SYIASAH DAULIYAH
C.HUBUNGAN DIPLOMATIK
Sesuai degan Namanya sebagai agama dami dan sejahtera, islam lebih
mengutamakan perdamain dan kerja sama dengan negara mana saja. Islam di turunkan
sebagai rahmat untuk alam semesta. Karena itu Allah tidak membenarkan umat islam
melakukan peperangan, apalagi mengekspansi negara lain. Perng hanya di izinkan dalam
kondisi snagat terdesak, dan hanya u ntuk membela diri.
Dalam negara madina, Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara, juga
melakukan jalinan kerja sama dengan berbagi negara sahabat. Kerja sama ini di pererat
melalui hubungan diplomatic dengan negara-negara tersebut. Negara-negara sahabat
yang mempunyai hubungan diplomatik dengan dar al-islam. Di namakan oleh ulama
syafi’yah dengan dar al-ahd al-shulh.
Diplomasi [diplomacy, Inggris] berasal dari bahsa Yunani kuno, diploo= melipat,
diploma= perjanjian atau perikatan atau surat kepercayaan.
Menurut konvensi wina 18 april 1961 yang mengatur hubungan internasional, korps
diplmatik memiliki hak kekebalan pribadi dan ekonomi. Dalam hak-hak pribadi, jiwa, dan
harta diplomat asing harus di lindungi supaya ia dapat melaksanakan tugasnya dengan
baik. Sementara dalam hak-hak ekonomi, diplomat harus di bebaskan dari bea cukai dan
pajak dalam batas-batas tertentu.
Selain kedua hak tersebut, diplomat juga mempunyai hak ekstrateritorial, yaitu hak
untuk tidak tunduk pada hukum negaranya.Nmaun begitu, hal ini tidak berarti bahwa ia
dapat berbuat apa saja di luar kewenangannya sebagai diplomat yang melanggar
kedaulatan negara tempat ia bertugas.
Pakta perjanjian
Sebagai mana diungkapkan di atas, adanya hubungan diplomatik antara negara satu
dengan negara lainya diawali oleh penandatangan pakta perjanjia. Sebelum di rumuskan
konvensi wina mengenai pakta perdamaian 1969 nabi dan sahabat telah mempraktikkan
bagaimana dar al-islam harus tunduk dan patuh pada pakta perjanjian yang telah di
sepakati dngan negara lain.
Bila dilihat sepintas, isi perjanjian ini timpang dan merugikan umat islam, terutama
pasal dua yang mengharuskan ekstradisi secara sepihak. Namun Nabi Muhammad SAW,
sebagai pihak yang telah menandatangani perjanjian hudaibiyah in tidak punya pilihan
kecuali mematuhi dan melaksanakanya.
Selain ke 3 kelompok di atas , ada lagi kelompok yang boleh di perangi dam islam. Mereka
adalah orang-orang yang sengaja menggagu dan menghalangi dawa islam. Dalam sejarah, Nabi
perna mengirikan utusan dakwanya ke daerah syam yang saat itu di kuasai oleh romawi. Akan
tetapi misi dakwa nabi itu yang berjumlah 50 orang da’I yang di kirimkan nabi ke Dhat al-Tallh.
Mereka di bunuh, kecuali hanya pimpinannya saja yang selamat melarikan diri . Kasus ini
merupakan kasus belli (peristiwa yang menyebabnya di bolehkannya melakukan peperangan)
terhadap romawi. Oleh karena itu, Nabi mengirimkan pasukan untuk membalas kejahatan
mereka terhadap utusan beliau . Akhirnya pasukan muslim dan romawi bertempur di medam
perang Mu’tah.
Kewajiban Berperang
Secara umum, perang adalah fardu kifayah, yaitu kewajiban yang di bebankan kepada sebagian
orang yang dapat berperang telah mengusir musuh atau perang berakhir dengan perjanjian, maka
kewajiban tersebut gugur atas kaum muslimin lainya, Hal ini di dasarkan pada firman allah dalam surah
At-taubah, 9:122:
Artinya:
“Tidak sepantasnya bagi orang-orangyang beriman itu pergi semuanya ke medan perang . Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mempelajari agama agar
mereka bisa memberi peringatan kepada kaumnya bilah telah kembali, supaya mereka menjaga diri”,
Namun demikian, tentu saja orang yang berpegang lebih muliah di sisi allah dari pada yang di
tinggal. Akan tetapi fardu kifayah ini berubah menjadi fardhu ‘ain, apabilah tentara muslim dalam
keadaan lemah,dengan kondisi demikian, umat islam lainya yang sanggup dan dekat dengan posisis
pertempuran, wajib berperang membantu tentara muslim untuk menghadapi kaum kafir, baik dalam
bentuk persenjataan, harta benda maupun langsung terlibat dalam peperangan.
