Anda di halaman 1dari 19

COVER

KATA PENGANTAR

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................................1

1.2 Tujuan.............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................6

2.1 Diplomasi.............................................................................................................................6

2.2 Diplomasi Era Yunani..........................................................................................................6

2.3 Diplomasi Era Romawi........................................................................................................7

2.4 Diplomasi Masa Pencerahan Eropa: Italia, Perancis, dan Spanyol......................................8

2.5 Perang Dunia Kesatu..........................................................................................................10

2.6 Diplomasi Modern.............................................................................................................12

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan Internasional seringkali di anggap memiliki ciri khas dengan istilah diplomasi.
Dalam sejarahnya, diplomasi memiliki arti pertukaran barang beserta tulisan yang biasanya
dilakukan demi terjalinnya interaksi personal ataupun saat adanya ancaman eksternal (Black,
2010: 17). Relasi atau hubungan antar-negara sangatlah penting demi tercapainya suatu
kepentingan, sehingga diplomasi memegang peranan penting dalam hubungan internasional.
Diplomasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, diploma yang berari surat yang terlipat (Balck,
2010: 20). Seiring perkembangannya hingga saat ini, diplomasi dapat dilakukan dimanapun
dan kapanpun, baik dalam bentuk upacara formal hingga jamuan makan kenegaraan.

Selain itu jamuan tersebut juga memiliki tujuan untuk mengundang kerja sama antar
Negara yang dimana hal tersebut dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Selain itu,
diplomasi sering diartikan sebagai usaha mencapai perdamaian dalam hubungan
internasional, kemudian diikuti oleh munculnya agen-agen yang menjalankannya, hingga
adanya suatu perkembangan berupa pengiriman perwakilan tetap di setiap negara sejak tahun
1440-1550 SM, yang berawal dari Italia kemudian Eropa Barat (Black, 2010: 17).
Perkembangan diplomasi era prasejarah hingga era modern beberapa diantaranya dapat
dilihat pada praktik diplomasi di negara-negara kecil di Italia Utara pada abad ke-15, dan
wilayah Sumeria Kuno di Iraq Selatan pada 2400 SM. Selain itu, sebagai pelopor praktik
diplomasi, Negara-negara di Yunani Kuno melawan Persia dan Macedonia hingga abad ke-4
SM memberikan konstribusi yang sangat penting bagi perkembangan diplomasi di era
modern seperti saat ini (Black, 20120: 17-8).

Menurut Mitologi Yunani, Dewa Bangsa Olypia, Hermes, terlibat kegiatan-kegiatan


diplomatik. Zeus, raja para dewa, menugaskan Hermes untuk Misi-misi diplomatic yang sulit
termasuk membunuh Argos. Hermes melambangkan sifat-sifat mempesona,penuh tipu daya
dan cerdik. Oleh karena itu, Nicholson menyatakan “pilihan kedewaan ini memiliki akibat
yang tidak menguntungkan pada reputasi lembaga diplomatik sesudahnya. Bahkan di zaman
modern sering diasumsikan bahwa diplomasi yang berhasil mempunyai erat dengan sifat-sifat
keahlian seperti kebohongan dan kelicikan.

1
Tradisi diplomasi, metode, dan prakteknya ini disebarkan dari bangsa Yunani kepada
bangsa Romawi. Bangsa Romawi diberi Tuhan “Practical Sense” yang baik dan mereka
mempunyai kapasitas administrasi yang mengagumkan. Tetapi mereka tidak membuat
kontribusi yang penting pada perkembangan seni Negosiasi. Mereka lebih suka memaksakan
kehendaknya daripada melakukan perundingan atas dasar timbal-balik.

Romawi Timur atau Byzanitum menunjukkan keahliannya dalam seni diplomasi.


Menurut Nicholson, Byzantium adalah yang pertama mengorganisasikan departemen luar
negeri yang bertugas dalam urusan-urusan luar negeri. Mereka juga melatih para duta besar
untuk dikirim ke negara lain.

Praktik diplomasi sendiri telah dikenal bahkan pada Dinasti Mesir oleh negara-negara di
wilayah The Fertile Crescent, seperti Mesir dan Mesopotamia pada tahun 2000 SM. Pada era
ini, ditemukan suatu dokumen perjanjian di Mesir yang dipercayai berasal dari tahun 1400
SM—kurang lebih terdiri dari 350 huruf—yang ditemukan pada 1887, menunjukkan bahwa
adanya ketergantungan antara suatu negara dengan negara lain dengan proses yang formal
dan dinamis (Black, 2010: 19). Praktik diplomasi lainnya juga dapat berwujud pemberian
hadiah sebagai lambang persaudaraan. Adanya perbedaan sudut pandang, bahasa, adat-
istiadat, dan budaya juga diakui, sehingga lingua franca muncul sebagai jembatan untuk
perbedaan demi terwujudnya rasa kesetaraan. Rasa kesetaraan itulah yang kemudian
menyebabkan pernikahan juga dianggap sebagai salah satu bentuk diplomasi, bahkan hal
tersebut diterapkan pula oleh negara-negara di Eropa hingga abad ke-19 (Black, 2010: 19-
20).

