Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FIKIH MUAMALAH KONTEMPORER


“RAHN (GADAI)”

Disusun Oleh: Kelompok 9

Dosen Pengampu: LUSIANA, S.H.I., M.E. Sy

1) Tri Murniati Nurmi (1720104105)


2) Anggi Aryani (1730104117)
3) Ayu Puspita Sari (1730104122)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
PENDAHULUAN ............................................................................... 1
PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Pengertian Rahn (Gadai) .......................................................... 3
B. Dasar Hukum Rahn (Gadai) .................................................... 4
C. Rukun dan Syarat Rahn (Gadai)............................................... 5
1. Rukun-Rukun Gadai.......................................................... 5
2. Syarat-Syarat Gadai .......................................................... 7
D. Ketentuan-Ketentuan Khusus Rahn (Gadai) ............................ 8
E. Struktur Rahn (Gadai) .............................................................. 10
1. Memanfaatkan Barang Jaminan ........................................ 10
2. Resiko Kerusakan Barang Jaminan ................................... 11
F. Manfaat Rahn (Gadai) .............................................................. 11
G. Metodologi (Pendapat Fuqaha) ................................................ 12
H. Aplikasi dan Problem Rahn...................................................... 12
PENUTUP ........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 15

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-
kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk).
Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling
menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena
itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi
kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan
sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu
tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya
dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda
atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Dalam hal jual beli
sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai).
Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk
riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang
yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang
melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut.
Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan
hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian Rahn (Gadai)?
2. Apa saja Dasar Hukum Rahn (Gadai)?
3. Apa saja Rukun dan Syarat Rahn (Gadai)?

1
4. Bagaimana Ketentuan-Ketentuan Khusus Rahn (Gadai)?
5. Apa saja Struktur Rahn (Gadai)?
6. Apa saja Manfaat Rahn (Gadai)?
7. Bagaimana Metologi (Pendapat Fuqaha)?
8. Bagaimana Aplikasi dan Problem Rahn?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan pengertian
Rahn (Gadai).
2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja dasar hukum Rahn (Gadai).
3. Untuk mengetahui dan memahami apa saja Rukun dan Syarat Rahn
(Gadai).
4. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Ketentuan-Ketentuan
Khusus Rahn (Gadai).
5. Untuk mengetahui dan memahami apa saja Struktur Rahn (Gadai).
6. Untuk mengetahui dan memahami apa saja Manfaat Rahn (Gadai).
7. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Metologi (Pendapat
Fuqaha).
8. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Aplikasi dan Problem
Rahn.

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn (Gadai)
Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubut (‫)الثبوت‬
yang berarti tetap dan ad-dawam (‫ )اللزوم‬yang berarti terus menerus.
Sehingga air yang diam tidak mengalir dikatakan sebagai maun rahin
(‫)ماءراهن‬.1
Rahn (gadai seperti yang sudah berkembang di kalangan masyarakat)
menurut bahasa berarti jaminan, tetap, kekal. Perjanjian ini lazim disebut
dengan jaminan, agunan, dan rungguhan. Menurut istilah ulama fikih
sebagai berikut:
Pertama, menurut ulama Hanafiyah rahn adalah: menjadikan barang
sebagai jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai pembayaran
piutang, baik seluruhnya ataupun sebagainya.
Kedua, menurut ulama Malikiyah rahn adalah harta pemilik yang
dijadikan sebagai jaminan utang yang memiliki sifat mengikat. Menurut
mereka, yang dijadikan jaminan bukan hanya barang yang bersifat materi,
bisa juga barang yang bersifat manfaat tertentu.
Ketiga, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah rahn adalah
menjadikan barang pemilik sebagai jaminan utang, yang bisa dijadikan
sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa melunasi
utangnya.2
Dengan kata lain, rahn adalah menyimpan sementara harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang
(yang meminjamkan).3

1
Muhammad Aqil Haidar, Memanfaatkan Barang Gadai Bolehkah?, (Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing, 2019), hlm. 7.
2
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm.
160.
3
Muhammad Aqil Haidar, Memanfaatkan Barang Gadai Bolehkan?, hlm. 8.

