Mawaris
Capaian Pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Ilmu Mawaris dan yang terkait dengan
kewarisan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar manfaat mempelajari mawaris
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Sumber, Urgensi dan Asas Hukum Kewarisan
Fiqh Mawaris atau yang lebih dikenal dengan Ilmu Faraidh merupakan salah satu cabang
Ilmu Fiqh yang dianggap penting oleh para ulama, karena sangat berkaitan dengan
pengelolaan harta milik seseorang yang telah meninggal. Ilmu ini dianggap sebagai separuh
dari ilmu Syariah. Dalam ilmu ini diatur siapa-siapa yang berhak mendapat harta warisan,
syarat, dan sebab untuk dapat mendapat warisan, hal-hal yang menghalangi dari menerima
warisan, hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan, urutan yang berhak mendapat
warisan, kapan seseorang menjadi waris serta porsi bagian masing-masing, serta hukum-
hukum yang berkaitan dalam hal pembagian warisan.
1 Dian Khairul Umam, 1999, Fiqih Mawaris untuk IAIN, STAIN dan PTAIS, hlm.11
yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah
ditentukan.
Para ulama memberikan nama lain dari Ilmu Mawaris dengan nama Ilmu Faraidh ()علم الفرائض
dan mereka memberikan definisi dengan pengertian berikut:
ِ َخ ُ ُّص ِذ ٍّق ِ م اللِّتر ا ال ُْل ْ ِ ِ ِ ل َْل ِرَ ِ َ َ ُ ُّص ِ لل ِ ي ِ ْ ىُ اْلل اَ ِر ِ ِعل
ْ َ َ ْ َ ْْم ا ُ َ ْ َ َُ
“Ilmu Mawarsi adalah ilmu pengetahuan tentang pewarisan dan ilmu hitung yang dapat
menyampaikan untuk mengetahui apa-apa yang khusus bagi setiap orang yang memiliki hak
dalam pewarisan”
Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa Ilmu Mawaris itu merupakan pemahaman
atau pengetahuan tentang harta pusaka (warisan). Sebagian ulama memberikan definisi yang
tidak jauh beda, namun lebih sempurna daripada definisi di atas dengan ungkapan:
اا ِ ِ َم اللِّت ْرَ ِ لِ ُ ِذ ْ َ ٍّق ِ ا ْ الل ِ ِ إِلل ْ ِرَ ِ ذَلِ َ ْ ِرَ ِ َ ْ ِرْ ال
َ ََ ََ
ِ ِ ِ
ْ ُ ِ َ اْلف ْ ىُ اَل ُْللَِّت َل ُ ِ ْ ِ ْر َ َ ْ ِرَ اْلل
ِ
“Ilmu Fiqh yang berhubungan dengan pembagian pusaka, pengetahuan tentang cara
perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka itu, dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk masing-masing
pemilik harta pusaka”
Kata Faraidh pada “Ilmu Faraidh” adalah merupakan bentuk jama‟ dari Faridhah dan
memiliki arti yang berbeda, sebagai yang digunakan al-Qur‟an dalam beberapa kesempatan,
yaitu2:
1. Ketentuan ()الل ر, seperti firman Allah:
ضلُ ْمْ ف َ َِّت َر ُ ص ْ ِض َه ْ َ إِ ْن طَلَ ْ لُ ُل ُي َّم ِ ْم َِّت ْب ِ أَ ْن تَ َل ُّص ُي َّم َ َ ْ َِّت َر
َ ضلُ ْم ل َُه َّم ِر
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sesbelum kamu bercampur dengan mereka padahal
sessungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu”.
