفرضله‬yang artinya : bagian
yang telah ditetapkan.
 Arti lain:
 Taqdir (‫ )تقدير‬: Suatu ketentuan (Qs. 2:237)
 Ketetapan yang pasti (Qs. 4:7)
 Menurunkan (Qs. 28:85)
 Tirkah ( ‫ ) تركة‬: Harta peninggalan (Qs. 4:12)
3. Pengertian fiqh mawaris
 Secara terminologi, hukum waris adalah:

Artinya : “Hukum yang berhubungan dengan pembagian harta, pengetahuan


tentang cara perhitungan terhadap harta, dan bagian-bagian yang
wajib magi masing-masing ahli waris”.
Definisi lain:

Artinya: “Pengetahuan tentang orang-orang yang berstatus ahli waris, orang


yang buka ahli waris, jumlah hak yang mereka terima, dan tata cara
pembagiannya”.
B. Sumber Hukum Waris
Sumber utama hukum waris terdiri dari teks yang terdapat dalam al-Qur’an dan
sunnah Nabi. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara langsung mengatur waris itu
adalah sebagai berikut:
1. Ayat-ayat al-Qur’an:
a. Al-Qur’an surat al-Baqarah(2) ayat 188
‫َو اَل َتۡأ ُك ُلٓو ْا َأۡم َٰو َلُك م َبۡي َنُك م ِبٱۡل َٰب ِط ِل َو ُتۡد ُلوْا ِبَهٓا ِإَلى ٱۡل ُح َّك اِم ِلَت ۡأ ُك ُلوْا َفِريٗق ا ِّم ۡن َأۡم َٰو ِل ٱلَّن اِس ِب ٱِإۡل ۡث ِم َو َأنُتۡم‬
‫َتۡع َلُم وَن‬
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

b. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7


‫لِّر َج اِل َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َۖن َو ِللِّنَس ۤا ِء َنِص ْيٌب ِّمَّم ا َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َن ِمَّم ا َقَّل‬
‫ِم ْنُه َاْو َك ُثَر ۗ َنِص ْيًبا َّم ْفُرْو ًضا‬
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”.
c. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 8
‫َو ِإَذ ا َحَض َر ٱۡل ِقۡس َم َة ُأْو ُلوْا ٱۡل ُقۡر َبٰى َو ٱۡل َيَٰت َم ٰى َو ٱۡل َم َٰس ِكيُن َفٱۡر ُز ُقوُهم ِّم ۡن ُه َو ُقوُلوْا َلُهۡم َقۡو اٗل َّم ۡع ُر وٗف ا‬
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik”.

d. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 11


‫ُيوِص يُك ُم ٱُهَّلل ِفٓي َأۡو َٰل ِد ُك ۖۡم ِللَّذ َك ِر ِم ۡث ُل َح ِّظ ٱُأۡلنَثَيۡي ِۚن َفِإن ُك َّن ِنَس ٓاٗء َف ۡو َق ٱۡث َنَتۡي ِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا َت َر َۖك َو ِإن‬
‫د َف ِإن َّلۡم َيُك ن َّل ۥُه‬ٞۚ ‫َكاَنۡت َٰو ِح َد ٗة َفَلَها ٱلِّنۡص ُۚف َو َأِلَبَو ۡي ِه ِلُك ِّل َٰو ِحٖد ِّم ۡن ُهَم ا ٱلُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِإن َك اَن َل ۥُه َو َل‬
‫ة َفُأِلِّمِه ٱلُّس ُد ُۚس ِم ۢن َبۡع ِد َو ِص َّيٖة ُيوِص ي ِبَه ٓا َأۡو َد ۡي ٍۗن‬ٞ ‫د َو َو ِرَث ٓۥُه َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه ٱلُّثُلُۚث َفِإن َك اَن َل ٓۥُه ِإۡخ َو‬ٞ‫َو َل‬
‫َء اَبٓاُؤ ُك ۡم َو َأۡب َنٓاُؤ ُك ۡم اَل َتۡد ُروَن َأُّيُهۡم َأۡق َر ُب َلُك ۡم َنۡف ٗع ۚا َفِر يَض ٗة ِّم َن ٱِۗهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِليًم ا َح ِكيٗم ا‬
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.

e. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 12


‫د َفَلُك ُم ٱلُّر ُب ُع ِمَّم ا َت َر ۡك َۚن ِم ۢن‬ٞ ‫د َفِإن َك اَن َلُهَّن َو َل‬ٞۚ‫۞َو َلُك ۡم ِنۡص ُف َم ا َتَر َك َأۡز َٰو ُج ُك ۡم ِإن َّلۡم َيُك ن َّلُهَّن َو َل‬
‫د َفَلُهَّن‬ٞ ‫د َف ِإن َك اَن َلُك ۡم َو َل‬ٞۚ ‫َبۡع ِد َو ِص َّيٖة ُيوِص يَن ِبَهٓا َأۡو َد ۡي ٖۚن َو َلُهَّن ٱلُّر ُبُع ِمَّم ا َت َر ۡك ُتۡم ِإن َّلۡم َيُك ن َّلُك ۡم َو َل‬
‫ة َو َل ٓۥُه َأٌخ‬ٞ‫ل ُي وَر ُث َك َٰل َل ًة َأِو ٱۡم َر َأ‬ٞ‫ٱلُّثُم ُن ِمَّم ا َتَر ۡك ُتۚم ِّم ۢن َبۡع ِد َو ِص َّيٖة ُتوُصوَن ِبَهٓا َأۡو َد ۡي ٖۗن َو ِإن َك اَن َر ُج‬
‫َٰذ‬
‫ت َفِلُك ِّل َٰو ِح ٖد ِّم ۡن ُهَم ا ٱلُّسُد ُۚس َفِإن َك اُنٓو ْا َأۡك َث َر ِم ن ِل َك َفُهۡم ُش َر َك ٓاُء ِفي ٱلُّثُلِۚث ِم ۢن َبۡع ِد َوِص َّيٖة‬ٞ ‫َأۡو ُأۡخ‬
‫م‬ٞ‫ُيوَص ٰى ِبَهٓا َأۡو َد ۡي ٍن َغ ۡي َر ُمَض ٓاّٖۚر َو ِص َّيٗة ِّم َن ٱِۗهَّلل َو ٱُهَّلل َع ِليٌم َح ِلي‬
Arinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun”.

f. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 13


‫ِتۡل َك ُح ُدوُد ٱِۚهَّلل َو َم ن ُيِط ِع ٱَهَّلل َو َر ُسوَل ۥُه ُيۡد ِخ ۡل ُه َج َّٰن ٖت َتۡج ِري ِم ن َتۡح ِتَها ٱَأۡلۡن َٰه ُر َٰخ ِلِد يَن ِفيَهۚا َو َٰذ ِلَك ٱۡل َف ۡو ُز‬
‫ٱۡل َعِظ يُم‬
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”.

g. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat14


‫ن‬ٞ‫ب ُّم ِهي‬ٞ‫َو َم ن َيۡع ِص ٱَهَّلل َو َر ُسوَل ۥُه َو َيَتَع َّد ُح ُد وَد ۥُه ُيۡد ِخ ۡل ُه َناًرا َٰخ ِلٗد ا ِفيَها َو َل ۥُه َع َذ ا‬
Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”.
h. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 33
‫َو ِلُك ّٖل َج َع ۡل َنا َم َٰو ِلَي ِمَّم ا َتَر َك ٱۡل َٰو ِلَداِن َو ٱَأۡلۡق َر ُبوَۚن َو ٱَّل ِذ يَن َع َق َد ۡت َأۡي َٰم ُنُك ۡم َٔ‍َفاُتوُهۡم َنِص يَبُهۚۡم ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن‬
‫َع َلٰى ُك ِّل َش ۡي ٖء َش ِهيًدا‬
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

i. Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 176


‫َٰل‬
‫ت َفَلَها ِنۡص ُف َم ا َت َر َۚك َو ُه َو‬ٞ ‫د َو َل ٓۥُه ُأۡخ‬ٞ‫َيۡس َتۡف ُتوَنَك ُقِل ٱُهَّلل ُيۡف ِتيُك ۡم ِفي ٱۡل َك َلِۚة ِإِن ٱۡم ُر ٌؤ ْا َهَلَك َلۡي َس َل ۥُه َو َل‬
‫د َفِإن َك اَنَتا ٱۡث َنَتۡي ِن َفَلُهَم ا ٱلُّثُلَث اِن ِمَّم ا َت َر َۚك َو ِإن َك اُنٓو ْا ِإۡخ َو ٗة ِّر َج ااٗل َو ِنَس ٓاٗء‬ٞۚ‫َيِر ُثَهٓا ِإن َّلۡم َيُك ن َّلَها َو َل‬
‫َفِللَّذ َك ِر ِم ۡث ُل َح ِّظ ٱُأۡلنَثَيۡي ِۗن ُيَبِّيُن ٱُهَّلل َلُك ۡم َأن َتِض ُّلوْۗا َو ٱُهَّلل ِبُك ِّل َش ۡي ٍء َع ِليُۢم‬
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

j. Al-Qur’an surat al-Anfal (8) ayat 75


‫َأ‬ ‫ۚۡم ُأ ْا َأۡل‬ ‫ُأ َٰٓل‬ ‫ْا‬ ‫ْا‬ ‫ْا‬ ‫َّل‬
‫َو ٱ ِذ يَن َء اَم ُنو ِم ۢن َبۡع ُد َو َهاَج ُرو َو َٰج َهُدو َم َع ُك ۡم َف ْو ِئَك ِم نُك َو ْو ُلو ٱ ۡر َح اِم َبۡع ُض ُهۡم ۡو َلٰى ِبَبۡع ٖض‬
‫ِفي ِكَٰت ِب ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل ِبُك ِّل َش ۡي ٍء َع ِليُۢم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-
orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

2. Hadits Nabi SAW:


Hadits Nabi SAW yang secara langsung mengatur hokum waris, diantaranya
adalah:
a. Hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang berbunyi
sebagai berikut:
b. Hadits dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Daud,
at-tirmidzi dan Ibnu Majah, sebagai berikut:
c. Hadits dari Abu Hurairah ra menurut riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah, yang
berbunyi:
d. Hadits riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, sebagai berikut:

BAB II
ASAS-ASAS HUKUM WARIS

Sumber hukum waris Islam yang bersumber dari wahyu mengandung berbagai asas yang
dalam beberapa hal berlaku pula pada hokum waris yang berdasarkan hasil ijtihad manusia.
Oleh karena bersumber dari wahyu maka asas-asas dalam hokum kewarisan memperlihatkan
bentuk karakteristik hokum kewarisan itu sendiri. Ada lima asas hukum waris Islam, yaitu:
A. Asas Ijbari
Ijbari adalah bahasa Arab yang berarti paksaan. Secara terminology, Ijbari ialah
melakukan sesuatu diluar kehendak. Hukum waris mempunyai asas Ijbari, yang berarti
bahwa peralihan harta dari orang yang telah mati kepada ahli waris berlaku secara
otomatis menurut kehendak Allah tanpa adannya otoritas pewaris atau ahli waris.
Pewaris (sebelum meninggal dunia) tidak dapat menolak peralihan hartanya kepada ahli
waris, kecuali dalam batas tertentu yang telah ditetapkan. Ahli waris juga juga terpaksa
menerima kenyataan peralihan harta kepadanaya sesuai saham yang telah ditentukan.
Asas ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu:
1. Aspek peralihan harta
Aspek ini dapat diperhatikan dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4) ayat 7. Ayat ini
menjelaskan bahwa orang laki-laki dan perempuan ada “nashib” dari harta
peninggalan orang tua dan kerabat. Kata “nashib” berarti bagian, saham atau jatah
dari seseorang (pewaris). Oleh sebab itu, harta yang ditinggalkan pewaris, disadari
atau tidak, terdapat hak waris. Pewaris tidak perlu menjanjikan akan memberi
sebelum meninggal, atau ahli waris tidak perlu meminta haknya itu.
2. Aspek jumlah harta yang berpindah
Aspek jumlah harta yang berpindah sudah jelas ditentukan. Pewaris atau ahli waris
tidak berhak menambah atau mengurangi. Kata “mafrudhan” secara etimologis
berarti ditetapkan atau diperhitungkan. Dalam terminologi fiqh, “mafrudhan” berarti
sesuatu yang diwajibkan Allah kepada hambanya. Dalam kaitannya dengan
kewarisan, berarti bahwa jumlah harta itu sudah ditetapkan dan wajib dilakukan
secara mengikat dan memaksa.
3. Aspek orang yang menerima perlihan harta
Berarti bahwa orang-orang yang berhak atas harta warisan sudah ditetapkan secara
pasti. Manusia tidak memiliki otoritas sedikitpun untuk mengubah atau menukarnya.
Aturan ini dapat dipahami dala al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 11,12 dan 176. Peluang
yang diberikan Allah adalah untuk memperluas jangkauan ahli waris sesuai dengan
pola hubungan waris.
B. Asas Bilateral
Asas ini berarti bahwa seseorang menerima hak waris dari kedua pihak garis
kerabat, yaitu kerabat garis keturunan laki-laki dan kerabat garis keturunan perempuan.
Asas ini dapat dipahami dari al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7, yang menjelaskan
bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayah dan pihak ibu. Begitu
pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayah dan pihak ibu.
Pada surat an-Nisa’ (4) ayat 11 ditegaskan pula bahwa anak perempuan berhak menerima
hara warisan dari orang tua sebagaimana yang diperoleh anak laki-laki, denga bandingan
satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan. Ibu berhak menerima harta
anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Ayah juga berhak mewarisi anaknya yang
laki-laki maupun yang perempuan.
Demikian pula dapat dilihat dari surat an-Nisa’ (4) ayat 12, bahwa baik duda
maupun janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi saudara laki-laki dan saudara
perempuan dan sebaliknya.
C. Asas Individual
Asas individual berarti bahwa harta warisan dapat dibagi untuk dimiliki secara
perorangan. Keseluruhan harta dinyatakan dalam nilai tertentuyang mungkin dibagi-bagi
kepada setiang ahli waris yang berhak menurut jatah masing-masing. Setiap ahli waris
berhak atas bagiannya tanpa terikat kepad ahli waris lain.
Sifat individual dalam hukum waris itu dapat ditelusuri dari ayat-ayat kewarisan.
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7 secara umum menjelaskan bahwa laki-laki dan
perempuan menerima hak dari orang tua dan kerabatnya, baik harta yang ditinggalkan itu
sedikit atau banyak. Bagian masing-masing sudah ditentukan yang harus dibagikan
kepada yang berhak. Pembagian secara individual ini adalah mengikat dan wajib
dijalankan oleh setiap ahli waris dengan sanksi yang berat di akhirat atas pelanggaran itu
sesuai al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 13 dan 14.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa insan sebagai
pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang
dalam istilah ushul fiqh disebut “ahliyah al-wujub”. Akan tetapi berlaku pula ketentuan
lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqh disebut “ahliyah al-ada’ ”.
Dalam artian, apabila ada diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan cakap
bertindak, harta yang diperoleh harus berada dibawah pengampuan walinya, sedangkan
nafkahnya dapat diambil dari hartanya itu. Dasarnya firman Allah surat an-Nisa’ (4) ayat
5 yang menyatakan tidak bolehnya menyerahkan harta kepada orang yang masih safih
(orang yang belum dewasa, bodoh, gila, dan seumpanya).
D. Asas Keadilan
Keadalian dalam kewarisan Islam merupakan keadailan menurut Alllah SWT
sebagai hakim yang maha adil lagi maha agung. Yang mana keadilan Allah SWT tidak
dapat dibandingkan dengan keadilan manusia, karena manusia adalah makhluk Allah
SWT. Sangat mustahil atau tidak masuk akal jika keadilan Allah SWT diragukan oleh
makhluk-Nya.
Secara filosofis, keadilan dalam hukum waris adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Jadi, secara prinsip dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan kelamin tidak menentukan
dalam hak kewarisan. Artinya antara laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat hak
warisan sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
Hak kewarisan yang diterima ahli waris adalah sebagai pelanjut tanggung jawab
pewaris terhadap keluarganya, sehingga kadar yang diterima masing-masing ahli waris
berimbang dengan dengan perbedaan tanggung jawab seseorang. Seorang laki-laki
memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga suatu hal yang
wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab ini Allah jelaskan
dalam beberapa surat dalam al-Quran, diantaranya yaitu:
1. Al-Baqarah (2) ayat 233
‫َأَر اَد َأن ُيِتَّم ٱلَّر َض اَع َۚة َو َع َلى ٱۡل َم ۡو ُل وِد َل ۥُه ِرۡز ُقُهَّن‬ ‫َو ٱۡل َٰو ِل َٰد ُت ُيۡر ِض ۡع َن َأۡو َٰل َد ُهَّن َح ۡو َلۡي ِن َك اِم َلۡي ِۖن ِلَم ۡن‬
‫د َّل ۥُه ِبَو َل ۚۦ‬ٞ‫ُتَض ٓاَّر َٰو ِل َد ُۢة ِبَو َل ِد َها َو اَل َم ۡو ُل و‬
‫ِدِه َو َع َلى‬ ‫َو ِكۡس َو ُتُهَّن ِبٱۡل َم ۡع ُروِۚف اَل ُتَك َّل ُف َنۡف ٌس ِإاَّل ُو ۡس َعَهۚا اَل‬
‫ٱۡل َو اِر ِث ِم ۡث ُل َٰذ ِل َۗك َف ِإۡن َأَر اَدا ِفَص ااًل َعن َت َر اٖض ِّم ۡن ُهَم ا َو َتَش اُو ٖر َفاَل ُج َن اَح َع َلۡي ِهَم ۗا َو ِإۡن َأَر دُّتۡم َأن‬
‫َتۡس َتۡر ِض ُع ٓو ْا َأۡو َٰل َد ُك ۡم َفاَل ُجَناَح َع َلۡي ُك ۡم ِإَذ ا َس َّلۡم ُتم َّم ٓا َء اَتۡي ُتم ِب ٱۡل َم ۡع ُروِۗف َو ٱَّتُق وْا ٱَهَّلل َو ٱۡع َلُم ٓو ْا َأَّن ٱَهَّلل ِبَم ا‬
‫ر‬ٞ‫َتۡع َم ُلوَن َبِص ي‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.”

2. An-Nisa’ (4) ayat 34


‫ۚٗة‬
‫َو َء اُتوْا ٱلِّنَس ٓاَء َص ُد َٰق ِتِهَّن ِنۡح َل َفِإن ِط ۡب َن َلُك ۡم َعن َش ۡي ٖء ِّم ۡن ُه َنۡف ٗس ا َفُك ُلوُه َهِنٗٔ‍ٓي ا َّم ِر ٗٔ‍ٓي ا‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

3. Ath-Talaq (65) ayat 6


‫َأۡس ِكُنوُهَّن ِم ۡن َح ۡي ُث َس َك نُتم ِّم ن ُو ۡج ِد ُك ۡم َو اَل ُتَض ٓاُّر وُهَّن ِلُتَض ِّيُقوْا َع َلۡي ِهَّۚن َو ِإن ُك َّن ُأْو َٰل ِت َح ۡم ٖل َف َأنِفُقوْا‬
‫َع َلۡي ِهَّن َح َّتٰى َيَض ۡع َن َح ۡم َلُهَّۚن َف ِإۡن َأۡر َض ۡع َن َلُك ۡم َٔ‍َفاُتوُهَّن ُأُج وَر ُهَّن َو ۡأ َتِم ُروْا َبۡي َنُك م ِبَم ۡع ُروٖۖف َو ِإن‬
‫َتَع اَس ۡر ُتۡم َفَس ُتۡر ِض ُع َل ٓۥُه ُأۡخ َر ٰى‬
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”.

