Abstrak:
Kata Kunci:
Pendahuluan
1
Sumaryo Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, Tatanusa, Jakarta, h.3
muncul berbagai istilah yang berkaitan dengan diplomasi, seperti diplomasi
perjuangan (diplomasi pada masa perjuangan kemerdekaan), diplomasi kebudayaan
(untuk promosi kebudayaan), diplomasi ekonomi (untuk kepentingan ekonomi),
preventif diplomasi (untuk mencegah perang), diplomasi total (menggunakan segala
sumber daya), diplomasi publik (untuk pencitraan).
Metode
Metode Penelitian..............
Kata diplomasi memang tidak dikenal dalam sejarah Islam. Diplomasi sendiri
merupakan bahasa yang disadur dari bahasa Greek Yunani yaitu; diploma atau dalam
kata kerjanya diplon. Kata ini merujuk kepada arti kertas atau melipat. Adapun di
dalam Islam istilah yang biasa digunakan untuk memaknai kata diplomasi adalah;
sifarah (kedutaan). Kata ini telah dikenal oleh masyarakat Makkah sebelum Islam
datang. Tugas ini di jabar oleh Bani adi.
Dalam Kepemimpinan kota Makkah sebelum kenabian, maka Bani Adi adalah
yang diberikan tugas untuk urusan hubungan antar suku dan raja-raja yang dikenal
dengan istilah as-sifarah (urusan kedutaan). Pada masa Rasulullah tinggal di Makkah,
Umar Ibn Khattab dari suku Bani Adi diberikan tugas untuk hal tersebut. 2 Bani Adi
juga diberikan tugas sebagai utusan untuk menentukan sengketa perselisihan di dalam
suku-suku di kota Makkah. Bani Adi memiliki keutamaan tersendiri dalam hal ini,
dimana kakek-kakek Umar Ibn Khattab seperti Nufail bin Abdil Uzza juga sorang
hakim yang orang-orang Quraisy berhukum pada dirinya, dan hal itu diwariskan
kepada keluarganya.3
Kata diplomasi dikemudian hari diserap menjadi istilah dalam bahasa Arab yaitu; ad
diblomasiyyah. Tentu saja kata ad diplomasiyyah belum dikenal pada masa awal
Islam. Atinya kata tersebut termasuk ke dalam kamus bahasa Arab pada masa
belakangan. Adapun pada masa Rasulullah terdapat beberapa istilah yang digunakan
yaitu as sifarah, ar rasul, dan al barid yang juga bermakna; utusan, duta, atau diplomat
dan diplomasi. Dalam kontek hubungan diplomasi antar suku dan negara, maka
2
Sami bin Abdullah Al Malghuts, Athlas At Tarikhi li as Sirah An Nabawiyah, Riyadh: Maktabah
Al Ubaikan, 2004, hal. 94
3
Ali Muhammad Ashalabi, Sirah Amirul Mukminin Umar bin Khattab; Syakhsiyatuhu wa
‘Ashruhu, Mesir: Mu’assasah Iqra: 2005, hal. 16
Rasulullah melakukan pengutusan pengutusan kepada suku-suku, raja-raja yang
disertai dengan pengiriman surat untuk memperkenalkan Islam dan menyerukan
kepadanya. Maka jabatan sifarah adalah sebuah administrative yang sangat penting
yang mendapat perhatian dari Negara.
Surat-surat perjanjian ini meliputi perjanjian Nabi dengan Yahudi dan Nasrani,
perjanjian damai antara Nabi dan beberapa suku, surat jaminan keamanan, surat
seruan da’wah kepada para kepala suku, raja, dan para pemimpin dan lain-lain. Semua
data tersebut membuat kita mampu menegaksan bahwa sifarat (diplomasi) dan surat-
surat Rasulullah menggambarkan sebuah aktivitas diplomasi dan hubungan
internasional yang sangat menakjubkan.4
Menurut Dr. Hafidz Ahmad ‘Ajjaj al Karmi dalam bukunya Al Idarah fi ‘Ashri al
Rasul mencatat sejumlah sumber sejarah para ulama juga telah menyebutkan
sejumlah nama-nama duta atau diplomat yang pernah diutus oleh Nabi kepad para
raja, dilengkapi dengan surat yang berisi seruan terhadap meraka kepada Islam
diantaranya;5
1. Dihyah bin Khalifah al Kalbi yang diutus kepada Kaisar Raja romawi.
2. Abdullah bin Hudzafah As Sahmi yang diutus kepada Raja Persia.
3. Amr bin Umayyah ad Dhamri yang diutus kepada Raja Najasyi.
4. Hatib bin Abi Balta’ah yang diutus kepada Raja Al Muqauqis di Mesir.
5. Amr bin Al Ash kepada penguasa Oman Jifar dan Ayyad. 6. Sulait bin Amr
dikirim kepada Tsumamah bin Utsal dan Haudzah bin Ali.
