َوتَ َعلَّ ُموا،َّاس ِ َّ ِٰ ال رسو ُل َ َ ق اللِ بْ ِن َم ْسعُ ْود ِ
َ تَ َعل ُموا الْ ُق ْرآ َن َو َعلِّ ُم ْوهُ الن: الل
ِّ ْ ُ َ َ َ ق:ال ِّٰ َع ْن َعْبد
ِ َاْلثْن
ان ِْ ح ّٰت َيْتَلِف، وإِ َّن الْعِلْم سي ْقبض وتَظْهر الْ ِفَت، فَإِِّن امرٌؤ م ْقب وض،ال َفرآئِض وعلِِّموه النَّاس
َ ِّ َ َُ ُ َ َ ُ َ ُ َ َ َ ٌ ْ ُ َ ُ ْ ِّ َ ُ ْ ُ َ َ َ َ
)ضي ِِبَا ( َرَواهُ ا ْْلَاك ُم
5 ِ ِ ض ِة َْل ََِي َد ِان من ي ْق
َ َْ َ ِْيف الْ َف ِري
Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ud ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan
pelajari dan ajarkan juga ilmu faraidh kepada orang-orang, karena
saya ini hanyalah manusia, yang nanti juga akan meninggal, lalu ilmu
waris akan dicabut, kemudian fitnahpun menyebar, sampai-sampai
ketika ada dua orang yang ribut dalam masalah warisan tapi tidak
ada satu orang pun yang bisa menyelesaikannya. (HR. Al-Hakim)
2. Fiqh mawaris akan dicabut dari umat Islam karena umat mulai enggan
mempelajarinya.
4
Ahmad Mukhtar Abdul Hamid Umar, Mu’jam al-Lughah..., juz 3, halaman 2422.
5
Muhammad Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990),
juz 4, halaman 369.
6
Muhammad Al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah (Kairo: Dar al-Risalah al-‘Alamiyah, 2009), juz 4,
halaman 23.
Artinya: Dari Umar bin Al-Khattab ra beliau berkata: Pelajarilah ilmu faraidh
sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran.
4. Dengan mempelajari fiqh mawaris seseorang dapat mencegah perpecahan
keluarga dari konflik perebutan harta warisan
Salah satu penyebab rusaknya hubungan keluarga dan terjadinya konflik
permusuhan antara sesama saudara kandung adalah perebutan harta warisan.
Dari berbagai kasus perebutan harta warisan itu, secara umum disebabkan
karena kurangnya pemahaman ahli waris tentang fiqh mawaris. Konflik yang
terjadi dalam dalam kasus perebutan harta warisan dan klaim hak milik masing-
masing ahli waris tersebut tidak sedikit yang disebabkan karena parameter yang
dipakai dalam penentuan hak masing-masing ahli waris berbeda-beda sesuai
dengan keinginan dan kepentingan masing-masing yang dianggap lebih
menguntungkan. Sebagian ahli waris ada yang ingin menerapkan hukum waris
menurut adat setempat, sebagian yang lain ingin membagi sesuai dengan hukum
barat, sementara yang lainnya lagi wajib pakai fiqh mawaris sehingga terjadilah
konflik kepentingan padahal agama seluruh ahli waris adalah Islam. Belum lagi
ditambah dengan adanya kehendak pribadi ahli waris yang zalim untuk
menguasai seluruh harta warisan yang semakin memperburuk keadaan.
Pepercahan keluarga yang muncul akibat konflik kepentingan dalam
perebutan harta warisan tersebut sejatinya dapat diatasi apabila orang tua sudah
mengajari dan memberikan pendidikan yang cukup terkait fiqh mawaris kepada
anak-anak mereka sejak dini. Oleh karenanya, mempelajari fiqh mawaris sejak
7
Muhammad ‘Alisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1964), juz 9,
halaman 592.
8
Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah,
1984), juz 5, halaman 82.
َ ِب ب
ك ُ َب ِ ْب َوأُطْل َ َوَه ْد ِمي َه ْد ُم،ك
َ ُ َوتَ ِرثُِ ْن َوأَ ِرث،ك
ُ َ َوتُطْل،ك َ َد ِم ْي َد ُم
Artinya: Darahku adalah darahmu, nyawaku adalah nyawamu, kamu akan
menerima warisan hartaku dan aku pun akan menerima warisan
hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut
darahku karena kamu.
Kemudian sesudah salah satu pihak mengucapkan sumpah/janji setia itu
dan pihak lainnya menerimanya maka terlaksanalah janji/sumpah setia dengan
konsekuensi apabila salah satu dari pihak tersebut meninggal dunia maka pihak
lainnya berhak menerima 1/6 kadar bagian dari harta warisannya, adapun
selebihnya dibagikan kepada ahli waris mayit yang lainnya.
Penerimaan warisan dari jalur ini di awal-awal tahun datangnya Islam
masih tetap berlangsung dan masih berlaku dan diakui melalui QS. An-Nisa’
ayat 33 yang kemudian dinasakh dengan QS. Al-Ahzab ayat 6.9
3. Menerima warisan karena sebab ()التَّبَنِي
Pengadopsian anak sudah lama dikenal di masa jahiliyah. Anak yang
diadopsi sebagai anak angkat diutamakan yang sudah dewasa mampu untuk
berperang dan mampu menghidupi keluarganya. Anak angkat tersebut kemudian
dianggap seperti anak kandungnya sendiri hingga memutuskan hak waris dari
ayah kandungnya sendiri. Sebagai gantinya anak angkat di masa jahilyah diakui
memiliki hak bagian warisan dari ayah angkatnya apabila meninggal dunia.
Pada awal mula kedatangan Islam, tradisi mengakui anak angkat seperti
anak kandung ini masih belum diatur sehingga masih berlaku seperti
sebelumnya, namun kemudian melalui QS. Al-Ahzab ayat 4 dan 5 diketahui
bahwa anak angkat itu tetaplah anak angkat dan tidak sama dengan anak
kandung dari segi nasab dan panggilannya. Adapun status hak warisnya pun
tidak layak disamakan dengan anak kandung yang dipertegas melalui QS. Al-
Anfal ayat 75 yang mana ayat ini menegaskan bahwa salah satu sebab saling
9
Kementerian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
(Kuwait: Dar al-Salasil, 1983), juz 3, halaman 18-19.
Muhammad ‘Alisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr,
1964)
10
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam (Surabaya: Pustaka Radja, 2016),
halaman 61-63.