Anda di halaman 1dari 13

Buku Ajar Fiqh Mu’amalat Munakahat Mawaris

BAB I
PENDAHULUAN

Capaian Pembelajaran:
1. Mahasiswa dapat mengelaborasi konsep fikih secara umum dan komprehensif sesuai
dengan konteks kajian pembahasan
2. Mahasiswa dapat mengidentifikasi Sumber- sumber Istimbath Ilmu Fiqih dengan benar
3. Mahasiswa dapat mendeskripsikan Karakteristik Ilmu Fiqih sesuai dengan referensi
4. Mahasiswa dapat menjelaskan dengan benar sejarah perkembangan ilmu fiqih

A. Pengertian Fiqih
Fiqih sering disebut dengan hukum Islam, bahkan ketika mengenal secara mendalam
tentang fiqih berarti telah mengenal Islam, meskipun substansinya Islam, bukan sekadar
fiqih. Sebagian ahli fiqih menyebutkan tanpa fiqih, Islam tidak nampak terlihat dalam
praktik kehidupan umat manusia. Dengan demikian, kedudukan fiqih sangat penting
dalam Islam sebagai agama. Fiqih merupakan salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam
yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan individu maupun masyarakat. Hubungan vertikal
dengan Allah dan hubungan horizontal antar manusia. Imam Abu Hanifah
mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya
sebagai hamba Allah. Fiqih membahas tentang cara-cara beribadah, prinsip rukun Islam,
dan hubungan antarmanusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
As-Sunnah1
Menurut bahasa, fiqih berasal dari kata “ faqiha-yafqahu-faqhan” yang berarti “mengerti
atau faham”. Maksudnya adalah upaya aqliah dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Al-Fiqih menurut bahasa adalah mengetahui
sesuatu dengan mengerti (“al-ilm bisyae‟i ma‟a al-fahmi”). Ibnu Al-Qayyim mengatakan
bahwa fiqih lebih khusus dari paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai
isyarat Al-Qur‟an, baik secara tekstual maupun kontekstual. Secara logika pemahaman
akan diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan
pemahaman dapat dilakukan secara tekstual ataupun kontekstual. Hasil dari pemahaman
terhadap teks-teks ajaran Islam disusun secara sistematis untuk dapat diamalkan dengan
mudah. Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan yang mempelajari ajaran Islam yang
disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis), yang diperoleh dari dalil-dalil yang
sistematis.2
Rasyid Ridha mengatakan bahwa dalam Al-Qur‟an banyak ditemukan kata-kata fiqih,
yang artinya paham yang mendalam dan luas terhadap segala hakikat. Dengan fiqih
seorang „alim menjadi ahli hikmah (filosuf) , yaitu pengamal yang memiliki sikap teguh
dalam agama Islam. Dalam terminologi Al-Qur‟an dan sunnah, fiqih adalah pengetahuan
yang luas dan mendalam mengenai perintah dan realitas Islam serta tidak memiliki
relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Dalam terminologi ulama, istilah fiqih
secara khusus diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum Islam.3
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qu‟an surat Al-An‟am ayat 65:

1 Beni Ahmad Saebani;2015, Pengantar Ilmu Fiqih, Bandung:Pustaka Setia, hlm.7


2 Wahab Arif, dalam Beni Ahmad, 2015, Ibid, hlm.12
3 Murtadha Muthahari, 1993, Pengantar Ushul Fiqih dan Ushul Fiqih Perbandingan, Pustaka Hidayah,
hlm.176
        ...
“ Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kebesaran
Kami agar mereka memahami(nya)".

Surat Al-An‟am ayat 98:

       ...


“ Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang
yang mengetahui”.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa arti fiqih secara leksikal adalah
pemahaman, sedangkan obyek yang dipahami bersifat umum, dapat berupa kalimat yang
digunakan dalam komunikasi atau dialog, berupa ciptaan Allah, berupa tubuh manusia
dan fungsi-fungsinya, dan sebagainya. Semua diseru oleh Allah untuk dipahami oleh
manusia. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim terdapat lafaz
fiqih yang maksudnya cerdas atau paham dalam masalah agama.
‫َم ْن ا ُي ِر ِر اُيا ِر ِروا َم ْنْي ًر ا ْيُي َم ِّق ْن وُيا ِر ا ِّق‬
‫ال ْن ِرا ا‬
"Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah menjadikannya paham tentang
agamaNya”
Menurut Abdul Wahab Khallaf, fiqih adalah:
‫اع ْنحلَم َم َم ِريا ِر ْن اَما ِر اَّشلِر َم با الَّشْي ْن ِر عِرَّشِراي ا‬ ‫ِر‬ ‫حباا َّش ِر ِر‬
‫ال ْن َّشيا العع يا ُي‬ ‫العلا ب اا ِر‬
‫ُي‬
“Ilmu tentang hukum-hukum syara‟ yang bersifat amali yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci”
Menurut pengertian ahli hukum Islam, fiqih merupakan pengertian zhanni (dugaan)
tentang hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Penggunaan
istilah fiqih pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara keseluruhan, yaitu
berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum amaliyah. Fiqih menggambarkan tabiat yang
hakiki dari pemikiran Islam karena fiqih bergantung pada dan berdasarkan Al-Qur‟an dan
as-Sunnah.
Fiqih dimaknai sebagai seluruh ajaran Islam. Seluruh pemahaman terhadap nilai-nilai
ajaran Islam diartikan sebagai fiqih, sedangkan orangnya disebut faqih atau fuqoha‟.
Istilah fuqoha‟ dari pengertian fiqih di atas berbeda dengan makna istilah qurra‟
sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadis kedua istilah ini
dibedakan. Rasul SAW bersabda, yang artinya: “dan akan datang pada manusia suatu
zaman yang para faqihnya sedikit, sedangkan qurro;nya banyak. Mereka menghafal
huruf-huruf Al-Qur‟an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak
orang yang meminta, tetapi sedikit yang memberi, mereke memanjakan khotbah dan
memendekkan shalat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal”
(HR.Malik).
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, “orang faqih
adalah orang yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya,
kosisten beribadah kepada Allah, bersikap wara‟, menaham diri dari privasi kaum
muslimin, ta‟afuf terhadap harta, dan senantiasa menasehati jamaahnya.”
Fiqih merupakan pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang
digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan, bukan digunakan dalam
masalah akidah.4 Sedangkan syariat adalah perintah Asy-Syari‟ (Allah) yangberhubungan

4 Amidi,tt. Al-Ahkam Fi Ushul Al-Ahkam, Beirut: dar Al-Kitab Al-“Arabi, Jilid I, hlm.43
dengan perbuatan mukallaf (khitab asy-Syari‟ al-muta‟allaq bi af‟al al-mukallafin). Al-
Amidi menegaskan bahwa syariat adalah perintah Allah yang beruhubungan dengan
perbuatan hamba (khitab asy-Syari‟ al-muta‟allaq bi „af‟al „ibad) . Syariat adalah
perintah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtida‟
(ketetapan), takhyir (pilihan), atau wadh‟i (kondisi) (khitab asy-Syari‟ al-muta‟allaq bi
„af‟al „ibad bi al-iqtidha‟ aw al-takhyir aw al-wadh‟i).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fiqih dan syariat adalah dua sisi
yang tidak bisa dipisahkan, meskipun keduanya dapat dibedakan. Keduanya saling
berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yaitu hukum syariat. Fiqih adalah
pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang terperinci,
sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia.
Secara istilah fiqih adalah pemahaman mendalam para ulama tetang hukum syara‟ yang
bersifat amaliyah atau praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih diartikan
pula sebagai ilmu yang mengkaji syariat.
Penggunaan istilah fiqih mengalami perkembangan dan perubahan makna setelah Islam
berkembang. Akhirnya ilmu fiqih menjadi konsep ulama yang mendefinisikan sebagai
hukum-hukum syara‟ yang dalam pengambilan hukumnya memerlukan renungan
(taammul) yang mendalam, pemahaman dan ijtihad, sehingga fiqih merupakan suatu term
yang digunakan sekelompok hukum yang bersifat amaliyah. Fiqih dapat berlaku untuk
yang sifatnya naqliyah ataupun „aqliyah.
Makna fiqih identik dengan hukum Islam atau syariat Islam. Fiqih adalah koleksi daya
upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat amaliyah. Dalam melaksanakan syariat
Islam pedomannya mengacu pada hasil pemahaman ulama atau fuqoha yang digali
melalui metode ijtihad tertentu.5 Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau
thoriqatun mustaqimatun sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Jasiyah
ayat 18 berikut:

             
“kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui”.
Makna syariat sama dengan hukum Islam, yakni tuntunan dan tuntutan, tata aturan yang
harus ditaati dan diikuti oleh manusia sebagai perwujudan pengamalan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah serta ijma‟ sahabat. Syariat atau hukum Islam bersumber pada dalil-dalil yang
diperoleh melalui proses istidlal atau istinbath al-ahkam. Dalam Al-Qur‟an terdapat kata
syariat yang sepadan dengan kata al-din yang artinya agama sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur‟an surat Al-maidah ayat 48 berikut:

            

               

               

            

5 Hasbi Ash-Shiddiqie,1993, Hukum-hukum Fiqih Islam, Jakarta:Rajawali Press, hlm.44


“dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu”
Pada ayat di atas kata syariat artinya aturan atau hukum. Oleh karena itu, ayat di atas
berkaitan (munasabah al-ayat) dengan surat Al-Maidah ayat 45,

           

               

     


“dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.”
Mencermati konsep umum fiqih, dalam bab ini penulis memandang penting untuk
menambahkan pengenalan ilmu fiqih berbasis pengamatan penulis terkait dengan
pembelajaran fiqih di masyarakat. Pembelajaran ilmu fiqihyang ada di tengah masyarakat
merupakan pembelajaran yang “belum mencerdaskan”. Karena masyarakat pengguna
tidak diberikan tentang seluk beluk ilmu fiqih secara umum sehingga mereka hanya
mengetahui hukum suatu perkara tanpa memiliki wawasan hukum itu sendiri. Sebagai
contoh, masih banyak masyarakat yang menganggap doa qunut adalah “sesat, hitam atau
putih dan sebagainya.6 Padahal masalah qunut adalah masalah ranting dari cabang
pembahsan praktis dan bukan ideologis. Oleh karena itu, pembelajaran ilmu fiqih yang
mencerdaskan harus memberikan pengetahuan tentang seluk beluk ilmu fiqih terlebih
dahulu secara memadai sehingga ketika seseorang mempelajari hukum fiqih, masyarakat
pengguna tersebut mampu bersikap proporsional.
Sebagaimana disebutkan di halaman sebelumnya tentang pengertian fiqih baik secara
etimologi maupun terminologi, penulis kemukakan maksud pemahaman fiqih terutama
pemahaman hukum Islam yang terdapat dalam kitab fiqih adalah hukum Allah SWT yang
ditemukan melalui proses istimbath oleh para fuqoha. Hukum itu berarti hukum Tuhan
yang sakral dan suci serta harus dijalankan oleh umat manusia seleruhnya.
Konsekuensi dari pengertian tersebut adalah tidak akan mampu menjalankan proses
istimbath, kecuali orang-orang yang memiliki ilmu Al-Qur‟an dan Al-Sunnah beserta
cabang-cabanya. Sebaliknya, barang siapa yang memiliki dan menguasai ilmu Al-Qur‟an
dan Al-Sunnah beserta cabangnya, ia layak dan harus menjalankan proses istimbath untuk
menemukan sebuah hukum yang belum jelas dasar hukumnya di dalam Al_Qur‟an dan

6 Ahmad Bisyri Syakur 2011, the Pocket Fiqh Cara Baru Memahami Fiqih dengan Praktis dan Cepat,
Bandung: PT.Grafindo, hlm.1
Al-Sunnah tersebut. Selanjutnya, permasalahan yang menjadi fokus dalam ilmu fiqih
bukan hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan atau ideologi, bukan juga berkaitan
dengan hati, namun fokus bahasan fiqih adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh
anggota tubuh manusia meliputu mata, telinga, tangan , kaki dan kemaluan. Pada
umumnya seorang faqih melihat proses sebuah pekerjaan, lalu mencarikan hukumnya.
Setelah ditemukan hukum hasil temuan tersebut dinamakan hukum fiqih yang memiliki
sifat sakral dan mengikat.