2. Ketetapan pasti () ال طع, seperti firman Allah:
ِ َصي ِ َّل تَِّتر َك الْ الِ اَ ِن األَ ِّتْر ِّت َن ِ ل َ َّ ِ هْىُ أَ َ ثُِّتر ن ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ض
ً ْصيْبًأ َ ْف ُر َ ْ ّ ْ َُ َ َ َ ٌ َللر َا ِل نَصيْ ٌ ِ َّ ل تَِّت َر َك الْ َ ال َ ان َ اْألَ ِّت َْرُِّت ْ َن َ لله َ ء ن
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan”
3. Menurunkan ( )االنزالseperti firman Allah:
ض َلٍ ُّص بِي ٍمَ ْ ِ َ َّك إِلَل َ َ ٍد ُ ْ َر أَ ْعلَ ُم َ ْم َا َء ِ ل ُْه َ َ َ ْم ُي ِ إِنَّ الَّ ِذ َِّترض َعلَي َ اْل ُرَآ َن لَراد
ج
ْ ْ َ َ ْ
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakanhukum-hukum) al-Qur‟an,
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku
mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”
4. Penjelasan ( )اللبييمseperti firman Allah:
ْل ْي ُم ِ لل
ض اهللُ لَ ُ ْم تَ ِللَّ َ أَ ْ َل نِ ُ ْم ج َ اهللُ َ لَ ُ ْم
َ َ ُي َ الْ َل ْي ُم ال َ َ ْ َِّت َر
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian kamu membebaskan diri dari
sumpahmu; dan Allah pelindungmu dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
5. Penghalalan ()ا ل, seperti firman Allah:
اهلل َ ْ ًرا َ ْ ُ ًرا ِ اهلل ِل الَّ ِذ ْم َ لَ ا ِ م َِّت ْب ج َ َن أَ ْ ر ِ َ َّض اهلل لَىُ لل ه ِ ِ َِ َ َن علَل الهَّب
ُ َ ُ ْ ْ َ ُ ُ َ ْم َ َر ٍج ْي َل َِّت َر َ
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi
yang telah berlaku dahulu). Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti.”
6. Pemberian ()ال ط ء, seperti kata-kata yang diungkapkan orang Arab:
2 Ibid,1999, hlm.12
ض
ً ض َ الَ َِّت ْر ً ألَ َ بْ ُ ِ هْىُ َِّت ْر
“Sesungguhnya aku telah memperoleh darinya suatu pemberian bukan pinjaman”.
Keenam makna dari kata al-Faraidh adalah hampir semakna, dan dapat digunakan dalam
ilmu Faraidh, sebab apa yang ditentukan Allah bagi hamba-Nya merupakan pemberian,
penghalalan, dan ketentuan yang diturunkan Allah. Selanjutnya pembahasan dalam ilmu
Faraidh adalah seputar harta warisan beserta yang berkaitan dengan harta warisan tersebut.
Peletak ilmu Faraidh adalah Allah melalui al-Qur‟an yang kemudian dijelaskan oleh al-
Sunnah. Sementara hukum mempelajari ilmu Faraidh adalah diperselisihkan ulama‟, ada
yang menghukumkan Wajib „Ainiy atau Wajib Kifa‟iy. Timbulnya hukum tersebut karena
adanya anjuran Rasulullah sebagaimana dalam hadist berikut:
ِ َّ ِ َّ َّ ِ ٍ
س تَِّت َلَّ ُل ا َ ِس تَِّت َلَّ ُل ا الْ َف َرائ
َ َّض َ َعل ُل وُ اله َ َّْم َ َعل ُل وُ اله
َّ
َ "تَِّت َل ُل ا الْ ل:َ َل ا ْ ُم َ ْ ُ د َ َل ل َر ُ ُل اهلل َ َلل اللى َعلَ ْيى َ َ ل َم
ص ُ َِّت ْيِّتهَِّت ُه ْم ِ ِ
ِ ان أَ ً ا ِّت ْف
َ َ َ َ َض ال
ٍ َ ف ااِّْتهَ ِن ِ َ ِر َ ِض َ تَ َْه ُر ال ِْفلَ ُم َ لَّل َ ْ لَلُ َْم َ يُِّت ْ ب
ِ ٌ الْ ُرآ َن َعلل وُ الهَّ س َِ ن ا رٌؤ ْ ب
ُ َالْ ل.ض ُ َ ُْ َ ُ َ ْ
“Ibnu Ma‟sud bertutur: “Rasulullah bersabda kepadaku: “pelajarilah ilmu dan
ajarkan kepada orang lain, pelajarilah ilmu Faraidh dan ajarkan kepada orang lain,
pelajarilah al-Qur‟an dan ajarkan kepada orang lain, karena sesugguhnya aku
adalah seorang yang akan meninggal, demikian juga ilmu itu akan tercabut sekaligus
bentuk fitnah akan tampak, sehingga dua orang akan berselisih dalam masalah