Apabila pada Dinasti Mesir dan Mesopotamia hanya berupa tulisan, pada era Yunani,
praktik diplomasi mulai diterapkan. Negara-negara di Yunani menggunakan istilah proxenoi
sebagai perwakilan untuk menyampaikan kepentingan yang berada di setiap kota (Black,
2010: 20). Pada zaman ini, negara-negara di Yunani juga sedang terancam oleh serangan
kekaisaran Persia Achaemenid pada tahun 490-480 SM, yang dampaknya dapat dilihat
hingga ke wilayah Indus—termasuk Mesir dan Anatolia. Meskipun pada umumnya negara-
negara di Yunani; Athena, Sparta, Corinth, dan Thebes memiliki keteraturan dan sifat
imperialistik serta bersifat mengintimidasi, namun praktik diplomasi yang dilakukan pada era
tersebut justru berwujud ancaman dan bujukan yang dilakukan oleh Persia—yang skala
imperialisnya memang lebih besar—dengan berlandaskan niat ekspansionis (Black, 2010:
21). Persia juga meminta “bumi dan air” dari wilayah Yunani, kepatuhan dan ketundukan

2
para bangsanya, serta menggunakan bentuk-bentuk soft diplomacy yang lainnya. Bentuk-
bentuk soft diplomacy itulah yang memberikan konstribusi bagi era kekaisaran maupun era
kerajaan berikutnya, seperti Tiongkok dan Inggris hingga abad ke-19 (Black, 2010: 22).

Di samping itu, runtuhnya kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5, menyebabkan
Gereja tidak hanya menjadi badan supra-nasional saja, melainkan juga menjadi kekuatan
absolut. Sehingga clerics atau ahli agama memegang peranan penting dalam diplomasi di
Eropa pada abad pertengahan, karena dinilai paling politis dan berpendidikan (Black, 2010:
23). Sifat-sifat dalam hubungan internasional juga dikaji dan diamati melalui sudut pandang
agama Kristen, sehingga lebih menekankan pada aspek perdamaian, persatuan Kristendom,
dan kebaikan bersama. Sedangkan segala aktivitas negara dalam lingkup internasional masih
memiliki tujuan idealis. Namun identitas, norma-norma, dan sistem internasional harus
ditetapkan dengan konsep Kristiani (Black, 2010: 23-4).

Pada abad pertengahan, mulai dikenal konsep kedaulatan setelah adanya Perjanjian
Westphalia pada tahun 1648. Kedaulatan yang dimaksud tidaklah berdasar dari keputusan
Paus ataupun gereja, melainkan keputusan bersama sehingga pola-pola maupun ide-ide baru
diplomasi semakin terbuka (Black, 2010: 27). Akhirnya, eksistensi Kristendom kemudian
diakhiri dengan terjadinya Perang Salib, yang sekaligus menjadi awal munculnya sebuah era
baru yaitu era Renaissance atau yang biasa dikenal dengan abad pencerahan (Black, 2010:
32). Selain itu, pada masa pencerahan, aliansi menjadi aspek penting dalam berdiplomasi.
Contohnya, raja-raja Inggris yang beraliansi dengan Jerman dan raja-raja dari Low Countries
untuk membendung kekuatan raja-raja Perancis (Black, 2010: 25). Raja John yang berkuasa
pada tahun 1200-an juga memutuskan untuk beraliansi dengan Otto IV dari kekaisaran
Romawi setelah gagal mengalahkan Philip Augustus dari Perancis. Hal ini dapat dilihat
sabagai salah satu contoh diplomasi yang menyangkut Papacy (kepausan) dan kekuatan
politik di Italia (Black, 2010: 26).

Di samping Yunani Kuno dan kawasan Eropa, praktik diplomasi ternyata juga dapat
dilihat antara umat Kristen dan umat Islam. Hubungan Islam dengan Kristendom berlangsung
sangat cepat. Oleh karena itu, dengan latar belakang konfrontasi dan konflik yang bervariasi,
mengakibatkan keduanya harus melakukan praktik diplomasi untuk mencegah dan
meminimalisir konflik berkepanjangan. Pada tahun 950, Otto I dari kekaisaran Romawi
mengirmkan sebuah perwakilan ke Khalifah Abd-al-Rahman III di Cordova, untuk meminta
Khalifah agar menekan penyerang yang sering terjadi di wilayah Provence, karena dianggap

3
menggangu kegiatan politik dari kekaisaran Romawi yang pada saat itu di bawah pimpinan
Raja Otto I. Sebagai balasannya, Raja Otto I akan membebaskan beberapa tawanan yang
dipenjarakan di Jerman. Praktik diplomasi juga berwujud aliansi pernikahan antara umat
Kristen dengan kaum Moor pada abad ke-11 hingga abad ke-9 (Black, 2010: 30-2).