B. Sumber- sumber Istimbath Ilmu Fiqih7


1. Al-Qur‟an Al-Karim
Pengertian al-Qur‟an
Kata “Qur‟an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw. Bila dilafazkan dengan menggunakan alim-lam berarti untuk
keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur‟an, sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Isra‟ (17):9
                
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus
dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”,
Al-Qur‟an disebut juga al-Kitab sebagaimana tersebut dalam surat al-Baqarah :2
         
“ (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Tuhan menamakan Al Quran dengan Al kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai
isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis. Sedangkan takwa yaitu
memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya;
dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
Dengan menganalisis unsur-unsur definisi tersebut di atas dapat dirumuskan, bahwa
al-Qur‟an adalah lafadz bebahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,
yang dinukilkan secara mutawatir

Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqh


Sebagaimana disebutkan pada firman Allah tersebut di atas bahwa al_Qur‟an adalah
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang
terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya, maka kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber
utama dan pertama bagi penetapan hukum. Apabila seseorang ingin menemukan hukum
terhadap suatu kejadian, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawab
penyelesaiannya dari al-Qur‟an. Sepanjang hukumnya dapat diselesaikan dengan al-
Qur‟an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur‟an. Selain itu, sesuai
dengan kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu
jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur‟an, maka harus sesuai dengan
petunjuk al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-
Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain al-Qur‟an tidak boleh
menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan al-Qur‟an. Kekuatan hujjah al-Qur‟an sebagai
sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang menyuruh umat
manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari tiga puluh kali dalam al-Qur‟an.

7 Sri Haningsih 2017, Buku Ajar Usul Fiqh, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, hlm.14
Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa saja yang diifirmankanNya
dalam al-Qur‟an
2. Sunnah sebagai Sumber dan Dalil
Dalam al-Qur‟an terdapat kata “Sunnah” di 16 (enam belas) tempat yang tersebar dalam
beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya
dalam firman Allah dalam surat Ali Imron (3):137 berikut:
             
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan”
(rasul-rasul). Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah
yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang
mendustakan rasul. Demikian juga dalam surat al-Isra‟ (17): 77:
            
“kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami
yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan
Kami itu. Maksudnya: tiap-tiap umat yang mengusir Rasul pasti akan dibinasakan Allah.
demikian Itulah sunnah (ketetapan) Allah s.w.t.”
Para ulama‟ Islam mengutip kata sunnah dari al-Qur‟an dan bahasa arab yang mereka
gunakan dalam artian khusus yaitu: cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama.
Kata sunnah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.
Macam-macam Sunnah meliputi:
a) Sunnah Qauliyah
Sunnah “qauliyah” adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar
dan dinukilkan oleh sahabtanya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-
Qur‟an.Al-Qur‟an juga lahir dari lisan Nabi yang juga didengar oleh sahabat dan
disiarkannya kepada orang lain sehingga kemudian diketahui orang banyak. Dengan
demikian, menurut lahirnya al-Qur‟an dan sunnah qauliyah sama sama muncul dari
lisan Nabi. Namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah-
misahkan mana yang wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi.
b) Sunnah Fi‟liyyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh shabat Nabi,
kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh oang yang mengetahuinya. Perbuatan
Nabi yang dapat diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan menjadi
dalil hukum yang harus dipatuhi oleh umat. Dalam hal ini tidak ada perbedaan
pendapat dari ulama. Semuanya sepakat. Penjelasan dalam bentuk ini adalah yang
dikemukakan Nabi dengan ucapan yang jelas, seperti sabda Nabi berikut:
‫صعوكعبار لعونيا صعيا‬
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat”
‫و ذو ا نيا نباسححل‬
“Ambillah dari saya cara-cara kamu beribadah”
Atau melalui qarinah haliyah. Misalnya datang suatu teks hukum dalam bentuk lafadz
mujmal (umum) yang belum ditakhsis dan dimaksud untuk tujuan khusus, atau lafadz
mutlak (yang dimaksud adalah menurut qayidnya) , yang sebelumnya memang belum
dijelaskan karena belum diperlukan. Kemudian pada saat diperlukan penjelasan lebih
lanjut, Nabi melakukan perbuatan yang patut untuk menjadi penjelas. Yang demikian
disebut sebagai penjelasan terhadap suatu hukum yang belum jelas. Hukum yang
timbul dari penjelasan Nabi itu mengikuti hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an,
baik dalam bentuk wajib, nadb maupun ibahah. Banyak firman Allah yang menyuruh
mengikuti apa apa yang diperbuat oleh Nabi seperti firmanNya dalam surat Ali Imran
(3):31:
               
“Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Allah menjadikan mengikuti perbuatan Nabi sebagai suatu kelaziman dari
mencintai Allah yang mewajibkannya”.
c) Sunnah Taqririyyah
Bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan di
hadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang
tersebut dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya,
maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi dapat
dibedakan pada dua bentuk, yaitu: pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu
pernah dibenci Nabi dan dilarang oleh Nabi. Diamnya Nabi di sini menunjukkan
pencabutan larangan sebelumnya; kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu
sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi di sini menunjukkan
hukum mubah/ibahah.
Kedudukan sunnah sebagai sumber Hukum.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum
dalam al-Qur‟an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam al-Qur‟an. Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum al-Qur‟an, dan tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh
semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT.

3. Ijma’ sebagai Dalil Hukum Fiqh


Pengertian “ijma‟” dalam istilah teknis hukum atau syar‟i terdapat perbedaan rumusan.
Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan
rumusan ini dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma‟. Berdasarkan suatu
rumusan mujtahid , bahwa ijma‟ adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah seua
mujtahis muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini
ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama masa Nabi masih hidup, “al-Quran”lah
yang menjawab persoalan hukum, karena Nabi masih hidup, sehingg semua persoalan
kembali ke Nabi. Disebutkan secara jelas dalam definisi ini bahwa kesepakatan itu hanya
terbatas dalam masalah hukum amaliah dan tidak menjangkau kepada masalah aqidah.
Dari definisi di atas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu ijma‟ yang
sekaligus merupakan rukun ijma‟, yaitu:
a) Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma‟, terdapat sejumlah
orang yang berkualitas mujtahid
b) Semua mjutahid sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang negeri asal,
jenis dan golongan mjutahid
c) Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terang-
terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan
mengemukakan bahwa fatwa tentang hukum kejadian itu, atau dalam perbuatan
dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim.
Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk perorangan yang kemudian
ternyata hasilnya sama, atau secara bersama-sama dalam satu majlis yang sesudah
bertukar pikiran ternyata tedapat kesamaan pendapat.

Dasar Hukum Ijma’


Di antara dasar hukum Ijma‟ berupa Al-Qur‟an, Al-Hadis . Di antara dasar-dasar
tersebut Al-Qur‟an surat Annisa‟ (4):59
              

               
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal keadaan atau
urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri
dalam urusan dunia ialah raja, kepala Negara, pemimpin atau penguasa,
sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.

4. Qiyas sebagai Metode Penggalian Hukum Syara’


a) Pengertian qiyas.
Secara bahasa diartikan “menyamakan”, “membandingkan” atau “mengukur”, sedang
menurut istilah ulama‟ ushul fiqh qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan illat antara kejadian atau peristiwa itu. Contoh : minum
narkotika sama dengan minum khamr atau yang sejenis MIRAS yang lain yang
jenisnya saat ini beraneka ragam sepanjang memabukkan hukumnya sama dengan
minum khamr ( haram) , hal ini sesuai dengan firman Allah berikut ini:
          

     


“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah
menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka
akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah
anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan:
lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan
dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan
sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak
panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak
panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
Antara minum khamr dengan minum narkotika dan MIRAS yang sejenis ada
persamaan illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya ,
sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah hukum
minum narkotika yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
Contoh lain adalah perbuatan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan . sehubungan
‫ ( ” ا َم بتِر ُيلاالَما َم ِر ُي‬HR Turmudzi).
dengan ini Rasul saw bersabda :”)‫ثا(ارو ها ال ا ذي‬
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan illatnya, yaitu ingin segera memperoleh
sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Contoh lain : seseorang bekerja terus
menerus tanpa ada manajemen waktu hukumnya makruh, berdasar firman Allah
SWT. QS: Al-Jumah:
              

       


“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at,
Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan
meninggalakan semua pekerjaannya.
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan illatnya , karena itu dapat pula ditetapkan
hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan jum‟at, yaitu makruh
seperti hukum terus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum‟at
Kesimpulan yang dapat dirumuskan kaitannya dengan qiyas sebagai dalil hukum
syara‟ adalah tidak petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara‟
di luar apa yang ditetapkan oleh nash, karena terdapat perbedaan kedudukan qiyas
sebagai dalil hukum syara‟. Di sampping itu harus memperhatikan tingkatan qiyas
tersebut dari pendapat para mujtahid, di antaranya dalah apakah qiyas sebagai dalil
syara‟ atau qiyas digunakan sebagai dalil mutlak serta kelompok yang menggunakan
qiyas secara luas dan mudah

C. Karakteristik Ilmu Fiqih8


1) Bersumber dari wahyu Allah SWT.
Ilmu fiqih adalah hukum Islam yang terkenal dengan sumber pengambilan hukumnya
langsung dari Al-Quran yang lazim disebut wahyu AllahSWT. Hal ini sesuai dengan
firman Allah QS.Al-Najm:3-4

          
“dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Dengan sumber hukum yang berasalh dari wahyu Allah SWT., ilmu fiqih dan
hukum-hukum yang diproduksinya adalah hukum yang terhormat dan mulia di
hadapan pihak-pihak yang pro dan kontra (baca: iman dan kufur). Seorang muslim
akan sangat menaati dan menghormati suatu perintah atau larangan ketika ia
menyadari bahwa perintah dan larangan yang sampai kepadanya adalah wahyu Allah
yang suci. Sebagai contoh seorang muslim akan merasa berdosa jika ia belum
melaksanakan shalat wajib walaupun tidak ada yang menegurnya.

8 Ahmad Bisyri Syakur 2011, Ibid, hlm.13


2) Mencakup segala aspek kehidupan manusia
Bersifat universal, dalm arti masalah yang menjadi pokok bahasannya mencakup
segala aspek seorang mukallaf muslim dari masalah individu, keluarga hingga
kehidupan sosialnya dan dari hal yang dipandang sepele hingga hal yang dianggap
besar. Di antaranya adalah hukum yang mengatur diri sendiri, hukum yang mengatur
seseorang dengan keluarganya (ahwal syakhsiyah), hukum yang mengatur seseorang
dengan masyarakatnya baik perdata maupun pidana bahkan hukum yang mengatur
seseorang dengan penciptanya yaitu Allah SWT.
3) Memegang prinsip keseimbangan
Keseimbangan (tawazun atau balance) dalam sistem hukum fiqih dapat kita cermati
dari fenomena berikut:
Pertama, seorang pencuri dalam hukum fiqih sanksinya adalah tangan harus
dipotong. Potong tangan ini tentu tidak serta meta diterapkan. Ia harus melalui
prosedur yang ketat, di antaranya harga barang curian tidak kurang dari seperempat
dinar (± Rp 150.000), barang curian terletak di tempat yang aman dan terlindung, si
pencuri tidak menderita kelaparan, kondisi ekonomi negara sedang stabil (tidak
krisis), dan prosedur lainnya sehingga hukuman yang dijatuhkan benar-benar menjadi
solusi untuk masalah keamanan dan tidak menjadi sumber masalah seperti yang
banyak diisukan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, hal yang berkaitan dengan syariat zakat. Ia hanya diwajibkan bagi mereka
yang mencapai nisab dan tidak menanggung beban berat, seperti terlilit hutang atau
lainnya. Suatu keadaan akan seimbang jika orang yang memiliki nisab lalu diwajibkan
atas mereka zakat untuk diberikan kepada si miskin yang tidak mampu. Dengan
demikian roda kehidupan akan berjalan dan stabilitas ekonomi, sosial, pertahanan dan
keamanan akan tercipta di tengah masyarakat.
4) Obyektif dalam pembahasan hukumnya (Maudlu‟iyyah)
Obyektivitas dalam hukum manusia adalah sesuatu yang “terasa sulit” diwujudkan.
Sebagai contoh ketika syariat menentukan bahwa bagian wanita dalam hak waris
adalah setengah dari bagian pria, pada saat yang sama bahkan sebelumnya syariat
telah meniadakan kewajiban dan beban dari beban wanita. Seluruh material yang
dihasilakn oleh wanita dalam pandangan Islam adalah milik pribadinya dan ia tidak
bertanggung jawab atas orang di sekelililngnya, sekalipun orang itu adalah anaknya
sendiri. Dalam hal ini sangatlah obyektif ketika hak disesuaikan dengan kewajiban
dan beban. Begitu juga dengan kaum pria ketika diberikan dua kali lipat dari wanita
dalam hak waris, maka segala kewajiban telah menjadi tanggungannya. Ia
menanggung beban istri, anak, keponakan, dan orang tuanya yang tidak mampu.
5) Tidak mengenal strata dan perbedaan antar etnis manusia („alamiyah)
Pemberlakuan sanksi hukum obyektif dan adil. Sebagaimana disebutkan dalam salah
satu hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Seandainya Fatimah binti
Muhammad ini mencuri, maka Muhammadlah yang akan menjatuhkan hukum potong
tangan terhadapnya. Tidak ada perbedaan dan kelebihan antara Arab dan selain Arab
kecuali dalam amal takwanya.
6) Dapat diterima oleh segala lapisan dan semua golongan serta dapat diterapkan di
setiap jengkal dari permukaan bumi (sahlut tathbiq)
Karakteristik tersebut di atas merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki ilmu
lainnya. Dari sana akan terlihat perbedaan dengan jelas antara ilmu hukum Islam dan
lainnya. Karakteristik ini juga membuka mata umat Islam untuk lebih obyektif dalam
mendorong lajunya penerapan syariat islam di Indoensia dan belahan bumi lain pada
umumnya.
D. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Fiqih
Pertumbuhan fiqih atau hukum Islam dapat dibedakan menjadi beberapa periode.9
Pertama, Periode Rasulullah, yaitu periode insya‟ dan takwin (pertumbuhan dan
pembentukan) yang berlangsung selama 22 (dua puluh dua) tahun dan beberapa bula,
yaitu terhitung sejak kebangkitan Rasulullah SAW tahun 610 M sampai dengan wafatnya
pada tahun 632 M. Sejarah pertumbuhan hukum Islam pada masa Rasulullah berdasarkan
wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril
secara berangsur-angsur, dimulai dari Mekah dan diakhiri di Madinah. Jika belum turun
ayat Al-Qur‟an mengenai sesuatu masalah, Nabi mengadakan ijtihad yang mendalam,
sehingga akhirnya ijtihad beliau sesuai dengan ayat Al-Qur‟an, yang diturunkan
kemudian. Berarti ijtihad Rasul dan sunnahnya tidak ada yang berlawanan dengan wahyu
Allah.
Kedua, Periode Sahabat, yaitu periode tafsir dan takmil (penjelasan dan penyempurnaan)
yang berlangsung selama 90 (sembilan puluh) tahun, mulai awal wafatnya Rasulullah
pada tahun 11 H sampai dengan akhir abad pertama Hijriah (101 H atau 632-720 M).
Pertumbuhan hukum Islam pada masa sahabat dikarnakan Nabi Muhammad SAW telah
wafat sehingga persoalan hukum atau fiqih dikembalikan pada Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi. Apabila masalah hukum/fiqih tidak dijumpai penyelesaiannya dalam Al-Qur‟an
dan Sunnah Nabi, sehingga para sahabat mengadakan ijtihad yang mendalam. Hasil dari
ijtihad para sahabat dipercaya dan menjadi sumber hukum syara‟ atau fiqih Islam.
Ketiga, Periode tadwin (pembukuan) dan munculnya para imam mujtahid, dan zaman
perkembangan serta kedewasaan hukum, selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun
100 H sampai dengan tahun 35 H ( 720-961M).
Penyebab berkembangnya ilmu fiqih dan bergairahnya ijtihad pada periode ini antara lain
sebagai berikut:
1. Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok dan ke Barat
sampai Andalusia (Spanyol sekarang) dengan jumlah rakyat yang banyak. Kondisi
ini mendorong para ulama berijtihad agar dapat menerapkan syariat di semua
wilayah.
2. Para ulama memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang diperoleh dari
periode sebelumnya, serta Al-Qur‟an dan As-Sunnah sudah dibukukan pada
permulaan abad ketiga Hijriah.
3. Seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan agar segala sikap
dan tingkah lakunya sesuai dengan syariat Islam, baik dalam ibadah mahdlah
maupun dalam ibadah ghair mahdlah (muamalah dalam arti luas). Mereka
meminta fatwa kepada para ulama, hakim dan pemimpin pemerintahan
4. Pada periode ini dilahirkan ulama-ulama potensial untuk menjadi mujtahid, seperti
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ibnu Hanbal.
Hal-hal penting yang diwariskan pada periode ini kepada periode berikutnya,
antara lain sebagai berikut,
a. As-Sunnah yang telah dibukukan, sebagian dibukukan berdasarkan urutan
sanad hadis dan sebagain lain dibukukan berdasarkan bab-bab fiqih. Di
samping itu, Al-Qur‟an telah lengkap dengan syakal.
b. Fiqih telah dibukukan lengkap dengan dalil dan lasannya, dia nataranya Kitab
Dhahir Al-Riwayah Al-Sittah di kalangan mazhab Hanafi, Kitab Al-
Mudawamah dalam mazhab Maliki, Kitab Al-Umm di kalangan mazhab
Syafi‟i dan sebagainya

9 Beni Ahmad Saebani, 2015, Ibid. hlm.21


c. Dibukukannya ilmu ushul fiqih. Para ulama mujtahid mempunyai warna
masing-masing dalam berijtihad atas dasar prinsip dan cara yang ditempuhnya.
Misalnya, Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatha‟ menunjukan prinsip dan
dasar yang digunakan dalam berijtihad. Akan tetapi, orang yang pertama kali
mengumpulkan prinsip-prinsip ini dengan sistematis dan memebrikan alasan-
alasan tertentu adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi‟i dalam kitab Al-Risalah.
Ke-empat, Periode Taqlid, yaitu periode kebekuan dan statis yang berlangsung mulai
pertengahan abad ke -4 Hijriah (351 H) dan hanya Allah yang mengetahui
berakhirnya periode ini. Periode taqlid lahir pada abad ke-4 H (tahun ke 12 M), yang
berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Awalnya
masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian perkembangan hukum
Islam atau fiqih Islam berhenti. Pada periode taqlid, kegiatan para ulama Islam
banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing. Penyebab timbulnya
periode taqlid sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf dalam Khulusul
Tarikh Al Tasyri‟ Al Islami, terjemahan H.A. Aziz Maskuri, yaitu sebagai berikut,
1. Terbaginya daulah Islamiah dalam sejumlah kerajaan yang saling bermusuhan di
antara para raja, penguasa, dan personel/rakyatnya.
2. Setelah terpecahnya para imam mujtahid pada periode ketiga menjadi beberapa
golongan dan masing-masing golongan memiliki suatu aliran hukum sendiri.
3. Setelah umat Islam memiliki perundang-undangan dan tidak meletakkan peraturan
yang menjamin, seperti dibenarkan mujtahid, kecuali yang dipandang ahli untuk
itu.
4. Sudah tersebar luas di kalangan para ulama serbagai penyakit moral dari
ketinggian derajat ijtihad. Di kalangan para ulama sudah merata penyakit saling
menghasut dan mementingkan diri sendiri
5. Ijtihad ulama yang bukan mujtahid akhirnya membawa kemunduran di bidang
hukum Islam. Orang-orang pada masa itu kembali pada tradisional, bukan kepada
Al-Qur‟an dan Sunnah. Ulama yang mujtahid tidak menutup ijtihad, tetapi karena
besarnya pengarus taqlid akhirnya menimbulkan paham statis dalam hukum Islam
yang pengaruhnya masih ada sampai sekarang di kalangan masyarakat Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya pada zaman modern seperti saat ini, ulama
fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab
fiqih sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar
pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-
Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Pendapat Ibnu Taimiyah
dan Ibnu Qoyyim AlJauziah kemudian dilanjutkan Muhammad bin Abdul Wahhab (1115
H/1703 M-1201H/1787 M; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad
bin Ali Asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan
bid‟ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak
saat itu, kajian fiqih tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi mengambil bentuk kajian
komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam
kitab fiqih Al-Umm karya Imam As-Syafi‟i, Al-Mabsut karya As-Sarakhsi, Al-Furuq karya
Imam Al-Qarafi (w.684 H/1285 M), dan Al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqih
Hambali), sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif,
bahkan tidak seimbang. Pada zaman modern, fiqih muqaran dibahas ulama fiqih secara
komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat dan argumentasi
(baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab,
sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat
yang akan diambil.

E. Contoh soal latihan:


1. Jelaskan konsep fikih secara umum dan komprehensif sesuai dengan konteks kajian
pembahasan
2. Identifikasi Sumber- sumber Istimbath Ilmu Fiqih secara singkat dan jelas. Lengkapi
dengan dalil dan analisis singkat
3. Deskripsikan Karakteristik Ilmu Fiqih dengan singkat dan jelas. Sertakan komentar
singkat salah satu dari bagian deskripsi tersebut
4. Jelaskan dengan benar sejarah perkembangan ilmu fiqih

Anda mungkin juga menyukai