Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN DIPLOMASI ANTAR LEMBAGA NEGARA

PRESPEKTIF SIYASAH DAULIYAH

Ahmad Syahrul Iliyin 200203110044

Ridho Oganda Putra 200203110015

Moh. Lutfi Aziz 200203110046

Abstrak:

Kata Kunci:

Pendahuluan

Fiqh siyasah dauliyah merupakan dalam lingkup kajian Ketatanegaraan islam,


yang mana merupakan kajian akademik mengenai kekuasaan dan keteraturan
masyarakat dalam perspektif agama islam yang mencakup hukum, dogma, tradisi,
sejarah dan pemikiran tokoh. Termasuk juga di dalam hubungan diplomasi.

Hubungan diplomatik merupakan suatu hubungan yang dijalankan antaranegara


satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan negaranya masing-
masing dalam berbagai bidang yang dibutuhkan oleh negaranya. Segalahal tentang
hubungan diplomatik antar negara tersebut diatur secara jelas dalam Konvensi Wina
1961 mengenai Hubungan Diplomatik.

Di dalam prakteknya, untuk menjalankan hubungan diplomatik diperlukan adanya


perwakilan diplomatik dari tiap-tiap negara. Perwakilan-perwakilan tersebut akan
dipilih oleh negara yang mengutusnya dan akan menjalankan diplomasi sebagai salah
satu cara komunikasi yang biasanya dilakukan antara berbagai pihak termasuk
negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui.1

Diplomasi secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan dalam hubungan


internasional. Dalam melakukan kegiatan tersebut setiap negara mempunyai
kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Kepentingan dan tujuan yang ingin
dicapai tersebut dirumuskan sebagai Politik Luar Negeri. Dalam pelaksanaannya

1
Sumaryo Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, Tatanusa, Jakarta, h.3
muncul berbagai istilah yang berkaitan dengan diplomasi, seperti diplomasi
perjuangan (diplomasi pada masa perjuangan kemerdekaan), diplomasi kebudayaan
(untuk promosi kebudayaan), diplomasi ekonomi (untuk kepentingan ekonomi),
preventif diplomasi (untuk mencegah perang), diplomasi total (menggunakan segala
sumber daya), diplomasi publik (untuk pencitraan).

Metode

Metode Penelitian..............

Hubungan Diplomasi Dalam Islam

Kata diplomasi memang tidak dikenal dalam sejarah Islam. Diplomasi sendiri
merupakan bahasa yang disadur dari bahasa Greek Yunani yaitu; diploma atau dalam
kata kerjanya diplon. Kata ini merujuk kepada arti kertas atau melipat. Adapun di
dalam Islam istilah yang biasa digunakan untuk memaknai kata diplomasi adalah;
sifarah (kedutaan). Kata ini telah dikenal oleh masyarakat Makkah sebelum Islam
datang. Tugas ini di jabar oleh Bani adi.

Dalam Kepemimpinan kota Makkah sebelum kenabian, maka Bani Adi adalah
yang diberikan tugas untuk urusan hubungan antar suku dan raja-raja yang dikenal
dengan istilah as-sifarah (urusan kedutaan). Pada masa Rasulullah tinggal di Makkah,
Umar Ibn Khattab dari suku Bani Adi diberikan tugas untuk hal tersebut. 2 Bani Adi
juga diberikan tugas sebagai utusan untuk menentukan sengketa perselisihan di dalam
suku-suku di kota Makkah. Bani Adi memiliki keutamaan tersendiri dalam hal ini,
dimana kakek-kakek Umar Ibn Khattab seperti Nufail bin Abdil Uzza juga sorang
hakim yang orang-orang Quraisy berhukum pada dirinya, dan hal itu diwariskan
kepada keluarganya.3