Perkembangan diplomasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada era


pertengahan. Pada era ini, diperlukannya suatu perwakilan tetap di negara lain mulai
dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan adanya keperluan dalam menginformasikan keadaan
atau situasi dari negara-negara lain, daripada terlalu berfokus dalam urusan negosiasi. Oleh
sebab itu, perwakilan tetap suatu negara di negara-negara luar akan sangat berguna dalam
menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara itu sendiri (Black, 2010: 28). Praktik
diplomasi yang dilakukan oleh negara kota di Italia dengan menggunakan sistem perwakilan
—mengirimkan duta besar ke negara kota maupun kekaisaran lain yang dilakukan secara
tetap atau permanen—memberikan konstribusi terhadap perkembangan diplomasi di era
modern seperti saat ini (Black, 2010: 35).

Sebuah masyarakat internasional baru muncul setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama
(1914-1918), ditandai oleh pembentukan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1920. Desain yang
terakhir untuk masyarakat internasional global baru menggabungkan hampir semua aturan
dan praktik yang telah dikembangkan dalam masyarakat internasional Eropa, termasuk
hukum dan diplomasi internasionalnya, serta asumsi dasarnya terkait kedaulatan dan
kesetaraan peradilan dari negara-negara yang diakui sebagai anggota masyarakat yang
independen. Dorongan untuk Liga datang bukan dari Eropa, tetapi dari seorang presiden
Amerika, Woodrow Wilson. Ini sekaligus menandakan perubahan dalam sifat tatanan
internasional. Pecahnya Perang Dunia Kedua pada tahun 1939 mengganggu fungsi Liga dan
akibatnya menyebabkan kehancuran masyarakat internasional yang telah terbentuk. Pendirian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 merupakan ekspresi dari masyarakat
internasional baru. Meski demikian, banyak prinsip dan struktur yang ditemukan di Liga BB
direplikasi ulang oleh PBB.

Sementara itu, standar ‘peradaban’ menghina para perwakilan peradaban negara-negara


non-Eropa karena status hukum istimewa yang diklaim oleh negara-negara Eropa untuk diri
mereka sendiri tidak hanya berarti pembagian dunia antara negara-negara ‘beradab’ dan
‘tidak beradab’, tetapi juga mempertahankan hubungan hirarkis antar negara. Akibatnya,
negara-negara non-Eropa dan komunitas-komunitas negaranegara terjajah mulai

4
berkampanye melawan ‘standar peradaban yang tidak fair itu’, dan kemudian dihapuskan
ketika proses dekolonisasi dimulai. Ini menandai berakhirnya zaman kolonisasi dan
imperialisme. Munculnya dunia bipolar dari Perang Dingin.

1.2 Tujuan

Bedasarkan pada pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana praktik diplomasi dari masa yunani hingga menjelang
perang dunia ke 1.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Diplomasi

Istilah diplomasi berasal dari bahasa Yunani Kuno δίπλωμα, yang berarti “dokumen
resmi yang menganugerahkan hak istimewa”. Istilah ini terdiri dari kata diplo yang berarti
“dilipat dua” dan akhiran –ma yang berarti “objek”. Kertas yang dilipat mengungkapkan hak
istimewa berupa izin bepergian—kata ini menunjukkan dokumen yang dimiliki oleh para
pangeran (Marks & Freeman, 2018). Menurut Henry A. Kissinger diplomasi dapat dipahami
sebagai seni untuk menghubungkan negara yang satu dengan negara lainnya melalui
kesepakatan dan bukan dengan paksaan (Freeman, 2005). Sejumlah ilmuwan telah mencoba
menelusuri sejarah awal mula diplomasi dipraktikkan guna mengetahui perkembangan dan
pola diplomasi yang komprehensif dalam berbagai masa. Sering dikatakan bahwa gaya dan
peraturan diplomasi yang mengatur praktik diplomasi hanya dikembangkan setelah
kristalisasi sistem negara bangsa. Namun berterkaitan dengan gagasan ini, para ilmuwan telah
membuat penelusuran ilmiah untuk melacak asal-usul praktik diplomasi sebelum peradaban
manusia memulai perjalanannya. Tulisan ini akan memaparkan sejarah diplomasi sejak masa
kuno hingga saat ini, dengan memeriksa pendapat dari para ilmuwan sehingga kita dapat
membandingkan karakteristik diplomasi kuno dan diplomasi modern serta mengetahui
bagaimana diplomasi berevolusi.

