Anda di halaman 1dari 4

Siasah Dauliyah (Hukum yang Mengatur hubungan antara satu negara dengan negara

lain)

1. Pembagian Negara / wilayah :


a. Dār al-Islām /dār al-‛adl/dār al-salām
Madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali mendefinisikannya sebagai wilayah di mana
hukum Islam berlaku / diterapkan
al-Shawkānī mendefinisikannya sebagai wilayah yang diperintah oleh umat Islam atau
di mana kedaulatan milik umat Islam ada, atau suatu wilayah meski tidak berada di
bawah kekuasaan Muslim, selama seorang Muslim dapat tinggal di sana dengan aman
dan dengan bebas memenuhi kewajiban agamanya”.
Abū Hanīfah, mendefinisikannya sebagai wilayah di mana hukum Islam diterapkan dan
umat Islam atau non-Muslim dapat hidup dengan aman.
b. Dār al-harb/dār al-jawr.
Definisi pertama; adalah wilayah di mana hukum Islam tidak diterapkan atau di mana
umat Islam atau non Muslim tidak aman untuk memeluk agama atau melakukan ibadah
atau wilayah yang dikuasai oleh non-Muslim;
c. Dār al-sulh /dār al-‛ahd/dār al-muwāda‛ah yaitu negara atau wilayah Non-Muslim yang
menandatangani perjanjian damai dengan negara Islam,atau melakukan aliansi dengan
negara Islam.

2. Pembagian Warga Negara :


a. Muslim, yaitu warga negara asli suatu negara yang beragama Islam
b. Dzimmi yaitu Warga negara asli namun tidak menganut agama Islam
c.Musta’min, yaitu warga negara asing yang berada di negara tertentu untuk sementara
waktu (misalnya untuk bekerja, berdagang, belajar, berdarmawisata, dll. atau wilayah
dimana hukum Islam tidak berlaku tetapi ada perjanjian antara negara itu dengan
negara Islam.

Prinsip-prinsip hukum internasional dalam Islam


Menurut Abul ‘Ala Al-Maududi prinsip-prinsip hukum Internasional Islam meliputi prinsip-
prinsip sebagai berikut :
 Saling menghormati perjanjian-perjanjian, fakta-fakta dan traktat-traktat.
 Menjaga amanah, ketulusan dan kebenaran dalam setiap perkara dan hubungan
antar bangsa(An-Nahl :94)
 Keadilan Universal (Al-Maidah : 8)
 Menghormati batas-batas negara (an-Nisa’ : 89-90)
 Menjaga perdamian abadi (al-Anfal: 61)
 Menghindari rasa tinggi hati, takabur serta penyebaran kerusakan dibumi (al-
Qoshosh :83)
 Memperlakukan kekuatan yang tidak menentang dengan perlakuan yang baik (al-
Mumtahanah : 8)
 Membalas kebaikan dengan kebaikan (ar-Rahman :6)
 Memperlakukan kaum penyerang dengan perlakuan yang sama dengan perlakuan
mereka sendiri (al-Baqarah : 194)

Abu Zahrah menyatakan bahwa hukum internasional Islam, baik di masa damai
maupun perang, didasarkan pada sepuluh prinsip berikut ini:
(1) Martabat manusia; Alquran 17:70; 2:30-33; 45:12-13.
(2) Semua manusia adalah satu bangsa; Al-Qur'an 4:1; 7:189; 30:22; 49:13
(3) Kerjasama antar umat manusia; Al-Qur'an 5:2.
(4) kesabaran; Al-Qur'an 41:34; 7:199; 16:126-127
(5) kebebasan yang meliputi kebebasan pribadi atau kelompok, kebebasan beragama
dan kebebasan menentukan nasib sendiri Al-Qur'an 2:256; 10:99
(6) kebajikan baik dalam waktu perdamaian atau, khususnya, selama perang; Al-
Qur'an 2: 190; 2:194
(7) keadilan; Al-Qur'an 5:8; 16:90; 57:25.
(8) timbal balik;
(9) pacta sunt servanda Al-Qur'an 16:91-94dan
(10) persahabatan dan pencegahan kezaliman. Al-Qur'an 60:8-9; 28:5.