3
B. Dasar Hukum Rahn
1. Al-Qur’an
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah [2] ayat 283 yaitu :
‫ضا فَ ْلي َُؤ ِد‬
ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬ ُ ‫ضةٌ ۖ فَإ ِ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬ َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َِجد ُوا َكاتِبًا فَ ِره‬ َ ‫علَ ٰى‬ َ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
َّ ‫ش َهادَة َ ۚ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْم َها فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َو‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫َّللاَ َربَّهُ ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُموا ال‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫الَّذِي اؤْ ت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
َ َ‫بِ َما ت َ ْع َملُون‬
‫ع ِلي ٌم‬
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis. Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan Barang siapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dam Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.

2. Al-Hadis
ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
َّ ‫ي‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ام ٍر َع ْن أَبِي ه َُري َْرةَ َر‬ ِ ‫َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعي ٍْم َحدَّثَنَا زَ ك َِريَّا ُء َع ْن َع‬
َّ ‫سلَّ َم أَنَّه ُ َكانَ يَقُو ُل‬
‫الرهْنُ ي ُْر َكبُ بِ َنفَقَتِ ِه َويُ ْش َربُ لَ َبنُ الدَّ ِر إِذَا َكانَ َم ْرهُونًا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫َع ْن النَّبِي‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada
kami Zakariya’ dari ‘Amir dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesuatu (hewan) yang digadaikan
boleh dikendarai untuk dimanfaatkan, begitu juga susu hewan boleh
diminum bila digadaikan”. (HR. Bukhari No. 2328).

4
C. Rukun dan Syarat
1) Rukun-Rukun Gadai
Ibnu Rusyd dalam kitab mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga
bagian:
1. Orang yang menggadaikan
2. Akad Gadai
3. Barang yang digadaikan.4
a. Orang yang Menggadaikan
Tidak diperselisihkan lagi bahwa diantara sifat-sifat orang
yang menggadaikan adalah, bahwa ia tidak dilarang untuk
bertindak sebagai orang yang dibenarkan untuk bertindak (artinya,
orang tersebut tidak berada di bawah pengampunan).
Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh
menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam
kekuasaannya, jika tindakan tersebut benar dan memang
diperlukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa washi dibolehkan
menggadaikan karena adanya kepentingan yang jelas.
Suhun berpendapat bahwa jika seseorang menerima gadai oleh
sebab harta yang dipinjamkannya, maka hal itu tidak boleh. Imam
Syafi’I juga mengemukakan pendapat yang sama.
Imam Malik dan Syafi’I sependapat bahwa orang muflis
(bangkrut, pailit) tidak boleh menggadaikan. Tetapi Imam Abu
Hanifah membolehkannya.

b. Akad Gadai
Ulama Syafi’I berpendapat bahwa penggadaian bisa sah
dengan dipenuhinya tiga syarat.
1. Harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan.

4
Al-Faqih Abul Walid, Muhammad ibn Ahmad dan Muhammad ibn Rusyd, Bidayatul
al- Mujtahid al-Muqasid, (Beirut: Dar al-Jiih, 1990), hlm. 204.

5
2. Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan
tidak terhalang, seperti mushhaf. Imam Malik membolehkan
penggadaian Mushhaf, tetapi penerima gadai dilarang
membacanya. Perselisihan ini berpangkal pada masalah jual
beli.
3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba
masanya pelunasan hutang gadai.
Menurut Imam Malik dan Syafi’I, kepemilikan penggadai atas
barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Behkan
keduanya membolehkan barang gadaian itu dipinjamkan.
Di antara syarat gadai, fuqaha’ telah sependapat bahwa
beradanya barang gadaian di tangan penerima gadai adalah dari si
penggadai. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima
gadai menerima barang tersebut dengan cara ghashab (merampas),
kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang
tersebut sebagai gadai di tangannya.
Fuqaha’ juga berselisih pendapat tentang penggadaian barang
milik bersama. Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya, tetapi
Imam Malik dan Syafi’I membolehkannya. Silang pendapat
tersebut berpangkal pada, apakah barang milik bersama itu dapat
dikuasai atau tidak.

c. Barang yang Digadaikan


Aturan pokok dalam Madzhab Maliki tentang masalah ini
ialah, bahwa gadai itu dapat dilakukan pada semua macam harga
pada semua macam jual beli, kecuali pada jual beli mata uang
(sharf) dan pokok modal pada salam yang berkaitan dengan
tanggung. Demikian itu karena pada sharf disyaratkan tunai (yakni
kedua belah pihak saling menerima). Oleh karenanya tidak boleh
terjadi akad gadai padanya.
Sekelompok fuqaha’ zhahiri berpendapat bahwa akad gadai
tidak boleh selain hanya pada salam saja, yakni pada salam dalam