E. Asas semata-mata karena kematian


Hukum Islam menetapkan menetapkan bahwa peralihan harta dari seseorang kepada
orang lain atas nama kewarisan berlaku sesudah meninggalnya pemilik harta. Asas ini
berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain secara kewarisan
selama pemilik harta masih hidup. Asas kematian ini dapat diperhatikan dari
penggunaan kara warasa dalam al-qur’an. Misalnya, pada surat an-Nisa’ (4) ayat 12 dan
176. Dari pemahaman kata-kata tersebut terlihat bahwa peralihan harta berlaku sesudah
pemilik harta itu mati.
Asas kematian ini mempunyai kaitan yang erat dengan asa ijbari. Apabila seseorang
telah memenuhi syarat sebagai subyek hukum, maka dapat bertindak atas hartanya yang
menyangkut dengan kemauan atau kehendaknya selama ia hidup. Namun demikian ia
tidak mempunya kebebasan untuk mengatur hartanya itu untuk dipenggunaan sesudah
matinya. Kebebasan untuk bertindak dengan maksimal sepertiga harta maka tindakannya
tidak dapat disebut kewarisan.

BAB III
FAKTOR HUBUNGAN KEWARISAN DAN FAKTOR PENGHALANG
KEWARISAN

1. Faktor Hubungan Kewarisan


Hubungan kewarisan antara seseorang dengan orang lain disebabkan oleh dua
faktor, yaitu adanya hubungan kekerabatan (nasab) dan adanya hubungan perkawinan.
a. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab
memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termaksud unsure
causalitas (sebab-akibat) adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan
dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah
firman Allah surat an-Nisa’ (4) ayat 7:
‫ب ِّمَّم ا َت َر َك ٱۡل َٰو ِل َداِن َو ٱَأۡلۡق َر ُب وَن َو ِللِّنَس ٓاِء‬ٞ‫ب ِّمَّم ا َتَر َك ٱۡل َٰو ِلَداِن َو ٱَأۡلۡق َر ُبوَن َو ِللِّنَس ٓاِء َنِص ي‬ٞ‫ِّللِّر َج اِل َنِص ي‬
‫ب ِّمَّم ا َتَر َك ٱۡل َٰو ِلَداِن َو ٱَأۡلۡق َر ُبوَن َّم ۡف ُروٗض ا‬ٞ‫َنِص ي‬
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”.
Demikian pula dalam surat al-Anfal (8) ayat 75:
‫َأ‬ ‫ۚۡم ُأ ْا َأۡل‬ ‫ُأ َٰٓل‬ ‫ْا‬ ‫ْا‬ ‫ْا‬ ‫َّل‬
‫َو ٱ ِذ يَن َء اَم ُنو ِم ۢن َبۡع ُد َو َهاَج ُرو َو َٰج َهُدو َم َع ُك ۡم َف ْو ِئ َك ِم نُك َو ْو ُل و ٱ ۡر َح اِم َبۡع ُض ُهۡم ۡو َلٰى ِبَبۡع ٖض‬
‫ِفي ِكَٰت ِب ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل ِبُك ِّل َش ۡي ٍء َع ِليُۢم‬
Artinya “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-
orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Berikut bagan kewarisan karena hubungan kekerabatan:

Buyut pr Buyut pr Buyut pr Buyut pr

Anak lk Paman
kandung Kakek Nenek Nenek
Anak lk Saudara lk
Saudara lk kandung
kandung

Paman kandung Ayah Ibu


Saudara pr kandung

Paman seayah Pewaris Saudara lk seayah Anak lk Saudara lk


seayah

Saudara pr seayah
Anak lk Anak pr
Anak lk Paman
seayah

b. Hubungan perkawinan
Selain hubungan darah, adanya hubungan kewarisan juga disebabkan terjalinnya
hubungan perkawinan. Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 12 menyatakan adanya hak kewarisan
suami dan isteri. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan isteri didasarkan kepada
dua ketentuan:
1. Bahwa antara keduanya telah berlaku akad nikah yang sah, yaitu perkawinan yang syarat
dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama.
Semata-mata berlangsunng akad nikah yang sah, dengan meninggalnya salah satu pihak,
pihak yang hidup lebih lama sudah berstatus ahli waris.
2. Bahwa di antara suami dan isteri masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat
meninggalnya salah satu pihak. Termaksud dalam ketentuan ini jika salah satu pihak
meninggal dunia, sementara ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk thalaq raj’i.
seseorang yang sedang dalam menjalani iddah thalak raj’I tetap berstatus sebagai isteri
dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin; karena halalnya hubungan
kelamin telah berakhir dengan terjadinya perceraian.

Bagan kewarisan karena adanya hubungan perkawinan:

2. Faktor Penghalang kewarisan


Suami Isteri
Kedua faktor yang menyebabkan hubungan kewarisan diatas, tidak secara otomatis
menjadi ahli waris yang berhak atas harta warisan. Dalam hal ini terdapat pula dua faktor
yang mengakibatkan mereka terhalang sebagai ahli waris, yaitu:
a. Pembunuhan
Pembunuhan sebagai penghalang kewarisan didasarkan kepada hadits riwayat
Abu Daud dan Ibnu Majah:
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah Saw berkata: pembunuh tidak berhak
sebagai ahli waris”.

Hadits diatas cukup kuat hingga dapat diterima oleh semua mujtahid, dan
ditempatkan sebagai dalil yang dapat dijadikan hujjah. Namun masih terdapat
perbedaan pembunuhan yang menghalangi kewarisan dan pembunuhan yang tidak
menghalangi kewarisan. Diantaranya yaitu:
1. Pendapat ulama Syafi’i, menetapkan bahwa setiap pembunuhan menjadi
penghalang untuk menerima harta warisan.
2. Pendapat imam Malik dan pengikutnya, mengatakan bahwa pembunuhan yang
menghalangi hak waris adalah pembunuhan sengaja. Sedangkan pembunuhan
tersalah tidak menghalangi tidak menghalangi hak kewarisan.
3. Pendapat ulama Hambali, mengatakan bahwa pembunuhan tidak secara hak
dan melawan hukum menjadi halangan mewarisi, sedangkan pembunuhan
secara hak dan tidak melawan hukum tidak mengakibatkan terhalangnya
seseorang mewarisi.
4. Pendapat ulama Hanafi, mengatakan bahwa pembunuhan yang menghalangi
hak kewarisan adalah pembunuhan yang dikenakan sanksi qishash.
Pembunuhan yang tidak berlaku baginya hukum qisas meskipun disengaja,
seperti dilakukan oleh anak-anak atau orang terpaksa, tidak menjadi
penghalang kewarisn.
b. Beda Agama
Selain pembunuhan, berbeda agama juga termasuk sebagai penghalang
kewarisan. Dasar hadits menurut riwayat Bukhari dan Muslim:

Artinya: Dari Usamah bin Zaid ra bahwasannya Nabi saw bersabda: Seseorang muslim
tidak menjadi ahli waris dari orang yang bukan muslim, dan orang yang bukan muslim
tidak pula menjadi ahli waris dari orang muslim.