faraidh tidak akan menemukan seorang yang dapat memutuskan (perkara) antara
mereka”
Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:
ع ِ ْم أَُّ ل ُ ف اْل ِل ِْم َ إِنَّىُ ُِّت ْه َ ل َ ُي َ أَ َّ ُل َ ُِّت ْهِّت َز ُ ص ْ ِض َ َعل ُل ْ وُ َِ نَّىُ ن
ِ
َ ِ "َ ت َلَّ ُل ا الْ َف َرائ:(اهلل ) َلَّل اهللُ َعلَ ْيى َ َ لَّ َم
ِ َ َل ر ُل
ُْ َ
“Rasulullah bersabda: “Pelajarilah (ilmu) Faraidh dan ajarkan kepada orang-orang,
karena ia merupakan sebagian dari ilmu, dan (ilmu) yang akan dilupakan orang. Ilmu
yang akan pertama kali dicabut dari umatku”
Perintah dalam hadist di atas adalah perintah yang mengarah kepada wajib, hanya saja
kewajiban itu menjadi gugur apabila ada seorang yang telah melaksanakannya. Akan tetapi
apabila tidak ada seorangpun yang melaksanakannya, maka orang Islam sendiri akan
menanggung dosa, karena meninggalkan perintah tersebut. Tujuan utama ilmu Faraidh adalah
menyampaikan hak warisan kepada pemiliknya, dan faidah (kegunaannya) adalah
menentukan bagian bagi pemiliknya.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mukmin diharuskan untuk mengikuti atau taat
kepada aAllah, Rasul dan Ulil Amri. Hal ini dapat dirumuskan, bahwa seorang mukmin
senantiasa dalam memecahkan berbagai aspek harus mengikuti, dan didasarkan pada ketiga
sumber tersebut. Karen aitu pengertian taat kepada allah, dimaknakan dengan sumber Al-
Qur‟an. Sedangkan taat kepada Rasul, dimakanakan dengan sumber Sunnah, dan Ulil amri
dimaknakan sebagi sumber ijtihad para mujtahid
Disamping itu dapat difahami dari hadis Nabi yang berupa dialog antara Rasul dan Mu‟adz
yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Umar berikut ini:
َبِ ُ هَّ ِ َر ُ ْ ِل: ا اللَّ ِى ؟ َ َل
ِ َ َم تَ ِ ْ ِل ِل ِ ِ َ ْض ِ ِل ِ َ أ: ض اِذاَ َعرض لَ َ َض َء ؟ َ َل ِ ْ ف تَِّت
ْ َِ ْن ل: َ َل,ا اللَّى ٌ َ َ َ َ ْي
: َ َل, ا اللَّ ِى ؟ ِ َ لل اللَّىُ َعلَْي ِى َ َ لَّم َالَ ِل ِل
َ َّ َ َم تَ ِ ْ ِل ُ هَّ ِ َر ُ ْ ِل اللَّ ِى ِ َّ َ اللَّ ِى
ْ َِ ْن ل: َ َل, لل اللَّىُ َعلَْيى َ َ لَّ َم
ِ
َّ َ ْل ْل ُ للَّ ِى الَّ ِذ َ َّ َ َر ُ ْ ُل اللَّ ِى
لل ِ
َ ال: لل اللَّىُ َعلَْيى َ َ لَّ َم َ ْ َروُ َ َ َلَّ َ ا َر ُ ْ ِل اللَّ ِى َ َ ْأَ ْالَ ِه ُ َرأِْل َ أَلُ ا
َ ض َر
”)ضل َر ُ ْ ِل اللَّ ِى ( ر او أ دا د ِ َّ ِ َّ
َ اللىُ َعلَْيى َ َ ل َم لل َ َِّت ْر
“Rasulullah saw bertanya: ... bagaimana cara kamu memutuskan jika datang kepadamu
suatu perkara? Ia menjawab : saya putuskan dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab
Allah. Beliau bertanya lagi. Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitab Allah? Ia
menjawab: maka dengan Sunnah Rasulullah saw. Beliau bertanya: jika tidak kamu dapati
dalam sunnah Rasulullah saw juga dalam Kitab Allah? Ia menjawab: saya akan berijtihad
dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasul saw menepuk dadanya dan
bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah saw
yang diridlai oleh Rasululah “. (HR Abu Daud)
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sumber dari ajaran
Islam hanya ada tiga. Kaitanya dengan hukum kewarisan Islam, maka akan dirinci satu
persatu dari sumber hukum tersebut.
a). Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil
2. Asas Bilateral, yaitu seorang dapat menerima hak warisan dari dua jalur; ibu dan ayah.
Asas ini secara tegas ditemui dalam ketentuan al-Qur‟an surat an-Nisa‟ (4) ayat 7 di
atas dan berikut 11 –surat al-Nisa'- seperti berikut:
ًلذ َ ِر ِ ثْ ُ َ ظ األُنثَِّتيَِّت ْي ِم َِ ْن ُ َّم نِ َ ًء َِّت ْ َق ااِّْتهَلَِّت ْي ِم َِّتلَ ُه َّم اِّتُلُثَ َ تَِّت َر َك َ إِ ْن َ نَ ْ َا ِ َ ة
َّ ُِ ِ ي ُ ْم ااهللُ ِ أَ ْ َال ِد ُ ْم ل
ُ َُم َ ُ ْم لَىُ َ لَ ٌ َ َ ِراَىُ أََِّت َ اوُ َِ ُ ِى الثُّصِّتل ِ ُ ف ِألَ ِّت ِى لِ ُ ا ِ ٍ ِ ْهِّتهل ال ُّص
ْ س َّل تَِّت َر َك إِ ْن َ َن لَىُ َ لَ ٌ َِ ْن ل ُ َُ َ ْ ََ َ ُ ص ْ َِّتلَ َه اله
ِ ٍ ََِّ ْن َ َن لَىُ إِ ْ ةٌ َِ ُ ِى ال ُّص ُ س ِ م ِّت ْ ِ ِ ي
ُ ِ َه أَ ْ َد ْ ٍم آ َ ُؤُ ْم َأَِّْتهَ ُؤُ ْم الَ تَ ْ ُر َن أَُّصِّت ُه ْم أَ ِّت َْر
ً ا لَ ُ ْم نَِّت ْف ُ َ َْ ُ َ
ِ ِ ِ ِ َ َ ِر
يل
ً َ يل ً ض ً ْم اهللِ إ َّن اهللَ َ َن َعل
Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian harta pusaka untuk) anak-anak
kamu, iaitu bahagian seorang anak elaki menyamai bahagian dua orang anak
perempuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih dari dua, maka bahagian
mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si mati. Dan jika anak
perempuan itu seorang saja, maka bahagiannya ialah satu perdua (separuh) harta
itu. Dan bagi ibu bapa (si mati), tiap-tiap seorang dari keduanya: satu perenam dari
harta yang ditinggalkan oleh si mati, jika si mati itu mempunyai anak. Tetapi jika si
mati tidak mempunyai anak, sedang yang mewarisinya hanyalah kedua ibu bapaknya,
maka bahagian ibunya ialah satu pertiga. Kalau pula si mati itu mempunyai
beberapa orang saudara (adik-beradik), maka bahagian ibunya ialah satu perenam.
(Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah diwasiatkan oleh si
mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya. lbu-bapa kamu dan anak-anak kamu, kamu
tidak mengetahui siapa di antaranya yang lebih dekat serta banyak manfaatnya
kepada kamu (Pembahagian harta pusaka dan penentuan bahagian masing-masing
seperti yang diterangkan itu ialah) ketetapan dari Allah; sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.