ETIKA PERANG
Watak islam sebagai agama damai menganjurkan perang untuk tujuan –tujuan defensif terlihat
dalam beberapa etika perang yang di garikan dalam al-Qur’an dan di contokan oleh Nabi Muhammad
SAW serta para pelanjutnya , Hai yang pertama harus di lakukan sebelum perang adalah mengumumkan
perang terhadap musuh. Sebagian ulama memandang pengumuman perang ini sebagai suatu kewajiban
atas perintah dar al-islam. Pendapat ini di anut imam malik dan mazhab syi’ah Zaidiyah. Menurut
mereka , pemerintah harus terlebih dahulu menyampaikan dakwa, baik kepada musuh maupun bukan.
Pendapat ini di dasarkan pada amanat nabi kepada komandan pasukan yang akan berperang. Beliau
berpesan bahwa sebelum memerangi orang musrik, terlebih dahulu harus di suruh masuk islam . kalau
menolak , mereka boleh tetap dalam kepercayaanya , tetapi harus membawa ziryah sebagai jaminan
atas keagamaan mereka , bila ini meraka juga menolak , berarti hal ini merupakan ajakan perang. Dalam
kondisi inilah umat islam boleh mememerangi mereka.
AKHIR PEPERANGAN
Peperangan dapat berakhir dengan menyerahnya musuh dan perjanjian atau gencatan senjata.
Apabilah musuh telah menyerah , mereka tidak boleh di serang lagi dan kepada mereka dapat di berikan
alternatif pilihan.Pertama . Ajak mereka masuk islam.. Bilah pilihan ini mereka terima, ajak mereka
untuk pindah ke negri islam, maka mereka menerima tawaran ini , maka status dan kedudukan mereka
sama dengan umat lainya. Mereka berhak mendapat harta rampasan perang, kecuali hijrah, maka
mereka tidak mendapat harta rampsan perang , kecuali kalau mereka engan hijrah, maka mereka
bersama tentara muslim. Bilah alternatif pertama tidak mereka terima, musuh wajib di beri tawaran ke
dua, yaitu membayar jizyah. Jiwa dan harta benda mereka wajib dilindungi bilah mereka membayar
jizyah.
TAWANAN PERANG
Kosenkuensi dari sebuah perperangan adalah tawanan yang berhasil di tangkap. Dalam islam,
tawanan perang adalah orang kafir atau musrik yang dalam peperangan berhasil di tangkap oleh tentara
islam. Dalam fiqhi, tawanan perang dapat di kelompokan menjadi al-asra dan al-sabiyy adalah anak-anak
dan wanita musrik yang berhasil di tangkap oleh tentara islam.
Islam membolehkan menawan pasukan musuh sebagaimana dalam surah at-taubah, 9: 5 dan
Muhammad, 48: 4 ). Namun ilam memberikan tutunan dalam memperlakukan tawanan perang ini .
islam mewajibkan umatnya untuk memperlakukan mereka secarah baik dan kasih saying (rahmat).
Dalam sejarah, Nabi tidak pernah memperlakukan tawanan perang dengan kasar, apalagi
membunuhnya, kecuali karena hal-hal yang sangat prinsip , seperti tawanan perang tersebut
melakukan tindak pidana (jarimah) atau sangat berbahaya kalau di biarkan hidup, sebagaimana di
lakukan nabi dalam kasus perang badar. Selain yang di bunuh , masi banyak tawanan perang badar yang
di bebaskan, bahkan tanpa meminta tembusan dari mereka.
Terhadap tawanan perang Badar, Nabi SAW berpesan kepada umatnya agar memperlakukan
mereka dengan baik ( istawshu bihin khaira=perlakukan mereka dengan sebaik-baiknya). Daalam AL-
Qur’an , allah juga mengajarkan memperlakukan tawanan cecara manusiawi.
Mazhab maliki berpendapat bahwa pemerintahan islam boleh memiliki lima anternatif yang
paling maslahat bagi umat islam terhadap tawanan perang sebelum pembagian rampasan perang , yaitu
: membunuh mereka , menjadikannya sebagai budak , membebaskannya sebagai anugerah tanpa
meminta tebusan ,membebaskanya dengan mintah tebusannya atau memungut pajak dari mereka.
Dapat disimpulkan bahwa memiliki mensyaratkan penemuan sikap terhadap tawanan perang
harus sebelum pembagian harta rampasan perang karena tawanan perang juga merupakan
‘’sesuatu’’ yang akan dibagi bagikan.
E. SUAKA POLITK
Suaka politik atau asyalum adalah perlindungan yang di berikan oleh suatu negara
kepada orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara
asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motifdan
tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak plitiknya secara umum. Kejahatan politk ini
pun biasanya di landasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang
berkuasa, bukan karena motif pribadi.