Berbeda agama mengakibatkan tidak adanya wilayah di antara sesama mereka.


Tidak adanya wilayah non muslim terhadap seseorang muslim dapat dipahami al-
Qur’an surat an-Nisa’ ayat 141, yang maksudnya bahwa Allah tidak akan menjadikan
bagi orang kafir jalan terhadap orang-orang beriman. Hubungan antara kerabat yang
berbeda agama terbatas pada pergaulan dan hubungan baik, dan tidak menyangkut
dengan pelaksanaan agama.
BAB IV
UNSUR-UNSUR KEWARISAN

Berlakunya hukum kewarisan Islam adalah setelah terpenuhinya tiga unsur pokok, yaitu
adanya pewaris, harta warisan dan ahli waris.
1. Pewaris (al-muwarits)
Pewaris ialah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu
yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Atau disebut juga dengan
orang yang mewariskan hartanya. Berdasarkan peralihan harta warisan berlaku sesudah
matinya pemilik harta, maka pewaris adalah orang yang telah nyata matinya. Apabila
tidak jelas kematiannya dan tidak ada pula berita tentang hidupnya, maka hartanya tetap
menjadi miliknya secara pribadi sebagaimana sebelumnya.
Kematian terdiri tiga bentuk, yaitu:
a. Mati hakiki, yaitu hilangnya nyawa seseorang yang dapat disaksikan oleh panca
indera.
b. Mati hukmy, Ialah kematian berdasarkan putusan hakim. Misalnya , orang yang
semula mafqud1, kemudian diajukan ke pengadilan dan diputuskan mati.
c. Mati taqdiri, ialah kematian yang didasarkan kepada dugaan kuat, seperti bayi
dalam kandungan yang menurut pemeriksaan dokter sudah mati.
2. Harta Warisan (Maurus/Mirast)
Harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara
hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam hal ini dapat dibedakan antara harta
peninggalan dengan harta warisan. Harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris, sedangkan harta warisan adalah adalah setiap harta yang berhak diterima
dan beralih kepada ahli waris. Jadi yang dikatakan harta warisan merupakan harta
peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang-piutang
dan pelaksanaan wasiat.
Tindakan pendahuluan sebelum pelaksanaan pembagian warisan terdapat dalam al-
Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 11 dan 12, yaitu membayar hutang dan melaksanakan
wasiat. Hutang pewaris adalah hak penuh dari orang yang telah berpiutang, dan wasiat
secara hukum telah menjadi hak bagi orang yang diberi wasiat. Sehingga, harta dari

1
Mafqud adalah orang yang hilang dan telah dan telah terputus informasi tentangnya dan tidak
diketahui secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat.
pewaris yang menjadi hak ahli waris harus telah murni dan bebas dari hak orang lain
didalamnya.
Harta yang dimiliki oleh seseorang, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Harta benda, baik benda tetap maupun benda bergerak. Harta benda ini adalah harta
yang sudah pasti dapat beralih kepada ahli waris disaat pemilik harta meniggal
dunia.
b. Harta berupa hak-hak, yaitu berupa hak kebendaan. Hak kebendaan adalah hak yang
bukan berupa benda, tetapi karena hubungannya erat dengan harta, maka dinilai
sebagai harta benda. Seperti, hak melewati jalan umum dan irigasi. Ada pula hak-
hak kebendaan yang terkait dengan pribadi yang meninggal dunia, seperti hak
mencabut pemberian kepada seseorang. Selain itu, terdapat pula hak-hak kebendaan
yang terkait dengan kehendak pewaris, seperti hak khiyar, dan hak-hak bukan
berebntuk benda dan menyangkiut pribadi seorang pewaris, seperti hak ibu untuk
menyusukan anaknya.
Mengenai hak-hak kebendaan ini, ada yang disepakati dan adapula yang
tidak disepakati dapat diwariskan kepada ahli waris. Hak-hak kebendaan yang
disepakati dapat diwariskan adalah adalah hak-hak kebendaan yang dapat dinilai
dengan harta, seperti hak irigasi. Hak-hak yang disepakati tidak dapat diwariskan
adalah hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak perwalian.
Namun ada yang diperselisihkan ulama tentang boleh atau tidaknya diwariskan,
seperti hak khiyar dan mencabut pemberian.
3. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris. Ahli waris dapat pula dibedakan kepada ahli waris hubungan darah dan
ahli waris hubungan perkawinan.
a. Ahli waris hubungan darah, terdiri dari:
1. Anak laki-laki dan anak perempuan.
2. Cucu laki-laki dan cucu perempuan sampai kebawah (dari garis keturunan anak
laki-laki).
3. Ayah.
4. Ibu.
5. Kakek sampai keatas (dari garis leluhur laki-laki, yaitu kakek dari garis ayah).
6. Nenek sampai keatas (dari garis leluhu laki-laki dan perempuan, yaitu nenek dari
garis ayah dan nenek dari garis ibu).
7. Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung, seayah maupun
seibu.
8. Anak dari saudara, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung dan anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9. Paman, baik paman kandung maupun paman seayah (saudara laki-laki dari
ayah).
10. Anak paman, yaitu anak laki-laki dari paman kandung dan anak laki-laki paman
seayah.
b. Ahli waris hubungan perkawinan, terdiri dari:
1. Suami.
2. Isteri.