Kata diplomasi dikemudian hari diserap menjadi istilah dalam bahasa Arab yaitu; ad
diblomasiyyah. Tentu saja kata ad diplomasiyyah belum dikenal pada masa awal
Islam. Atinya kata tersebut termasuk ke dalam kamus bahasa Arab pada masa
belakangan. Adapun pada masa Rasulullah terdapat beberapa istilah yang digunakan
yaitu as sifarah, ar rasul, dan al barid yang juga bermakna; utusan, duta, atau diplomat
dan diplomasi. Dalam kontek hubungan diplomasi antar suku dan negara, maka
2
Sami bin Abdullah Al Malghuts, Athlas At Tarikhi li as Sirah An Nabawiyah, Riyadh: Maktabah
Al Ubaikan, 2004, hal. 94
3
Ali Muhammad Ashalabi, Sirah Amirul Mukminin Umar bin Khattab; Syakhsiyatuhu wa
‘Ashruhu, Mesir: Mu’assasah Iqra: 2005, hal. 16
Rasulullah melakukan pengutusan pengutusan kepada suku-suku, raja-raja yang
disertai dengan pengiriman surat untuk memperkenalkan Islam dan menyerukan
kepadanya. Maka jabatan sifarah adalah sebuah administrative yang sangat penting
yang mendapat perhatian dari Negara.

Surat-surat perjanjian ini meliputi perjanjian Nabi dengan Yahudi dan Nasrani,
perjanjian damai antara Nabi dan beberapa suku, surat jaminan keamanan, surat
seruan da’wah kepada para kepala suku, raja, dan para pemimpin dan lain-lain. Semua
data tersebut membuat kita mampu menegaksan bahwa sifarat (diplomasi) dan surat-
surat Rasulullah menggambarkan sebuah aktivitas diplomasi dan hubungan
internasional yang sangat menakjubkan.4

Menurut Dr. Hafidz Ahmad ‘Ajjaj al Karmi dalam bukunya Al Idarah fi ‘Ashri al
Rasul mencatat sejumlah sumber sejarah para ulama juga telah menyebutkan
sejumlah nama-nama duta atau diplomat yang pernah diutus oleh Nabi kepad para
raja, dilengkapi dengan surat yang berisi seruan terhadap meraka kepada Islam
diantaranya;5

1. Dihyah bin Khalifah al Kalbi yang diutus kepada Kaisar Raja romawi.
2. Abdullah bin Hudzafah As Sahmi yang diutus kepada Raja Persia.
3. Amr bin Umayyah ad Dhamri yang diutus kepada Raja Najasyi.
4. Hatib bin Abi Balta’ah yang diutus kepada Raja Al Muqauqis di Mesir.
5. Amr bin Al Ash kepada penguasa Oman Jifar dan Ayyad. 6. Sulait bin Amr
dikirim kepada Tsumamah bin Utsal dan Haudzah bin Ali.
6. Dua orang raja Yamamah.
7. Al A’la Al Hadrami, diutus kepada Al Munzir bin Sawa Raja Bahrain.
8. Suja’ bin Wahab al Asadi diutus kepada Al Harits bin Abdi Kalal Al Himyari,
seorang Raja Takhum di Syam.
Pada kesempatan lainnya Rasulullah al Amin juga mengirim sejumlah duta
(sifarah) kepada sejumlah suku-suku. Nabi mengutus Zhabyan bin Mursyid ad Dausi
kepada Bani Bakar bin Wa’il, Jarir bin Abdillah Al Bajali kepada Al Kala’ bin Nakur,
juga Amr bin Umayyah ad Dhamri kepada Musailamah al Kadzab dan lain-lain.
Pengiriman utusan itu terjadi pada akhir akhir tahun ke enam dan awal tahun ke tujuh