2.2 Diplomasi Era Yunani

Sumber paling awal mengenai diplomasi Yunani adalah dalam karya Homer yang
berjudul “Illiad and Odyssey”. Elemen pertama mengenai urusan antar negara dapat diamati
pada Olimpiade tahun 776 SM. Sejak abad ke-6 SM, Liga Amphictonic mempertahankan
majelis antarnegara bagian dengan hak ekstrateritorial dan sekretariat permanen. Pada
pertengahan abad ke-6 SM, Sparta secara dinamis mengembangkan aliansi dan telah
membentuk Liga Peloponnesia sejak 500 SM. Selama perang Yunani-Persia, Athena
melakukan Liga Delian pada abad ke 5 SM. Sementara itu sebagai semacam institusi
diplomatik, terdapat tiga perwakilan di Yunani, yaitu (Mammadova, 2016):

 Angelos atau presbys, adalah utusan dan penatua yang dikirimkan untuk misi singkat
dan spesifik;

6
 Keryx, adalah pembawa berita yang memiliki hak khusus atas keselamatan pribadi;
dan
 Proxenos, adalah penduduk yunani resmi maupun tidak resmi.

2.3 Diplomasi Era Romawi

Diplomasi di Era Romawi banyak dipengaruhi oleh diplomasi Yunani Kuno. Pada masa
Romawi, penggunaan diplomasi sebagian besar bersifat legal dan komersial, salah satunya
adalah penggunaan jalur diplomatik dalam mempertahankan hubungan dagang di dalam suatu
provinsi. Orang Romawi tidak banyak menggunakan praktik diplomasi untuk tujuan
administratif. Sebaliknya, mereka banyak berinvestasi dalam membangun kapabilitas militer
dan keahlian militer mereka. Perwakilan diplomatik Romawi disebut Legatus, yang ditunjuk
dari dan oleh Senat. Legatus memiliki beberapa kewenangan untuk bebas bertindak.
Kebutuhan seorang utusan sebagian besar dipenuhi oleh komandan militer dan gubernur
provinsi yang dihadiri (Kurazaki, 2011).

Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi pada 476 SM, Kekaisaran Bizantium muncul
dengan praktik diplomasi yang merajalela. Kekaisaran Bizantium tidak memiliki kapabilitas
militer yang kuat namun hal ini justru mendorong kekaisaran ini untuk menjaga hubungan
dengan kerajaan-kerajaan tetangganya melalui cara-cara lain. Karena itu, diplomasi
dilembagakan oleh Bizantium (Chaniotis & Ducrey, 2002). Kekaisaran ini memiliki beberapa
cara untuk mencapai kesuksesan dalam membangun hubungan diplomatik. Cara pertama
adalah dengan memanfaatkan rasa kekaguman. Tujuannya adalah untuk memberikan kesan
utusan negara tetangga yang berkunjung dengan tampilan “superioritas absolut, kemewahan,
dan kekayaan”. Sebagai kekaisaran Kristen, metode diplomasi kedua yang dilakukan oleh
Bizantium adalah dengan mengeksploitasi penyuapan secara maksimal demi memperoleh
keamanan dari kerajaan-kerajaan tetangganya yang kuat dan sebagian besar merupakan
pengikut agama Islam.

Penyuapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian sehingga tidak terlihat secara jelas,
melalui upeti atau dengan memberikan persediaan perdagangan. Jika dua metode diplomatik
ini gagal mencapai tujuan yang diinginkan, metode lain yang digunakan adalah melalui jalur
perkawinan. Praktik ini diperkuat dengan sarana mas kawin dan hadiah yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan. Metode terakhir dari diplomasi Bizantium
adalah kebijakan memisahkan tetangga dan mengadu-domba mereka. Untuk mencapai tujuan
ini secara efektif, praktik pengumpulan informasi merupakan bagian penting dari administrasi
7
Bizantium. Karena itu, terdapat bukti nyata intelijen di arena diplomatik. Para pembesar
Bizantium tidak hanya dikirimkan untuk mewakili kerajaan mereka tetapi juga untuk
mengumpulkan cukup informasi. Mereka memiliki badan yang dinamakan Skrinion Barbaron
yang berfungsi sebagai biro hubungan luar negeri yang bertanggungjawab untuk
mengumpulkan intelijen. Badan ini bisa dianggap sebagai salah satu badan intelijen pertama
di dunia. Merangsang permusuhan antara negara-negara asing adalah sarana mengulur waktu
yang akan membuat Bizantium memiliki lebih banyak waktu untuk mencegah perang.
Metode-metode diplomasi ini berkontribusi pada umur panjang Kekaisaran Bizantium hingga
jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan Turki Ottoman. Metode tersebut
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh city-state Italia selama periode Renaissance
(Hamilton & Langhorne, 2011).

2.4 Diplomasi Masa Pencerahan Eropa: Italia, Perancis, dan Spanyol

Kelamnya Dark Age diakhiri oleh Renaissance atau Masa Pencerahan. Renaissance
sendiri secara harafiah berarti ‘lahir kembali’, karena nilai-nilai antroposentris yang hilang
selama Dark Age akibat Kristendom kembali dimunculkan. Masa ini disebut juga masa
keemasan Eropa karena adanya self-determination melahirkan prinsip-prinsip rasionalitas,
humanisme, sekularisme, dan individualisme (Knutsen 1997, 80). Karenanya, terjadi
pemisahan antara nilai-nilai ketuhanan dengan penyelenggaraan negara karena negara
merupakan bentukan manusia dengan politik sebagai penggeraknya (Knutsen 1997, 53).
Seiring meluruhnya supremasi Kepausan, praktik diplomatik yang dulunya terkekang dan
dimonopoli absolutisme Gereja pun kembali dimanfaatkan dalam hubungan antar entitas
demi memenuhi kepentingan masing-masing. Karenanya, seni diplomasi yang diwariskan
oleh Byzantium kian berkembang pesat dan menyebar di Eropa mulai dari peninsula Italia,
Kerajaan Perancis, hingga daratan Spanyol.