BAB V
KUTAMAAN DAN HIJAB
A. Keutamaan Dalam Hukum Kewarisan Islam
Hukum Islam juga mengakui adanya prinsip keutamaan dalam kekerabatan.
Keutamaan dapat disebabkan oleh jarak hubungan antara pewaris dengan ahli waris.
Selain itu, keutamaan juga dapat disebabkan oleh kekuatan hubungan kekerabatan.
Adanya perbedaan dalam kekerabatan ditegaskan oleh Allah dam surat al-Anfal (8) ayat
75:
‫َٰٓل‬
‫َو ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا ِم ۢن َبۡع ُد َو َهاَج ُروْا َو َٰج َهُدوْا َم َع ُك ۡم َفُأْو ِئ َك ِم نُك ۚۡم َو ُأْو ُل وْا ٱَأۡلۡر َح اِم َبۡع ُض ُهۡم َأۡو َلٰى ِبَبۡع ٖض ِفي‬
‫ِكَٰت ِب ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل ِبُك ِّل َش ۡي ٍء َع ِليُۢم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
B. Hijab
Adanya prinsip keutamaan terhadap hak kewarisan menyebabkan pihak kerabat
tertentu tertutup. Hal ini berarti bahwa hukum kewarisan Islam mengenal adanya
lembaga hijab. Hijab berarti tertutupnya seseorang yang berhak menjadi ahli waris
disebabkan oleh ahli waris lain yang lebih utama darinya.
Orang yang tertutup tidak berhak menerima harta warisan, sama halnya dengan
orang yang terhalang. Bedanya, orang yang terhalang tidak berhak mendapat warisan
karena adanya aturan yang menentukan, yaitu karena pembunuhan atau beda agama.
Sedangkan orang yang terhijab disebabkan karena adanya kerabat lain yang lebih utama
Hijab terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Hijab Hirman
Hijab hirman adalah tertutupnya seseorang ahli waris untuk menerima hak
kewarisan secara penuh, dalam arti tidak memperoleh sesuatupun. Rincian hijab
menurut ahlu sunnah:
a. Cucu laki-laki atau cucu perempuan ditutup oleh anak laki-laki.
b. Kakek ditutup oleh ayah.
c. Nenek ditutup oleh ibu dan ayah.
d. Saudara kandung ditutup oleh anak atau cucu laki-laki dan ayah.
e. Saudara seayah ditutup oleh saudara kandung laki-laki dan oleh ahli waris
yang menutup saudara kandung.
f. Saudara seibu ditutup oleh anak, cucu, ayah dan kakek
g. Anak dari saudara kandung ditutup oleh saudara laki-laki seayah dan oleh ahli
waris yang menutup saudara laki-laki seayah.
h. Anak dari saudara seayah ditutup oleh anak laki-laki dari saudara kandung dan
oleh ahli waris yang menutup anak dari saudara kandung.
i. Paman kandung ditutup oleh anak laki-laki saudara seayah dan ahli waris yang
menutup anak laki-laki dari saudara seayah.
j. Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan oleh ahli waris yang menutup
paman kandung
k. Anak laki-laki dari paman kandung ditutup oleh paman seayah dan oleh ahli
waris yang menutup paman seayah.
l. Anak laki-laki dari paman seayah ditutup oleh anak laki-laki paman kandung
dan ahli waris yang menutup anak laki-laki dari paman kandung.
2. Hijab Nuqshan
Hijab nuqshan adalah berkurangnya harta yang seharusnya diperoleh ahli
waris disebabkan adanya ahli waris lain. Berkurangnya hak yang diterima adalah
untuk memberikan kesempatan kepada ahli waris tertentu untuk secara bersama
menikmati harta warisan. Misalnya, anak atau cucu mengurangi hak ibu dari
sepertiga (1/3) menjadi seperenam (1/6). Anak atau cucu mengurani hak suami dari
seperdua (1/2) menjadi seperempat (1/4) atau hak isteri dari sepermpat (1/4) menjadi
seperdelapan (1/8), dan lain-lainnya.

BAB VI
HAK-HAK AHLI WARIS

Ahli waris hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan yang telah dikemukakan
diatas, masing-masing mendapat hak kewarisan. Secara umum hak kewarisan mereka
ditetapkan menjadi dua macam, yaitu dzawul furudh dan ‘ashobah.
A. Dzawul al-Furudh
Dzawul al-furud adalah ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan secara pasti.
Rincian ahli waris yan tergolong dzawul al-furudh yaitu:
1) Anak Perempuan
Anak perempuan memiliki 2 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/2), apabila hanya seorang dan tidak ada anak laki-laki.
b. Mendapat dua pertiga (2/3), apabila terdapat 2 orang atau lebih anak perempuan
dan tidak ada anak laki-laki.
2) Cucu Perempuan
Cucu perempuan memiliki 3 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/2), apabila hanya seorang dan tidak ada cucu laki-laki.
b. Mendapat dua pertiga (2/3), apabila terdapat 2 orang atau lebih cucu perempuan
dan tidak ada cucu laki-laki.
c. Mendapat seperenam (1/6), apabila mewarisi bersama anak perempuan.
3) Ibu
Ibu memiliki 3 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapar seperenam (1/6), apabila mewarisi bersama anak/cucu, ataupun ada 2
orang saudara atau lebih
b. Mendapat sepertiga (1/3), apabila pewaris tidak mempunyai anak/cucu, ataupun
tidak ada 2 orang saudara atau lebih
c. Mendapat sepertiga sisa (1/3sisa), apabila ahli waris hanya terdiri dari ayah,
ibu, suami/isteri.
4) Nenek
Nenek memiliki 2 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapar seperenam (1/6), apabila mewarisi bersama anak/cucu, ataupun ada 2
orang saudara atau lebih
b. Mendapat sepertiga (1/3), apabila pewaris tidak mempunyai anak/cucu, ataupun
tidak ada 2 orang saudara atau lebih
5) Saudara Perempuan Kandung
Saudara perempuan kandung memiliki 2 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/2), apabila hanya seorang dan tidak ada saudara laki-laki
kandung
b. Mendapat dua pertiga (2/3), apabila terdapat 2 orang atau lebih saudara
perempuang kandung dan tidak ada saudara laki-laki kandung.
6) Saudara Perempuan Seayah
Saudara perempuan seayah memiliki 3 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/2), apabila hanya seorang dan tidak ada saudara laki-laki
seayah
b. Mendapat dua pertiga (2/3), apabila terdapat 2 orang atau lebih saudara
perempuang seayah dan tidak ada saudara laki-laki seayah.
c. Mendapat seperenam (1/6), apabila mewarisi bersama saudara perempuan
kandung.
7) Saudara Seibu (baik laki-laki maupun perempuan)
Saudara seibu memiliki 2 alternatif hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/2), apabila hanya seorang
b. Mendapat dua pertiga (2/3), apabila terdapat 2 orang atau lebih saudara seibu.
8) Suami
Suami memiliki 2 alternatik hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/2), apabila pewaris tidak memiliki anak/cucu
b. Mendapat seperempat (1/4), apabila pewaris memiliki anak/cucu.
9) Isteri
Suami memiliki 2 alternatik hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperempat (1/4), apabila pewaris tidak memiliki anak/cucu
b. Mendapat seperdelapan (1/8), apabila pewaris memiliki anak/cucu.
10) Ayah
Ayah memiliki 2 alternatik hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/6), apabila ada anak/cucu laki-laki da nada atau tidak
adanya cucu perempuan.
b. Mendapat seperempat tambah sisa (1/6 + sisa), apabila tidak ada anak/cucu laki-
laki dan hanya ada anak/cucu perempuan
11) Kakek
Ayah memiliki 2 alternatik hak kewarisan, yaitu:
a. Mendapat seperdua (1/6), apabila ada anak/cucu laki-laki da nada atau tidak
adanya cucu perempuan.
b. Mendapat seperempat tambah sisa (1/6 + sisa), apabila tidak ada anak/cucu laki-
laki dan hanya ada anak/cucu perempuan
B. ‘Ashobah
‘Ashobah adalah ahli waris yang tidak ditentukan hak/bagiannya secara pasti
(bisa mendapat seluruh harta taupun sisa dari harta). ‘Ashobah terbagi menjadi 3
kelompok, yaitu:
1. ‘Ashobah bi nafsihi
‘Ashobah bi nafsihi adalah ‘ashobah dengan sendirinya tanpa adanya
bantuan dengan ahli waris lain. Ia berstatus ahli waris yang berhak atas seluruh
harta (kalau tidak ada ahli waris lain) dan sisa harta (kalau ada ahli waris yang
lain). Rincian dari ‘Ashobah bi nafsihi yaitu:
a. Anak laki-laki, baik seorang ataupun beberapa orang
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki, baik seorang maupun beberapa orang
c. Ayah, sebagai ‘ashobah apabila pewaris tidak memiliki anak/cucu baik laki-
laki maupun perempuan.
d. Kakek, haknya sama seperti ayah kalau ayah sudah tidak ada.
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i. Paman kandung (saudara laki-laki dari ayah)
j. Paman seayah (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
k. Anak laki-laki dari paman kandung
l. Anak laki-laki dari paman seayah.
2. ‘Ashobah bi ghayrihi
‘Ashobah bi ghayrihi adalah ahli waris perempuan yang pada dasarnya
bukan ashobah, tetapi karena didampingi oleh saudaranya yang laki-laki, maka
mereka secara bersama sebagai ‘ashobah (mendapat sisa harta). Rincian
‘Ashobah bi ghayrihi yaitu:
a. Anak perempuan apabila mewarisi bersama anak laki-laki
b. Cucu perempuan apabila mewarisi bersam cucu laki-laki
c. Saudara perempuan kandung apabila mewarisi bersama saudara laki-laki
kandung
d. Saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersama saudar alaki-laki
seayah.
3. ‘Ashobah ma’a ghayrihi
‘Ashobah ma’a ghayrihi adalah saudara perempuan kandung atau saudara
perempuan seayah yang berstatus ashobah (sisa harta) apabila mewarisi bersama
dengan anak/cucu perempuan dan ketika itu tidak ada anak/cucu laki-laki.
BAB VII
PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