6. Dua orang raja Yamamah.
7. Al A’la Al Hadrami, diutus kepada Al Munzir bin Sawa Raja Bahrain.
8. Suja’ bin Wahab al Asadi diutus kepada Al Harits bin Abdi Kalal Al Himyari,
seorang Raja Takhum di Syam.
Pada kesempatan lainnya Rasulullah al Amin juga mengirim sejumlah duta
(sifarah) kepada sejumlah suku-suku. Nabi mengutus Zhabyan bin Mursyid ad Dausi
kepada Bani Bakar bin Wa’il, Jarir bin Abdillah Al Bajali kepada Al Kala’ bin Nakur,
juga Amr bin Umayyah ad Dhamri kepada Musailamah al Kadzab dan lain-lain.
Pengiriman utusan itu terjadi pada akhir akhir tahun ke enam dan awal tahun ke tujuh
4
Hafidz Ahmad ‘Ajjaj al Karmi dalam bukunya Al Idarah fi ‘Ashri al Rasul, Mesir: Dar As salam
IIIT, 2000, hal. 128
5
Ibid
pasca perdamaian Hudaibiyyah. Hasil terbesar dari surat-surat yang dikirim oleh
Rasulullah ini membentuk opini di dunia internasional bahwa Islam adalah agama
yang datang kepada seluruh bangsa manusia.
Dengan demikian diplomasi Islam telah dilakukan dan diperkuat kedudukannya
sejak masa Rasulullah. Rasulullah sebagai pemimpin Negara telah menunjukkan
aktifitas diplomasi yang tinggi dan penuh dengan keteladanan. Politik Islam yang
dibangun oleh beliau menunjukkan bahwa Islam mampu membangun paradigma baru
dalam hal hubungan antar bangsa maupun Negara pada masanya. Kekuatan Islam
yang dibawa oleh Rasulullah bahkan mampu merubah situasi politik di dunia. Kiblat
peradaban yang saat itu selalu tertuju pada peradaban Romawi dan Persia kini
memiliki alternativ. Peradaban Romawi dan Persia yang menjadi rujukan dalam
berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata tidak mampu bertahan dengan gerakan
Islam yang timbul secara cepat dan tidak terbendung.
Fungsi dan Tujuan Diplomasi
3. Mempelajari, dengan segala cara yang sah setiap kondisi dan perkembangan
keadaan yang ada di negara tempatnya bertugas dan melaporkannya kepada
negara yang diwakilinya.
Hak-hak Diplomasi
Negara yang memiliki personalitas internasional penuh adalah negara yang dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan internasionalnya secara penuh dan eksklusif. Penuh
maksudnya adalah mencakup keseluruhan hak dan wewenang. Eksklusif maksudnya
bahwa negara itu sendirilah yang melaksanakan hak dan wewenang itu. Maka,
negara-negara yang memiliki kemampuan ini, antara lain, dapat melakukan kegiatan-
kegiatan berupa :
1. Mengadakan atau membuka hubungan diplomatik dan konsuler dengan negara lain
1. Hal legasi aktif (atat accreditant), yakni hak suatu negara untuk mengirim wakil-
wakilnya ke negara lain.
2. Hak legasi pasif (atat accreditaire), yani hak suatu negara untuk menerima wakil
dari negara asing.
Oleh karena hak legasi ini, baik yang aktif maupun yang pasif adalah “hak”, maka
tidak ada kewajiban atau keharusan bagi suatu negara untuk mengirim wakilnya ke
negara ataupun menerima wakil negara lain. Demikian juga ketentuan Pasal 2
Konvensi Wina 1961, dengan demikian terjalinnya hubungan diplomatik antara
negara-negara hanya dilakukan atas dasar persetujuan bersama dari negara-negara
yang bersangkutan.
Dalam prakteknya ketika seseorang akan bertugas pada misi diplomatik disuatu
negara, maka ia harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pemerintah
negara penerima sehingga diakui sebagai bagian dari misi diplomatik. Dalam proses
keimigrasian seseorang, orang yang bersangkutan harus memiliki sebuah paspor yaitu
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang
memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar
negara.
6
Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit ARMICO, 1998), 118-119.