Di awal masa Renaissance pada abad 14, berbagai city-state yang mendiami peninsula
Italia saling berperang demi memperebutkan hegemoni. Di masa ini pula Byzantium jatuh ke
tangan Ottoman Turki. Italia yang terdiri dari berbagai city-state kecil pun menghadapi
ancaman invasi Ottoman yang merupakan kekaisaran besar. Italia hanya bergantung pada
kekuatan perdagangan dan kegiatan komersial sehingga kapabilitas militernya sangat lemah
dan jauh di bawah Ottoman. Situasi ini sama seperti yang dihadapi Byzantium sebelumnya
sehingga dengan cara yang sama pula, Italia memilih diplomasi untuk mempertahankan diri.
Diplomasi ditempuh untuk menyatukan visi-misi mengenai keamanan kolektif menghadapi

8
ancaman eksternal dari Ottoman. Lima city-state besar yakni Venisia, Milan, Kepausan
Vatikan, Napoli, dan Florensia kemudian menetapkan Perjanjian Lodi 1454 yang berisi
kesepakatan non-agresi dan pertahanan bersama. Perjanjian ini menjadi awal dari kooperasi
antar city-state Italia (Kurizaki 2011, 15-6).

Perjanjian Lodi menghasilkan unstable equilibrium karena meskipun terdapat balance of


power, kelima city-state mengalami dilema keamanan yakni rasa saling curiga akibat perang
sebelumnya. Demi menjaga perdamaian, Italia menjalankan pertukaran diplomat antar city-
state sebagai sistem komunikasi yang stabil. Diplomasi menjadi kekuatan penting dalam
pengumpulan informasi, kalkulasi risiko, dan pengambilan strategi. Seiring meningkatnya
hubungan aliansi dan fluktuasi tensi militer, fungsi diplomat dan durasi tugasnya di negara
penerima turut bertambah. Diplomat yang mulanya bersifat ad hoc kemudian ditempatkan
sebagai residen permanen serta didirikan kedutaan besar agar diplomasi berjalan lebih efisien
(Kurizaki 2011, 17-9). Institusionalisasi praktik diplomatik ini disebut Nicolson (1963)
sebagai ‘sistem Italia’, cikal bakal lahirnya sistem diplomasi modern (Jonsson dan Hall 2005,
11). Kestabilan sistem Italia sempat terancam ketika Charles VIII memimpin invasi Perancis
tahun 1494. Paus Alexander VI kemudian membentuk Liga Venisia dengan bantuan
Maximilian I dari Romawi Suci, Ferdinand dari Aragon, serta aliansi-aliansi lain. Liga
Venisia, didukung kelihaian duta-duta perwakilan Ferdinand dalam berbagai lembaga
peradilan Eropa, berhasil menangkal invasi Perancis. Keberhasilan ini membuat sistem Italia
tersebar ke berbagai penjuru Eropa (Kurizaki 2011, 19).

Diplomasi di Italia kala itu kerap melibatkan penipuan, penyuapan, dan spionase. Salah
satu penyimpangan dilakukan oleh Rodrigo Borgia dan Cezare Borgia. Setelah dianugerahi
tahta di Gereja oleh pamannya, Alfonso de Borgia, Rodrigo malah melakukan banyak
penyimpangan yakni seks bebas, penyuapan, nepotisme, dan sebagainya. Setelah Paus
Alexander V wafat, Rodrigo menyuap warga gereja agar terpilih ttmenjadi Paus Alexander
VI. Dari beberapa anaknya, Rodrigo mengangkat putranya Cezare Borgia menjadi paus
sebelum kemudian dijadikan kardinal. Rodrigo memilih Cezare karena memiliki tabiat yang
sama licik dengan dirinya. Cezare menikahi putri raja Perancis, Charlotte d'Albret, sebagai
usaha diplomatik untuk memperkuat aliansi dalam menangkal serangan Ottoman Turki
(Watchtower Online Library 2003).