A. Hal-hal yang dilakukan sebelum pembagian warisan


Sebagai diketahui bahwa unsur kewarisan terdiri pewaris, harta warisan dan ahli
waris. Apabila ketiga unsur tersebut telah terpenuhi, berarti hukum kewarisan dapat
dilaksanakan. Namun, sebelum harta peninggalan dari pewaris dapat dibagikan kepada
setiap ahli waris, terlebih dahulu harus dibayar hutang dan melaksanakan wasiat yang
dibuat oleh pewaris ketika masih hidup.
Tindakan pendahuluan sebelum pelaksanaan pembagian warisan ini terdapat dalam
al-Quran surat an-Nisa’ (4) ayat 11 dan 12. Dalam ayat ini terdapat dua bentuk
kewajiban yang disebutkan secara berurutan, yaitu melaksanakan wasiat dan membayar
hutang. Meskipun lebih dahulu disebutkan wasiat dari pada hutang, tetapi bukan berarti
dalam pelaksaannya wasiat harus didahulukan dari pada hutang. Namun, maksud ayat ini
adalah bahwa wasiat dan hutang harus dilaksanakan sebelum harta warisan dibagi.
Dalam penafsiran yang berlaku, semua ulama menyatakan bahwa pembayaran
hutang dilaksanakan lebih dahulu sebelum mengeluarkan wasiat. Pertimbangan
didahulukan membayar hutang disebabkan bahwa hutang adalah suatu kewajiban mutlak
harus dibayar, sedangkan wasiat adalah suatu perbuatan baik yang dilakukan bila
memungkinkan.

