Anda di halaman 1dari 15

PEGADAIAN

A.       Pengertian Gadai (Rahn)

             Gadai atau al-rahn (‫ )الرهن‬secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs)

yaitu penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di indonesia rahn  adalah apa yang

disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.

          Azhar Basyir memaknai rahn (gadai) sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang

bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang

menjadi tanggungan itu di seluruh atau sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat

gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai,

dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan

jalan menebusnya kembali.

      Al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang

diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai

ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat

mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan

bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin

dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta

menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn 

B.       Dasar Hukum Rahn

          Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil Al-Qur’an ataupun Hadits

nabi SAW. Begitu juga dalam ijma’ ulama’. Diantaranya

firman Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283


‫ض ُكم بَ ْعضًا فَ ْليُؤَ ِّد الَّ ِذي‬
ُ ‫ُوضةٌ ۖ فَإ ِ ْن أَ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫َان َّم ْقب‬
ٌ ‫َوإِن ُكنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِج ُدوا َكاتِبًا فَ ِره‬

‫ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ ۚ َو َمن يَ ْكتُ ْمهَا فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬
ِ َّ‫اؤتُ ِمنَ أَ َمانَتَه َو ْليَت‬
ْ

ُ                                                                                          

Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan

kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang

dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,

maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia

bertaqwa kepada Allah Tuhannya". (Al-Baqarah 283). 

     Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:     

‫ لَقَ ْد َرهَنَ النَّبِ ُّى – صل هللا عليه وسلم – ِدرْ عًا لَهُ بِ ْال َم ِدينَ ِة‬: ‫س – رضى هللا عنه – قال‬
ٍ َ‫ع َْن أَن‬

                                                                               ‫ِع ْن َد يَهُو ِدىٍّ َوأَخَ َذ ِم ْنهُ َش ِعيرًا‬

‫ى‬

Artinya: " Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di

Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga

itu untuk keluarga beliau". (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

C.       Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)

                   Dalam melaksanakan suatu  perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang harus

dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.
Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan

dilakukan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain :

1.    Akad dan ijab Kabul

2.    Aqid, yaitu yang menggadaikan  dan yang menerima gadai.

3.    Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah

keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.

Syarat Rahn antara lain :

1.    Rahin dan murtahin

Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap

untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu

berakal dan baligh.

2.    Sighat

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau

dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu,

syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.

3.    Marhun bih (utang)

Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap,

dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau

utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang

berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur

riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
D.       Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam

          Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ar-rahn antara lain:

1. Kedudukan Barang Gadai.

Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan

suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.

2. Pemanfaatan Barang Gadai.

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun

oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang

dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang

bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam

perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin

untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini

dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.

4.  Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai

Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa

kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin

(penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum.

Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari

rusak atau hilang.

5. Pemeliharaan Barang Gadai

Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai

menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai

dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya
yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi

tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.

5. Kategori Barang Gadai

     Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan

tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Benda bernilai menurut hukum syara’

b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi

c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin

6. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.

     Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga membayar kembali

utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan

kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.

7. Prosedur Pelelangan Gadai

Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau

menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang

tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi

kewajibanya.

E.    Aplikasi dalam Perbankan

                   Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal, yaitu:

1. Sebagai Produk Pelengkap


Rahn dipakai dalam produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan

(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’al murabahah. Bank

dapat menahan nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.

2. Sebagai Produk Tersendiri

Di beberapa negara Islam termasuk di antaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai

sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn

nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,

pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga

pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara

biaya rahn hanya sekali dan di tetapkan di muka.

F.    Manfaat Rahn

          Manfaat yang dapat di ambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah:

1.    Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan  fasilitas

pembiayaan yang diberikan.

2.    Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya

tidak akan hilang begitu saja. Jika nasabah peminjam ingkar janji, ada suatu asset atau

barang (marhun) yang dipegang oleh bank.

3.    Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat membantu saudara

kita yang kesulitan dana terutama didaerah-daerah.