Pada abad 15, pemikiran Niccolò Machiavelli sangat berpengaruh bagi Eropa. Dalam
tulisannya The Prince, Machiavelli memberikan berbagai nasihat bagi seorang pangeran Italia

9
yang ingin menjadi pemimpin. Menurut Machiavelli, pemimpin tersebut haruslah
menggunakan segala macam cara dan mengesampingkan moralitas dalam mengedepankan
kepentingannya sehingga tidak perlu memakai nilai-nilai Kristen. Pemimpin harus
memanfaatkan harta, kelihaian manipulasi, hingga kekuatan koersi yang dimilikinya (Nigro
2010, 199). Pemimpin yang jujur, meskipun dicintai, tidak akan disegani dan bertahan lama.
Namun meski bertindak licik di belakang, pemimpin harus tetap tampak baik dan bijaksana di
mata rakyatnya serta disegani baik prajuritnya maupun raja-raja lain. Karenanya, pemimpin
haruslah ditakuti sekaligus dicintai (Machiavelli 1515, 35). Terdapat anggapan bahwa The
Prince ditulis berdasarkan keluarga Borgia sebagai modelnya meskipun Machiavelli sendiri
tidak menyebut keluarga tersebut secara eksplisit.

Tak hanya Italia, Perancis kemudian juga memanfaatkan dan mengembangkan seni
diplomasi. Berbeda dengan Italia yang cenderung tertutup, Perancis menerapkan diplomasi
yang terbuka dan berfokus pada pembangunan citra baik di mata pihak luar. Sistem diplomasi
Perancis sendiri dipengaruhi pemikiran Armand Jean du Richelieu. Kardinal Richelieu
menjadi Menteri Luar Negeri, kemudian Perdana Menteri Kerajaan Perancis, untuk Louis
XIV. Di masa ini Perancis muncul dengan ambisi mengungguli dominasi Spanyol. Pecahlah
Perang Tiga Puluh Tahun 1618-1648 yang merupakan klimaks dari perebutan kekuasaan
antara Spanyol yang membawa nama Katolik dan Perancis yang membawa nama Protestan,
sebelum kemudian diakhiri dengan Perjanjian Wetsaphalia 1648 (Nigro 2010, 203).

Richelieu beranggapan bahwa jalannya negara tidak perlu bergantung pada Kepausan
karena perumusan dan pencapaian kepentingan negara, raison d'etat, harus diutamakan.
Menurut Richelieu, diplomasi harusnya didasarkan pada asas keterbukaan dan kepercayaan
satu sama lain. Negosiasi tidak seharusnya bersifat insidental dan tergesa-gesa namun
berkesinambungan secara permanen sehingga dapat mengandung unsur kepastian (Roy 1995,
67). Setelah Richelieu wafat, salah satu pengikutnya yakni Jules Mazarin melanjutkan
kedudukannya sebagai Perdana Menteri untuk Louis XIV (Black 2010, 61). Era Mazarin
membawa Perancis mencapai perdamaian dengan Spanyol dan menggapai puncak
kejayaannya di Eropa.

2.5 Perang Dunia Kesatu

Perang Dunia I menandai konflik internasional skala besar pertama pada abad kedua
puluh. Pembunuhan Archduke Franz Ferdinand, pewaris mahkota Austro-Hungaria, dan
istrinya, Archduchess Sophie, di Sarajevo pada 28 Juni 1914, menjadi pencetus permusuhan,

10
yang dimulai pada Agustus 1914, dan berlanjut di beberapa front selama empat tahun
berikutnya. Selama Perang Dunia I, Blok Entente – Inggris, Prancis, Serbia, dan kekaisaran
Rusia (belakangan juga bergabung Italia, Yunani, Portugal, Rumania, dan Amerika Serikat) –
berperang melawan Blok Sentral – Jerman dan Austria-Hungaria (belakangan bergabung
Turki Ottoman dan Bulgaria). Antusiasme awal semua pihak untuk meraih kemenangan cepat
dan mutlak meredup saat perang tersebut menemui jalan buntu karena pertempuran yang
memakan biaya tinggi dan peperangan sistem parit, terutama di Front Barat. Sistem parit dan
benteng di barat yang terpanjang mencapai sekitar 475 mil, kira-kira dari Laut Utara ke
perbatasan Swiss, dan demikianlah perang bagi sebagian besar pejuang Amerika Utara dan
Eropa Barat. Luasnya bentang alam Front Timur mencegah peperangan parit skala besar, tapi
skala konfliknya sama dengan yang di Front Barat. Pertempuran hebat juga terjadi di Italia
Utara, di Balkan, dan di Turki Ottoman. Pertempuran terjadi di laut dan, untuk pertama
kalinya, terjadi di udara.

Perang Dunia I merupakan salah satu dari perang paling merusak dalam sejarah modern.
Hampir sepuluh juta serdadu tewas dalam pertempuran, suatu jumlah yang jauh melampaui
kematian militer di seluruh perang pada seratus tahun sebelumnya. Kendati jumlah statistik
korban yang akurat sulit untuk ditentukan, diestimasi 21 juta laki-laki terluka dalam
pertempuran.

Kerugian besar yang ditanggung semua pihak yang terlibat konflik sebagiannya
diakibatkan oleh dikenalkannya senjata baru, seperti senapan mesin dan perang gas beracun,
serta kegagalan pimpinan militer untuk menyesuaikan taktik mereka dengan sifat peperangan
yang semakin termekanisasi. Kebijakan atrisi, khususnya di Front Barat, memakan korban
ratusan ribu jiwa serdadu. Pada 1 Juli 1916, sebuah tanggal dengan jumlah korban jiwa
terbesar dalam satu hari, Angkatan Darat Inggris di Somme saja menderita lebih dari 57.000
korban. Jerman dan Rusia menderita jumlah kematian militer tertinggi: estimasi masing-
masingnya adalah 1.773.700 dan 1.700.000. Prancis kehilangan enam belas persen dari
pasukan yang dikerahkannya, jumlah kematian tertinggi terkait dengan pasukan yang
dikerahkan.

Tidak ada badan resmi yang melakukan penghitungan secara saksama atas kematian
warga sipil selama tahun-tahun perang, tapi para pakar menyatakan bahwa sebanyak
13.000.000 nonkombatan tewas sebagai akibat langsung atau pun tidak langsung dari
pertempuran. Jumlah kematian penduduk sipil maupun anggoa militer melesat pada akhir

11
perang dengan berjangkitnya "Flu Spanyol," epidemik influenza paling mematikan dalam
sejarah. Jutaan orang tergusur atau menjadi pengungsi di Eropa dan Asia Kecil akibat konflik
tersebut. Kerugian harta-benda dan industri sangat besar, terutama di Prancis dan Belgia, di
mana pertempuran terparah terjadi.

2.6 Diplomasi Modern

Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada


tahun 1945. Namun karena adanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet,
PBB seringkali mengalami keterbatasan dalam menjalankan tugasnya. Kekuatan veto
dieksekusi secara ekstensif oleh satu sama lain. Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun
1991, segala sesuatunya mulai berjalan lebih lancar dari sebelumnya. Periode tersebut bisa
dianggap sebagai periode kemunculan diplomasi modern. Pada diplomasi modern, telah
terjadi pergeseran fokus diplomasi dari yang awalnya bersifat politik menjadi ekonomi,
menyebabkan para duta besar harus memasukkan hubungan komersial dan ekonomi di dalam
lingkup kerja mereka. Masuknya aspek ekonomi ke dalam diplomasi dilatarbelakangi oleh
keberhasilan hubungan ekonomi dalam mengurangi ketegangan antara negara-bangsa secara
efektif.

Karena itu, aspek ekonomi suatu bangsa juga memainkan peran utama dalam
diplomasi berbasis negara. Disamping itu, penugasan duta besar tertentu juga memegang
peranan penting. Ketika negara A menugaskan seorang duta besar untuk negara B, perlu
dicatat jika duta besar tersebut menjalankan kekuasaan atas pemimpin negara A. Dalam
istilah yang lebih sederhana, pilihan duta besar yang ditugaskan oleh negara untuk negara lain
menunjukkan pentingnya hubungan dengan negara tersebut. Sehingga proyeksi kebijakan
luar negeri suatu negara tidak lagi terbatas pada Kementerian Luar Negeri. Akhir-akhir ini,
kepala pemerintahan dan juga kepala negara telah secara aktif berpartisipasi di dalam
diplomasi. Perubahan ini adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah diplomasi publik
(Islam, 2005).

Adanya LBB dan PBB juga membawa pola baru dalam hubungan diplomatik yang awalnya
hanya bersifat bilateral menjadi bersifat multilateral. Pendekatan multilateral ini semakin
meningkat pasca 1945 (KCMG, 2009). Diplomasi modern juga mengalami perubahan dari
segi aktor. Seiring munculnya aktor-aktor non-negara yang berperan penting dalam sistem
internasional, saat ini diplomasi tidak hanya merupakan otoritas pemerintah pusat. Diplomasi

12
juga melibatkan lebih banyak aktor seperti pemerintah daerah (paradiplomasi), warga negara
(diplomasi publik), dll.

Teknologi informasi yang merupakan fitur abad ke-21 juga membawa perubahan
dalam karakteristik diplomasi ke dalam komunikasi modern. Saat ini, pengoperasian sirkulasi
informasi dan aksesibilitasnya mengubah dinamika pekerjaan diplomatik yang memerlukan
reaksi lebih cepat dan prinsip pemilihan informasi lainnya. Selain itu, agenda abad ke-21
mewajibkan para ahli di berbagai bidang: masalah energi, lingkungan, keuangan, ekonomi,
hak asasi manusia, masalah kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, kejahatan
terorganisir, masalah keamanan dan terorisme. Transformasi Diplomasi di abad ke-21
ditandai dengan pesatnya kerjasama dan koordinasi antar institusi dalam memecahkan
berbagai pertanyaan. Dalam konteks UE, misalnya, ini adalah pertanyaan terkait
pengembangan European External Action Service (EEAS) yang akan mampu memastikan
penyampaian kebijakan yang efektif dan efesiens.

13
BAB III

KESIMPULAN

Bedasarkan dari hasil pembahasan di atas terkait dengan praktik Diplomasi yang
mana dimulai pada masa Yunani Kuno hinga pada masa Diplomasi Modern hal ini dapat di
tarik kesimpulan bahwa saat itu diplomasi yang disebutkan di atas sesuai dengan tipologi
Graham Evans dan Jeffrey dimana menggambarkan perubahan diplomasi di abad 21, selain
itu jugasejumlah besar ahli dan spesialis yang terlibat; semakin pentingnya media massa,
pelaku masyarakat internasional dan aktor nonpemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh proses
perubahan terus-menerus. Seiring perubahan dunia begitu juga melakukan diplomasi.

Selain itu juga Renaissance merupakan era yang mengembalikan nilai-nilai


antroposentris dan melahirkan self-determination. Muncullah prinsip seperti humanisme dan
sekularisme, membuat nilai agama dan penyelenggaraan negara dipisah satu sama lain
sehingga esensi diplomasi kembali memegang peranan penting. Di masa Renaissance Italia,
diplomasi menjadi sarana menjalin aliansi demi menjaga keamanan dari ancaman luar.
Sistem Italia dianggap sebagai era lahirnya sistem diplomasi modern dengan adanya
pembudayaan diplomat residen dan kedutaan besar yang permanen. Sistem ini kemudian
menyebar di Eropa sebelum kemudian disempurnakan oleh Perancis. Di masa Renaissance
Perancis, institusionalisasi dan profesionalisasi diplomasi diiringi kesepakatan lingua franca
serta protocol dan norma diplomatik. Spanyol juga menggunakan diplomasi untuk mencapai
hegemoni meskipun sifatnya represif.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahonen-Ström, K., & Andgren, P. (2006). Changing Diplomacy: Actors or Structures? Lund:
Lund University

Black, Jeremy. 20120. A History of Diplomacy. Introduction. London: Reaktion Books Ltd.,
pp. 1-42.

Boesche, R. (2003). Kautilya’s Arthasastra on War and Diplomacy in Ancient India. The
Journal of Military History Volume 67 Number 1, 9-37.

Chandrasekaran, P. (2006). Kautilya: Politics, Ethics And Statecraft.

Chaniotis, A., & Ducrey, P. (2002). Army and Power in the Ancient World. Stuttgart: Franz
Steiner Verlag.

Freeman, C. W. (2005). The Diplomat's Dictionary. Washington DC: US Institute of Peace


Press.

Hamilton, K., & Langhorne, R. (2011). The Practice of Diplomacy: Its Evolution, Theory,
and Administration. New York: Routledge.

Hocking, B., Melissen, J., Riordan, S., & Sharp, P. (2012). Futures for Diplomacy:
Integrative Diplomacy in the 21st Century. Netherlands Institute of International Relations
‘Clingendael’.

Islam, S. M. (2005). Changing Nature and Agenda of Diplomacy: A Critical Analysis. Assian
Affairs Vol.27 No.1, 56-71.

Kappeler, D. (2004). The Birth and Evolution of Diplomatic Culture. Dalam H. Slavik,
Intercultural Communication and Diplomacy (hal. 353-359). Jenewa: Diplofoundation.

Karavites, P. (1987). Diplomatic Envoys in the Homeric World.

KCMG, S. I. (2009). The Development of Modern Diplomacy . London: Chatham House.

Kissinger, H. A. (1994). Diplomacy. USA: Simon and Schuster Inc.

Klavins, D. (2011). Understanding the Essence of Modern Diplomacy. The ICD Annual
Academic Conference on Cultural Diplomacy 2011: Cultural Diplomacy and International

15
Relations; New Actors; New Initiatives; New Targets (hal. 1-7). Berlin: European Social
Fund.

Kumar, M. (t.thn.). Relevance of Ancient Indian Diplomatic Styles in Contemporary Era of


Globalization. Nainital: Kumaun University.

Kurazaki, S. (2011). When Diplomacy Works.

Mammadova, S. (2016). The Key Aspects of Ancient Greek Diplomacy. Baku: School of
Public and International Affairs.

Marks, S., & Freeman, C. W. (2018, Februari 2). Diplomacy. Diambil kembali dari
Encyclopaedia Britannica: https://www.britannica.com/topic/diplomacy

Mattingly, G. (1955). Renaissance Diplomacy. New York: Cosimo Classic Inc.

Machiavelli, Niccolo. 1515. “The Prince”, dalam http://www.constitution.org/mac/prince.pdf


[diakses 3 Oktober 2021].

Nigro Jr., Louis J. 2010. “Theory and Practice of Modern Diplomacy: Origins and
Development to 1914”, dalam Bartholomees Jr., J. Boone, et al (ed.), The US Army War
College Guide to National Security Issues (SSI). Carlisle: United States, Vol. 1, Ch. 14,
pp. 196-196.

Richelieu, A. J. (1961). The Political Testament of Cardinal Richelieu: The Significant


Chapters and Supporting Selections. Wisconsin: University of Wisconsin Press.

16

Anda mungkin juga menyukai