Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Fara’idh (‫ )فرائض‬adalah jama dari faridhah (‫ )فريضة‬yaitu yang difardhukan. Fardhu


menurut arti bahasa adalah “kepastian” atau taqdir (ketentuan), sedangkan menurut syara’
dalam hubungan dengan waris adalah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.
Kemudian kata ini menjadi istilah baku untuk waris (‫)وراثة‬, yaitu harta peninggalan atau
harta pusaka dari seseorang yang meninggal dunia, yang akan dibagikan kepada ahli waris
menurut bagian tertentu.
islam menganjurkan, supaya pemeluk-pemeluknya mempelajari segala macam ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi. Dari sekian banyak ilmu, yang
tidak kurang pentingnya untuk dipelajari adalah ilmu faraidh (pembagian harta warisan).
Rasulullah bersabda :

َ ‫َان فِى ْالفَ ِر ْي‬


َ‫ض ِة فَال‬ َ ‫ض َوت َْظ َه ُر ْال ِفتَنُ َحتَّى يَ ْختَ ِل‬
ِ ‫ف اِثْن‬ َ ‫ض َوا َِّن ْال ِع ْل َم‬
ُ َ‫سيُ ْقب‬ ٌ ‫اس فَإِنِى ا ْم ُر ٌؤ َم ْقب ُْو‬
َ َّ‫ض َو َع ِل ُم ْوهَا الن‬
َ ِ‫االفَ َرائ‬ ْ ‫تَعَلَّ ُم ْو‬
) ‫ضى بَ ْينَ ُه َما ( رواه الحاكم‬ ِ ‫ان َم ْن يَ ْق‬
ِ ‫يَ ِج َد‬

“Pelajarilah ilmu faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkan kepada manusia.
Sesungguhnya aku seorang manusia yang bakal dicabutnya waktu dan ilmu itupun
akan turut tercabut pula.Bakal lahirlah nanti fitnah-fitnah, sehingga terjadilah
perselisihan antara dua orang mengenai warisan, maka tidak didapatinya orang
yang akan memberikan putusan (mengenai perselisihan yang terjadi) di antara
keduanya” (H.R. Hakim )

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian faraidh ?


2. Bagaimana rukun waris dan sebab-sebab memperoleh warisan ?
3. Bagaimana syarat-syarat pewarisan ?
4. Apa saja penghalang mendapat warisan ?
5. Bagaimana permasalahan ahli waris serta klasifikasinya ?

1
1.3 TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui


bagaimana ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ilmu mewaris, yaitu pengertian
faraidh, rukun waris dan sebab-sebab memperoleh warisan, syarat-syarat pewarisan,
penghalang mendapat warisan, dan juga permasalahan ahli waris beserta
klasifikasinya.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN FARAIDH

Dari segi bahasa, kata mawaris (‫ )موارث‬merupakan bentuk jamak dari kata ‫ِمي َْراث‬
artinya harta yang diwariskan. Secara istilah, berarti ilmu tentang pembagian harta
peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu mawaris disebut juga
ilmu faraidh (‫ض‬ ِ ِ‫)فَ َرائ‬. Kata faraidh dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari
َ ‫ َف ِر ْي‬yang berarti ketentuan, bagian atau ukuran.
‫ضة‬

Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena mempelajari tentang ketentuan-
ketentuan pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut hukum Islam. Disebut ilmu
faraidh karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan
terhadap masing-masing ahli waris. Sebagaimana definisi faraidh di bawah ini :

ُ ‫ش ْرعِ فَ ْالفَ ْر‬


‫ض نَ ِسيْبٌ ُم َقد ٌَّرش َْرعًا ِل ُم ْست َِح ِق ِه‬ َّ ‫َوا َ َّمافِى ال‬

“Adapun ilmu faraidh menurut syara’ adalah bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh
syara’ bagi yang berhak ( ahli waris ).

Orang yang meninggal dunia (yang mewariskan) disebut Al Muwaris (‫ث‬ ْ ‫ )اَل ُم َو ِر‬bentuk
jamaknya َ‫ اَل ُم َو ِرث ُ ْون‬sedangkan ahli warisnya (yang mewarisi) disebut Al Waris ‫ث‬ ْ ‫( ) ا َ َلو ِار‬
bentuk jamaknya َ‫اَ ْل َو ِارث ُ ْون‬dan harta peninggalan atau harta pusakanya disebut Al
ْ ‫ ا َ ْل ِمي َْر‬atau al irst ‫ ا ِآل ْرث‬.
Mirats ‫اث‬

Ada beberapa Istilah dalam Fiqh Mawaris yang berkaitan dengan ilmu faraidh antara lain :

1. Waris, adalah ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang dekat
hubungan kekerabatannya tetapi tidak menerima warisan, dalam fiqih ahli waris
semacam ini disebutdzawil arham. Waris bisa timbul karena hubungan darah, karena
hubungan perkawinan dan karena akibat memerdekakan hamba.
3
2. Muwaris, artinya orang yang mewarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang
meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki atau secara taqdiry (perkiraan), atau
melalui keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al mafqud) dan tidak diketahui
kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksian atau tenggang waktu tertentu
hakim memutuskan bahwa ia telah dinyatakan meninggal dunia.
3. Al Irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al janazah), pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.
4. Warasah,yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan
harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi, karena menjadi milik
kolektif semua ahli waris.
5. Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang, dan pelaksanaan wasiat.

2.2 RUKUN MEWARIS

Rukun waris ada 3 :

1. Al-muwaris, orang yang diwarisi harta peninggalan atau orang yang mewariskan
hartanya.
2. Al-waris/ahliwaris, orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan.
3. Al-maurus atau al-miras. Harta peninggalan yang telah meninggal.

2.3 SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH WARISAN

Menurut Islam, sebab-sebab mewarisi itu ada empat macam sebagai berikut :

1) Sebab nasab (hubungan keluarga).

Hubungan keluarga di sini yang disebut dengan nasab hakiki, artinya hubungan darah atau
hubungan kerabat, baik dari garis atas atau leluhur si mayit (ushul), garis keturunan (furu’(,
maupun hubungan kekerabatan garis menyamping (hawasyi), baik laki-laki maupun
perempuan. Misalnya seorang anak akan memperoleh harta warisan dari bapak, dan
sebaliknya, seseorang akan memperoleh harta warisan dari saudaranya, dll. Sebagaimana
.firman Allah SWT

4
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”. (QS. An Nisa : 7)

2) Sebab pernikahan yang sah.

Pernikahan yang sah yakni hubungan suami istri yang diikat oleh adanya akad nikah. Dari
sebab inilah lahirlah istilah-istilah dalam ilmu faraidh, seperti : Dzawil furudh, Ashobah,
Furudz Al Muqadzarah. Firman Allah :

(۱۲:‫اج ُك ْم ) النساء‬
ِ ‫ف َما ت ََركَ اَ ْز َو‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
ُ ‫ص‬

“Dan bagimu ( suami-suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri
kamu” (QS. An Nisa : 12)

3) Sebab wala’ (‫ )الوالء‬atau sebab jalan memerdekakan budak.

Tuan yang memerdekakan hamba sahayanya apabila hamba sahaya yang dimerdekakan itu
mati, maka tuan itu berhak menerima harta pusaka atau warisan peninggalan hamba sahaya
itu. Rasulullah SAW bersabda :

(‫اِنَّ َما ْال َوالَ ُء ِل َم ْن ا َ ْعتَقَ )متفق عليه‬

“Sesungguhnya hak menerima harta pusaka itu bagi orang yang memerdekakan (H.R.
Bukhari Muslim)

4) Sebab kesamaan agama (‫)اتحاد الدين‬.

Kesamaan agama yaitu apabila ada orang Islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak
mempunyai ahli waris (baik sebab nasab, nikah maupun wala’) maka harta warisan
peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW :

5
(‫ث لَهُ )رواه احمد وابو داوود‬ ُ ‫اَنا َ َو ِار‬
َ ‫ث َم ْن الَ َو ِار‬

Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)

Rasulullah SAW. terang tidak menerima harta pusaka untuk diri beliau sendiri, hanya beliau
menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan semata-mata untuk kemaslakatan umat
Islam.

2.4 SYARAT-SYARAT PEWARISAN

Syarat-syarat pewarisan ada tiga , yaitu :

1. Seseorang meniggal secara hakiki atau secara huku.


2. Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris meniggal
3. Mengetahui golongan ahli waris.

2.5 BEBERAPA PENGHALANG MENDAPATKAN WARISAN

Yang dimaksud terhalang di sini adalah Ahli waris baik laki-laki maupun perempuan
yang semestinya mendapatkan harta warisan tetapi terhalang karena adanya sebab-sebab
tertentu. Orang tersebut disebut orang yang terhalang (Mamnu’ul Irtsy) atau disebutterhalang
karena adanya sifat tertentu (Mahjub bil Washfi).

Ahli warismenjadi gugur haknya untuk mendapatkan harta warisan disebabkan karena
sebagai berikut :

1) Pembunuh (‫)القتل‬.

Orang yang membunuh kerabat keluarganya tidak berhak mendapatkan harta warisan dari
yang terbunuh. Sabda Nabi Muhammad SAW :

6
)‫ئ )رواه النسائ‬
ٌ ‫ش ْي‬ ِ ‫ْس ِل ْلقَا تِ ِل ِمنَ ْال ِمي َْرا‬
َ ‫ث‬ َ ‫لَي‬

“Tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun seorang yang membunuh”.

Mengenai masalah ini, ada perbedaan pendapat :

a) Segolongan kecil berpendapat, bahwa si pembunuh tetap mendapatkan warisn selaku,


selaku ahli wais.

b) Kemudian golongan lain memisahkan sifat pembunuhan itu, yaitu pembunuhan yang
disengaja dan yang tersalah. Siapa yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dia tidak
mendapat warisan sama sekali. Siapa yang melakukan pembunuhan tersalah, dia tetap
mendpat warisan. Pendapat ini dianut oleh Malik bin Anas dan pengikut-pengikutnya.

Yang menjadi pangkal pokok perbedaan pendapat mengenai hal ini ialah, disebabkan suatu
pertimbangan tentang kepentingan umum. Menurut kepentingan umum, sudah sepantasnya si
pembunuh itu tidak mendapatkan warisan, supaya jangan sampai terjadi pembunuhan-
pembunuhan, karena mengharapkan harta warisan. Demikian penemikian pendapat sebagaian
besar ulama.

2) Budak (‫)العبد‬

Seorang yang menjadi budak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari tuannya,
dan juga tuannya tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari budaknya. Sebagaimana
firman Allah SWT :

(۷۵: ‫ش ْي ٍئ )النحل‬
َ z>uÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B w âÏø)t 4n?tã

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak
dapat bertindak terhadap sesuatupun”. (QS. An-Nahl: 75)

7
3) Orang murtad.

Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari
keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya.

4) Perbedaan Agama (‫)االختالف الدين‬

Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan dari orang kafir meskipun masih kerabat
keluarganya. Demikian juga sebaliknya sebagaimana Sabda Rasulullah:

(‫ث ْالكَافِ َر ْال ُم ْس ِلم )متفق عليه‬


ُ ‫ث ْال ُم ْس ِل َم ْالكَافِ َر َوالَ َي ِر‬
ُ ‫الَ َي ِر‬

“Orang Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orangkafir, dan orang kafir tidak
bisa mendapatkan harta warisan dari Orang Islam (HR. Bukhari Muslim)

Ada beberapa ahli waris yang tidak bisa terhalangi haknya meskipun semua ahli waris itu
ada. Mereka itu adalah anak laki-laki (‫ )ابن‬anak perempuan (‫ )بنت‬bapak (‫ )اب‬ibu (‫ )ام‬suami
(‫ )زوج‬dan isteri (‫) زوجة‬

8
2.6 PERMASALAHAN AHLI WARIS BESERTA KLASIFIKASINYA

Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima bagian dari harta
warisan. Ahli waris tersebut adalah baik laki-laki mapun perempuan, baik yang
mendapatkan bagian tertentu (Dzawil Furudh), maupun yang mendapatkan sisa
(Ashabah), dan yang terhalang (Mahjub) maupun yang tidak. Ditinjau dari sebab-
sebab seseorang menjadi ahli waris, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Ahli waris Sababiyah

Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan perkawinan
dengan orang yang meninggal yaitu suami atau istri.

2) Ahli waris Nasabiyah

Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan nasab atau
pertalian darah dengan orang yang meninggal. Ahli waris nasabiyah ini dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu :

a) Ushulul Mayyit, yang terdiri dari bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya ke
atas (garis keturunan ke atas).

b) Al Furu’ul Mayyit, yaitu anak, cucu, dan seterusnya sampai ke bawah (garis
keturunan ke bawah).

c) Al Hawasyis, yaitu saudara paman, bibi, serta anak-anak mereka (garis


keturunan ke samping) Dari segi jenis kelamin, ahli waris, dibagi menjadi ahli waris laki-laki
dan ahli waris perempuan.

Yang termasuk ahli waris laki-laki ada lima belas orang, yaitu:

1. Suami (‫)زوج‬
2. anak laki-laki (‫)ابْن‬
ِ ُ‫)اِ ْبن‬
3. cucu laki-laki (‫االب ِْن‬

Ingatlah : Jumlah ahli waris laki-laki ada 15 dan jika semua ada Cuma ada tiga yang mendapat : yaitu
suami, anak laki-laki dan bapak.

bapak (‫)أَب‬

9
1. kakek dari bapak ( ‫ب‬ِ َ‫ )أب ُْو اال‬sampai ke atas (‫ب‬ ِ َ‫) َجدُّ ْال َج ِد َجدُّ اال‬
2. saudara laki-laki kandung َ‫)أَ ُخ األَب َْويْن‬
3. saudara laki-laki seayah (‫ب‬ ِ َ ‫)أ َ ُخ األ‬
4. saudara laki-laki seibu (‫)أَ ُخ األ ُ ِم‬
5. anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (‫) ِإ ْبنُ األَخِ ِلأل َ َب َوي ِْن‬
6. anak laki-laki saudara laki-laki seayah (‫ب‬ ِ ‫) ِا ْبنُ األَخِ ِل‬
ِ ‫أل‬
7. paman sekandung dengan bapak (‫) َع ُّم ِلأل َ َب َوي ِْن‬
8. paman seayah dengan bapak (‫ب‬ ِ َ ‫) َع ُّم ِلأل‬
9. anak laki-laki paman sekandung dengan bapak (‫الًَ َع ِم ِلأل َ َب َوي ِْن‬ ْ ً ُ‫) ِإ ْبن‬
10. anak laki-laki paman seayah dengan bapak(‫ب‬ ِ َ ‫)إِ ْبنُ ْالعَ ِم ِلأل‬
11. orang yang memerdekakan(‫)ال ُم ْعتِ ْق‬ ْ

Jika semua ahli waris laki-laki di atas ada semua, maka yang mendapat warisan adalah suami,
anak laki-laki, dan bapak, sedangkan yang lain terhalang ‫َمحْ ُج ْوب‬

Adapun ahli waris perempuan yaitu :

1. Istri ( ‫)زوجة‬
2. Anak perempuan ( ‫)بنت‬
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki ( ‫)بنت اإلبن‬
4. Ibu (‫) االم‬
5. Nenek dari ibu (‫ أم االم‬/ ‫)جدة‬
6. Nenek dari bapak (‫)أم االب‬
7. Seudara perempuan kandung (‫)أخت االبوبين‬
8. Saudara perempuan seayah (‫)أخت األب‬
9. Saudara perempuan seibu (‫)أخت لألم‬
10. Orang perempuan yang memerdekakan‫ُم ْعتِقَة‬

Jika ahli waris perempuan ini semua ada, maka yang mendapat bagian harta warisan adalah :
istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan
kandung.

Selanjutnya, jika seluruh ahli waris ada baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat
bagian adalah suami/istri, Bapak/ibu dan anak ( laki-laki dan perempuan ).

10
Furudhul Muqadzara
Ketahuilah : Furudhul Muqaddarah terdiri dari :

Furudzul Muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an bagi
ahli waris tertentu juga. Bagian tertentu tersebut menurut Al-Qur’an adalah:

1) Bagian ½ (‫ف‬ ْ ِ‫)اَن‬


َ ‫ص‬

2) ُّ َ ‫)ا‬
Bagian ¼ (‫لر ْب ُع‬

3) Bagian 1/8 ( ُ‫)اَلثُّ ْمن‬

4) ُ ُ‫) اَلثُّل‬
Bagian 1/3 (‫ث‬

5) ِ َ ‫)اَلثُّلُث‬
Bagian 2/3 (‫ان‬

6) Bagian 1/6 (‫ُس‬ ُّ َ‫) ا‬


ُ ‫سد‬

Dzawil Furudz
Dzawil Furudh adalah orang-orang dari ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu
sebagaimana tersebut di atas, disebut juga Ashabul Furudh.

Adapun bagian-bagian tertentu tersebut menurut Al-Qur’an adalah :

1) Ahli waris yang mendapat bagian ½, ada lima ahli waris sebagai berikut :

a) Anak perempuan (tunggal), dan jika tidak ada anak laki-laki.

Berdasarkan firman Allah :

(۱۱:‫ ) النساء‬bÎ)ur ôMtR%x. Zoy‰Ïmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$#

“jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh 1/2 harta” (QS. An Nisa/4 :
11)

b) Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki selama tidak ada :

11
 anak laki-laki;
 cucu laki-laki dari anak laki-laki;
c) Saudara perempuan kandung tunggal, jika tidak ada :

 Anak laki-laki atau anak perempuan;


 Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki;
 Bapak;
 Kakek ( bapak dari bapak );
 Saudara laki-laki sekandung.
Firman Allah SWT :

”Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya”. (Q.S. An-Nisa’/4 :176 )

d) Saudara perempuan seayah tunggal, dan jika tidak ada :

 Anak laki-laki atau anak perempuan;


 Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki;
 Bapak;
 Kakek ( bapak dari bapak );
 Saudara perempuan sekandung.
 saudara laki-laki sebapak.

“Dan bagi orang yang meninggalkan saudara perempuan maka ia mendapat bagian 1/2
dari harta warisan”. (QS. An Nisa/4: 175) .

e) Suami, jika tidak ada :

 anak laki-laki atau perempuan


 cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

12
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak”(Q.S. An-Nisa’/4 :12 )

2) Ahli waris yang mendapat bagian 1/4

a) Suami, jika ada :

 anak laki-laki atau perempuan


 cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
ُّ ‫فَا ِْن َكانَ لَ ُه َّن َولَد ٌ فَلَ ُك ُم‬
(۱۲:‫الربُ ُع ِم َّما تَركَ ) النساء‬

“Apabila istri-istri kamu itu mempunyai anak maka kamu memperoleh seperempat harta
yang ditinggalkan” (Q.S, an-Nisa/4 : 12)

b) Istri (seorang atau lebih), jika ada :

 anak laki-laki atau perempuan


 cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
(۱۲:‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكت ُ ْم ِإ ْن لَ ْم َي ُك ْن لَ ُك ْم َولَدٌ ) النساء‬
ُّ ‫َولَ ُه َّن‬

“Dan bagi istri-istrimu mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan apabila kamu
tidak meninggalkan anak”. (Q.S. An-Nisa’/4: 12)

3) Ahli waris yang mendapat bagian 1/8

Ahli waris yang mendapat bagian 1//8 adalah istri baik seorang atau lebih, jika ada :

 anak laki-laki atau perempuan


 cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
(۱۲:‫فَا ِْن َكانَ لَ ُك ْم َولَدٌ فَلَ ُه َّن الث ُّ ُمنُ ِم َّما ت ََر ْكت ُ ْم ) النساء‬

“Apabila kamu mempunyai anak, maka untuk istri-istrimu itu seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan “. (Q.S.An-Nisa’/4 : 12)

13
4) Ahli waris yang mendapat bagian 2/3

Dua pertega ( 2/3) dari harta pusaka menjadi bagian empat orang :

a) Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Jika anak itu semua perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan”.(Q.S. An-Nisa’ /4 : 11 )

b) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak ada anak
perempuan atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.

c) Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan atau
cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudarai laki-laki kandung.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

ِ َ ‫فَإ ِ ْن كَانَت َااثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َماالثُّلُث‬


(۱۷٦:‫ان ِم َّمات ََركَ ) النساء‬

“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang ditinggalkannya oleh yang meninggal”.(Q.S. An-Nisa’/4 : 176 )

d) Dua orang perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-
laki dan saudara laki-laki seayah.

5) Ahli waris yang mendapat bagian 1/3

a) Ibu, jika yang meninggal tidak memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki atau
saudara-saudara.

“jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam”. (QS. An Nisa : 11).

14
b) Dua orang saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan yang seibu.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu”. (Q.S. An-Nisa’/4 : 12

6) Ahli waris yang mendapat bagian 1/6.

Bagian seperenam (1/6) dari harta pusaka menjadi milik tujuh orang :

a) Ibu, jika yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua
orang atau lebih dari saudara laki-laki atau perempuan.

b) Bapak, bila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak”.

( Q.S An-Nisa’/4 : 11 )

c) Nenek (Ibu dari ibu atau ibu dari bapak), bila tidak ada ibu.

( ‫ُس اِذَالَ ْم يَ ُك ْن د ُْونَ َهاا ُ ٌّم ) رواه ابودود والنساء‬ ُّ ‫سلَّ َم َجعَ َل ِل ْل َجدَّةِال‬
َ ‫سد‬ َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ِ‫ا َ َّن النَّب‬
َ ‫ى‬

“Bahwasanya Nabi SAW. telah memberikan bagian seperenam kepada nenek, jika tidak
terdapat (yang menghalanginya), yaitu ibu”.(H.R. Abu Dawud dan Nasa’i )

d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang atau lebih, jika bersama-sama seorang
anak perempuan .

Sabda Nabi Muhammad SAW :

ِ ‫ص ْل‬
(‫ب )رواه البخارى‬ ِ ‫االب ِْن َم َع بِ ْن‬
ُّ ‫ت ال‬ ِ ‫ت‬ ِ ‫ُس ِلبِ ْن‬ ُّ ‫سلَّ َم ال‬
َ ‫سد‬ َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ َ‫ق‬
َ ‫ضى النَّبِى‬

15
“ Nabi SAW. telah menetapkan seperenam bagian untuk cucu perempuan dari anak laki-laki,
jika bersama dengan anak perempuan”. (H.R. Bukhari ).

e) Kakek, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak
ada bapak.

f) Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan), jika yang meninggal tidak
mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan bapak.

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

“ Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja, atau saudara perempuan seibu
saja, maka bagi masing-masing kedua saudara ibu seperenam harta”. ( Q.S. An-Nisa’/4 : 12
)

g) Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika yang meninggal dunia mempunyai
saudara perempuan sekandung dan tidak ada saudara laki-laki sebapak.

Ahi waris yang tergolong dzawil furudz dan kemungkinan bagian masing-masing adalah
sebagai berikut :

1) Bapak mempunyai tiga kemungkinan;

a) 1/6 jika bersama anak laki-laki.

b) 1/6 dan ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

c) ashabah jika tidak ada anak.

2) Kakek (bapak dari bapak) mempunyai 4 kemungkinan

a) 1/6 jika bersama anak laki-laki atau perempuan

b) 1/6 dan ashabah jika bersama anak laki-laki atau perempuan

c) Ashabah ketika tidak ada anak atau bapak.

16
d) Mahjub atau terhalang jika ada bapak.

3) Suami mempunyai dua kemungkinan;

a) 1/2 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.

b) 1/4 jika yang meninggal mempunyai anak.

4) Anak perempuan mempunyai tiga kemungkinan;

a) 1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak laki-laki.

b) 2/3 jika dua orang atau lebih dan jika tidak ada anak laki-laki.

c) menjadi ashabah, jika bersamanya ada anak laki-laki.

5) Cucu perempuan dari anak laki-laki mempunyai 5 kemungkinan;

a) 1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

b) 2/3 jika cucu perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada anak dan cucu laki-laki
dari anak laki-laki.

c) 1/6 jika bersamanya ada seorang anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki dan cucu
laki-laki dari anak laki-laki.

d) menjadi ashabah jika bersamanya ada cucu laki-laki.

e) Mahjub/terhalang oleh dua orang anak perempuan atau anak laki-laki.

6) Istri mempunyai dua kemungkinan;

a) 1/4 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.

b) 1/8 jika yang meninggal mempunyai anak.

17
7) Ibu mempunyai tiga kemungkinan;

a) 1/6 jika yang meninggal mempunyai anak.

b) 1/3 jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau dua orang saudara.

c) 1/3 dari sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami, Ibu dan bapak, atau istri, ibu dan
bapak.

8) Saudara perempuan kandung mempunyai lima kemungkinan

a) 1/2 kalau ia seorang saja.

b) 2/8 jika dua orang atau lebih.

c) ashabah kalau bersama anak perempuan.

d) Mahjub/tertutup jika ada ayah atau anak laki-laki atau cucu laki-laki.

9) Saudara perempuan seayah mempunyai tujuh kemungkinan

a) 1/2 jika ia seorang saja.

b) 2/3 jika dua orang atau lebih.

c) ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan.

d) 1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung.

e) Mahjub/terhalang oleh ayah atau anak laki-laki, atau cucu laki-laki atau saudara laki-
laki kandung atau saudara kandung yang menjadi ashabah.

10) Saudara perempuan atau laki-laki seibu mempunyai tiga kemungkinan.

a) 1/6 jika seorang, baik laki-laki atau perempuan.

18
b) 1/3 jika ada dua orang atau lebih baik laki-laki atau permpuan.

c) Mahjub/terhalang oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki, ayah atau nenek
laki-laki.

11) Nenek (ibu dari ibu) mempunyai dua kemungkinan

a) 1/6 jika seorang atau lebih dan tidak ada ibu.

b) Mahjub/terhalang oleh ibu.

’Ashabah
Menurut bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”Ashib” yang artinya mengikat,
menguatkan hubungan kerabat/nasab. Menurut syara’ ’ashabah adalah ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta
dibagi kepada ahli waris dzawil furudz.

Ahli waris yang menjadi ’ashabah kemungkinan mendapat seluruh harta, karena tidak ada
ahli waris dzawil furudh, akan mendapat sebagaian sisa ketika ia bersama ahli waris dzawil
furudh, atau bahkan tidak mendapatkan sisa sama sekali karena sudah habis dibagikan kepada
ahli waris dzawil furudh.

Di dalam istilah ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah ada tiga yaitu :

1) ‘Ashabah Binnafsi yaitu menjadi ‘ashabah dengan sebab sendirinya, tanpa disebabkan
oleh orang lain. Ahli waris yang termasuk ashabah binnafsi adalah :

a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki

c) Ayah

d) Kakek

e) Saudara kandung laki-laki

f) Sudara seayah laki-laki

19
g) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung

h) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

i) Paman kandung

j) Paman seayah

k) Anak laki-laki paman kandung

l) Anak laki-laki paman seayah

m) Laki-laki yang memerdekakan budak

Apabila semua ‘ashabah-‘ashabah ada, maka tidak semua ‘ashabah mendapat bagian, akan
tetapi harus didahulukan orang-orang ( ‘ashabah-‘ashabah) yang lebih dekat pertaliannya
dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang
tersebut di atas.

Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka
mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak
laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Firman Allah dalam al-Qur’an :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”. (Q.S.An-
Nisa’/4 : 11)

2) ‘Ashabah Bilgha’ir yaitu anak perempuan, cucu peremuan, saudara perempuan seayah,
yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka masing-masing ( ‘Ashabah
dengan sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).

Prempuan yang menjadi ‘ashabah dengan sebab orang lain adalah :

a) Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah dengan
ketentuan, bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.

20
b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan
menjadi ‘ashabah.

c) Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
‘ashabah.

d) Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
‘ashabah.

Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara membaginya ialah,
untuk saudara laki-laki dua kali lipat saudara perempuan.

Allah berfirman adalam al-Qur’an :

“Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan”. (.Q.S, An-Nisa’ /4 : 176 )

3) ‘Ashabah Ma’algha’ir ( ‘ashabah bersama orang lain ) yaitu ahli waris perempuan yang
menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain. Mereka adalah :

a) Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan


(seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.

b) Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu
perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki.

21
Hijab

Hijab adalah penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan sama sekali
ataupun pengurangan bagian harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat
pertaliaannya ( hubungannya ) dengan orang yang meninggal.

Oleh karena itu hijab ada dua macam

1) ‫ان‬ ِ ‫( ِح َجابْ ِح ْر َم‬hijab hirman) yaitu penghapusan seluruh bagian , karena ada ahli waris
yang lebih dekat hubungannya dengan orang yang meninggal itu. Contoh cucu laki-laki dari
anak laki-laki, tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.

2) ‫ان‬ َ ‫( ِح َجابْ نُ ْق‬hijab nuqshon) yaitu pengurangan bagian dari harta warisan, karena ada
ْ ‫ص‬
ahli waris lain yang bersama-sama dengan dia. Contoh : ibu mendapat 1/3 bagian, tetapi yang
meninggal itu mempunyai anak atau cucu atau beberapa saudara, maka bagian ibu berubah
menjadi 1/6.

Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak mendapat bagian) yang disebut ‫َمحْ ُج ْوب‬
‫ان‬
ِ ‫(ح ْر َم‬mahjub
ِ hirman), ada ahli waris yang hanya bergeser atau berkurang bagiannya yang
disebut ‫ان‬ َ ‫( َمحْ ُج ْوب نُ ْق‬mahjub nuqshan) Ahli waris yang terakhir ini tidak akan terhalang
ْ ‫ص‬
meskipun semua ahli waris ada, mereka tetap akan mendapat bagian harta warisan meskipun
dapat berkurang. Mereka adalah ahli waris dekat yang disebut َ‫( االَ ْق َرب ُْون‬Al Aqrabun) mereka
terdiri dari : Suami atau istri, Anak laki-laki dan anak perempuan, Ayah dan ibu.

Ahli waris yang terhalang :

Berikut di bawah ini ahli waris yang terhijab atau terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan yang meninggal adalah :

1) Kakek (ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek
tidak mendapat bagian.

2) Nenek (ibu dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu

22
3) Nenek dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu

4) Cucu dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh anak laki-laki

5) Saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki dari anak laki-laki

c) ayah

6) saudara kandung perempuan terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) ayah

7) saudara ayah laki-laki dan perempuan terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) anak laki-laki dan anak laki-laki

c) ayah

d) saudara kandung laki-laki

e) saudara kandung perempuan

f) anak perempuan

g) cucu perempuan

8) saudara seibu laki-laki / perempuan terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki atau perempuan

23
b) cucu laki-laki atau perempuan

c) ayah

d) kakek

9) Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki

c) ayah

d) kakek

e) saudara kandung laki-laki

f) saudara seayah laki-laki

10) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki

c) ayah

d) kakek

e) saudara kandung laki-laki

f) saudara seayah laki-laki

11) Paman (saudara laki-laki sekandung ayah) terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

24
b) cucu laki-laki

c) ayah

d) kakek

e) saudara kandung laki-laki

f) saudara seayah laki-laki

12) Paman (saudara laki-laki sebapak ayah) terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki

c) ayah

d) kakek

e) saudara kandung laki-laki

f) saudara seayah laki-laki

13) Anak laki-laki paman sekandung terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki

c) ayah

d) kakek

e) saudara kandung laki-laki

f) saudara seayah laki-laki

25
14) Anak laki-laki paman seayah terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) cucu laki-laki

c) ayah

d) kakek

e) saudara kandung laki-laki

f) saudara seayah laki-laki

15) Cucu perempuan dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh :

a) anak laki-laki

b) dua orang perempuan jika cucu perempuan tersebut tidak bersaudara laki-laki yang
menjadikan dia sebagai ashabah

2.7 Beberapa hal yang terkait dengan pembagian harta warisan

1). Pembagian ‘Aul

Secara bahasa ‘aul (‫ )عول‬bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’. Al ‘aul bisa juga berarti
‘bertambah’ atau “ menaikkan jumlah bagian ahli waris terhadap Asal Masalah “. Sedangkan
definisi ‘aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian –bagian, disebabkan
kurang pendapatan yang harus diterimaoleh ahli waris, sehingga jumlah bagian semuannya
berlebih dari Asal Masalahnya atau KPK. ‘Aul terjadi saat makin banyaknya ashabul furud
sehingga harta yang dibagikan habis. Padahal masih ada diantara para ahli waris yang belum
menerima bagian. Dalam keadaan tersebut kita harus menaikkan atau menambah pokok
masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashabul furud yang ada,
meskipun bagian mereka menjadi berkurang.

Menurut Ulama-ulama faraidh, pokok masalah yang dapat yang di’aul, hanya tiga masalah
saja, yaitu :

AM 6 bisa di’aul menjadi 7, 8, 9, dan 10.

26
AM 12 bisa di’aul menjadi 13, 15 dan 17.

AM 24 hanya bisa di’aul menjadi 27.

‘Aul dalam pembagian warisan adalah cara mengatasi kesulitan pembagian warisan jika asal
masalah yang dilambangkan angka pembilang lebih kecil dari jumlah penyebutnya.
Penyelesaian masalah ini adalah dengan membulatkan angka pembilangnya.

2). Pembagian Radd

Di dalam uraian yang telah lalu sudah dijelaskan, bahwa harta warisan itu dibagi-
bagikan kepada ahli waris yang mendapat ketentuan ataupun kepada ‘ashabah.

Uraiakan berikut ini akan dikemukakan masalah radd. Jelasnya, setelah harta peninggalan itu
dibagi-bagikan kepada ahli waris yang mendapat ketentuan, tetapi kemudian ternyata masih
ada sisanya, sedangkan ‘ashabahpun tidak ada pula, maka sisa tersebut dibagi-bagikan
kepada mereka yang sudah mendapat bagian tadi. Cara pembagian yang seperti ni disebut
radd.

Radd dalam bahasa Arab berarti kembali / kembalikan. Adapun radd menurut istilah ilmu
faraid ialah pengembalian sisa pembagian harta warisan kepada dzawil furudh selain suami
atau istri. Jadi, apabila dalam ahli waris tersebut tidak ada suami atau istri maka sisa
pembagian tersebut ditambahkan ( dikembalikan ) kepada ahli waris dzawil furudh dengan
cara menjadikan Asal Masalah ( AM ) dengan jumlah bilangan pembilangnya ( jumlah
bagian masing-masing ahli waris ). Radd merupakan kebalikan dari al ‘aul. Misalnya dalam
suatu pembagian hak waris, para ashabul furud telah menerima haknya masing-masing. Akan
tetapi harta warisan ternyata masih tersisa, dan tidak ada kerabat lain yang menjadi ashabah.
Jika demikian, maka sisa harta warisan akan diberikan atau dikembalikan kepada para
ashabul furud selain suami atau istri sesuai bagian masing-masing ahli waris.

Sebenarnya, ahli-ahli hukum berbeda pendapat tentang kelebihan sisa pembagian harta
warisan itu. Zaid bin Tsabit berpendapat, bahwa kelebihan sisa itu, diserahkan kepada
Perbendaharaan Umum ( Baitul Mal ) untuk dipergunakan bagi kepentingan umum. Pendapat
tersebut juga dianut Malik bin Anas dan Syafi’i. Tatapi kebanyakan sahabat-sahabat Nabi
berpendapat, bahwa kelebihan sisa pembagian itu, dikembalikan lagi (radd) kepada ahli waris
yang mendapat bagian itu.

27
Ar radd tidak akan terjadi kecuali terpenuhi tiga syarat berikut : yaitu (1) adanya ashabul
furud, (2) tidak adanya ‘ashabah, dan (3) masih adanya sisa harta waris. Bila dalam
pembagian waris tidak ada tiga syarat tersebut, maka radd tidak akan terjadi.

Radd dalam arti bahasa adalah mengembalikan. Dalam arti istilah adalah mengembalikan sisa
harta pusaka kepada ahli waris selain suami atau istri.

2.8 Hikmah Pembagian Warisan


Faedah ilmu faraidh adalah untuk mengetahui bahwa harta pusaka itu benar-benar
diberikan kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian akan terhindar pengambilan
hak orang lain dengan jalan yang tidak halal.

Faraidh ini mempunyai hikmah dan nilai-nilai obyektif yang luhur yang berkembang di
masyarakat, diantaranya ialah :

1. Dapat memelihara dari timbulnya fitnah, karena salah satu penyebab timbulnya fitnah
adalah pembagian harta warisan yang tidak sesuai dengan ketentuan sumber hukum
Islam.
2. Faraidh dapat menjunjung tinggi sunah Rasul. Pelaksanaan ilmu faraidh sebenarnya
menjadi ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad SAW bersabda :

ٌ ‫ضةٌ َعا ِدلَة‬


َ ‫سنَّةٌ ُمتَّ َب َعةٌ اَ ْوفَ ِر ْي‬ ْ َ‫ث َو َما ِس َواى ٰذلِكَ ف‬
ُ ‫ض ُل ٰا َي ٍة ُمحْ َك َملةٌ ا َ ْو‬ ٌ َ‫ا َ ْل ِع ْل ُم ثَل‬

( ‫)رواه ابوداود وابن ماجه‬

“Ilmu itu ada tiga asalnya, yang selainnya hanya pelengkapsaja,yaitu ;(Al-Qur’an) yang
muhkamad (diajdikan pedoman dalam hukum). Sunah Nabi yang sahih, yang menjadi dasar
ikatan hidup, dan atau pembagian harta pusaka yang adil”. ( H.R. Abu Dawud dan Ibnu
Majah )

1. Faraidh berpijak dari kenyataan hidup, yaitu bagian laki-laki dua kali lipat bagian anak
perempuan, karena menurut hukum Islam tanggung jawab anak laki-laki jauh lebih berat
dibandingkan dengan anak perempuan.

28
2. Dapat mewujudkan ketentraman keluarga dan masyarakat. Orang yang beriman didik
untuk tidak memiliki jiwa material yang sifatnya duniawi saja. Tetapi yang utama adalah
kehidupan akhirat.
3. Faraidh dapat mewujudkan manusia yang gagah dan berani, karena Islam tidak
menghendaki keturunan yang lemah.

29
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

faraidh adalah untuk mengetahui bahwa harta pusaka itu benar-benar diberikan
kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian akan terhindar pengambilan hak
orang lain dengan jalan yang tidak halal. Faraidh ini mempunyai hikmah dan nilai-nilai
obyektif yang luhur yang berkembang di masyarakat, diantaranya ialah :

1. Dapat memelihara dari timbulnya fitnah, karena salah satu penyebab timbulnya fitnah
adalah pembagian harta warisan yang tidak sesuai dengan ketentuan sumber hukum
Islam.
2. Faraidh dapat menjunjung tinggi sunah Rasul. Pelaksanaan ilmu faraidh sebenarnya
menjadi ilmu pengetahuan

30
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Ahmad Robia, MA. 2001. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syekh muhammad ali ash Shabuni.1995. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits.
Bandung: Trigenda Karya.

H. Sulaiman Rasyid. 1994. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Drs. Sudarsono, SH. 2001. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: Rieneka Cipta.

Departemen Agama. 1986. Ilmu Fiqih.

31

Anda mungkin juga menyukai