G.   Risiko Rahn

          Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk

adalah:
1. Resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)

2. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

H.  Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional  

a.  Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah

    Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:

1.    Hak gadai berlaku atas pinjaman uang

2.    Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang

3.    Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di gadaikan boleh di jual

atau di lelang

b. Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional

    Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:

INDIKATOR Rahn ( Gadai Syariah )        Gadai Konvensional


Konsep Dasar Tolong menolong ( jasa Profit Oriented ( Bunga dari
pemeliharaan barang pinjaman pokok/ biaya sewa
jaminan) modal)
Jenis Barang Barang bergerak dan Hanya barang bergerak
Jaminan tidak bergerak
Beban Biaya pembiayaan Bunga (dari pokok pinjaman)
Lembaga Hanya bisa dilakukan Bisa dilakukan perseorangan
oleh lembaga (perum
penggadaian)
Perlakuan Dijual (kelebihan Dilelang
dikembalikan kepada
yang memiliki)
HUTANG PIUTANG

A.  Pengertian Al-Qardh


Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu, yang
berarti dia memutuskanya.
ْ َ‫ الق‬:‫ َوأَصْ لُهُ فِي اللُّ َغ ِة‬،‫اف وقد تكسر‬
ِ َ‫ح ْالق‬
.‫ط ُع‬ ِ ‫القَرْ ضُ بِفَ ْت‬
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-
miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh
pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al.,
qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersil.
Menurut ulama Hanafiyah:

ِ –‫ص–وصٌ يَ– ُر ُّد َعلَى َد ْف‬


‫–ع‬ َ –ُ‫أَوْ بِ ِعبَا َر ٍة أُ ْخ َرى ه‬، ُ‫ضاه‬
ُ ‫–و َع ْق– ٌد ُم ُخ‬ َ ‫ْط ْي ِه ِم ْن َما ٍل ِمثِل ٍّي لِتَتَقَا‬ ِ ‫القَرْ ضُ هُ َو َما تُع‬
َ ‫َما ٍل ِم ْثلِ ٍّي أِل خ‬
ُ‫َرلِيَ ُر َّد ِم ْثلَه‬
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain,
qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada
orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
‫ْالقَرْ ضُ هُ َو ْال َما ُل الَّ ِذيْ يُ ْع ِط ْي ِه ْال ُم ْق ِرضُ لِ ْل ُم ْقت َِرضُ لِيَ ُر َّد ِم ْثلَهُ إِلَ ْي ِه ِع ْن َد قُ ْد َرتِ ِه َعلَ ْي ِه‬
Artinya:
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang
(muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya,
ketika ia telah mampu membayarnya.”
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut:
‫اَ ْلقَرْ ضُ َد ْف ُع َما ٍل لِ َم ْن يَ ْنتَفِ ُع بِ ِه َويَ ُر ُّد بَ َدلَه‬
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya.”
Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
.‫ق شَرْ عًا بِ َم ْعنَى ال َّش ْي ِء ْال ُم ْق َرض‬ ْ ‫ اَ ْلقَرْ ضُ ي‬: ‫اَل َّشا فِ ِعيَّةُ قَالُوْ ا‬
ُ َ‫ُطل‬
Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang
diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”
B.  Landasan Hukum Al-Qardh
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
1.    Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
ً‫ضا ِعقَهُ لَهُ أَضْ َعافًا َكثِ ْي َرة‬
َ ُ‫َم ْن َذا الَّ ِذي يُ ْق َرضُ هللاَ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan
harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan
memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan
pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut
pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan
gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.
2.    Dasar dari as-sunnah :
َ ‫ َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يُ ْق ِرضُ ُم ْسلِ ًما قَرْ ضًا َم َّرتَ ْي ِن اِاَّل َكانَ َك‬: ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم قَا َل‬
ً‫ص– َد قَ– ٍة َم– َّرة‬ َ ‫َع ِن ا ْب ِن َم ْسعُوْ ٍد اَ َّن النَّبِ ًّي‬
)‫(رواهابن ماجه وابن حبان‬
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang
menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn
Majah dan Ibn Hibban)
3.    Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad adalah
dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
C.  Hukum Al-Qardh
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh,
terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya
karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak,
sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya
hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk
berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram
atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk
menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka
hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai
harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar
hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri
dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan
D.  Rukun dan Syarat Al-Qardh
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak yang
melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut
beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1.    Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’
bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan
maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku
berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2.    ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi
hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a.    Syarat-syarat bagi pemberi hutang
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang
yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid,
dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang
piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali
dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah.
Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’
(pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.
Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan
kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa
alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus
berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan memaksa.
Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi pemberi
hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.
Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi pemberi
hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan
nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.
Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak
boleh menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat
jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun bukan dalam
kondisi darurat.
b.    Syarat bagi penghutang
1)   Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-
mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member
derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-
tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal
sehat.
2)   Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali
dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath
(berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi
menanggung.
3.    Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
a.       Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu
sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai,
seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-
beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain
sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara
mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan
taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di kalangan mereka,
menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan, semua barang
yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni
semua yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu
berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi
Muhammad saw pernah berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam,
yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain sebagainya.
Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni
hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.
Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda yang boleh dijual, baik
yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat djelaskan
dengan sifat maupun tidak.
b.      Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat
(jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda
dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang
dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat
dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan
dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat
(jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.
Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya
menghutangkan manfaat (jasa).
c.       Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’ karena
dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta semisalnya (yang
sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya.
Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga
ini, maka tidak sah
E.  Waktu dan Tempat Pengembalian Al-Qardh
ُ‫ص–حُّ إ ْيفَ––ا ُؤه‬ ِ ْ‫ب اأْل َرْ بَ َع ِة َعلَى أَ َّن َوفَا َء القَر‬
ِ َ‫ َوي‬، ُ‫ض يَ ُكوْ نُ فِي البَلَ ِد الَّ ِذي تَ َّم فِ ْي– ِه اإل ْق– َراض‬ ِ ‫ق ُعلَ َما ُء ال َم َذا ِه‬ َ َ‫ اِتَّف‬:‫َمكَانُ ال َوفَا ِء‬
‫ك لَم يَ ْلزَم ال ُم ْق ِرضُ بِتَ ْسلِ ِم ِه‬
َ ِ‫إن احْ تَا َج ِإلَى َذل‬ ٍ ‫ف طَ ِري‬
ْ َ‫ ف‬،‫ق‬ ِ ْ‫ي َم َكا ٍن آ َخ َر إِ َذا لَ ْم يَحْ تَجْ نَقَلَهُ ِإلَى َح ْم ٍل َو ُم ْؤنَ ٍة أَوْ َو َج َد َخو‬ ِّ َ‫فِي أ‬
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman hendaknya di
tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana saja, apabila
tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan. Apabila semua
itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya
Adapun untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:
‫ض؛ أِل َنَّهُ َع ْق ٌد اَل‬
ِ ْ‫ال القَر‬ َ ‫ض َم‬ ِ ‫ْض ْال ُم ْستَ ْق ِر‬
ِ ‫ت َشا َء ْال ُم ْق ِرضُ بَ ْع َد قَب‬
ٍ ‫ي َو ْق‬ ِّ ‫ض ِع ْن َد َغ ْي َر ال َمالِ ِكيَّة فِي أ‬ ِ ْ‫ت َر ِّد بَ ْد ِل القَر‬ ُ ‫َو َو ْق‬
‫ض يَتَأ َ َّج ُل ِع ْن َدهُ ْم‬ َ ْ‫ض؛ أِل َ َّن القَر‬
ِ ْ‫ض ِع ْن َد ُحلُوْ ِل أَ َج ِل َوفَا ِء القَر‬ َّ ‫َب ْال َمالِ ِكيَّةُ إِلَى‬
ِ ْ‫أن َو ْقتَ َر ِّد بَ ْد ِل القَر‬ َ ‫ َو َذه‬.ُ‫ُت فِ ْي ِه األَ َجل‬ ُ ‫يَ ْثب‬
ُ‫ َك َما تَقَ َّد َم بَيَانُه‬،‫بِالتَّأْ ِج ْي ِل‬
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja
terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena
qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah,
waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah
ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu

F.   Harta yang harus dikembalikan


Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk mengembalikan harta
semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan mengembalikan harta semisal dengan
bentuknya (dalam pandangan ulama selain Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimiy,
seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam
‫الحنَفِيَّ ِة‬
َ ‫–ر‬ِ –‫ َويَ ُر َّد ِم ْثلُهُ صُو َرةً ِع ْن– َد َغ ْي‬،‫اق‬
ِ َ‫ضهُ إِ ْن َكانَ ْال َما ُل ِم ْثلِيّا ً بِا ِالتِّف‬ َ ‫ض أَ ْن يَ ُر َّد ِم ْث ُل ْال َما ِل الَّ ِذي ا ْقتَ َر‬ِ ‫يَ ِجبُ َعلَى ْال ُم ْقت َِر‬
.‫صافِهَا‬َ ْ‫ضهَا فِي أَو‬ َ ‫ َك َر ِّد َشا ٍة تُ ْشبِهُ ال َّشا ِة الَّتِي ا ْقتَ َر‬،ً‫ض َماالً قِ ْي ِميّا‬ِ ْ‫إِ َذا َكانَ َم َحلُّ القَر‬
Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy sesuai dengan
apa yang sebelumnya dipinjam.

G. Hikmah disyariatkan Al-Qardh


Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari orang yang
berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan, dan sisi kedua adalah
dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin
menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang
dialami oleh orang lain
Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang) menurut Syekh Sayyid Tanthawi
dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:
‫صالِ ِح ِهم‬ ِ ‫ وال َع َم ُل َعلَى تَ ْف ِري‬,‫ق والرَّحْ َمةُ بِ ِه ْم‬
َ َ‫ وق‬,‫ْج َمتَا ِعبِ ِهم‬
َ ‫ضاء َم‬ ُ ‫ والرِّ ْف‬,‫اس‬
ِ َّ‫ التَ ْي ِس ْي ُر َعلَى الن‬: ‫َو ِح ْك َمةُ َم ْشرُوْ ِعيَّتِ ِه‬
ِ َّ‫)التَ ْي ِس ْي ُر َعلَى الن‬.
1.      Memudahkan kepada manusia (‫اس‬
ُ ‫)الر ْف‬
2.      Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (‫ق وال َرحْ َمةُ بِ ِه ْم‬ ِ .
3.      Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang mereka hadapi ( ‫ال َع َم ُل‬

ِ ‫) َعلَى تَ ْف ِري‬.
‫ْج َمتَا ِعبِ ِه ْم‬
4.       Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (‫صالِ ِح ِهم‬ َ َ‫)ق‬.
َ ‫ضاء َم‬
H.  Problematika terkait Al-Qardh pada masa sekarang
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad
saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan syariah akad ini
dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi
pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun
demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank
mengikhlaskannya.1[19]
Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari pinjaman
pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di depan.
Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan wujud dari penerapan
hadits Rasulullah SAW berikut ini:
ِ ‫ ع َْن أَبِي ه َُر ْي– َرةَ َر‬،َ‫ ع َْن أَبِي َس–لَ َمة‬،َ‫ ع َْن َس–لَ َمة‬، ُ‫ َح َّدثَنَا ُس ْفيَان‬،‫َح َّدثَنَا أَبُو نُ َعي ٍْم‬
‫ َك––انَ لِ َر ُج– ٍل َعلَى‬:‫ قَ––ا َل‬،ُ‫ض– َي هَّللا ُ َع ْن–ه‬
‫ فَلَ ْم‬،ُ‫ فَطَلَبُ––وا ِس –نَّه‬،»ُ‫ «أَ ْعطُ––وه‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َ‫ فَ َجا َءهُ يَتَق‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِس ٌّن ِمنَ ا ِإلبِ ِل‬
َ ‫ فَقَا َل‬،ُ‫اضاه‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬،َ‫ أَوْ فَ ْيتَنِي َوفَى هَّللا ُ بِك‬:‫ فَقَا َل‬،»ُ‫ «أَ ْعطُوه‬:‫ فَقَا َل‬،‫يَ ِجدُوا لَهُ إِاَّل ِسنًّا فَوْ قَهَا‬
َ –َ‫ «إِ َّن ِخي‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس –لَّ َم‬
‫–ار ُك ْم‬
)‫ضا ًء» (رواه البخاري‬ َ َ‫أَحْ َسنُ ُك ْم ق‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki pernah dijanjikan
seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau
untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka
orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta
yang lebih tua umurnya, maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu
berkata: "Anda telah memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah
siapa yang paling baik menunaikan janji".
َ ‫اس –تَ ْق َر‬
‫ض‬ َ –‫ح ع َْن َسلَ َمةَ ْب ِن ُكهَ ْي ٍل ع َْن أَبِي َس–لَ َمةَ ع َْن أَبِي ه َُر ْي‬
ْ ‫–رةَ قَ––ا َل‬ ٍ ِ‫صال‬َ ‫ب َح َّدثَنَا َو ِكي ٌع ع َْن َعلِ ِّي ْب ِن‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
‫ (رواه الترمذي‬.‫ضا ًء‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِسنًّا فَأ َ ْعطَاهُ ِسنًّا َخ ْيرًا ِم ْن ِسنِّ ِه َوقَا َل ِخيَا ُر ُك ْم أَ َح‬
َ َ‫اسنُ ُك ْم ق‬ َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari
Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata;
“Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur
1
tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah
berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu
adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari
yang dipinjam).”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya mengembalikan
pinjamannya lebih dari apa yang dia pinjam.
Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa diambil
dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari para aghniya’ atau
diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria tertentu
kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut berlandaskan berlandaskan
pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika
pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk
konsumtif. Adapun cara pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus.
Jika pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara bergulir

Anda mungkin juga menyukai