Batas yuridiksi hukum Islam


Para ahli hukum di sini sepakat bahwa negara Islam tidak memiliki yurisdiksi
sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan oleh non-Muslim di luar wilayah negara Islam.
Masalahnya bagaimana jika yang melakukan itu adalah warga negara Islam (Muslim/Dzimmi)
apakah kepada mereka berlaku ketentuan hukum Islam ? Dalam menyoroti masalah ini Abu
Hanifah menggunakan teori teritorialitas yang menegaskan bahwa kejahatan yang
dilakukan di luar negara Islam, baik dilakukan oleh Muslim atau zimmi, tidak dapat diadili
di pengadilan Islam. Sementara mazhab Syafi, Mālik atau Hanbal menggunakan teori
personalitas di mana Muslim atau dhimmi jika terbukti bersalah melakukan kejahatan di luar
negeri dapat diadili dan dihukum oleh pengadilan Islam, asalkan korbannya adalah Muslim
atau dhimmi.
Salah satu pertanyaan terpenting tentang kejahatan hirābah adalah apakah negara
Islam memiliki yurisdiksi untuk menjatuhkan hukuman hirābah jika dilakukan oleh penjahat
Muslim di luar wilayah negara Islam. Hanafi membatasi hukuman hirābah pada kejahatan
yang dilakukan oleh Muslim atau dhimmi ( warga non-Muslim permanen negara Islam)
hanya di dalam wilayah negara Islam. Jika dilakukan di luar wilayah negara Islam maka
mereka tidak dapat dihukum. Di sisi lain, Syafi, Mālik, Hanbal, dan Zāhir berpendapat bahwa
hukuman hirābah harus dijatuhkan setiap kali pelakunya adalah Muslim atau dhimmi dan
korbannya adalah Muslim atau dhimmi, meskipun kejahatan itu terjadi di luar wilayah negara
Islam.

Hubungan antara warga Muslim dan Non-Muslim (Dzimmi) di bidang Perdata


Pada umumnya hubungan antara Muslim dan Dzimmi di bidsang keperdataan sprti jual
beli, sewa menyewa, upah, hutang piutang dlsb, hukumnya boleh sepanjang tidak terdapt
unsur yang mengharamkan seperti riba, gharar dll. Namun dalam beberapa perkara khusus
terdapat ketentuan lain, sebagai berikut :
1. Perkawinan
Menurut Ulama’ Syi’ah : Seorang Muslim (baik wanita maupun pria) haram menikah
dengan Non-muslim. Sedangkan di kalangan fuqaha Sunni, keharaman itu hanya berlaku
untuk wanita Muslim yang akan menikah dengan pria Non-muslim, atau pria muslim yang
akan menikah dengan perempuan “kafir” dan orang yang murtad dari agama Islam.
Sedangkan menikahi wanita non-muslim dari golongan ahli kitab (beragama yahudi dan
nasrani sebelum ada perubahan kitab) para fuqaha berbeda pendapat.
Para ulama madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki muslim
mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisi di wilayah yang sedang berperang
dengan Islam (dâr al harb).
\Pendapat madzhab Maliki, syafi’i hukumnya adalah makruh..
Madzhab Hambali bependapat Laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali
tidak dimakruhkan mengawini perempuan Ahli Kitab berdasakan keumuman QS. al-Mâidah
ayat 5 namun, disyaratkan agar wanita tersebut adalah wanita merdeka.
2. Perwalian
Orang Muslim boleh menjadi wali bagi orang non-Muslim. Namun sebaliknya orang
non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi orang Muslim.
3. Persaksian
Orang Muslim boleh menjadi saksi bagi orang non-Muslim. Namun sebaliknya orang
non-muslim tidak boleh menjadi saksi bagi orang Muslim.
4. Waris
Orang Muslim tidak dapat menerima waris dari orang non-Muslim, begitu pula
sebaliknya.
5. Pemeliharaan anak
Dalam hal terjadi perceraian (cerai hidup atau mati) anak-anak orang Muslim tidak
boleh dipelihara oleh keluarga yanng non muslim. Sebaliknya keluarga yang muslim boleh
memelihara anak non-Muslim.