Seorang diplomatik akan memiliki paspor diplomatik sebagai dokumen perjalanan,
paspor diplomatik diberikan kepada pegawai negeri, pejabat negara tertentu yang
akan melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melaksanakan tugas diplomatik.
Paspor diplomatik juga diberikan kepada istri atau suami dan anak dari pegawai
negeri. Permintaan paspor diplomatik diajukan kepada Menteri luar negeri atau
pejabat yang ditunjuk, paspor diplomatik berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan. Biasanya paspor ini dikenal dengan paspor hitam.
7
Syahputra, Macam-macam Paspor dan Visa, http://httpkwiyawagenison. blogspot. co.id
/2012/10/macam-macam-paspor-dan-visa.html?m=1, 24 Desember 2016, Pkl. 13.05
8
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, (Bandung : Mandar Maju, 1992) hlm. 47.
c) Kekebalan terhadap perintah pengadilan untuk bertindak sebagai saksi dalam
suatu perkara.
2. Kekebalan yurisdiksional (Pasal 31 ayat 1 dan 2, serta Pasal 41 ayat 1 junctis
Pasal 9) Menurut ketentuan Konvensi Wina 1961, yaitu:9
a) Seorang agen diplomatik akan menikmati kekebalan yurisdiksi pidana dari negara
penerima. Ia juga menikmati kekebalan dari yurisdiksi perdata dan administrasi,
kecuali dalam hal:
1) Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta kekayaan tak bergerak milik
pribadi yang terletak di negara penerima, kecuali bila ia menguasainya atas nama
negara pengirim untuk maksud misi;
2) Suatu tindakan yang berkaitan dengan penggantian, dimana wakil diplomatik itu
terlibat sebagai pelaksanan, administrator, ahli waris atau penerima harta pusaka
sebagai perorangan dan bukan atas nama negeri pengirim; dan
3) Suatu tindakan yang berhubnungan dengan aktivitas professional atau komersial
yang dilakukan oleh wakil diplomatik di negara penerima di luar fungsi resminya.
b) Wakil diplomatik tidak berkewajiban menjadi seorang saksi untuk memberikan
bukti.
c) Tidak boleh diambil tindakan eksekusi terhadap wakil diplomatik, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana ditentukan dalam subparagraf a, b, c ayat 1 pasal ini, asalkan
tindakan yang bersangkutan itu dapat dilakukan dengan tidak melanggar kekebalan
pribadinya atau tempat kediamannya.
d) Kekebalan yurisdiksional agen diplomatik dari negara penerima tidak
membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 1 di atas, dapat ditegaskan bahwa sebagai akibat
yang paling penting dari prinsip tidak dapat diganggu gugat seorang agen diplomatik
adalah haknya untuk bebas dari yuridiksi negara penerima dalam kaitannya dengan
masalah-masalah kriminal. Jadi dapat dikatakan bahwa kekebalan para diplomat
bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili ataupun
dihukum.10 Alat-alat kekuasaan negara penerima tidak boleh menangkap, menuntut
atau mengadili seorang pejabat diplomatik di dalam suatu perkara criminal (pidana).
9
Pasal 31 Konvensi Wina 1961.
10
Syahmin, Hukum Diplomatik. hlm. 128-129.
Hal ini tidak berarti bahwa seorang pejabat diplomatik tidak harus menghormati serta
menghargai hukum pidana negara penerima.
Namun harus kita pahami bahwa tindakan pengusiran atau persona non grata ini
hanya dapat diadakan oleh negara penerima di dalam hal atau keadaan yang sangat
terpaksa. Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang dapat
mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri penerima, maka untuk menjaga
agara tindakantindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan,
negara penerima untuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih harus
dikirim pulang kembali ke negerinya. Dan menurut hukum kebiasaan internasional
bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang bagaimana juga
untuk menuntut dan menghukum seorang pejabat diplomatik.11
Dengan demikian, bila tindak pidana dilakukan oleh seorang diplomat, negara
penerima dapat melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah negara pengirim
dan dalam kasus-kasus yang serius dapat memintanya recall dan diadili sesuai dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negerinya sendiri.