Demikian juga beberapa ayat berikut ini, seperti ayat 12 (dua belas) surat al-Nisa'
berikut:
يم ِ ٍِ ِ ِ ِ ف تَِّتر َك أَ ْز اا ُ م إِ ْن لَم ُ م لَه َّم لَ ٌ َِ ْن َ َن لَه َّم لَ ٌ َِّتلَ ُ م ُّص
ْ َِ لَ ُ ْم ن
َ ُ َّالرُ ُع َّل تَِّت َرْ َم ْم َِّت ْ َ ي ْ َ ُ َ ُ ْ َْ ْ ُ َ َ َ ُ ص
ٍ َّالر ع ِ َّل تَِّترْ لم إِ ْن لَم ُ م لَ ُ م لَ ٌ َِ ْن َ َن لَ ُ م لَ ٌ َِّتلَه َّم الثُّصلم ِ َّل تَِّترْ لم ِ م ِّت ِ ِ ي
َ َْ ْ ْ ُ َ ُُ ُ َْ َْ ْ َْ ُْ َ ُ ُ ِ َه أَ ْ َد ْ ٍم َ ل َُه َّم ُّص
س َِ ْن َ نُ ا ٍِِ ِ ٌ َتُ ُ َن ِ َه أَ ْ َد ْ ٍم َ إِ ْن َ َن َر ُا ٌ ُ َر ُ َ لَ ً أَ ْ ا ْ َرأَةٌ َ لَىُ أ
ُ ُ خ أَ ْ أُ ْ ٌ َل ُ َا ْهِّت ُه َل ال ُّص
يم ِ ِاهلل ااهللُ عل ِ ِ ِ َ أَ ْ ثَِّتر ِ م ذَلِ َ َِّتهم ُ رَ ء ِ الثُّصِّتلُ ِ ِ م ِّت ْ ِ ِ يَّ ٍ ل ِه أَ َد ٍم َيِّتر
ٌ يم َ ل ٌ َ َ ض ٍّقر َ يَّ ً ْم ُ َْ ْ ْ َ َ ُ َ َ ْ ُ َ ُْ ْ َ
“Dan bagi kamu satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu jika mereka
tidak mempunyai anak. Tetapi jika mereka mempunyai anak maka kamu beroleh satu
perempat dari harta yang mereka tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang mereka
wasiatkan dan sesudah dibayarkan hutangnya. Dan bagi mereka (isteri-isteri) pula satu
perempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Tetapi kalau
kamu mempunyai anak maka bahagian mereka (isteri-isteri kamu) ialah satu perlapan dari
harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang kamu wasiatkan, dan sesudah
dibayarkan hutang kamu. Dan jika si mati yang diwarisi itu, lelaki atau perempuan, yang
tidak meninggalkan anak atau bapa, dan ada meninggalkan seorang saudara lelaki (seibu)
atau saudara perempuan (seibu) maka bagi tiap-tiap seorang dari keduanya ialah satu
perenam. Kalau pula mereka (saudara-saudara yang seibu itu) lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu pada satu pertiga (dengan mendapat sama banyak lelaki dengan
perempuan), sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah
dibayarkan hutangnya; wasiat-wasiat yang tersebut hendaknya tidak mendatangkan mudarat
(kepada waris-waris). (Tiap-tiap satu hukum itu) ialah ketetapan dari Allah. Dan (ingatlah)
Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar.”
Selanjutnya yang dijadikan sandaran juga adalah ayat 176 surat al-Nisa' sebagai
berikut:
ف َ تَِّت َر َك َ ُي َ َ ِراِّتُ َه إِ ْن ُ صْ َِ لَىُ َ لَ ٌ َ لَىُ أُ ْ ٌ َِّتلَ َه ن َ ل َْي ََ ْ لَِّت ْفلُ نَ َ ُ ْ اهللُُ ُِّت ْفلِي ُ ْم ِ الْ َ َلَ ِ إِ ْن ا ْ ُرٌؤ َيل
لذ َ ِر ِ ثْ ُ َ ظ األُنثَِّتيَِّت ْي ِم َّ َِ إِ ْن َ نُ ا إِ ْ ًة ِر َا الً َ نِ ء َل
ًَ َ تَِّت َر َك َم َ ُ ْم ل ََه َ لَ ٌ َِ ْن َ نَِّتلَ ااِّْتهَلَِّت ْي ِم َِّتلَ ُه َل الثُّصِّتلُثَ ِن ِ َّل
ْل
ِ ٍ ِ ِ
ٌ ُِّتبَِّتي ُم اهللُ لَ ُ ْم أَ ْن تَضلُّص ا َاهللُ ُ َ ْ ء َعل
“ يم
“Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: “Allah membei fatwa kepada kamu
tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempnyia saudara perempuan, maka baginyanya seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mepusakainya jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orng, maka bagi keduanya
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki-laki
dan perempaun, maka bahagian saudara laki-laki sebanyak bahagian dua saudara
perempuan. Allah menerangkan kepada kamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam beberapa ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang dapat mewarisi warisan
keluarganya, baik dari pihak laki-laki dan perempuan.