TENTANG MUSTA’MIN

Hak dan kewajiban Musta’min


Diskusi para ahli hukum tentang hak-hak musta'min terutama berfokus pada
perlindungan propertinya dan hak litigasinya. Mereka sepakat bahwa jika seorang musta'min
meninggal selama tinggal di negara Islam, hartanya harus dikirim ke ahli warisnya di
negaranya sendiri. Jika dia tidak memiliki ahli waris, Ibnu Qudāmah menambahkan, hartanya
akan disita sebagai rampasan perang, tetapi menurut al-Qarāfi, itu harus dikembalikan kepada
penguasa di negerinya sendiri. Jika seorang musta'min meninggalkan hartanya dalam negara
Islam dan kembali ke negara musuh untuk melakukan bisnis atau untuk mengunjungi
negaranya dan kembali ke negara Islam, amannya masih berlaku terhadap orangnya dan harta
yang ditinggalkannya. Dalam hal ini juga jika dia meninggal di negaranya, bertentangan
dengan posisi Abu Hanīfah dan al-Shāfi, maka uang yang ditinggalkannya akan dikirimkan
kepada ahli warisnya di dār al-harb. Apalagi jika dia kembali berperang untuk negaranya
melawan negara Islam, menurut mayoritas ahli hukum, selain dari al-Awza, Abū Hanīfah dan
al-Syafi, amanannya masih berlaku untuk hartanya tetapi tidak untuk pribadinya. Selain itu,
menurut al-Qarāfi, bahkan jika seorang musta'min meninggal saat berperang melawan negara
Islam, hartanya harus dikembalikan kepada ahli warisnya, tetapi jika ia ditangkap selama
perang dan kemudian dieksekusi, hartanya menjadi rampasan perang.
Musta'min memiliki hak untuk membawa Muslim, dhimmi dan musta'min lainnya ke
pengadilan Islam. Menurut Hanafi, hakim berkewajiban untuk menyelesaikan kasus-kasus
yang berkaitan dengan hutang dan perselisihan lainnya karena negara Islam berkewajiban
untuk melindungi musta'min dari ketidakadilan. Namun, al-Zuhayli menyatakan bahwa
sebagian besar ahli hukum berpendapat bahwa hakim Muslim dapat memilih apakah akan
mengadili kasus tersebut. Para ahli hukum sepakat bahwa seorang musta'min tidak dapat
diadili atas kejahatan yang dilakukannya di luar negara Islam, bahkan jika dia telah
membunuh seorang Muslim. Musta'min juga berhak untuk membeli dan mengekspor
komoditas apapun dari negara Islam, kecuali senjata dan budak, ini larangan jelas karena
senjata dan budak akan memperkuat Musuh Muslim
Para ahli hukum klasik tidak secara eksplisit menentukan kewajiban musta'min.
Selain kewajiban untuk menghormati hukum dan ketertiban umum, masuk akal bahwa
musta'min berkewajiban untuk tidak melakukan tindakan permusuhan di dalam wilayah
Islam atau memata-matai negara Islam. Dengan kata lain, dia tidak boleh melakukan tindakan
yang merugikan kepentingan negara Islam, dan juga dilarang baginya untuk mempraktekkan
riba..
Perlakuan terhadap Musta’min dalam perkara pidana
Abu Hanifah yang mempelopori doktrin pembatasan yurisdiksi hukum Islam terhadap
kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara Islam oleh warga tetapnya, membedakan
dua jenis kejahatan yang dilakukan oleh para musta'min: kejahatan terhadap hak-hak Allah.
(huqq Allah) dan kejahatan terhadap hak asasi manusia (huqūq al-‛ibād). Para musta'min
dikenakan hukuman atas kejahatan terhadap hak asasi manusia, tetapi mereka tidak
dikenakan hukuman atas kejahatan terhadap hak-hak Tuhan. Misalnya, jika seorang
musta'min membunuh seorang Muslim, seorang dhimmi atau musta'min lain di negara Islam,
hukuman Islam akan dijatuhkan kepadanya. Tetapi jika seorang musta'min melakukan mabuk
minuman keras, percabulan atau perzinahan, Abū Hanīfah dan al-Shaybān menyatakan
bahwa dia tidak tunduk pada Hukuman Islam. Sebaliknya, dalam kasus pencurian, ia wajib
mengembalikan barang curian karena termasuk dalam kategori hak asasi manusia, tetapi
hukuman amputasi tangan tidak berlaku karena itu adalah hak Allah.
Perlakuan terhadap Musta’min dalam perkara perdata
Adapun perlakuan terhadap musta’min dalam salah perdata ketentuannya sama dengan
perlakuan terhadap dzimmi, baik dalam masalah perkawinan, kewasrisan, perwalian, saksi
dlsb.

Anda mungkin juga menyukai