Bahkan, bila pelanggaran yang dilakukan sang diplomat amat serius, misalnya terlibat
dalam tindakan makar atau menggulingkan pemerintah yang sah negara penerima, ia
dapat diusir dari negara akreditasi.12
Dari ketentuan tersebut, dapat kita lihat bahwa yang mempunyai hak untuk
menanggalkan kekebalan diplomatik adalah negara pengirim. Dalam praktiknya,
cukup apabila kepala perwakilan yang menyatakan penanggalan kekebalan
diplomatik dari seorang staf diplomatiknya. Karena kepala perwakilan adalah
merupakan wakil dari negara pengirim.15
4. Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (Pasal 22 dan Pasal 30 ayat 1)
Gedung perwakilan serta rumah kediaman para diplomat beserta keluarganya harus
mendapat perlindungan istimewa dari negara penerima. Dengan kata lain baik gedung
13
Lihat pasal 31 ayat (1) sub a, b, c, Konvensi Wina 1961
14
Lihat pasal 32 Konvensi Wina 1961
15
Edy Suryono, Perkembangan Hukum. hlm. 50-53.
perwakilan maupun rumah kediaman para pejabat diplomatik beserta keluarga mereka
tidak dapat diganggu-gugat. Dalam praktiknya para pejabat dari negara penerima
tidak dapat memasuki gedung perwakilan tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Kepala Perwakilan diplomatik yang bersangkutan. Negara penerima
berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak guna melindungi gedung
perwakilan diplomatik dari segala bentuk yang merugikan dan kerusakan serta
berusaha untuk mencegah terhadap segala gangguan dan hambatan yang berkaitan
dengan kedinasan dan kehoratan para pejabat diplomatik tersebut. Begitu pula
terhadap segala perabotan, harta benda, barang-barang transportasi, arsip, dokumen
dari kedutaan adalah kebal terhadap pemeriksaan, penyitaaan dan eksekusi.16
5. Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/ bea masuk (Pasal 34 dan 36)
Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat diplomatik
beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pelayanan, pembantu-pembantu
rumah tangga, berdasarkan daftar yang diserahkan kepada Kementrian Luar Negeri
setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini meliputi pembebasan
pajak-pajak langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang pribadi bergerak seperti
kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya.17
Selanjutnya, mengenai pembebasan pajak, sebagaimana disebutkan dalam
Konvensi Wina 1961, bahwa pejabat diplomatik akan dibebaskan dari semua jenis
pungutan dan pajak-pajak pribadi, tanah, nasional, daerah atau kota praja, kecuali:18
a) Pajak tidak langsung yang biasanya sudah dimaksukkan dalam harga barang atau
jasa.
b) Pungutan dan pajak atas harga kekayaan milik pribadi yang tak bergerak yang
terletak di dalam wilayah negara penerima, kecuali yang ia kuasai atas nama negara
pengirim untuk maksud-maksud misi.
c) Pajak tanah dan bangunan, pergantian yang dikenakan oleh negara penerima, yang
tunduk kepada ketentuan ayat 4 Pasal 39.
d) Pungutan dan pajak atas pendapatan pribadi yang sumbernya berada di negara
penerima dan pajak modal atas penanaman modal yang dilakukan dalam aktivitas
komersial di negara penerima.
16
Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit ARMICO, 1998), hlm. 86-
87.
17
Edy Suryono, Perkembangan Hukum. hlm. 64.
18
Lihat pasal 34 Konvensi Wina 1961
e) Tagihan yang dikenakan/ditarik untuk pelayanan khusus yang telah diberikan.
f) Pendaftaran, biaya pengadilan atau pencatatan, pungutan hipotek yang tunduk
kepada ketentuan Pasal 23 di atas.
Negara penerima akan memberikan izin masuk dan membebaskan dari seggala
kewajiban membayar bea, pajak, pada alatalat perlengkapan yang akan dipergunakan
demi kepentingan menjalankan fungsi perwakilan diplomatik dan alat-alat
perlengkapan untuk dipergunakan secara pribadi oleh para pejabat diplomatik beserta
keluarganya. Namun, jika negara penerima berkeyakinan bahwa barang-barang yang
akan dimasukkan ke negara penerima itu berisi alat-alat yang tidak dibutuhkan dalam
menjalankan tugas ataupun barang-barang yang dilarang oleh undang-undang negara
penerima seperti narkotika, dan sebagainyadilarang untuk diimpor atau diekspor
ataupun diawasi oleh peraturan karantina yang berlaku di negara penerima adalah
terlarang atau tidak akan diizinkan masuk ke negara penerima.
Hak pembebasan pajak di atas pada hakekatya bukalah suatu hak yang dapat
dituntut, melainkan hak yang bersumber dari kebiasaan yang lebih merupakan suatu
courtesy (kemurahan hati/kehormatan) dari negara penerima.19
Daftar Pustaka
19
Syahmin, Hukum Diplomatik. hlm. 9