6
gadai. Demikian itu karena ayat berkenaan dengan gadai itu
terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan. Dan menurut
pendapat mereka ini adalah salam. Seolah mereka menganggap
yang demikian itu sebagai salah satu syarat sahnya gadai.
Maka menurut madhzab Maliki dibolehkan mengadakan gadai
pada salam, hutang ghashab, harga-harga barang konsumsi, denda
tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan
secara sengaja yang tidak ada qishash padanya, seperti al-ma ‘mu-
mah (pelukan yang mengenai otak) dan al-jaifah (pelukan yang
mengenai perut).
Mengenai pembunuhan secara sengaja dan penganiayaan yang
terkena qishash, maka ada dua pendapat tentang kebolehan
mengambil gadai pada diyatnya. Jika dalam hal itu wali
memaafkan. Pertama: bahwa gadai pada yang demikian itu
dibolehkan, dengan mendasarkan kepada pendapat yang
mengatakan, bahwa wali dibolehkan memilih antara mengambil
diyat atau mengambil qishash, pada penganiayaan yang disengaja.
Kedua: bahwa gadai pada demikian itu tidak boleh, dengan
mendasarkan kepada pendapat yang menyatakan, bahwa wali
hanya dibolehkan mengambil qishash saja, jika pelaku tindak
kriminal (jinayah) itu enggan membayar diyat.

2) Syarat-Syarat Gadai
Mengenai syarat-syarat gadai, maka yang disebutkan dalam
syara’ ada dua macam, yakni syarat sah dan syarat kerusakan.
Kemudian mengenai syarat-syarat sah yang disebutkan oleh syara’
dalam gadai, yakni dalam keadaannya sebagai gadai, maka ada dua
syarat. Pertama: syarat yang disepakati pada garis besarnya, tetapi
diperselisihkan segi kesyaratannya, yakni penguasaan atas barang.
Kedua: syarat yang keperluannya masih diperselisihkan. Mengenai
penguasaan terhadap barang yang digadaikan, maka pada garis
besarnya disepakati sebagai syarat gadai, berdasarkan firman

7
Allah: Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(Oleh orang yang berpiutang). Tetapi mereka masih berselisih
pendapat, apakah penguasaan ini merupakan syarat kelengkapan
ataukah syarat sahnya gadai.
Diperlukannya pemisahan tersebut adalah bahwa bagi fuqaha’
yang menganggap penguasaan sebagai syarat sahnya gadai, maka
ia akan berpendapat bahwa selama belum terjadi penguasaan, maka
akad gadai itu tidak mengikat bagi orang yang menggadaikan.
Yang lebih utama bagi fuqaha’ yang mensyaratkan penguasaan
sebagai syarat sahnya akad adalah jika ia juga mensyaratkan
kelangsungannya. Sedang bagi fuqaha’ yang tidak
mensyaratkannya sebagai syarat sahnya akad, hendaklah juga tidak
mensyaratkan kelangsungan pada penguasaan. Syarat yang haram
dan dilarang berdasarkan nash adalah, jika seseorang
menggadaikan barang dengan syarat bahwa ia akan membawa
haknya pada masanya, dan jika tidak, maka barang tersebut
menjadi milik penerima gadai. Fuqaha’ telah sependapat bahwa
syarat tersebut mengharuskan batalnya gadai.

D. Ketentuan-Ketentuan Khusus Rahn (Gadai)


a) Hak Penerima Gadai
Hak penerima gadai dalam gadai adalah menahan barang gadai,
sehingga orang yang menggadaikan melunasi kewajibannya. Jika ia
tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada waktunya, maka penerima
gadai bisa melaporkannya kepada penguasa. Kemudian penguasa
menjual barang gadai kepadanya. Jika ia tidak menanggapi penerima
gadai untuk dijual, maka penguasa menasihatinya. Demikian pula jika
ia sedang bepergian.
b) Hak dalam Gadai Bersifat Menyeluruh
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan
keseluruhan hak barang yang digadaikan itu dan dengan sebagainya.
Yakni, jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu,