3. Asas Individual, yaitu bahwa setiap orang berhak atas bagian yang didapatinya tampa
terkait dengan ada atau tidak adanya pada ahli waris lainnya. Dengan demikian bagian
yang diperoleh seorang dari harta warisan adalah dapat dimiliki secara perorangan dan
tidak ada sangkut pautnya ahli waris lain terhadap harta yang diterimanya, sehingga ia
memiliki kebebasan penuh terhadap harta yang diterimanya. Ketentuan atas asas ini
adalah berdasarkan ayat 7 surat al-Nisa‟, dimana disana dijelaskan bagian masing-
masing orang.
4. Asas Keadilan Berimbang, yaitu asas yang mengarahkan kepada perimbangan antara
hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan, sehingga
faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Hal ini berbeda dengan
yang diberlakukan pada adat yang dikenal dengan garis keturunan patrinial, yaitu
garis keturunan yang ditarik dari keturunan bapak. Sementara dasar hukum asas
peimbangan ini adalah surat an-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, dan 176 sebagaimana telah
disebutkan.
5. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian, yaitu bahwa hukum waris Islam
memandang terjadinya pewarisan semata-semata disebabkan adanya kematian yang
pemberi warisan. Sementara harta yang diberikan pada saat pemberi warisan masih
hidup bukanlah dinamakan harta warisan, melainkan hibah atau wasiat
Demikian beberapa asas pokok Ilmu Mawaris Islam, bila salah satu dari asas itu tidak
terpenuhi maka jelas tidak dikatakan Ilmu Waris Islam.
Hukum waris Islam merupakan bagian hukum yang diberlakukan bagi orang-orang
yang memeluk agama Islam, sebab di Indonesia diberlakukan pada umumnya beberapa
hukum waris, diataranya:
1) Untuk warga negara golongan Indonesia asli, pada perinsipnya berlaku hukum
adat sesuai dengan daerah masing-masing.
2) Untuk warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam di berbagai
daerah diberlakukan hukum Islam yang sangat berpengaruh.
3) Bagi orang Arab pada umumnya berlaku hukum Islam secara keseluruhan.
4) Bagi orang-orang Tionghoa dan Erofa berlaku hukum warisan dari Gugerlijik
Wetboeh.
Di antara sebab-sebab kewarisan adalah harta peninggalan orang yang meninggal dunia
adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang
menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah
menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada tiga:
1) Nasab ( )النسبatau hubungan kekerabatan. Nasab ini dapat berupa hubungan orang tua
dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat
dihubungkan kepada orang tua.
2) Perkawinan ()الزواج. Seorang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal
dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan
istri atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
َوو لَو ُك ْم ِن ْم ُك َوم َو َو َو َو ْم َوو ُك
اآلية... اا ُك ْم
“Dan bagi kamu seprdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu”
Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentuan sebagai
Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah
menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur
dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu,
perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang
fasid menurut sari‟ah adalah perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu, bila salah seorang
mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini
hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara pezina,
mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak
mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari ibunya.
Perkawinan itu dalam posisi; Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih
utuh –tidak dalam perceraian yang ba‟in shugra‟-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling
mempusakai, yaitu berakhirnya perkawinan semata mata dengan matinya salah seorang
suami-istri.
PENUTUP
Di era abad millineum, abad di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi
yang semakin canggih, tetapi bagi seorang pendidik tidak mungkin menguasai seluruh
khazanah ilmu pengetahuan meski pada rumpun bidang keilmuannya sebagai spesifikasi
kompetensi yang dimiliki, kecil kemungkinannya seseorang menjadikan dirinya pusat gudang
berbagai ilmu.
Dalam hal ini prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) membekali lulusannya menjadi
guru profesional di bidangnya dengan memperhatikan proses pembelajaran yang telah
dievaluasi perspektif kurikulum berbasis Kerangka Kualifiakasi Nasional (KKNI) yaitu
kurikulum yang memperhatikan proses pendidikan dan learning out come pembelajaran yang
terukur.
Penulisan buku ini dibuat khusus untuk mahasiswa prodi PAI dalam hal memahami
Fiqh dan para pembaca pada umumnya untuk dapat memahami fikih mu‟amalat, munkahat
dan mawaris yang bersumber di dalam al-Qur‟an dan Hadis . Semangat penulisan buku fiqh
ini juga untuk mewujudkan pemahaman hukum Islam yang lebih komprehensif dan holistik.
Semoga bermanfaat wallohu a‟lamu