Kata gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut menurut arti aslinya adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah bentuk masdar dari : رهـنـا- يـــر هـن- رهـنyang artinya menggadaikan atau menungguhkan. Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian رهـنdari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu اــلـثـبـوتو اــلـد وا م yang berarti tetap dan kekal. Sedangkan arti lainnya ( اــلحـبـسmenahan). Seperti dinyatakan dalam Al-Quran ولم تـجتد وا كا تـبـافـرهـن مـقـبـوضـة Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah : Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima. Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai ( ) ر هـنـاadalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar. Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menjadikan kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang bertanggung jawab untuk menjamin keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas. Sehingga keduanya bebas dari tanggung jawab masing-masing. Jika seseorang ingin berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berupa ternak yang berada dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia melunasi hutangnya Dasar hukum Gadai Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah : فـلـيـودالـذي ْ و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا او تمن أمنته وليتق هللا ربه والتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و هللا بـما تـعـلـمـون ْ ]8[عـلـيم Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian.. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin. Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut : إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat. Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al- Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap. Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip- prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah : a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul. b. Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan. c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. d. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[10]. Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu : ]10[ األصـل في االشــيـاء اإلبــاحــةAhmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu : 1. Aqid (orang yang melakukan akad) yang meliputi : a. Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai) b. Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai). 2. Ma’qu>d ‘alaih (yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu : a. Marhu>n (barang yang digadaikan). b. Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai). 3. Si>gah (akad gadai).[12] Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah : 1. Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l) 2. Aqid (Penggadai dan penerima gadai). 3. Marhu>n (barang gadaian). 4. Marhu>n bih (hutang)[13]. Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad. [12] Abd. Ar- Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320. [13] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183. Pemanfaatan Barang Gadai. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu : ال يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه ]27[غـر مـه Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya. [28] Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu : 1. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya. 2. Yang membutuhkan pembiayaan.[29] Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain. Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi : الـرهـن يـركـب بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـته ]30[ إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.[31] Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.