4
Hafidz Ahmad ‘Ajjaj al Karmi dalam bukunya Al Idarah fi ‘Ashri al Rasul, Mesir: Dar As salam
IIIT, 2000, hal. 128
5
Ibid
pasca perdamaian Hudaibiyyah. Hasil terbesar dari surat-surat yang dikirim oleh
Rasulullah ini membentuk opini di dunia internasional bahwa Islam adalah agama
yang datang kepada seluruh bangsa manusia.
Dengan demikian diplomasi Islam telah dilakukan dan diperkuat kedudukannya
sejak masa Rasulullah. Rasulullah sebagai pemimpin Negara telah menunjukkan
aktifitas diplomasi yang tinggi dan penuh dengan keteladanan. Politik Islam yang
dibangun oleh beliau menunjukkan bahwa Islam mampu membangun paradigma baru
dalam hal hubungan antar bangsa maupun Negara pada masanya. Kekuatan Islam
yang dibawa oleh Rasulullah bahkan mampu merubah situasi politik di dunia. Kiblat
peradaban yang saat itu selalu tertuju pada peradaban Romawi dan Persia kini
memiliki alternativ. Peradaban Romawi dan Persia yang menjadi rujukan dalam
berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata tidak mampu bertahan dengan gerakan
Islam yang timbul secara cepat dan tidak terbendung.
Fungsi dan Tujuan Diplomasi

Suatu perwakilan diplomatik atau seorang pejabat diplomatik, menurut Pasal 3


Konvensi Wina 1961, memiliki fungsi-fungsi :

1. Mewakili negara pengirim di negara penerima.

2. Melindungi (di wilayah negara penerima) kepentingan negara dan warga


negara yang diwakilinya.

3. Mempelajari, dengan segala cara yang sah setiap kondisi dan perkembangan
keadaan yang ada di negara tempatnya bertugas dan melaporkannya kepada
negara yang diwakilinya.

4. Meningkatkan hubungan persahabatan dan mengembangkan hubungan


ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan antara negara pengirim dan negara
penerima.

Sedangkan berakhirnya fungsi-fungsi diplomatik tersebut dapat disebabkan


karena beberapa hal atau keadaan, yakni :

1. Pejabat diplomatik yang bersangkutan dipanggil pulang oleh negaranya, baik


disebabkan karena masa tugasnya telah selesai maupun karena memburuknya
hubungan antara kedua negara. Dalam keadaan yang disebut terakhir ini, maka
perwakilan akan dipimpin oleh Charge d’Affaires (Kuasa Usaha).
2. Pejabat diplomatik yang bersangkutan dinyatakan “persona non grata”.

3. Dibekukannya atau putusannya hubungan diplomatik

Hak-hak Diplomasi

Sebagaimana diketahui, negara adalah subyek utama hukum internasional. Namun,


hanya negara yang berdaulatlah yang dapat menjadi subyek hukum internasional.
Begitu suatu negara diakui statusnya sebagai subyek hukum internasional maka
negara itu dikatakan telah memiliki kepribadian atau personalitas internasional.
Dengan dimilikinya status ini negara tersebut berhak untuk melakukan kegiatan-
kegiatan internasional. Tetapi, tidak setiap negara memiliki kepribadian atau
personalitas internasional-nya secara penuh. Hak yang dimiliki oleh negara-negara
berdaulat untuk melakukan kegiatan-kegiatan internasional ini sesungguhnya
merupakan aspek eksternal atau “pelaksanaan ke luar” dari kedaulatan negara.

Negara yang memiliki personalitas internasional penuh adalah negara yang dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan internasionalnya secara penuh dan eksklusif. Penuh
maksudnya adalah mencakup keseluruhan hak dan wewenang. Eksklusif maksudnya
bahwa negara itu sendirilah yang melaksanakan hak dan wewenang itu. Maka,
negara-negara yang memiliki kemampuan ini, antara lain, dapat melakukan kegiatan-
kegiatan berupa :

1. Mengadakan atau membuka hubungan diplomatik dan konsuler dengan negara lain

2. Melakukan perbuatan hukum internasional.

3. Ikut serta dalam organisasi-organisasi internasional

4. Mengambil langkah-langkah kekerasan / penggunaan kekuatan senjata (namun,


terutama setelah lahirnya PBB, hak ini sekarang sudah dilarang untuk digunakan
sebagai cara penyelesaian sengketa).

Dengan demikian, hak atau wewenang untuk mengadakan hubungan diplomatik


adalah salah satu konsekuensi dari diakuinya personalitas negara sebagai subyek
hukum internasional. Disamping itu, pelaksanaan hak untuk mengadakan hubungan
diplomatik juga merupakan bukti diterapkannya prinsip kesederajatan antara sesama
negara berdaulat dalam hukum dan hubungan internasional.
Hak negara untuk mengadakan hubungan diplomatik ini dinamakan “hak legasi”
Hak legasi meliputi:

1. Hal legasi aktif (atat accreditant), yakni hak suatu negara untuk mengirim wakil-
wakilnya ke negara lain.

2. Hak legasi pasif (atat accreditaire), yani hak suatu negara untuk menerima wakil
dari negara asing.

Oleh karena hak legasi ini, baik yang aktif maupun yang pasif adalah “hak”, maka
tidak ada kewajiban atau keharusan bagi suatu negara untuk mengirim wakilnya ke
negara ataupun menerima wakil negara lain. Demikian juga ketentuan Pasal 2
Konvensi Wina 1961, dengan demikian terjalinnya hubungan diplomatik antara
negara-negara hanya dilakukan atas dasar persetujuan bersama dari negara-negara
yang bersangkutan.

Hak Kekebalan dan Keistimewaan

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat dikategorikan ke dalam dua


pengertian yaitu: inviobility dan immunity. Inviolability adalah kekebalan terhadap
organ-organ pemerintah dan atau alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan
terhadap segala gangguan yang merugikan serta hak untuk mendapatkan perlindungan
dari aparat pemerintah negara penerima. Sementara immunity dimaksudkan sebagai
kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan negara penerima baik dalam bidang hukum
pidana maupun bidang keperdataan. Diplomatic immunity dapat dikatakan merupakan
suatu hak yang tidak boleh diganggu gugat (inviolability) seorang agen diplomatik
dalam melaksanakan tugas sebagai wakil kekuasaan negara asing. Sudah tidak
diragukan lagi bahwa semua agen diplomatik harus memperoleh jaminan keamanan
dan kesejahteraannya pada masa dinas aktif atas prinsip timbal balik.6

Dalam prakteknya ketika seseorang akan bertugas pada misi diplomatik disuatu
negara, maka ia harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pemerintah
negara penerima sehingga diakui sebagai bagian dari misi diplomatik. Dalam proses
keimigrasian seseorang, orang yang bersangkutan harus memiliki sebuah paspor yaitu
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang
memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar
negara.

6
Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit ARMICO, 1998), 118-119.
Seorang diplomatik akan memiliki paspor diplomatik sebagai dokumen perjalanan,
paspor diplomatik diberikan kepada pegawai negeri, pejabat negara tertentu yang
akan melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melaksanakan tugas diplomatik.
Paspor diplomatik juga diberikan kepada istri atau suami dan anak dari pegawai
negeri. Permintaan paspor diplomatik diajukan kepada Menteri luar negeri atau
pejabat yang ditunjuk, paspor diplomatik berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan. Biasanya paspor ini dikenal dengan paspor hitam.

Paspor diplomatik (hitam) mengidentifikasi mereka sebagai perwakilan diplomatik


dari negara asalnya. Karena itu, pemegang paspor ini menikmati beberapa kemudahan
perlakuan dan kekebalan di negara tempat mereka bertugas.7 Kekebalan dan
keistimewaan seorang diplomat ini diatur dalam Konvensi Wina 1961 yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kekebalan diri pribadi


Kekebalan diri pribadi diatur dalam Pasal 29 dan 37 ayat 1 dan telah dipraktikkan
oleh banyak Negara. Para pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat dan harus
mendapat perlindungan sepenuhnya dari negara penerima. Para pejabat diplomatik
tidak boleh ditahan dan ditangkap, merrerka harus diperilakukan denganhormat dan
negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah
serangan atas dirinya, kebebasan dan martabatnya. Jadi, seorang pejabat diplomatik
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara penerima sehingga ia
kebal terhadap gangguan yang merugikan pribadinya. Kekebalan pribadi para pejabat
diplomatik yang melekat padanya antara lain:8
a) Tuntutan-tuntutan pengadilan, kecuali tuntutan terhadap:
1) Barang-barang bergerak milik pribadi, bukan untuk perwakilan atau bukan milik
negara pengirimnya.
2) Soal warisan dimana ia terlibat bukan dalam kedudukan resminya.
3) Soal-soal komersial dan professional yang bersifat pribadi.
b) Kekebalan terhadap penangkapan atau pelaksanaan putusan hakim pengadilan
setempat (kecuali dalam hal tersebut di atas atau ad. 1, 2, 3)

7
Syahputra, Macam-macam Paspor dan Visa, http://httpkwiyawagenison. blogspot. co.id
/2012/10/macam-macam-paspor-dan-visa.html?m=1, 24 Desember 2016, Pkl. 13.05
8
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, (Bandung : Mandar Maju, 1992) hlm. 47.
c) Kekebalan terhadap perintah pengadilan untuk bertindak sebagai saksi dalam
suatu perkara.
2. Kekebalan yurisdiksional (Pasal 31 ayat 1 dan 2, serta Pasal 41 ayat 1 junctis
Pasal 9) Menurut ketentuan Konvensi Wina 1961, yaitu:9
a) Seorang agen diplomatik akan menikmati kekebalan yurisdiksi pidana dari negara
penerima. Ia juga menikmati kekebalan dari yurisdiksi perdata dan administrasi,
kecuali dalam hal:
1) Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta kekayaan tak bergerak milik
pribadi yang terletak di negara penerima, kecuali bila ia menguasainya atas nama
negara pengirim untuk maksud misi;
2) Suatu tindakan yang berkaitan dengan penggantian, dimana wakil diplomatik itu
terlibat sebagai pelaksanan, administrator, ahli waris atau penerima harta pusaka
sebagai perorangan dan bukan atas nama negeri pengirim; dan
3) Suatu tindakan yang berhubnungan dengan aktivitas professional atau komersial
yang dilakukan oleh wakil diplomatik di negara penerima di luar fungsi resminya.
b) Wakil diplomatik tidak berkewajiban menjadi seorang saksi untuk memberikan
bukti.
c) Tidak boleh diambil tindakan eksekusi terhadap wakil diplomatik, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana ditentukan dalam subparagraf a, b, c ayat 1 pasal ini, asalkan
tindakan yang bersangkutan itu dapat dilakukan dengan tidak melanggar kekebalan
pribadinya atau tempat kediamannya.
d) Kekebalan yurisdiksional agen diplomatik dari negara penerima tidak
membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 1 di atas, dapat ditegaskan bahwa sebagai akibat
yang paling penting dari prinsip tidak dapat diganggu gugat seorang agen diplomatik
adalah haknya untuk bebas dari yuridiksi negara penerima dalam kaitannya dengan
masalah-masalah kriminal. Jadi dapat dikatakan bahwa kekebalan para diplomat
bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili ataupun
dihukum.10 Alat-alat kekuasaan negara penerima tidak boleh menangkap, menuntut
atau mengadili seorang pejabat diplomatik di dalam suatu perkara criminal (pidana).

9
Pasal 31 Konvensi Wina 1961.
10
Syahmin, Hukum Diplomatik. hlm. 128-129.
Hal ini tidak berarti bahwa seorang pejabat diplomatik tidak harus menghormati serta
menghargai hukum pidana negara penerima.

Namun harus kita pahami bahwa tindakan pengusiran atau persona non grata ini
hanya dapat diadakan oleh negara penerima di dalam hal atau keadaan yang sangat
terpaksa. Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang dapat
mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri penerima, maka untuk menjaga
agara tindakantindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan,
negara penerima untuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih harus
dikirim pulang kembali ke negerinya. Dan menurut hukum kebiasaan internasional
bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang bagaimana juga
untuk menuntut dan menghukum seorang pejabat diplomatik.11

Dengan demikian, bila tindak pidana dilakukan oleh seorang diplomat, negara
penerima dapat melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah negara pengirim
dan dalam kasus-kasus yang serius dapat memintanya recall dan diadili sesuai dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negerinya sendiri.
Bahkan, bila pelanggaran yang dilakukan sang diplomat amat serius, misalnya terlibat
dalam tindakan makar atau menggulingkan pemerintah yang sah negara penerima, ia
dapat diusir dari negara akreditasi.12

Hukum kebiasaan internasional tidak saja memberikan kekebalan dari yurisdiksi


pidana, dari negara penerima tetapi juga para pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi
perdata dan administrasi.13 Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun
tidak dapat dilakukan terhadap seorang pejabat diplomatik. Dan tidak ada tindakan
atau eksekusi apapun yang berhubungan dengan hutang-hutang dan lainlainnya yang
serupa dapat diajukan terhadap para diplomatik di depan pengadilan perdata atau
pengadilan administrasi negara penerima. Para diplomat juga tidak dapat ditangkap
karena hutang-hutang mereka, juga terhadap alat-alat perkakas rumah tangga mereka,
kendaraan bermotor dan lain-lainnya yang mereka miliki, tidak dapat disita untuk
membayar hutangnya.

Demikian pula para pejabat diplomatik tidak dapat dihalanghalangi untuk


meninggalkan wilayah negara penerima berdasarkan karena belum melunasi hutang-
hutang dan paspornya tidak dapat ditahan dengan alasan tersebut. Tetapi dalam hal
11
Edy Suryono, Perkembangan Hukum. hlm. 48-49
12
Syahmin, Hukum Diplomatik. hlm.129
kekebalan terhadap yurisdiksi perdata dan administrasi ini terdapat pengecualian,
dimana tidak berlaku terhadap kekebalan diplomatik dari yurisdiksi pidana.13

3. Kekebalan dan kewajiban untuk menjadi saksi (Pasal 31 ayat 2)


Seorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi dimuka
Pengadilan Negeri setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun
menyangkut perkara pidana dan administrasi. Namun dari segi untuk menjaga
hubungan baik kedua negara, seyogianya tidak dipegang mutlak dan untuk itu
pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan
kekebalan diplomatiknya tersebut dengan pernyataan yang jelas dan tegas.
Penghapusan atau penanggalan kekebalan itu juga berarti bahwa selain memenuhi
kewajiban sebagai saksi juga dapat memenuhi perkaranya secara langsung. Dengan
demikian ia boleh dikatakan tunduk pada yurisdiksi hukum atau pengadilan setempat
selama untuk keperluan khusus ini kekebalan diplomatik yang melekat pada diri
pribadinya dihapuskan atau ditanggalkan.
Kemungkinan yang terjadi dalam hubungan dengan persoalan kekebalan seorang
wakil diplomatik dari kewajian untuk menjadi saksi, wakil diplomatik tersebut dapat
secara sukarela (voluntarily) memberikan kesaksiannya di depan pengadilan atas
perintah dan persetujuan dari pemerintahnya. Mengenai penanggalan atau
penghapusan kekebalan diplomatik ini ditentukan sebagai berikut:14
a) Kekebalan dari yurisdiksi bagi agen-agen diplomatik dan orang-orang yang
menikmati kekebalan di dalam Pasal 37 dapat ditanggal negara pengirim.
b) Pelepasan kekebalan haruslah dinyatakan dengan tegas.

Dari ketentuan tersebut, dapat kita lihat bahwa yang mempunyai hak untuk
menanggalkan kekebalan diplomatik adalah negara pengirim. Dalam praktiknya,
cukup apabila kepala perwakilan yang menyatakan penanggalan kekebalan
diplomatik dari seorang staf diplomatiknya. Karena kepala perwakilan adalah
merupakan wakil dari negara pengirim.15

4. Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (Pasal 22 dan Pasal 30 ayat 1)
Gedung perwakilan serta rumah kediaman para diplomat beserta keluarganya harus
mendapat perlindungan istimewa dari negara penerima. Dengan kata lain baik gedung
13
Lihat pasal 31 ayat (1) sub a, b, c, Konvensi Wina 1961
14
Lihat pasal 32 Konvensi Wina 1961
15
Edy Suryono, Perkembangan Hukum. hlm. 50-53.
perwakilan maupun rumah kediaman para pejabat diplomatik beserta keluarga mereka
tidak dapat diganggu-gugat. Dalam praktiknya para pejabat dari negara penerima
tidak dapat memasuki gedung perwakilan tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Kepala Perwakilan diplomatik yang bersangkutan. Negara penerima
berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak guna melindungi gedung
perwakilan diplomatik dari segala bentuk yang merugikan dan kerusakan serta
berusaha untuk mencegah terhadap segala gangguan dan hambatan yang berkaitan
dengan kedinasan dan kehoratan para pejabat diplomatik tersebut. Begitu pula
terhadap segala perabotan, harta benda, barang-barang transportasi, arsip, dokumen
dari kedutaan adalah kebal terhadap pemeriksaan, penyitaaan dan eksekusi.16
5. Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/ bea masuk (Pasal 34 dan 36)
Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat diplomatik
beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pelayanan, pembantu-pembantu
rumah tangga, berdasarkan daftar yang diserahkan kepada Kementrian Luar Negeri
setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini meliputi pembebasan
pajak-pajak langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang pribadi bergerak seperti
kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya.17
Selanjutnya, mengenai pembebasan pajak, sebagaimana disebutkan dalam
Konvensi Wina 1961, bahwa pejabat diplomatik akan dibebaskan dari semua jenis
pungutan dan pajak-pajak pribadi, tanah, nasional, daerah atau kota praja, kecuali:18
a) Pajak tidak langsung yang biasanya sudah dimaksukkan dalam harga barang atau
jasa.
b) Pungutan dan pajak atas harga kekayaan milik pribadi yang tak bergerak yang
terletak di dalam wilayah negara penerima, kecuali yang ia kuasai atas nama negara
pengirim untuk maksud-maksud misi.
c) Pajak tanah dan bangunan, pergantian yang dikenakan oleh negara penerima, yang
tunduk kepada ketentuan ayat 4 Pasal 39.
d) Pungutan dan pajak atas pendapatan pribadi yang sumbernya berada di negara
penerima dan pajak modal atas penanaman modal yang dilakukan dalam aktivitas
komersial di negara penerima.

16
Syahmin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit ARMICO, 1998), hlm. 86-
87.
17
Edy Suryono, Perkembangan Hukum. hlm. 64.
18
Lihat pasal 34 Konvensi Wina 1961
e) Tagihan yang dikenakan/ditarik untuk pelayanan khusus yang telah diberikan.
f) Pendaftaran, biaya pengadilan atau pencatatan, pungutan hipotek yang tunduk
kepada ketentuan Pasal 23 di atas.

Negara penerima akan memberikan izin masuk dan membebaskan dari seggala
kewajiban membayar bea, pajak, pada alatalat perlengkapan yang akan dipergunakan
demi kepentingan menjalankan fungsi perwakilan diplomatik dan alat-alat
perlengkapan untuk dipergunakan secara pribadi oleh para pejabat diplomatik beserta
keluarganya. Namun, jika negara penerima berkeyakinan bahwa barang-barang yang
akan dimasukkan ke negara penerima itu berisi alat-alat yang tidak dibutuhkan dalam
menjalankan tugas ataupun barang-barang yang dilarang oleh undang-undang negara
penerima seperti narkotika, dan sebagainyadilarang untuk diimpor atau diekspor
ataupun diawasi oleh peraturan karantina yang berlaku di negara penerima adalah
terlarang atau tidak akan diizinkan masuk ke negara penerima.

Hak pembebasan pajak di atas pada hakekatya bukalah suatu hak yang dapat
dituntut, melainkan hak yang bersumber dari kebiasaan yang lebih merupakan suatu
courtesy (kemurahan hati/kehormatan) dari negara penerima.19

Daftar Pustaka

19
Syahmin, Hukum Diplomatik. hlm. 9

Anda mungkin juga menyukai