8
kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai
masih tetap berada di tangan penerima gadai, sehingga ia menerima
haknya sepenuhnya.
c) Tambahan Pada Barang Gadai
Sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa tambahan yang terpisah dari
barang gadai sama sekali tidak termasuk dalam barang gadai. Yakni
tambahan yang terjadi di tangan penerima gadai. Imam Syafi’I adalah
salah seorang di antara fuqaha yang memegangi pendapat ini.
Sebagian fuqaha’ lainnya berpendapat bahwa seluruh tambahan
masuk dalam barang gadai. Di antara fuqaha yang berpendapat
demikian adalah Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri.
d) Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh
mengambil sesuatu manfaat pun dari barang gadai.
Fuqaha’ lain berpendapat bahwa apabila barang gadai itu berupa
hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susunya dan
menungganginya dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan
biaya yang diberikan kepadanya.
e) Musnahnya Barang Gadai
Fuqaha’ berselisih pendapat apabila barang gadai musnah di tangan
penerima gadai. Sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa barang gadai
adalah barang titipan (amanat), dan ia adalah dari orang yang
menggadaikan. Maka (jika terjadi kemusnahan di tangan penerima
gadai), yang dipegangi ialah kata-kata penerima gadai dibarengi dengan
sumpahnya, bahwa ia tidak melalaikan dan tidak menganiaya barang
tersebut.
Fuqaha’ lainnya berpendapat bahwa barang gadai adalah dari
penerima gadai dan kerugiannya pun daripadanya.
f) Menjual atau Menghibahkan Barang Gadai
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa orang yang menggadaikan
tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Jika ia menjual

9
atau menyewakannya, maka sewanya bagi penerima gadai atau ia
membatalkannya.
Jika barang gadai berupa hamba lelaki atau hamba perempuan,
kemudian dimerdekankan oleh orang yang menggadaikannya, maka
Imam Malik berpendapat, bahwa jika orang yang menggadaikan itu
kaya, maka pemerdekaannya itu dapat diluluskan, dan penerima gadai
dapat dipercepat pelunasan haknya. Sedang jika ia orang yang tidak
mampu, maka hamba tersebut dijual, dan kewajibannya untuk melunasi
hutang dibayarkan dari harga penjualan tersebut.5

E. Struktur Rahn
1. Memanfaatkan Barang Jaminan
Para ulama fikih berpendapat bahwa barang yang dijadikan jaminan
tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali, karena
tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta.
Pertama,ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa
murtahin (pemegang barang jaminan) tidak berhak memanfaatkan barang
jaminan. Menurut mereka, tidak boleh bagi yang menerima barang gadai
untuk mengambil manfaat dari barang jaminan.6
Kedua, menurut ulama Malikiyah, manfaat atau nilai tambah yang
datang dari barang jaminan adalah milik rahin (orang yang
menggadaikan) dan bukan untuk murhahin (penerima jaminan).
Ketiga, menurut ulama Hanabilah, bahwa barang gadaian bisa
berupa hewan yang dapat ditunggangi atau dapat diperah susunya, atau
bukan berupa hewan.
Imam Ahmad menegaskan bahwa penerima barang gadai (murtahin)
boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin penggadai. Namun
menurut mazhab Hambali, apabila agunan itu bukan berupa hewan atau
sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah,
pemegang agunan yang tidak boleh memanfaatkan.

5
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), hlm. 307-310.
6
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, hlm. 167-168.

10
2. Resiko Kerusakan Barang Jaminan
Apabila kerusakan barang jaminan (marhun) dalam penguasaan
murtahin (penerima gadai), maka penerima gadai tidak wajib
menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya barang jaminan itu
disebabkan kelalaian atau karena faktor penyebab tidak
bertanggungjawabnya (tidak diurus) penerima gadai.
Menurut Hanafi, penerima barang jaminan (murtahin) harus
menanggung resiko kerusakan barang jaminan (marhun), bila barang
jaminan itu hilang atau rusak, atau disebabkan karena kelalaian penerima
jaminan (murtahin) maupun tidak. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah,
penerima barang gadai (murtahin) harus menanggung resiko kehilangan
atau sebab kelalaiannya.

F. Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip gadai (rahn)
sebagai berikut7:
1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2. Memberikan keamanan bagi semua penabung atau pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu aset atau barang jaminan (marhun) yang
dipegang oleh bank.
3. Jika gadai (rahn) diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah
barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana,
terutama di daerah-daerah.
Sedangkan manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya
konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan
keamanan aset tersebut.