1. Perhitungan warisan
Adapun yang dilakukan dalam menyelesaikan perhitungan waris, selain harus
mengerti ilmu kewarisan serta yang terkait didalam nya, ada kaidah yang mesti
diperhatikan. Yaitu harus mencari:
Asal Masalah
Diantara cara menghitung bagian-masing ahli waris adalah dengan cara dicari
dahulu asal masalahnya, yaitu bilangan bulat yang digunakan untuk membagi harta
warisan, atau dalam istilah matematika disebut sebagai “Kelipatan Persekutuan
Terkecil (KPK) yang dapat dibagi oleh setiap penyebut al-furudh al-muqaddarah
(bagian tertentu) para ahli yang dzawul furdh.
Cara penyelesaian harta warisan sebagai berikut:
1. Jika ahli waris hanya terdiri dari ahli waris ashabah bi nafsihi, maka asal
masalahnya adalah sejumlah ahli waris yang ada.
Contohnya: ahli waris terdiri dari 6 orang anak laki-laki. Maka asal
masalahnya adalah 6. Cara pembagian warisannya langsung dibagi 6, berarti
masing-masing ahli waris mendapat satu bagian.
2. Jika ahli waris hanya terdiri dari ahli waris ashabah laki-laki dan perempuan,
maka untuk laki-laki dua kali lipat perempuan dengan cara dikalikan dua.
Contohnya: ahli waris terdiri dari 3 orang anak laki-laki dan 3 orang anak
perempuan. Cara mencari asal masalahnya adalah: untuk bagian anak laki-laki,
karena ada 3 anak, maka 3 x 2 = 6. Untuk anak perempuan, karena ada 3 anak,
maka 3 x 1 = 3. Jadi, asal masalahnya yaitu 6 + 3 = 9. Cara pembagian harta
warisannya adalah harta dibagi 9, maka untuk anak laki-laki mendapat 2
bagian dan anak perempuan mendapat 1 bagian.
3. Jika ahli waris terdiri dari satu orang ahli waris dzawul furudh dan satu orang
ashobah, maka asal masalahnya adalah angka penyebut bagian ahli waris
dzawul furudh.
Contohnya: ahli waris terdiri dari 1 orang anak perempuan dan ayah. Maka
asal masalahnya adalah 2. Cara pembagian harta warisannya adalah untuk
anak anak perempuan adalah setengah (1/2) dan sisanya untuk ayah.
4. Jika ahli waris terdiri dari ahli waris dzawul furudh 2 orang atau lebih, baik
ada ahli waris ashabah atau tidak, maka mencari asal masalahnya dengan
mencari KPK dari angka penyebut bagian masing-masing ahli waris.
Contohnya:
 Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebanyak 96.000.000.
Ahli warisnya terdiri dari isteri, ibu dan 2 orang anak laki-laki. Berapakah
masing-masing ahli waris mendapat bagiannya?
Cara penyelesainya:
Isteri (1/8) :6 6/48
Ibu (1/6) :8 8/48
2 anak laki-laki (sisa) : 34 : 2 @17 @17/48
Asal masalahnya : 48
Penyelesaian akhir:
Isteri : 6/48 x 96 jt = Rp. 12.000.000
Ibu : 8/48 x 96 jt = Rp. 16.000.000
Anak laki-laki : @17/48 x 96 jt = @Rp. 34.000.000 x 2 = Rp. 68.000.000
Nb: cara cari asal masalahnya: KPK dari penyebut bagian dzawul furudh (8
dan 6) adalah 24. Karena ada 2 anak laki-laki, maka 24 x 2 = 48.
 Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebanyak 96.000.0000.
Ahli waris terdiri dari isteri, ayah, ibu, 1 anak laki-laki dan 1 anak
perempuan. Berapakah masing-masing ahli waris mendapat bagiannya?
Cara penyelesainnya:
Isteri (1/8) :9 9/72
Ayah (1/6) : 12 12/72
Ibu (1/6) : 12 12/72
1 anak laki-laki (2:1) 26 26/72
Sisa: 39 : 3 = 13
1 anak perempuan (1:1) 13 13/72
Asal masalahnya : 72
Penyelesaian akhir:
Isteri : 9/72 x 96 jt = Rp. 12.000.000
Ayah : 12/72 x 96 jt = Rp. 16.000.000
Ibu : 12/72 x 96 jt = Rp. 16.000.000
Anak laki-laki : 26/72 x 96 jt = Rp. 34.666.667
Anak perempuan : 13/72 x 96 jt = Rp. 17.333.333
Nb: cara cari asal masalahnya: KPK dari penyebut bagian dzawul furudh (8
dan 6) adalah 24. Oleh karena ada yang ashobah yaitu 1 anak laki-laki
dan 1 anak perempuan, sesuai ketentuan 2 bagian anak laki-laki sama
dengan 1 bagian anak perempuan. Maka jumlah ashobah yaitu 2 + 1 =
3. Maka asal masalahnya 24 x 3 = 72.

5. Masalah Aul
Dalam kewarisan islam ada yang dikenal dengan istilah Aul, yaitu kekurangan
harta. Setelah dibagikan kepada ahli waris dzawul furudh, dan ketika itu tidak ada ahli
waris ashabah dan terjadi kekurangan terhadapa harta tersebut. Maka solusinya
menurut mayaoritas ulama bahwa tidak mungkin ada diantara yang diabaikan
bagiannya. Untuk mengatasinya, kekurangan itu harus dipikul oleh semua ahli waris
yang berhak sesuai dengan perimbangan saham mereka.
Caranya bahwa penyebut dari pecahan itu diperbesar hingga sama dengan
pembilang. Jadi, pembagian masing-masing ahli waris akan berkuarang.
Contohnya: seseorang meninggal duniameninggalkan harta Rp.96.000.000,
meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu dan 2 anak perempuan.
Berapakah jatah masing-masing ahli waris ?
Cara penyelesaiannya:
Suami (1/4) :6 6/26
Ibu (1/6) :4 4/26
2 Anak Perempuan (2/3) : 16 16/26 @8/26
Asal Masalah : 24 26 (terjadi Aul), maka asal masalahnya
mengikuti jumlah kelebihan tersebut.
Penyelesaian akhir:
Suami : 6/26 x 96 jt = Rp. 22.153.847
Isteri : 4/26 x 96 jt = Rp. 14.769.231
Anak Perempuan : 8/26 x 96 jt = @Rp. 29.538.461 x 2 = Rp. 59.076.922
Nb: cara cari asal masalahnya: KPK dari penyebut bagian dzawul furudh (4,6 dan
3) adalah 12. Oleh karena anak perempuan ada 2 orang. Maka asal
masalahnya 12 x 2 = 24. Dan oleh karena setelah dibagikan ke bagian
masing-masing, ternyata terjadi kekurangan asal masalah(‘aul). Maka asal
masalahnhya diganti sesuai jumlah penyebut yang ada yaitu 26.
6. Masalah Raad
Dalam kewarisan Islam juga dikenal istilah Raad, yang artinya adanya kelebihan
harta. Setelah harta dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima, terjadi
kelebihan terhadap harta warisan tersebut. Menurut mayoritas ulama bahwa
pengembalian sisa harta hanya berlaku bagi ahli waris yang hubungan darah saja, dan
tidak berlaku bagi ahli waris hubungan perkawinan.
Contohnya: seseorang meninggal duniameninggalkan harta Rp.96.000.000,
meninggalkan ahli waris yang terdiri dari Isteri, ibu dan 1 anak perempuan.
Berapakah jatah masing-masing ahli waris ?
Cara penyelesaiannya:
Isteri (1/8) :3 3/24
Ibu (1/6) :4 4/16
16
1 Anak Perempuan (1/2) : 12 12/16
Asal Masalah : 24 19
Penyelesaian akhir:
Isteri : 3/24 x 96 jt = Rp. 12.000.000
*Sisa harta = Rp. 96.000.000 – Rp. 12.000.000 = Rp. 84.000.000
Ibu : 4/16 x 84 jt = Rp. 21.000.000
Anak Perempuan : 12/16 x 84 jt = Rp. 63.000.000
Nb:
 cara cari asal masalahnya: KPK dari penyebut bagian dzawul furudh (8, 6
dan 2) adalah 24.
 Terjadi raad, maka kelebihan asal masalah itu diberikan kepa isteri dan
ibu saja dengan cara memperbesar penyebut dengan cara menjumlahkan
pembilang pada bagian ibu dan anak perempuan yaitu 16.
 *Sebelum mencari bagian untuk ahli waris hubungan darah, harus di cari
dahulu sisa harta setelah dikeluarkan untuk bagian hubungan
perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai