Bab 1-Pendahuluan-Buku Ajar Fiqh Mu - Doc-Feb 2019
Bab 1-Pendahuluan-Buku Ajar Fiqh Mu - Doc-Feb 2019
BAB I
PENDAHULUAN
Capaian Pembelajaran:
1. Mahasiswa dapat mengelaborasi konsep fikih secara umum dan komprehensif sesuai
dengan konteks kajian pembahasan
2. Mahasiswa dapat mengidentifikasi Sumber- sumber Istimbath Ilmu Fiqih dengan benar
3. Mahasiswa dapat mendeskripsikan Karakteristik Ilmu Fiqih sesuai dengan referensi
4. Mahasiswa dapat menjelaskan dengan benar sejarah perkembangan ilmu fiqih
A. Pengertian Fiqih
Fiqih sering disebut dengan hukum Islam, bahkan ketika mengenal secara mendalam
tentang fiqih berarti telah mengenal Islam, meskipun substansinya Islam, bukan sekadar
fiqih. Sebagian ahli fiqih menyebutkan tanpa fiqih, Islam tidak nampak terlihat dalam
praktik kehidupan umat manusia. Dengan demikian, kedudukan fiqih sangat penting
dalam Islam sebagai agama. Fiqih merupakan salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam
yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan individu maupun masyarakat. Hubungan vertikal
dengan Allah dan hubungan horizontal antar manusia. Imam Abu Hanifah
mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya
sebagai hamba Allah. Fiqih membahas tentang cara-cara beribadah, prinsip rukun Islam,
dan hubungan antarmanusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
As-Sunnah1
Menurut bahasa, fiqih berasal dari kata “ faqiha-yafqahu-faqhan” yang berarti “mengerti
atau faham”. Maksudnya adalah upaya aqliah dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Al-Fiqih menurut bahasa adalah mengetahui
sesuatu dengan mengerti (“al-ilm bisyae‟i ma‟a al-fahmi”). Ibnu Al-Qayyim mengatakan
bahwa fiqih lebih khusus dari paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai
isyarat Al-Qur‟an, baik secara tekstual maupun kontekstual. Secara logika pemahaman
akan diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan
pemahaman dapat dilakukan secara tekstual ataupun kontekstual. Hasil dari pemahaman
terhadap teks-teks ajaran Islam disusun secara sistematis untuk dapat diamalkan dengan
mudah. Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan yang mempelajari ajaran Islam yang
disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis), yang diperoleh dari dalil-dalil yang
sistematis.2
Rasyid Ridha mengatakan bahwa dalam Al-Qur‟an banyak ditemukan kata-kata fiqih,
yang artinya paham yang mendalam dan luas terhadap segala hakikat. Dengan fiqih
seorang „alim menjadi ahli hikmah (filosuf) , yaitu pengamal yang memiliki sikap teguh
dalam agama Islam. Dalam terminologi Al-Qur‟an dan sunnah, fiqih adalah pengetahuan
yang luas dan mendalam mengenai perintah dan realitas Islam serta tidak memiliki
relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Dalam terminologi ulama, istilah fiqih
secara khusus diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum Islam.3
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qu‟an surat Al-An‟am ayat 65:
4 Amidi,tt. Al-Ahkam Fi Ushul Al-Ahkam, Beirut: dar Al-Kitab Al-“Arabi, Jilid I, hlm.43
dengan perbuatan mukallaf (khitab asy-Syari‟ al-muta‟allaq bi af‟al al-mukallafin). Al-
Amidi menegaskan bahwa syariat adalah perintah Allah yang beruhubungan dengan
perbuatan hamba (khitab asy-Syari‟ al-muta‟allaq bi „af‟al „ibad) . Syariat adalah
perintah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtida‟
(ketetapan), takhyir (pilihan), atau wadh‟i (kondisi) (khitab asy-Syari‟ al-muta‟allaq bi
„af‟al „ibad bi al-iqtidha‟ aw al-takhyir aw al-wadh‟i).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fiqih dan syariat adalah dua sisi
yang tidak bisa dipisahkan, meskipun keduanya dapat dibedakan. Keduanya saling
berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yaitu hukum syariat. Fiqih adalah
pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang terperinci,
sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia.
Secara istilah fiqih adalah pemahaman mendalam para ulama tetang hukum syara‟ yang
bersifat amaliyah atau praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih diartikan
pula sebagai ilmu yang mengkaji syariat.
Penggunaan istilah fiqih mengalami perkembangan dan perubahan makna setelah Islam
berkembang. Akhirnya ilmu fiqih menjadi konsep ulama yang mendefinisikan sebagai
hukum-hukum syara‟ yang dalam pengambilan hukumnya memerlukan renungan
(taammul) yang mendalam, pemahaman dan ijtihad, sehingga fiqih merupakan suatu term
yang digunakan sekelompok hukum yang bersifat amaliyah. Fiqih dapat berlaku untuk
yang sifatnya naqliyah ataupun „aqliyah.
Makna fiqih identik dengan hukum Islam atau syariat Islam. Fiqih adalah koleksi daya
upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat amaliyah. Dalam melaksanakan syariat
Islam pedomannya mengacu pada hasil pemahaman ulama atau fuqoha yang digali
melalui metode ijtihad tertentu.5 Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau
thoriqatun mustaqimatun sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Jasiyah
ayat 18 berikut:
“kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui”.
Makna syariat sama dengan hukum Islam, yakni tuntunan dan tuntutan, tata aturan yang
harus ditaati dan diikuti oleh manusia sebagai perwujudan pengamalan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah serta ijma‟ sahabat. Syariat atau hukum Islam bersumber pada dalil-dalil yang
diperoleh melalui proses istidlal atau istinbath al-ahkam. Dalam Al-Qur‟an terdapat kata
syariat yang sepadan dengan kata al-din yang artinya agama sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur‟an surat Al-maidah ayat 48 berikut:
6 Ahmad Bisyri Syakur 2011, the Pocket Fiqh Cara Baru Memahami Fiqih dengan Praktis dan Cepat,
Bandung: PT.Grafindo, hlm.1
Al-Sunnah tersebut. Selanjutnya, permasalahan yang menjadi fokus dalam ilmu fiqih
bukan hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan atau ideologi, bukan juga berkaitan
dengan hati, namun fokus bahasan fiqih adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh
anggota tubuh manusia meliputu mata, telinga, tangan , kaki dan kemaluan. Pada
umumnya seorang faqih melihat proses sebuah pekerjaan, lalu mencarikan hukumnya.
Setelah ditemukan hukum hasil temuan tersebut dinamakan hukum fiqih yang memiliki
sifat sakral dan mengikat.
7 Sri Haningsih 2017, Buku Ajar Usul Fiqh, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, hlm.14
Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa saja yang diifirmankanNya
dalam al-Qur‟an
2. Sunnah sebagai Sumber dan Dalil
Dalam al-Qur‟an terdapat kata “Sunnah” di 16 (enam belas) tempat yang tersebar dalam
beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya
dalam firman Allah dalam surat Ali Imron (3):137 berikut:
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan”
(rasul-rasul). Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah
yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang
mendustakan rasul. Demikian juga dalam surat al-Isra‟ (17): 77:
“kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami
yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan
Kami itu. Maksudnya: tiap-tiap umat yang mengusir Rasul pasti akan dibinasakan Allah.
demikian Itulah sunnah (ketetapan) Allah s.w.t.”
Para ulama‟ Islam mengutip kata sunnah dari al-Qur‟an dan bahasa arab yang mereka
gunakan dalam artian khusus yaitu: cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama.
Kata sunnah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.
Macam-macam Sunnah meliputi:
a) Sunnah Qauliyah
Sunnah “qauliyah” adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar
dan dinukilkan oleh sahabtanya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-
Qur‟an.Al-Qur‟an juga lahir dari lisan Nabi yang juga didengar oleh sahabat dan
disiarkannya kepada orang lain sehingga kemudian diketahui orang banyak. Dengan
demikian, menurut lahirnya al-Qur‟an dan sunnah qauliyah sama sama muncul dari
lisan Nabi. Namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah-
misahkan mana yang wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi.
b) Sunnah Fi‟liyyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh shabat Nabi,
kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh oang yang mengetahuinya. Perbuatan
Nabi yang dapat diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan menjadi
dalil hukum yang harus dipatuhi oleh umat. Dalam hal ini tidak ada perbedaan
pendapat dari ulama. Semuanya sepakat. Penjelasan dalam bentuk ini adalah yang
dikemukakan Nabi dengan ucapan yang jelas, seperti sabda Nabi berikut:
صعوكعبار لعونيا صعيا
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat”
و ذو ا نيا نباسححل
“Ambillah dari saya cara-cara kamu beribadah”
Atau melalui qarinah haliyah. Misalnya datang suatu teks hukum dalam bentuk lafadz
mujmal (umum) yang belum ditakhsis dan dimaksud untuk tujuan khusus, atau lafadz
mutlak (yang dimaksud adalah menurut qayidnya) , yang sebelumnya memang belum
dijelaskan karena belum diperlukan. Kemudian pada saat diperlukan penjelasan lebih
lanjut, Nabi melakukan perbuatan yang patut untuk menjadi penjelas. Yang demikian
disebut sebagai penjelasan terhadap suatu hukum yang belum jelas. Hukum yang
timbul dari penjelasan Nabi itu mengikuti hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an,
baik dalam bentuk wajib, nadb maupun ibahah. Banyak firman Allah yang menyuruh
mengikuti apa apa yang diperbuat oleh Nabi seperti firmanNya dalam surat Ali Imran
(3):31:
“Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Allah menjadikan mengikuti perbuatan Nabi sebagai suatu kelaziman dari
mencintai Allah yang mewajibkannya”.
c) Sunnah Taqririyyah
Bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan di
hadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang
tersebut dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya,
maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi dapat
dibedakan pada dua bentuk, yaitu: pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu
pernah dibenci Nabi dan dilarang oleh Nabi. Diamnya Nabi di sini menunjukkan
pencabutan larangan sebelumnya; kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu
sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi di sini menunjukkan
hukum mubah/ibahah.
Kedudukan sunnah sebagai sumber Hukum.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum
dalam al-Qur‟an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam al-Qur‟an. Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum al-Qur‟an, dan tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh
semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal keadaan atau
urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri
dalam urusan dunia ialah raja, kepala Negara, pemimpin atau penguasa,
sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
“dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Dengan sumber hukum yang berasalh dari wahyu Allah SWT., ilmu fiqih dan
hukum-hukum yang diproduksinya adalah hukum yang terhormat dan mulia di
hadapan pihak-pihak yang pro dan kontra (baca: iman dan kufur). Seorang muslim
akan sangat menaati dan menghormati suatu perintah atau larangan ketika ia
menyadari bahwa perintah dan larangan yang sampai kepadanya adalah wahyu Allah
yang suci. Sebagai contoh seorang muslim akan merasa berdosa jika ia belum
melaksanakan shalat wajib walaupun tidak ada yang menegurnya.