7
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, hlm. 169-170.

11
G. Metodologi (Pendapat Fuqaha)
Hukum rahn (gadai) pada umumnya dibagi menjadi bagian, yaitu:
1. Hukum Gadai Sah
Apabila akad rahn telah sempurna, yakni rahin menyerahkan
jaminan kepada murtahin, terjadilah beberapa hukum sebagai berikut:
a. Adanya utang untuk rahin.
b. Hak menguasai jaminan.
2. Hukum Gadai Tidak Sah
Jumhur ulama sepakat bahwa dikategorikan gadai tidak sah dan
menyebabkan perjanjian batal, adalah tidak adanya akibat hukum pada
jaminan. Dengan demikian, pihak penerima gadai (murtahin) tidak
memiliki hak untuk menahannya. Demikian juga, rahin (orang yang
menggadaikan) diharuskan meminta kembali jaminan8.

H. Aplikasi dan Problem Rahn


Kontrak rahn (gadai) dalam perbankan dalam dua hal:
a) Sebagai produk pelengkap
Rahn (gadai) dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai
perjanjian (akad) tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain
seperti dalam pembiayaan bay’ al-murabahah. Bank dapat menahan
barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
b) Sebagai produk tersendiri
Dibeberapa negara Islam termasuk diantaranya adalah Malaysia,
akad rahn (perjanjian gadai) telah dipakai sebagai alternatif dari
pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam
rahn, nasabah tidak dikenakan bunga; yang dipungut dari nasabah
adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran.

Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah, akad perjanjian yang


dapat dilakukan antara lain:

8
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, hlm. 170-171.

12
a) Akad al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan
barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah
(rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian
(murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian.
b) Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi
dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi
hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan
kesepakatan, sampai modal yang dipinjami terlunasi.
c) Akad ba’i almuqayadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian
barang modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan
barang yang dimaksud oleh rahin.9

Sedangkan resiko (problem) yang mungkin terdapat pada rahn apabila


diterapkan sebagai produk adalah:
1) Resiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
2) Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

9
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), hlm. 225.

13
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Rahn Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata ats-
tsubut (‫ )الثبوت‬yang berarti tetap dan ad-dawam (‫ )اللزوم‬yang berarti
terus menerus.
2. Dasar Hukum Rahn dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah [2] ayat 283
dan dalam al-hadis yaitu HR. Bukhari No. 2328.
3. Rukun dan Syarat, Ibnu Rusyd dalam kitab mengatakan rukun gadai
terdiri dari tiga bagian: Orang yang menggadaikan, Akad Gadai , dan
Barang yang digadaikan. Sedangkan Syarat-Syarat Gadai disebutkan
dalam syara’ ada dua macam, yakni syarat sah dan syarat kerusakan.
4. Aplikasi dan Problem Rahn
Kontrak rahn (gadai) dalam perbankan dalam dua hal:
a) Sebagai produk pelengkap artinya sebagai perjanjian (akad)
tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain.
b) Sebagai produk tersendiri.
Sedangkan resiko (problem) yang mungkin terdapat pada rahn
apabila diterapkan sebagai produk adalah:
1) Resiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
2) Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

B. Saran
Dalam makalah kami ini, masih banyak hal yang harus diperbaiki dan
dikoreksi, materi-materinyajuga belum lengkap.untuk itu kami sangat
mengharapkan kontribusi positif untuk kemajuan kita bersama. Karena
kami tidak menunggu sempurnah dahulu untuk melakukan sesuatu, tapi
kami akan melakukan sesuatu untuk menuju kesempurnaan. Maka dari itu
kami sangat mengharapkan sekali kiranya masukkan serta bantuan kepada
pembaca sekalian untuk terus memberikan pendapat kalian dalam makalah
kami ini.

14
DAFTAR PUSTAKA
Haidar, Muhammad Aqil. 2019. Memanfaatkan Barang Gadai Bolehkah?.
Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Al Hadi, Abu Azam. 2017. Fikih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers.
Rusyd, Al-Faqih Abul Muhammad ibn Ahmad dan Muhammad ibn. 1990.
Bidayatul al- Mujtahid al-Muqasid. Beirut: Dar al-Jiih.
Rusyd, Ibnu. 1990. Bidayatu’l Mujtahid. Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press.

15

Anda mungkin juga menyukai